• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)

Organisasi petani pengelola air di Indonesia, yang di masa awal pem- bentukannya disebut Perkumpulan Petani Pemakai Air atau disingkat P3A. Dalam perkembangannya organisasi ini cenderung, dibakukan sehingga meng- hapuskan kelembagaan serupa yang sudah berakar di masyarakat. Pemerintah secara yuridis melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1982 tentang Irigasi, menyatakan adanya suatu lembaga yang disebut Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Berdasarkan peraturan ini dikembang- kan sejumlah program untuk membentuk dan mengembangkan P3A di seluruh Indonesia, dan peraturan yang lebih khusus mengenai P3A, yaitu: Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1984 tentang Pembinaan Perkumpulan Petani Pemakai Air, Peraturan Pemerintah Nornor 14 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Pekerjaan Umum Kepada Daerah. Pengembang- an P3A dalam pelaksanaannya cenderung membakukan dan membuat formal organisasi petani pengelola air, yang sebenarnya jauh sebelum keluar peraturan itu petani sudah memiliki suatu organisasi yang berhasil, meskipun sifatnya

tradisional dan informal. Hal ini menjadi salah satu sebab banyaknya P3A formal yang tidak berfungsi di lapangan.

Menurut Coward dalarn Hartono (2000) fungsi-fungsi pengelolaan sis- tem irigasi yang dilakukan P3A meliputi: tiga tugas spesifik dan dua tugas umum. Ketiga tugas spesifik tersebut adalah: (1) Perolehan air (water acquisi- tion), yaitu: tugas mendapatkan air secara tetap maupun pada waktu-waktu ter- tentu; (2) Pengalokasian air (water allocation), yaitu: tugas membagi dan men- distribusikan air kepada petani pemakai air; (3) Sistem pemeliharaan (mainte- nance system), yaitu: tugas memperbaiki, membersihkan, dan memelihara bangunan serta peralatan irigasi dari suatu sistem jaringan irigasi. Sedangkan dua tugas lainnya yang lebih bersifat umum, tetapi pelaksanaannya berhubungan langsung dengan salah satu atau ketiga tugas di atas adalah: (4) Pengerahan sumberdaya (resource mobilitation), yaitu: tugas menghimpun tenaga kerja, bahan-bahan (material), uang dan sumberdaya lainnya yang dibutuhkan untuk tugas pemeliharaan jaringan irigasi; dan (5) Pengelolaan konflik (conflict management), yaitu: tugas untuk menyelesaikan perselisihan dan pertentangan yang timbul dalam masalah alokasi air irigasi.

Kebijakan Penyerahan Pengelolan Irigasi (PPI) perlu didahului upaya pemberdayaan organisasi atau perkumpulan petani pengelola air (P3A) agar mampu mengambil alih peran pengelolaan yang selama ini dipegang oleh pemerintah. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 77 Tahun 2001 tentang Irigasi, pemberdayaan petani pemakai air merupakan upaya penguatan dan peningkatan kemampuan perkumpulan petani pemakai air. Penguatan perkum- pulan petani pemakai air adalah kegiatan yang mencakup fasilitasi pembentukan perkumpulan petani pemakai air secara demokratis dan mendorong terbentuknya perkumpulan petani pemakai air sebagai badan hukum yang mempunyai hak dan wewenang atau pengelolaan irigasi di wilayah kerjanya. Sedangkan peningkatan kemampuan perkumpulan petani pemakai air adalah kegiatan fasilitasi antara lain: pelatihan, bimbingan, pendampingan, penyuluhan, dan kerjasama penge- lolaan, yang dilaksanakan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Ke- giatan tersebut dilakukan dalam rangka mengembangkan kemampuan perkum- pulan petani pemakai air di bidang teknis, keuangan, manajerial administrasi

dan organisasi sehingga dapat mengelola daerah irigasi secara mandiri dan ber- kelanjutan.

