• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN PEREDARAN NARKOTIKA DAN PENGATURAN HUKUM DI INDONESIA

A. Perkembangan Peredaran Narkotika

Pada zaman prasejarah di negeri Mesopotamia (sekitar Irak sekarang ), dikenal suatu barang yang namanya “Gil” artinya “bahan yang menggembirakan”. Gil ini lazimnya digunakan sebagai obat sakit perut, kemampuan Gil sangat terkenal pada saat itu, dan Gil menyebar di dunia Barat sampai Asia dan Amerika.18

Di Tiongkok bahan sejenis Gil disebut dengan candu yang sudah dikenal sejak tahun 2735 sebelum Masehi. Candu pernah menghancurkan Tiongkok pada tahun 1840-an yaitu dipergunakan sebagai subversif oleh inggris, sehingga menimbulkan suatu perang yang terkenal dalam sejarah, yaitu Perang Candu (The Opiun War) pada tahun 1839-1842, yang dimenangkan oleh Inggris setelah berhasil merusak mental lawannya melalui candu. Proses pengolahan candu pada zaman dahulu masih sangat sederhana, salah satu prosesnya ialah menghilangkan bau, yakni dengan cara dicampur dengan air sulingan dan disimpan dalam guci 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) bulan, setelah kering baru dipergunakan untuk keperluan pengobatan.19

Sejalan dengan perkembangan kolonisasi maka perdagangan candu semakin tumbuh subur dan pemakaian candu secara besar-besaran dilakukan

18

Redaksi Badan Penerbit Alda Jakarta, “Menanggulangi Bahaya Narkotika”, Jakarta tahun 1985, halaman 31.

19

dikalangan ethnis cina, terutama di negara-negara jajahan ketika itu, termasuk Indonesia yang berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.20

Masalah penyalahgunaan narkotika ini bukan saja merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian bagi negara Indonesia, melainkan juga bagi dunia Internasional. Memasuki abad ke-20 perhatian dunia internasional terhadap masalah narkotika semakin meningkat, salah satu dapat dilihat melalui Single Convention on Narcotic Drugs pada tahun 1961.21 Masalah ini menjadi begitu penting mengingat bahwa obat-obat (narkotika) itu adalah suatu zat yang dapat merusak fisik dan mental yang bersangkutan, apabila penggunanya tanpa resep dokter.

Peredaran penyalahgunaan narkotika yang terjadi di Indonesia sangat bertentangan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera tertib dan damai berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera tersebut perlu peningkatan secara terus menerus usaha – usaha di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk ketersediaan narkotika sebagai obat, disamping untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Meskipun narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan

20 Sumarmo Ma’some, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat, CV. Haji Masagung, 1987, halaman 5.

21

Kusno Adi, 2009, Kebija kan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang, halaman 30.

perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai – nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.

Peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat diperlukan, karena kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama – sama yaitu berupa jaringan yang dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara rapi dan sangat rahasia.

Perkembangan penyalahgunaan narkoba sudah sangat memperihatinkan. Kalau dulu, peredaran dan pecandu narkoba hanya berkisar di wilayah perkotaan, kini tidak ada satupun kecamatan, atau bahkan desa di republik ini yang bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap obat terlarang itu. Kalau dulu peredaran dan pecandu narkoba hanya berkisar pada remaja dan keluarga mapan, kini penyebarannya telah merambah kesegala penjuru strata sosial ekonomi maupun kelompok masyarakat dari keluarga melarat hingga konglomerat, dari pedesaan hingga perkotaan, dari anak muda hingga yang tua – tua.22

Maraknya pengedaran dan penggunaan narkotika akhir-akhir ini menyebabkan timbulnya kekhawatiran di kalangan masyarakat. Sasaran peredaran dan penggunanya bukan hanya tempat-tempat hiburan malam, tetapi sudah merambah kedaerah pemukiman kampus dan bahkan kesekolah-sekolah.

