• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN ANAK

JUMLAH KECAMATAN PNPM TAHUN 2009-2010

2. Kegiatan adaptasi: kegiatan pembangunan yang direncanakan pada sektor yang menerima dampak perubahan iklim harus

3.2.4 PERLINDUNGAN ANAK

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah menetapkan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Oleh karena itu, setiap anak Indonesia berhak untuk (1) memperoleh suatu nama sebagai indentitas diri dan status kewarganegaraan; (2) beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua; (3) mengetahui orang tuanya serta, dibesarkan dan diasuh orang

3 - 51 tuanya sendiri; (4) memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial; (5) memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya, khusus anak yang menyandang cacat berhak memperoleh pendidikan luar biasa, dan anak yang memiliki keunggulan mendapatkan pendidikan khusus; (6) menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan; (7) beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri, dan berkreasi; (8) berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi anak yang menyandang cacat. Selain itu, setiap anak juga berhak mendapatkan perlindungan dari (1) diskriminasi, eksploitasi (baik ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, serta perlakuan salah lainnya; (2) penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan peperangan; dan (3) sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Hak-hak anak tersebut adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.

3.2.4.1 PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Permasalahan yang dihadapi terkait dengan perlindungan anak pada tahun 2010 adalah sebagai berikut. Pertama, masih belum optimalnya akses terhadap layanan pemenuhan hak tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh masih rendahnya cakupan layanan pengembangan anak usia dini yang holistik dan integratif, derajat kesehatan dan gizi anak, cakupan layanan pendidikan untuk anak, dan cakupan akte kelahiran. Menurut data Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2008, sekitar 49,38

3 - 52

persen dari 29,3 juta anak usia dini (0 s/d 6 tahun) belum mengenyam program pendidikan anak usia dini.

Di bidang kesehatan, permasalahan terkait dengan anak antara lain masih rendahnya tingkat keberlanjutan pelayanan kesehatan (continuum of care) pada anak, khususnya pada penduduk miskin; masih tingginya prevalensi anak yang pendek (stunting) sebagai indikasi kekurangan gizi kronis; dan adanya tantangan baru keadaan gizi berlebih yang menyebabkan obesitas (kegemukan) akibat asupan makanan yang tidak seimbang. Selain itu, perilaku merokok semakin memburuk dengan makin mudanya usia awal perokok. Anak usia 5--9 tahun sudah mulai merokok dan peningkatan prevalensinya sangat mengkhawatirkan, yaitu dari 0,4 persen (2001) menjadi 1,8 persen (2004) atau meningkat lebih dari 4 kali. Pemberian ASI eksklusif juga menurun, yang antara lain disebabkan oleh besarnya pengaruh dari luar, seperti pemberian susu formula gratis pada saat ibu melahirkan. Pada tahun 2005, cakupan bayi 0--6 bulan yang disusui secara ekslusif baru mencapai 58,2 persen.

Dalam pemenuhan hak-hak sipil, jumlah anak yang belum mendapatkan akta kelahiran masih tinggi, yaitu sekitar 57,18 persen (Supas 2005). Hal ini, antara lain, disebabkan oleh (a) belum adanya keseragaman sistem pencatatan kelahiran; (b) tingginya tingkat kompleksitas persyaratan pengurusannya; (c) adanya inkonsistensi aturan dalam Undang Perlindungan Anak dengan Undang-Undang Administrasi Kependudukan mengenai jangka waktu pembebasan biaya pengurusan akta kelahiran (dari 487 kabupaten/kota, hanya 219 kabupaten/kota yang sudah membebaskan biaya pengurusan akta kelahiran); (d) terbatasnya tempat pelayanan pencatatan kelahiran (hanya tersedia sampai tingkat kabupaten/kota); dan (e) belum adanya insentif dari kepemilikan akta kelahiran.

Kedua, masih kurangnya perlindungan terhadap anak dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, penelantaran, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya. Data Susenas 2006 menunjukkan bahwa sekitar 4 juta anak mengalami kekerasan setiap tahun. Sementara itu, data Bareskrim Polri menunjukkan bahwa dalam periode tahun 2004 sampai dengan Oktober 2009 terdapat 538 anak dari 1.722 korban perdagangan orang. Perdagangan anak biasanya ditujukan untuk