Pemberdayaan ini sasarannya adalah:

(a) terbentuknya kelembagaan perkumpulan petani pemakai air yang dapat melakukan pengelolaan irigasi secara lebih efisien, efektif menyejahtera- kan anggotanya, mempunyai otoritas, otonom, mandiri, dan mernpunyai kesetaraan kedudukan dengan kelembagaan lainnya;

(b) terbentuknya perkumpulan petani pemakai air dengan prinsip satu sistem irigasi satu kesatuan pengelolaan yang berbasis pada potensi lokal;

(c) terbentuknya perkumpulan petani pemakai air sebagai lembaga yang me- wakili petani di dalam forum koordinasi daerah irigasi, dan dengan pihak lainnya;

(d) tewujudnya perkumpulan petani pemakai air yang mempunyai kewenangan dan kemampuan menetapkan hak-haknya dalam penyelenggaraan irigasi; (e) meningkatnya kemampuan keuangan perkumpulan petani pernakai air se-

hingga mampu melaksanakan pengelolaan irigasi yang menjadi tanggung- jawabnya;

(f) terciptanya iklim yang kondusif bagi pemberdayaan petani dan perkumpul- an petani pemakai air melalui pelatihan-pelatihan dan kegiatan-kegiatan peningkatan kemampuan dengan pendekatan partisipatif; dan

(g) terjaminnya hak guna air bagi petani yang diberikan sebagai hak kolektif melalui perkumpulan petani pemakai air, sesuai dengan rencana alokasi yang disepakati bersama.

Pemimpin dan Kepemimpinan

Diskusi-diskusi tentang kepemimpinan sangat menarik, siapapun peserta- nya, kalangan bisnis, eksekutif, pelajar atau kalangan akademis, maupun praktisi. Banyak eksekutif yang sangat percaya bahwa berkenaan dengan kepemimpinan, “kamu harus mendapatkan atau kamu tidak mempunyai”. Tetapi ketika alhasil penuturan pada: apa yang kamu dapat atau kamu tidak dapat, mereka tidak dapat menyetujui. Pandangan akademis tentang kepemimpinan sangat beragam, dari yang lunak “kami tidak secara nyata mengetahui” sampai pada definisi yang teliti

didasarkan pada penelitian yang sangat terbatas. Di tahun 1974, Stogdill menyim- pulkan bahwa terdapat banyak definisi sebanyak dengan orang yang berusaha merumuskan konsep tersebut. Tiga pandangan besar oleh Bass dan Yulk, hasil ka- jian literatur tentang kepemimpinan, membantu menjernihkan suasana. Yulk men- catat bahwa walaupun terdapat banyak ketidaksepahaman konsep, kebanyakan definisi-definisi menekankan kepemimpinan sebagai sebuah proses mempenga- ruhi (influence process). Diluar thema umum ini, peneliti tidak setuju banyak as- pek yang lain, termasuk bagaimana pemimpin dikenali, siapa mempunyai penga- ruh, bagaimana pemimpin dibedakan dari pengikutnya, dan faktor-faktor apa da- lam situasi kerja yang mempengaruhi perilaku pemimpin (Lau dan Shani, 1992).

Lebih lanjut Lau dan Shani (1992) mengemukakan contoh definisi kepe- mimpinan, yaitu: (a) Kepemimpinan adalah perilaku dari seseorang ketika dia sedang mempengaruhi kegiatan dari suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan; (b) Kepemimpinan adalah pengaruh interpersonal, digunakan dalam sebuah situa- si, dan diarahkan, melalui proses komunikasi, ke arah pencapaian tujuan khusus atau tujuan-tujuan; (c) Kepemimpinan adalah kenaikan pengaruh lebih dan di atas pemenuhan mekanis dengan petunjuk rutin dari organisasi; (d) Kepemimpinan nampak menjadi seni mempengaruhi orang lain untuk mengerjakan sesuatu yang diyakinkan seharusnya dikerjakan; (e) Kepemimpinan termasuk mempengaruhi strategi dan tujuan tugas, mempengaruhi pemenuhan dan komitmen dalam peri- laku tugas untuk mencapai tujuan, mempengaruhi identifikasi dan pemeliharaan kelompok, dan mempengaruhi budaya kelompok.