22

F.Agsya, 2010, Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang Psikotropika, Asa Mandiri, Jakarta, halaman 6

Beberapa pengamat pendidikan bahkan meyakini di Indonesia tidak ada lagi satupun kampus terbebas dari peredaran narkotika.23

Adapun data pengungkapan kasus narkotika yang berhasil diungkap Polri tahun 2007 sampai tahun 2011 seperti tabel berikut ini :

No Tahun Jumlah 1. 2007 11.380 2. 2008 10.008 3. 2009 11.135 4. 2010 17.834 5. 2011 19.045 Jumlah 69.402

Sumber : Direktorat Tindak Pidana Narkoba, Maret 2012

Tidak terlepas dari akibat yang ditimbulkan oleh penggunaan, perlu dicermati pula mengapa penggunaan narkotika meningkat akhir-akhir ini. Timbul suatu pertanyaan, sebenarnya apa yang menyebabkan mereka menggunakan narkotika. Para pemakai bukannya tidak mengetahui akibat yang ditimbulkan oleh pemakaian narkotika tersebut. Mereka mengetahui akibat dari perbuatan yang dilakukannya, baik dari segi fisik maupun psikis, sebab kebanyakan pemakai berasal dari kalangan yang berpendidikan, akan tetapi itu tidak menghentikan mereka untuk mengkonsumsi narkotika.

Pada umumnya secara keseluruhan faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana narkotika dapat dikelompokkan menjadi :

23

M.Wresiniro,Masalah Narkotika Psikotropika dan Obat-Obat Berbahaya, (Jakarta : Yayasan Mitra Bintibmas, 1999), halaman 413

1. Faktor internal pelaku 2. Faktor eksternal pelaku24

Ad.1. Faktor internal pelaku

Ada berbagai macam penyebab kejiwaan yang dapat mendorong seseorang terjerumus kedalam tindak pidana narkotika, penyebab internal itu antara lain sebagai berikut :

a. Perasaan Egois

Merupakan sifat yang dimiliki oleh setiap orang. Sifat ini seringkali mengdominasi perilaku seseorang tanpa sadar, demikian juga bagi orang yang berhubungan dengan narkotika/para pengguna dan pengedar narkotika. Pada suatu ketika rasa egoisnya dapat mendorong untuk memiliki dan atau menikmati secara penuh apa yang mungkin dapat dihasilkan dari narkotika.

b. Kehendak ingin bebas

Sifat ini adalah juga merupakan suatu sifat dasar yang dimiliki manusia. Sementara dalam tata pergaulan masyarakat banyak, norma-norma yang membatasi kehendak bebas tersebut. Kehendak ingin bebas itu muncul dan terwujud kedalam perilaku setiap kali seseorang dihimpit beban pemikiran maupun perasaan. Dalam hal ini, seseorang yang sedang dalam himpitan tersebut melakukan interaksi dengan orang lain sehubungan dengan narkotika, maka dengan sangat mudah orang tersebut akan terjerumus pada tindak pidana narkotika.

24

A.W., Widjaya, Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, (Bandung :Armico, 1985) halaman 25

c. Kegoncangan Jiwa

Hal ini pada umumnya terjadi karena salah satu sebab yang secara kejiwaan hal tersebut tidak mampu dihadapi/diatasinya. Dalam keadaan jiwa yang labil, apabila ada pihak-pihak yang berkomunikasi dengannya mengenai narkotika maka ia akan dengan mudah terlibat tindak pidana narkotika

d. Rasa Keingintahuan

Perasaan ini pada umumnya lebih dominan pada manusia yang usianya masih muda, perasaan ingin ini tidak terbatas pada hal-hal yang positif, tetapi juga kepada hal-hal yang sifatnya negatif. Rasa ingin tahu tentang narkotika, ini juga dapat mendorong seseorang melakukan perbuatan yang tergolong dalam tindak pidana narkotika.

Ad. 2. Faktor eksternal pelaku

Faktor-faktor yang datang dari luar ini banyak sekali, diantaranya yang paling penting adalah sebagai berikut :

a. Keadaan Ekonomi

Keadaan ekonomi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2(dua), yaitu keadaan ekonomi yang baik dan keadaan ekonomi yang kurang atau miskin. Pada keadaan ekonomi yang baik maka orang-orang dapat mencapai atau memenuhi kebutuhannya dengan mudah. Demikian juga sebaliknya, apabila keadaan ekonomi kurang baik maka pemenuhan kebutuhan sangat sulit adanya, karena itu orang-orang akan berusaha untuk dapat keluar dari himpitan ekonomi tersebut.

Dalam hubungannya dengan narkotika, bagi orang-orang yang tergolong dalam keadaan ekonomi yang baik dapat mempercepat keinginan-keinginan untuk mengetahui, menikmati, dan sebagainya tentang narkotika. Sedangkan bagi yang keadaan ekonominya sulit dapat juga melakukan hal tersebut, tetapi kemungkinannya lebih kecil daripada mereka yang ekonominya cukup.

