• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PERKEMBANGAN ARSITEKTUR DAN KOTA DI

A. Perkembangan Kota Semarang

4. Perkembangan Rumah-Rumah di Semarang

Perkembangan pembangunan perumahan mewah di Semarang pada awalnya mengalami kemajuan yang cukup pesat dengan adanya kebebasan untuk mendirikan bangunan rumah di kawasan elit Eropa dan pribumi. Di dalam pembangunan rumah ini mereka diwajibkan untuk mentaati peraturan yang dibuat oleh pemerintah Belanda. Hal ini dilakukan untuk menjaga keindahan dan tata pembangunan perumahan. Perkembangan perumahan ini pada akhirnya mengalami kelesuhan atau agak tersendat. Pada akhir-akhir tahun 1920-an, tuan-tuan tanah dan pemilik rumah mewah tidak lagi melanjutkan kebiasaan-kebiasaan gaya hidup Indis yang mewah karena dirasa merupakan suatu pemborosan dan ditambah lagi dengan adanya zaman Malaise dan pecahnya Perang Dunia, membuat kemewahan dan kemegahan rumah tinggal Indis menjadi tidak berarti lagi, namun gaya tersebut tidak hilang begitu saja, tetapi gaya Indis tersebut menyesuaikan dengan keadaan.

Pada rumah-rumah di daerah villapark pada tahun 1920-an sudah tidak lagi membangun rumah dengan menggunakan beranda rumah yang lebar di depan dan di samping rumah. Walaupun demikian, aktifitas yang dilakukan oleh para penghuninya tetap menunjukkan gaya hidup Indis. Pesta-pesta tetap diadakan walaupun tidak sebesar pesta-pesta masyarakat Indis zaman dulu. Kebiasaan minum teh tetap dilakukan bahkan kebiasaan ini ditiru oleh para ambtenar. Ketika landhuizen banyak dijual kepada orang-orang Cina akibat kebangkrutan yang dialami tuan-tuan tanah, ciri Indis berkembang memancar dalam kehidupan kota

sebagai bagian dari urban cultuur kota kolonial. Ada tiga ciri yang harus diperhatikan untuk dapat memahami struktur ruang lingkup sosial kota kolonial yaitu budaya, teknologi dan struktur kekuasaan kolonial.36

Kebijakan baru pemerintah kolonial yang dituntut oleh perkembangan alam pikiran manusia dalam berbagai paham baru memungkinkan kota-kota besar di Jawa mengalami babakan baru dalam ciri Indisnya dengan kehadiran orang-orang Eropa di kabupaten-kabupaten. Berkat perluasan sistem pemerintah kolonial yang lengkap dengan birokrasinya dan karena jarak negeri Belanda dan Indonesia makin dekat akibat dibukanya terusan suez, wajah kota mulai berubah. Pusat kota kabupaten bertambah dengan adanya bangunan baru terutama gedung-gedung pemerintahan dan kediaman para pejabat pribumi dan Belanda.37

Pengaruh-pengaruh Belanda dan hasil-hasil pemikiran orang-orang Eropa berhasil memberikan jalan keluar dalam menanggulangi kekurangan-kekurangan yang ada dalam cara membangun kota dan rumah. Selain itu, mereka memberikan petunjuk-petunjuk, saran-saran dalam penggunaan teknik konstruksi bangunan dan metode-metode pembangunan kepada orang Jawa, agar rumah dapat berdiri dengan kokoh dan modern, namun tetap sesuai dengan lingkungan alam sekitar. Karakter jiwa masyarakat Jawa sangat penting diperhatikan karena berhubungan dengan kenyamanan dan ketenteraman dari penghuninya.

Struktur kota kolonial zaman dulu sebenarnya sudah direncanakan dan tumbuh berdasarkan asumsi bahwa suku dan asal etnis merupakan prinsip-prinsip

36

Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis Dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya Di Jawa (Abad XVIII-Medio Abad XX). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000, hlm 195.

utama dari organisasi sosial. Sistem pemisahan etnis dikombinasikan dengan kekhususan pemukiman baik diantara maupun di dalam kelompok-kelompok etnis, meskipun ada pemusatan orang-orang yang berstatus sosial tinggi dan rendah, namun tidak pernah ada percampuran menyeluruh antara suku-suku bangsa dan kelas sosial. Adanya pemisahan etnis pemukiman menjadi pedoman pokok, orang-orang dari kelompok etnis yang sama tapi berlainan status sosial-ekonomi cenderung tinggal berdekatan.38