Permasalahan pemilihan definisi yang tepat dari istilah kepemimpinan (leadership) dan pemimpin (leader) juga dikemukakan oleh Cartwright dan Zander. Menurut Cartwright dan Zander (1968) kepemimpinan adalah sebuah sifat dari sebuah kelompok, sementara yang lain menyebut kepemimpinan adalah karakteristik seseorang. Bagi yang menekankan pada kelompok, kepemimpinan disama-artikan dengan martabat (prestige), dengan penguasaan kantor tertentu, dengan kinerja dari aktivitas penting kelompok. Bagi yang menekankan pada individu, kepemimpinan diartikan kepemilikan dari karakteristik tertentu, seperti: dominasi, pengendalian ego, agresivitas, atau kebebasan dari kecenderungan paranoid.

Terkait kepemimpinan dalam kelompok, Beebe dan Masterson (1994) me- ngemukakan kepemimpinan sebagai perilaku yang mempengaruhi, menuntun, memerintah, atau mengendalikan kelompok. Secara tradisional, kajian tentang ke- lompok telah dipusatkan pada orang-orang yang berhasil dalam berbagai posisi kepemimpinan. Peneliti membuktikan bahwa dengan memperhatikan keberhasilan pemimpin-pemimpin tersebut, mereka dapat menentukan atribut-atribut atau sifat- sifat individu yang baik untuk memperkirakan kemampuan kepemimpinan yang baik. Pengenalan, seperti sifat, dapat menjadi sangat bernilai dalam bisnis, peme- rintahan, atau militer yang bertanggung-jawab untuk mengangkat individu ke posisi kepemimpinan. Lebih lanjut dijelaskan Beebe dan Masterson (1994) bahwa kajian kepemimpinan menyangkut tiga perspektif, yaitu: perspektif sifat, perspektif fungsional, dan perspektif situasional. Kajian perspektif sifat memper- lihatkan adanya serangkaian sifat tertentu yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Kajian perspektif fungsional menguji kepemimpinan sebagai perilaku yang mung- kin dapat dikerjakan bersama anggota kelompok untuk memaksimalkan efektivi- tas kelompok, seperti: tuntutan, pengaruh, atau pengendalian. Kajian perspektif situasional mengakomodasi semua faktor-faktor: perilaku, kebutuhan tugas dan kebutuhan proses, juga memperhitungkan gaya kepemimpinan dan situasi.

Menurut Soekanto (1997) kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut), sehingga orang lain tersebut bertingkah laku seba- gaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Kadangkala dibedakan antara kepe- mimpinan sebagai sebagai kedudukan dan kepemimpinan sebagai suatu proses sosial. Sebagai kedudukan, kepemimpinan merupakan suatu kompleks dari hak- hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang atau suatu badan yang menyebabkan gerak dari warga masyarakat.

Yukl (1998) mengemukakan bahwa pengaruh seseorang terhadap yang lain dijelaskan dalam hubungannya dengan sebuah proses mempengaruhi sosial

(social influence process). Menurut Kelman dalam Yulk (1998) terdapat tiga ma- cam bentuk proses mempengaruhi, yaitu: (a) Instrumental compliance, orang yang

ditargetkan melaksanakan sebuah tindakan yang diminta dengan tujuan untuk memperoleh suatu imbalan yang berwujud (tangible) atau untuk menghindari suatu hukuman yang dikontrol oleh agen tersebut; (b) Internalization, pengaruh timbul karena dirasakan secara intrinsik sebagai sesuatu yang memang diinginkan dan benar dalam hubungannya dengan nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, dan rasa harga diri; (c) Identification, target meniru perilaku agen atau mengambil sikap yang sama untuk menyenangkan agen tersebut atau agar sama seperti agen.