Berhubung narkotika tersebut terdiri dari berbagai macam dan harga, maka dalam keadaan ekonomi yang bagaimanapun narkotika dapat beredar dan dengan sendirinya tindak pidana narkotika dapat saja terjadi.

b. Pergaulan atau lingkungan

Pergaulan ini pada pokoknya terdiri dari pergaulan atau lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah atau tempat kerja dan lingkungan pergaulan lainnya. Ketiga lingkungan tersebut dapat memberikan pengaruh yang negatif terhadap seseorang, artinya akibat yang ditimbulkan oleh interaksi dengan lingkungan tersebut, seseorang dapat melakukan perbuatan yang baik dan dapat pula sebaliknya. Apabila dilingkungan tersebut narkotika dapat diperoleh dengan mudah, maka dengan sendirinya kecenderungan melakukan tindak pidana narkotika semakin besar.

c. Kemudahan

Kemudahan disini dimaksudakan dengan semakin banyaknya beredar jenis-jenis narkotika dipasar gelap maka akan semakin besar pula peluang terjadinya tindak pidana narkotika.

d. Kurangnya Pengawasan

Pengawasan disini dimaksudkan adalah pengendalian terhadap persediaan narkotika, penggunaan, dan peredarannya. Jadi tidak hanya mencakup pengawasan yang dilakukan pemerintah, tetapi juga pengawasan oleh masyarakat. Pemerintah memegang peranan penting membatasi mata rantai peredaran, produksi, dan pemakaian narkotika. Dalam hal kurangnya pengawasan ini, maka pasar gelap, produksi gelap, dan populasi pecandu narkotika akan semakin meningkat. Pada akhirnya, keadaan semacam itu sulit untuk dikendalikan. Disisi lain keluarga merupakan inti dari masyarakat seyogyanya dapat melakukan pengawasan intensif terhadap anggota keluarganya untuk tidak terlibat dalam perbuatan yang tergolong pada tindak pidana narkotika. Dalam hal kurangnya pengawasan seperti yang dimaksud diatas, maka tindak pidana narkotika, bukan merupakan perbuatan yang sulit untuk dilakukan.

e. Ketidaksenangan dengan Keadaan Sosial

Bagi sesorang yang telah terhimpit oleh keadaan sosial maka narkotika dapat menjadikan sarana untuk melepaskan diri dari himpitan tersebut, meskipun sifatnya hanya sementara. Tapi bagi orang-orang tertentu yang memiliki wawasan, uang, dan sebagainya, tidak saja dapat menggunakan narkotika sebagai alat yang melepaskan diri dari hipitan keadaan sosial, tetapi lebih jauh dapat dijadikan alat bagi pencapaian tujuan-tujuan tertentu.

Kedua faktor tersebut tidak selalu berjalan sendiri-sendiri dalam suatu peristiwa pidana narkotika, tetapi dapat juga merupakan kejadian yang disebabkan karena kedua faktor tersebut saling mempengaruhi secara bersama.

Peredaran gelap narkotika di Indonesia melalui beberapa jalur, yakni jalur darat, jalur udara, jalur laut. Peredaran narkotika lewat jalur darat dapat terjadi karena lemahnya sistem pengawasan dan keamanan di wilayah perbatasan. Peredaran gelap narkotika melalui laut juga kerap dilakukan. Indonesia yang merupakan negara kepulauan tentu banyak memiliki lautan yang dapat berfungsi sebagai pintu masuk kedalam negeri ini. Masalahnya tidak semua wilayah laut yang ada di Indonesia ini mendapatkan perhatian dan pengawalan yang optimal dari pemerintah. Luasnya lautan yang dimiliki Indonesia tidak diimbangi dengan jumlah personel yang mencukupi. Akibatnya beberapa wilayah perbatasan laut indonesia menjadi tidak terjaga. Celah inilah yang banyak diincar oleh pengedar narkotika luar untuk dapat membawa masuk narkotika mereka ke Indonesia melalui jalur laut. Peredaran gelap narkotika melalui jalur udara juga mengkhawatirkan. Berkali-kali dinas bea dan cukai bandara menggagalkan penyelundupan narkotika membuktikan kalau penyelundupan narkotika melalui jalur bandara sangatlah sering dilakukan. Ketersediaan alat pendeteksi yang canggih mutlak diperlukan agar penyelundupan narkotika melalui bandara tersebut tidak dapat lolos dari pemeriksaan, karena cara dan modus yang dilakukan untuk menyelundupkan narkotika melalui jalur udara ini semakin hari semakin beragam.