3 - 53 menjadi pembantu rumah tangga, pekerja seks komersial, atau pengemis di jalan, pengedar narkoba, dieksploitasi di tempat-tempat kerja berbahaya, seperti jermal, pertambangan, dan perkebunan. Di samping itu, masih banyak pula anak-anak pengungsi korban konflik atau bencana alam yang belum memperoleh hak-hak dasar, termasuk pengasuhan alternatif yang memadai (WHO, 2006; Depsos, Save the Children, 2006). Hasil Survei Pekerja Anak (SPA) tahun 2009 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 4,1 juta anak usia 5--17 tahun yang bekerja atau 6,9 persen dari 58,8 juta anak usia 5--17 tahun. Dari total anak yang bekerja tersebut, sekitar 1,8 juta atau 43,3 persen adalah pekerja anak karena mereka bekerja pada satu atau lebih kegiatan yang termasuk ke dalam salah satu bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan umurnya belum mencapai umur minimal yang diperbolehkan secara hukum untuk bekerja (> 15 tahun). Selain itu, kondisi Lembaga Pemasyarakatan di seluruh Indonesia mengalami over kapasitas dan belum semua provinsi mempunyai Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPA). LPA di seluruh Indonesia sampai dengan bulan Juli 2010 berjumlah 16 UPT. Hal ini mengakibatkan anak yang sedang mengalami proses pemenjaraan dapat digabungkan dengan tahanan orang dewasa sehingga semakin memberikan dampak yang tidak baik bagi perkembangan jiwa psikologis anak yang berada dalam proses pemenjaraan tersebut.

Ketiga, masih rendahnya kapasitas kelembagaan perlindungan anak. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh belum maksimalnya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya perlindungan anak dalam mengatur dan mengupayakan kepentingan terbaik anak sesuai dengan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Hingga saat ini, belum ada mekanisme komprehensif yang berlaku dari pusat ke daerah, yang ditujukan untuk melindungi anak. Mekanisme yang ada masih bersifat sektoral dan belum memadai sehingga belum dapat menciptakan lingkungan yang aman bagi anak, dan belum memberikan wadah bagi setiap anggota masyarakat, termasuk anak-anak, untuk berpartisipasi dalam upaya pemenuhan hak anak. Di samping itu, sistem pengelolaan data dan informasi serta indeks komposit perlindungan anak yang terpilah, yang mutakhir dan mudah diakses, juga belum tersedia.

3 - 54

3.2.4.2 LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL YANG DICAPAI

Dengan memperhatikan permasalahan tersebut di atas, sasaran perlindungan anak adalah meningkatnya tumbuh kembang optimal, kesejahteraan, dan perlindungan anak yang ditandai dengan (a) meningkatnya akses dan kualitas layanan perlindungan anak, yang antara lain diukur dengan meningkatnya APK PAUD, APS 7—12 tahun, APS 13—15 tahun, dan cakupan kunjungan neonatal, serta menurunnya persentase balita gizi buruk yang mendapat perawatan; (b) meningkatnya persentase cakupan anak korban kekerasan yang mendapat penanganan pengaduan; dan (c) meningkatnya efektivitas kelembagaan perlindungan anak, baik di tingkat nasional maupun daerah. Dalam mengupayakan pencapaian sasaran pembangunan yang telah ditetapkan tersebut, langkah-langkah kebijakan yang dilakukan adalah (1) peningkatan akses terhadap pelayanan yang berkualitas, peningkatan partisipasi anak dalam pembangunan, dan upaya penciptaan lingkungan yang ramah anak dalam rangka mendukung tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak; (2) peningkatan perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi; dan (3) peningkatan efektivitas kelembagaan perlindungan anak.

Hasil-hasil yang dicapai dalam upaya peningkatan perlindungan anak sampai dengan bulan Juni tahun 2010 adalah sebagai berikut. Pertama, peningkatan layanan untuk tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak, yang ditandai oleh peningkatan akses anak terhadap layanan pendidikan, peningkatan derajat kesehatan dan gizi anak, serta peningkatan cakupan anak balita yang memiliki akte kelahiran. Dari aspek peningkatan akses anak terhadap layanan pendidikan ditandai dengan meningkatnya berbagai angka partisipasi pendidikan pada semua jenjang pendidikan, baik angka partisipasi sekolah (APS), angka partisipasi kasar (APK), dan angka partisipasi murni (APM). Data Susenas mengindikasikan proporsi anak usia 7--12 tahun yang duduk di bangku sekolah (APS 7--12 tahun) meningkat dari 97,83 persen pada tahun 2008 menjadi 97,95 persen pada tahun 2009. Pada kelompok usia 13--15 tahun, APS meningkat dari 84,41 persen pada tahun 2008 menjadi 85,43 persen pada tahun 2009. Pada periode tahun yang sama, APS 16-18 tahun juga mengalami peningkatan dari 54,70