Pengaruh (influence) timbul karena adanya kekuasaan (power) dari sese- orang pemimpin. French dan Raven (Yukl, 1998) mengklasifikasikan berbagai jenis kekuasaan berdasarkan sumber-sumbernya, yaitu: (a) Reward power, orang yang ditargetkan patuh agar dapat memperoleh imbalan (reward) yang diyakini dipunyai agen; (b) Coercive power, orang yang ditargetkan patuh agar dapat menghindari hukuman yang diyakini dipunyai agen; (c) Legitimate power, orang yang ditargetkan patuh karena percaya bahwa agen tersebut mempunyai kewe- nangan; (d) Expert power, orang yang ditargetkan patuh karena percaya bahwa agen tersebut mempunyai pengetahuan mengenai cara yang terbaik untuk melaku- kan sesuatu; dan (e) Referent power, orang yang ditargetkan patuh karena menga- gumi atau mengidentifikasikan dirinya dengan agen tersebut dan ingin memper- oleh penerimaan dari agen. Beberapa jenis kekuasaan sangat dekat dengan bebe- rapa proses mempengaruhi menurut Kelman. Instrumental compliance pada da- sarnya dihubungkan dengan reward power dan coercive power. Identifikasi pada dasarnya diasosiasikan dengan penggunaan kekuasaan referen (referent power). Internalisasi pada dasarnya dihubungkan dengan expert power. Kekuasaan absah

(legitimate power) berada di semua jenis proses mempengaruhi dan dapat me- nyangkut elemen-elemen dari masing-masing jenis tersebut.

Menurut Singh (1961) menyatakan bahwa dalam kegiatan penyuluhan, pe- mimpin digambarkan sebagai inisiator dari suatu aktivitas yang membantu sebuah kelompok bergerak kearah yang diinginkan. Kualitas kepemimpinan tidak hanya ciri/sifat pribadi yang diperoleh sejak lahir, lebih dari itu kepemimpinan terdiri dari sejumlah keterampilan yang dapat dipelajari, ditingkatkan dan dikembangkan dalam kelompok. Lebih banyak kepemimpinan yang didistribusikan dalam suatu kelompok, lebih efektif fungsi kelompok. Kepemimpinan tidak hanya dipengaruhi

oleh kualitas kepribadian seseorang, sebagaimana pada keadaan dari situasi khusus. Kualitas, karakter, dan keterampilan diperlukan seorang pemimpin, dipe- ngaruhi besarnya tingkatan dimana pemimpin berada. Konsep kepemimpinan ber- variasi dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Pemimpin bertanggung-jawab untuk memberikan inisiasi dan koordinasi aktivitas anggota kelompok dalam me- lakukan tugas mereka untuk mencapai tujuan kelompok. Kepemimpinan dalam suatu kelompok menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dalam perkembangan kelompok.

Peranan Penyuluhan Pertanian Penyuluhan Pertanian di Indonesia

Istilah ’penyuluhan’ dikenal secara luas oleh masyarakat di Indonesia, namun sangat sedikit orang yang memahami pengertiannya secara tepat. Bebe- rapa istilah yang merupakan padanan penyuluhan (extension), diantaranya: voor- lichting (Belanda) yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya; Bahasa Jerman mengistilahkan sebagai pemberi saran atau Beratung atau Aufklarung (pencerahan) yang menekankan pentingnya mempe- lajari nilai-nilai yang mendasari hidup sehat dan pentingnya mengetahui arah langkah kita, atau Erziehung yang mirip artinya dengan pendidikan di Amerika Serikat; Forderung (Austria) yang berarti menggiring seseorang ke arah yang diinginkan; Vulgarisation (Perancis) yang menekankan pentingnya menyeder- hanakan pesan bagi orang awam; Capacitacion (Spanyol) menunjukkan adanya keinginan untuk meningkatkan kemampuan manusia yang dapat diartikan dengan pelatihan (Van den Ban dan Hawkins, 1999).

Penyuluhan merupakan disiplin ilmu terapan. Margono Slamet (1992) menyebut sebagai disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manu- sia terbentuk, berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggantinya dengan perilaku baru yang lebih berkualitas. Salah satu bidang terapan penyuluhan adalah pertanian. Penyuluhan pertanian di Indonesia mempu- nyai sejarah yang panjang sejak jaman penjajahan Belanda. Dalam pelaksanaan- nya, penyuluhan pertanian mengalami pasang-surut perkembangan. Pemahaman

yang kurang benar terhadap makna ’penyuluhan’ menyebabkan pelaksanaan di lapangan tidak sesuai dengan pengertian penyuluhan yang sebenarnya.