Indonesia menjadi sasaran ekspor utama negara-negara produsen narkotika seperti Belanda dan Iran. Harga 1 butir ekstasi di Belanda hanya bekisar Rp. 3000. Ekstasi itu kemudian diselundupkan ke Malaysia dan harganya meningkat menjadi Rp 30.000. Dari Malaysia, ekstasi diedarkan ke Indonesia dan harganya menjadi Rp 300.000 per butir. Sementara untuk sabu asli Iran, di negara asalnya Rp 100 juta per kilogram. Sabu itu kemudian diselundupkan ke Malaysia harganya menjadi Rp 300 juta. Tiba di Indonesia, harga sabu itu menjadi Rp 1,5 miliar.25

Peredaran gelap narkotika yang dilakukan dari Negara Malaysia karena antara Indonesia dengan Malaysia memiliki letak geografis yang sangat dekat. Sehingga menjadi salah satu alasan mudah masuknya berbagai jenis narkotika. Tidak hanya memiliki batas perairan, antara Indonesia juga memiliki perbatasan darat yang cukup luas yakni di sebelah utara Pulau Kalimantan.

Selain melalui jalur resmi penerbangan dan pelabuhan, para pengedar narkotika asal Malaysia juga biasa memanfaatkan jalur tidak resmi baik jalur tidak resmi perbatasan darat maupun perairan. Penyelundupan narkotika kerap terjadi di perbatasan Entikong Malaysia, Tanjung Balai Karimun, Dumai, termasuk Aceh hingga Batam yang memiliki kawasan bebas perdagangan26. Adapun sasaran peredaran gelap narkotika di wilayah Indonesia adalah meliputi Jakarta, Bali,

25 http://megapolitan.kompas.com/read/2012/10/04/17240495/Harga.Mahal.Buat.Indonesi a.Jadi.Sasaran.Ekspor.Narkotika 26 http://www.suarapembaruan.com/home/peredaran-narkoba-dari-negara-tetangga-semakin-marak/20945

Jawa Barat, Jawa Timur, Riau, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Lampung, Banten, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Aceh.27

B. Pengaturan hukum penyalahgunaan narkotika di Indonesia

Dalam sejarah, perundang-undangan yang mengatur tentang narkotika dapat dibagi menjadi beberapa tahap yaitu :

1. Berlakunya Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika;

Latar belakang digantinya Verdovende Midellen Ordonantie Stbl 1927 No. 278 jo No. 536 dengan Undang Undang Nomor 9 Tahun 1976 ini dapat dilihat pada penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976, diantaranya adalah hal-hal yang menjadi pertimbangan sehubungan dengan perkembangan sarana perhubungan modern baik darat, laut maupun udara yang berdampak pada cepatnya penyebaran perdagangan gelap narkotika di Indonesia. Ditambah lagi dengan kemajuan dibidang pembuatan obat-obatan, ternyata tidak cukup memadai bila tetap memakai undang-undang tersebut. Dalam Verdovende Middellen Ordonantie hanya mengatur tentang perdagangan dan penggunaan narkotika. Narkotika tidak saja diperlukan dalam dunia pengobatan, tetapi juga dalam penelitian untuk tujuan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu dibuka kemungkinan untuk mengimpor narkotika dan mengekspor obat-obtan yang mengandung narkotika, menanam, memelihara Papaver, Koka, dan Ganja.

Undang-undang ini mengatur secara lebih luas mengenai narkotika dengan memuat ancaman pidana yang lebih berat dari aturan sebelumnya. Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut :

27

http://www.immcnews.com/Hari-Anti-Narkoba-2012/daerah-tujuan-peredaran

a. Mengatur jenis-jenis narkotika ;

Dalam undang-undang ini jenis-jenis narkotika , yaitu : Tanaman Papaver, Opium Mentah, Opium Masak, Opium Obat, Morfina, Tanaman Koka, Daun Koka, Kokaina Mentah, Kokaina, Ekgonina, Tanaman Ganja, Damar Ganja, garam-garam dan turunan-turunan dari Morfina dan Kokaina, bahan lain, baik alamiah, sintetis maupun semi sintetis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti Morfina atau Kokaina yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagai narkotika.

b. Pidananya sepadan dengan jenis-jenis narkotika yang digunakan;

Beberapa perbuatan yang dilarang dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut :

Pasal 23 ayat (1) dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman Koka atau tanaman Ganja. Berdasarkan Pasal 36 ayat 1 :

(a) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman Koka atau tanaman Ganja;

(b) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000.- (limabelas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman Papaver.