Pada perkembangan selanjutya kota tidak lagi membagi pemukiman berdasarkan ras atau etnis, namun dengan adanya pembangunan perumahan telah menjurus pada pemisahan pemukiman berdasarkan kelas sosial. Wilayah-wilayah kelas teratas tidak lagi dihuni oleh orang-orang Eropa tetapi juga oleh usahawan-usahawan lokal, pejabat-pejabat pribumi serta pengusaha-pengusaha Cina. Meskipun orang-orang pribumi akhirnya dapat bertempat tinggal di lingkungan elit orang-orang Belanda, namun mereka harus tetap mentaati peraturan yang ada tentang pendirian dan model bangunan yang wajib didirikan di daerah tersebut, misalnya tentang garis sepadan (rooilijn). Bangunan-bangunan yang berdiri di lingkungan villapark harus sejajar dengan bangunan lainnya demi kerapian dan tidak menggangu pemandangan jalan. Peraturan-peraturan yang dibuat di lingkungan elit tersebut selain untuk memperindah pemandangan juga dimaksudkan agar kesehatan dari penghuninya terjamin.

Pengaturan tentang garis sepadan dari perbaikan selokan merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi oleh pemilik rumah, khususnya bagi mereka

38

yang ingin membangun rumah di lingkungan perumahan elit Belanda. Ada perkembangan yang menarik tentang bangunan-bangunan rumah pribumi di Semarang. Penduduk pribumi telah banyak membangun rumah tempat tinggal mereka dengan memakai bahan dari batu dan semen. Dinding-dinding rumah mereka telah dibuat dengan tembok, tidak lagi seperti rumah tradisional pribumi yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu atau balok-balok kayu.

Pada umumnya rumah-rumah yang memakai bahan dasar batu merah dan semen pada masa sebelumnya hanya milik orang-orang kulit putih dan golongan bangsawan atau golongan pedagang kaya. Di dalam perkembangannya masyarakat dalam hal ini wong cilik mulai membangun rumah tinggal mereka dengan tembok. Sebuah pergeseran dalam teknik pembangunan rumah yang dulunya masih menggunakan bahan-bahan tradisional. Sayangnya meskipun mereka membangun rumah dengan memakai bahan-bahan dasar yang modern, namun pembuatannya masihlah sangat kasar. Ada kesan yang sangat mendalam bahwa untuk membangun dan mendirikan rumah beserta ragam hias bangunannya masyarakat pribumi masih sangat miskin akan ide.39 Keadaan ini dapat dipahami karena membangun sebuah rumah yang indah membutuhkan biaya yang tidak sedikit apalagi sebagai golongan sosial terbawah masyarakat pribumi banyak yang hidup miskin.

Berbeda dengan orang Cina dan Arab yang rumahnya terpelihara dengan baik dan dengan perabotan yang bagus serta terdapat ruang-ruang pribadi

(eigendommen).40 Perbedaan ini disebabkan karena keberuntungan dan kesejahteraan hidup orang Cina atau Arab disebabkan oleh penjajahan dan penyerapan kekayaan oleh penjajah pada penduduk pribumi.41 Di balik itu semua, pola perumahan masyarakat Semarang menemukan sebuah babak baru karena pemisahan wilayah berdasarkan ras atau etnis sudah mulai luntur dan digantikan dengan pembagian wilayah berdasarkan kelas sosial. Ini dapat dilihat dari perkembangan bentuk dan tipe rumah tinggal mereka.

Bentuk rumah yang mewah dengan ragam hias yang menawan atau tipe villa berada di tempat yang terbaik dapat dipastikan penghuninya merupakan golongan atas atau orang kaya, namun belum tentu rumah tersebut milik orang Belanda. Bisa saja rumah tersebut milik seorang saudagar kaya Cina atau bahkan milik seorang saudagar kaya pribumi. Pada masa ini sulit sekali untuk mengidentifikasikan pemilik rumah hanya berdasarkan pada bentuk luar bangunan saja.

Sejak awal abad ke-20 memang tidak banyak lagi rumah dari golongan Indis yang dibangun dengan mewah, namun corak Indis masih terlihat dari struktur bangunan yang tetap membagi ruangan-ruangan menurut fungsinya. Meskipun rumahnya tidak terlalu besar mereka tetap mengusahakan agar ada ruang yang dapat difungsikan sebagai ruangan bersantai bersama keluarga, teman-teman dan kolega mereka. Kebiasaan-kebiasaan penghuni rumah Indis pada masa ini tidak banyak berubah, mereka sudah jarang sekali mengadakan pesta yang meriah tapi masih tetap mengadakan pesta dengan lebih sederhana. Oleh sebab itu

40 G.P. Rouffer, dalam Djoko Soekiman, ibid, hlm 253.

41

selain ruang tamu, ruang tidur, ruang makan, ada satu ruangan yang berfungsi sebagai ruang santai. Rumah Indis pada kurun waktu 1900-1940-an mengalami perubahan secara fisik yang cukup mencolok dengan berkurangnya halaman yang luas namun budaya Indis yang menyesuaikan diri dengan keadaan zamannya masih tetap terlihat dari gaya hidup para penghuninya.