Soekandar Wiriaatmadja (1977) memberi batasan penyuluhan pertanian sebagai suatu sistim pendidikan di luar sekolah untuk keluarga-keluarga tani di pedesaan, dimana mereka belajar sambil berbuat untuk menjadi mau, tahu, dan bisa menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapinya secara baik, meng- untungkan dan memuaskan. Pengertian serupa disampaikan Margono Slamet (1987) bahwa penyuluhan pertanian adalah suatu sistem pendidikan luar sekolah (pendidikan non-formal) untuk petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu dan sanggup memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik sesuai dengan bidang profesinya, serta mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki/- meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakatnya.

Berdasarkan pernyataan di atas, penyuluhan pertanian menempatkan pe- tani sebagai sasaran utama, disamping sasaran yang lain. Dalam sistem agribisnis, menurut Soedijanto (2004), sasaran penyuluhan pertanian berada di 5 sub sistem penyuluhan, yaitu: (1) pengusaha hulu, (2) pengusaha tani, (3) pengusaha hilir, (4) pedagang, dan (5) penyedia jasa penunjang. Proses perubahan dalam penyuluhan pertanian, petani ditempatkan sebagai aktor (pemegang peran utama). Penyuluh- an pertanian memandang petani sebagai bagian dari suatu sistem sosial sehingga pendekatan penyuluhan dapat ditempuh dalam: (1) Subsistem perorangan, (2) Subsistem kelompok, dan (3) Subsistem kelembagaan (Hubeis, Ruwiyanto, dan Tjitropranoto, 1992).

Dijelaskan Margono Slamet (2003) bahwa tujuan utama penyuluhan perta- nian adalah pengembangan pemberdayaan petani sehingga petani lebih mampu meningkatkan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya secara mandiri dan tidak tersubordinasi oleh kepentingan pihak lain dalam pengembangkan usaha- taninya. Untuk mencapai tujuan tersebut maka penyelenggaraan penyuluhan per- tanian perlu dilakukan lebih profesional. Beberapa hal mengenai pelaksanaan pe- nyuluhan pertanian sesuai dengan kondisi saat ini dan dalam rangka otonomi daerah antara lain: (a) Penyuluhan pertanian seyogyanya dapat berfungsi melayani kebutuhan informasi para petani; (b) Penyuluhan pertanian harus lebih memusat- kan perhatian pada kebutuhan pertanian dan petani di daerah kerja masing-

masing; (c) Penyuluhan pertanian harus berorientasi agribisnis; (d) Penyuluhan pertanian lebih banyak dilakukan dengan pendekatan kelompok; (e) Penyuluhan pertanian harus berpihak kepada kepentingan petani; (f) Penyuluhan pertanian di- lakukan dengan pendekatan humanistik-egaliter; (h) Penyuluhan pertanian harus dapat dilaksanakan secara profesional; (i) Penyuluhan pertanian harus dipikirkan, direncanakan; dan dapat dilaksanakan, serta proses dan hasilnya dapat dipertang- gung-jawabkan; dan (j) Penyuluhan pertanian harus membuahkan rasa puas pada para petani.

Pengembangan Kapasitas Petani

Penyuluhan pertanian terselenggara sebagai salah satu usaha untuk mendu- kung pembangunan pertanian di Indonesia. Mosher (1991) menempatkan penyu- luhan pertanian sebagai faktor pelancar pembangunan (the accelerators of agri- cultural development). Penyuluhan pertanian bagi petani dianggap penting karena kemampuan petani dan keputusan-keputusan yang diambil mengenai pelaksanaan usahatani akan sangat menentukan bagi tingkat kecepatan pembangunan per- tanian.

Upaya pemerintah untuk meningkatkan kemampuan petani secara operasi- onal dirumuskan dalam Pedoman Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dalam Pemangunan Sistem dan Usaha Agribisnis. Ruang lingkup penyuluhan pertanian dikembangkan yang meliputi: (a) pengembangan budidya pertanian (better far- ming), (b) pengembangan usaha pertanian (better business), (c) pengembangan kelembagaan pertanian (better organization), (d) pengembangan masyarakat tani

(better community), (e) pengembangan lingkungan usaha dan lingkungan hidup

(better environment), dan (f) pengembangan kehidupan yang lebih sejahtera

(better living) (Pambudy dan Adhi, 2002).