Pasal 23 ayat (2) dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika. Berdasarkan Pasal 36 ayat (2), barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat 2 :

(a) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;

(b) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

Pasal 23 ayat (3) dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika. Berdasarkan Pasal 36 ayat (3), barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (3) :

a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;

b. dipidana dengan pidana penjara selama-selamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

Pasal 23 ayat (4) dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika. Berdasarkan Pasal 36 ayat (4), barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (4) :

a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama -lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;

b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidara penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (Iima puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

Pasal 23 Ayat (5) dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika. Berdasarkan Pasal 36 ayat (5), barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (5) :

a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama -lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman, Ganja;

b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

c. Mengatur tentang rehabilitasi terhadap pecandu narkotika ;

Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis akibat penggunaan atau penyalahgunaan narkotika. Rehabilitasi adalah usaha memulihkan untuk menjadikan pecandu narkotika hidup sehat jasmaniah dan atau rohaniah sehingga dapat menyesuaikan dan meningkatkan kembali ketrampilannya, pengetahuannya serta kepandaiannya dalam lingkungan hidup.

Dalam usaha pemulihan tersebut dapat dilakukan oleh lembaga milik pemerintah maupun swasta ( Pasal 33 ayat 3 )

d. Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika meliputi penanaman, peracikan, produksi, perdagangan, lalu-lintas pengangkutan serta penggunaan narkotika;

Untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan kepada lembaga ilmu pengetahuan dan atau lembaga pendidikan dapat diberi izin oleh Menteri Kesehatan untuk menanam, meracik, memproduksi, memperdagangkan, serta penggunaan narkotika.

2. Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Undang-Undang ini berlaku pada tanggal 1 September 1997 dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67. Adapun yang menjadi latar belakang diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 ini yaitu peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Tindak pidana narkotika pada umumnya tidak dilakukan secara perorangan dan berdiri sendiri melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisir secara mantap, rapi dan rahasia. Disamping itu tindak pidana narkoba yang bersifat transnasional dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil tindak pidana narkoba. Perkembangan kualitas tindak pidana narkoba tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia. Selain itu perubahan tersebut mengingat ketentuan baru dalam Konvensi Perserikan Bangsa

Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988, yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.

Undang-undang baru tentang Narkotika mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yang diperberat. Cakupan yang lebih luas tersebut, selain didasarkan pada faktor-faktor di atas juga karena perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwa nilai dan norma dalam ketentuan yang berlaku tidak memadai lagi sebagai sarana efektif untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut : a. Mengatur penggolongan dan jenis-jenis narkotika lebih terperinci.

Dalam undang-undang ini narkotika dibedakan atas 3 golongan, yaitu : narkotika golongan I yang terbagi atas 26 jenis, narkotika golongan II yang terbagi atas 87 jenis, narkotika golongan III yang terbagi atas 14 jenis. Yang membedakan antara tiap-tiap golongan adalah potensi ketergantungannya. Narkotika golongan I mempunyai potensi ketergantungan sangat tinggi, narkotika golongan II mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan, narkotika golongan III mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

b. Pengaturan tentang peredaran, penyaluran, penyerahan

Peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika baik dalam rangka perdagangan, bukan

perdagangan, maupun pemindahtanganan untuk keperluan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Penyaluran narkotika yang berasal dari importer hanya dapat disalurkan kepada pabrik obat tertentu atau pedagang besar farmasi tertentu. Pabrik obat tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada eksportir, pedagang besar farmasi tertentu, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu, rumah sakit, dan lembaga ilmu pengetahuan tertentu. Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada pedagang besar farmasi tertentu lainnya, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu, rumah sakit, lembaga ilmu pengetahuan, dan eksportir. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada rumah sakit pemerintah, puskesmas, balai pengobatan pemerintah tertentu. ( Pasal 36).

Penyerahan narkotika hanya dapat dilakukan oleh apotek,, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter. Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada rumah sakit, puskesmas, apotek lainnya, balai pengobatan, dokter, pasien. Penyerahan narkotika oleh rumah sakit, apotek, puskesmas, dan balai pengobatan kepada pasien berdasarkan resep dari dokter. ( Pasal 39 )

Dokumen terkait