Slamet (2003) menegaskan penyuluhan pertanian masa depan perlu di- dasarkan pada visi dan misi yang secara jelas menempatkan petani dan usahatani sebagai sentral; pendekatan yang lebih humanistik, yaitu melihat petani sebagai manusia yang berpotensi, yang dihargai untuk dikembangkan kemampuannya me- nuju kemandiriannya. Dalam kaitan itu orientasi visi dan misi kelembagaan penyuluhan kembali ke khitah penyuluhan itu sendiri, yaitu pengembangan pem-

berdayaan petani sehingga petani lebih mampu meningkatkan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya secara mandiri dan tidak tersubordinasi oleh kepentingan pihak lain dalam pengembangkan usahataninya. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian perlu lebih profesional, antara lain memerlukan reorientasi: (a) Dari instansi ke pengembangan kualitas individu penyuluh, (b) Dari pen- dekatan top down ke bottom up, (c) Dari hirarkhi kerja vertikal ke horizontal, (d) Dari pendekatan instruktif ke partisipatif dan dialogis, dan (e) Dari sistem kerja linier ke sistem kerja jaringan.

Dalam konteks penyuluhan pertanian, Soedijanto (2004) menyebutkan tu- juan penyuluhan pertanian adalah menghasilkan manusia pembelajar, manusia penemu ilmu dan teknologi, manusia pengusaha agribisnis yang unggul, manusia pemimpin di masyarakatnya, manusia “guru” dari petani lain, yang bersifat man- diri dan interdependensi. Kemandirian ini meliputi: (a) Kemandirian material, artinya memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara optimal potensi sumber- daya alam yang mereka miliki sendiri tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar; (b) Kemandirian intelektual, artinya memiliki kapasitas untuk mengkritisi dan mengemukakan pendapat tanpa dibayangi oleh rasa takut atau tekanan dari pihak lain; (c) Kemandirian pembinaan, artinya memiliki ka- pasitas untuk mengembangkan diri sendiri melalui proses belajar tanpa harus tergantung pihak luar; dan (d) Sebagai manusia yang interdepensi, artinya dalam melaksanakan kegiatannya selalu terdapat saling ketergantungan dengan manusia lain di dalam masyarakatnya sebagai suatu sistem sosial.

Rahadian dkk (2003) menyatakan bahwa pengembangan sumberdaya ma- nusia petani dan keluarganya diarahkan untuk membentuk petani Indonesia yang berdaya dan memiliki keunggulan-keunggulan sikap dan karakter: (a) memiliki pengetahuan yang luas baik di bidang agroteknologi maupun agribisnis yang spe- sifik lokalita; (b) memiliki sikap dan perilaku lebih mandiri serta berkemampuan memecahkan masalah-masalahnya sendiri secara tepat dan efisien; (c) memiliki

sense of agribusiness sehingga perencanaan usaha pertanian selalu berorientasi pasar lokal, dalam negeri dan ekspor; (d) memiliki ketrampilan agribisnis baik di segmen hulu (perbenihan, perpupukan organik, pemilihan usaha produksi produk primer, sekunder dan tersier), pada sisi tengah yang mengefisienkan agroinput dan

mengoptimalkan agro-output, di segmen pasca panen dan pengolahan produk primer dan sekunder, serta di segmen pasaran; dan (e) memiliki ketangguhan da- lam menghadapi masalah dan akibat anomali iklim, terbatasnya sarana produksi, dan gejolak harga, sehingga tetap berkemampuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga.

Untuk mendukung kemampuan petani sesuai yang diharapkan, diperlukan pemilihan isi (content) dalam penyuluhan pertanian. Campbell dan Barker (1997) mengungkapkan lingkup yang sesuai untuk penyuluhan pertanian meliputi:

(a) Secara teknik dapat dilakukan (technically feasible); teknologi yang ditawar- kan dapat memproduksi komoditas di lingkungan petani, dan dapat dicapai oleh petani.

(b) Secara ekonomi menguntungkan (economically feasible); penggunaan tekno- logi berdampak pada peningkatan sistem usahatani yang menguntungkan.

(c) Secara sosial dapat diterima (socially acceptable); inovasi yang ditawarkan di- terima dan tidak menyebabkan ketidakseimbangan sosial.

(d) Lingkungan yang lestari dan berkelanjutan (environmentally safe and sustain- able).

Mengembangkan Kapasitas Kelembagaan Petani

Berdasarkan artikel-artikel dalam jurnal, pengembangan masyarakat, dike- lompokkan tiga tema utama, yaitu: (a) Pendekatan self-help (membantu diri sen- diri), (b) Pendekatan technical assistance (bantuan teknik), dan (c) Pendekatan

conflict (konflik). Kelompok pendekatan self-help menekankan pada orientasi proses, dengan membantu masyarakat dalam belajar bagaimana mengatasi masa- lah mereka sendiri. Proses mencapai tujuan tersebut merupakan pembelajaran bagi masyarakat bagaimana meningkatkan kondisi mereka. Kelompok technical assistance menekankan pada penyelesaian tugas, memberi bantuan atau intervensi fisik yang didasarkan informasi teknik, meningkatkan situasi dengan pendekatan secara ekonomi maupun tanggung-jawab sosial. Pendekatan conflict menekankan adanya pembagian yang adil atas sumberdaya dalam masyarakat (Christenson, 1989). Secara umum perbandingan ketiga pendekatan pengembangan masyarakat dipaparkan dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Perbandingan Tiga Pendekatan Pengembangan Masyarakat Pendekatan Peran Agen

Perubahan Orientasi Tipe Sasaran

Kecepatan Perubahan Keberlanjutan Perubahan Self-Help Fasilitator, Pendidik Proses Kelas menengah Lambat Memuaskan Technical Assistance Penasihat, konsultan Tugas Pemimpin, administrator Moderat Baik Conflict Pengorganisasi, avokat Proses & tugas Masy.miskin, minoritas Cepat Lemah Sumber: Christenson (1989)

Kegiatan penyuluhan lebih menekankan pada pendekatan self-help, yang didasarkan premis bahwa masyarakat dapat, akan, dan seharusnya bersama-sama memecahkan permasalahan yang dihadapi. Menurut Littrell dan Hobbs (1989), diperlukan komitmen masyarakat untuk membantu dirinya sendiri, tanpa komit- men dalam suatu organisasi atau suatu kelompok akan terjadi kesenjangan kapasi- tas untuk mencapai efektivitas kegiatan. Pendekatan ini tidak hanya menekankan apa yang dicapai masyarakat, tetapi juga bagaimana untuk mancapainya. Terkait dengan kelembagaan petani, perlu ada penumbuhan kesadaran bagi masyarakat petani tentang pengaruh luar yang membatasi usahanya, selain identifikasi kebu- tuhan-kebutuhan yang timbul akibat pengaruh tersebut untuk selanjutnya menen- tukan pemenuhannya.

Dalam perspektif pengembangan masyarakat, suatu komunitas dapat di- pandang sebagai sebuah konfigurasi yang muncul dan dinamis dari kelompok- kelompok dan tindakan-tindakan yang menunjukkan adanya asosiasi, pelaku, tin- dakan dan konfigurasi kepentingan. Asosiasi adalah organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok berada dalam komunitas yang memusatkan pada penyediaan layanan atau sumberdaya atau mengkoordinasi usaha-usaha lokal. Pelaku adalah pemimpin dan anggota dari asosiasi dan penduduk lain dari komunitas yang me- nantikan mobilisasi. Tindakan adalah proyek, kebijakan, atau tindakan lain untuk meningkatkan kemampuan pelaku yang didasarkan pada tujuan. Konfigurasi ke- pentingan adalah suatu perhatian komunitas yang diwujudkan dengan asosiasi, pelaku, dan tindakan. Pengembangan masyarakat diwujudkan melalui struktur

dan penyelesaian tugas. Pembangunan melibatkan asosiasi dan jaringan kerja pelaku, serta merealisasikan gambaran masyarakat (Garkovich, 1989).

Alasan pentingnya pembangunan organisasi lokal sebagai komponen kun- ci dalam pengembangan kapasitas lokal dikemukakan oleh Esman dan Uphoff

Dokumen terkait