3 - 55 persen menjadi 55,05 persen. Jika dilihat dari jenjang pendidikan yang diikuti, Kemendiknas menyebutkan bahwa anak yang mengikuti pendidikan usia dini (APK PAUD) pada tahun 2009/10 mencapai 53,70 persen, meningkat dari tahun 2008/2009 sebesar 50,62 persen. Pada periode tahun yang sama, proporsi anak usia 7--12 tahun yang sedang bersekolah di SD/MI/sederajat (APM SD/MI/sederajat) juga meningkat 95,14 persen menjadi 95,23 persen, sedangkan proporsi anak usia 13--15 tahun yang sedang bersekolah di SMP/MTs/sederajat (APM SMP/MTs/sederajat) meningkat dari 72,28 persen menjadi 74,52 persen. Sementara itu, proporsi penduduk yang bersekolah di SMA/SMK/MA/sederajat juga mengalami peningkatan dari 64,28 persen pada tahun 2008 menjadi 69,6 persen.

Peningkatan derajat kesehatan dan gizi anak, tercermin dari menurunnya angka kematian bayi (AKB) dari 35 kematian per 1.000 kelahiran hidup (SDKI 2002--2003) menjadi sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup (SDKI 2007) dan tingkat kematian anak balita (AKBA) dari 46 kematian per 1.000 kelahiran hidup (SDKI 2002--2003) menjadi 44 kematian per 1.000 kelahiran hidup (SDKI 2007). Selain itu, prevalensi anak balita kekurangan gizi menurun menjadi menjadi 18,4 persen (Riskesdas 2007), prevalensi anak balita yang pendek (stunting) menurun menjadi 36,8 persen, bayi lahir dengan berat badan rendah menjadi 11,5 persen, dan kasus gizi-lebih menjadi 4,3 persen. Peningkatan derajat kesehatan dan gizi anak tersebut didukung oleh meningkatnya cakupan kunjungan kehamilan keempat (K4) menjadi 86,04 persen (2008), pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih menjadi 77,37 persen (2009), bayi yang mendapat ASI eksklusif menjadi 32,4 persen (2007), cakupan imunisasi lengkap anak balita menjadi 58,6 persen (2007), dan cakupan anak usia satu tahun yang diimunisasi campak menjadi 83,4 persen (Susenas 2009). Sementara itu, cakupan anak balita yang telah memiliki akte kelahiran meningkat dari sekitar 42,82 persen menurut hasil Supas 2005 menjadi 56,4 persen menurut hasil Susenas 2007.

Kedua, peningkatan perlindungan anak dari tindak kekerasan, eksploitasi ekonomi ataupun seksual, penelantaran, diskriminasi, dan berbagai bentuk perlakuan salah lainnya yang ditandai oleh

3 - 56

kenyataan bahwa hasil yang telah dicapai adalah dilaksanakannya peningkatan dan penguatan lembaga pelayanan untuk perempuan dan anak korban kekerasan, antara lain (1) sebanyak 305 Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di tingkat Polres yang tersebar di seluruh Indonesia; (2) sebanyak 22 Pusat Krisis Terpadu/PKT di Rumah Sakit Umum Daerah dan Vertikal, serta 43 Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di Rumah Sakit Polri; (3) sebanyak 29 Rumah Perlindungan Trauma Center/RPTC di 23 provinsi dan 15 Rumah Perlindungan Sosial Anak/RPSA; (4) sebanyak 42 Crisis Centre/Women Trauma Centre yang tersebar di seluruh Indonesia; (5) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di 17 provinsi dan 76 kabupaten/kota; dan (6) mekanisme pengaduan bagi anak melalui telepon yang disebut Telepon Sahabat Anak (TESA) 129 di tujuh kota.

Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi anak dan perempuan korban kekerasan di rumah sakit dan puskesmas, telah dilaksanakan (1) penyusunan pedoman pelayanan korban kekerasan terhadap perempuan (KtP) dan anak (KtA) di rumah sakit; (2) penyusunan pedoman rujukan korban kekerasan terhadap anak untuk petugas kesehatan; (3) penyusunan pedoman pengembangan puskesmas mampu tatalaksana kasus KtP/KtA; dan (4) pelatihan penanganan korban KtP dan KtA bagi sekitar 110 dokter/petugas medis di rumah sakit. Kemudian, untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi anak yang berhadapan dengan hukum (baik sebagai pelaku, korban maupun saksi) telah dilatih sekitar 1.670 aparat penegak hukum di tingkat nasional di provinsi tentang prosedur ramah anak dan sensitif gender. Selanjutnya, sampai dengan bulan juni 2010 telah dilaksanakan pembinaan bagi 2.547 orang anak didik pemasyarakatan serta sebanyak 1.136 orang di antaranya telah memperoleh pendidikan dan reintegrasi secara tepat waktu dan akuntabel.

Dalam upaya menurunkan jumlah pekerja anak, sampai dengan Juli 2010 telah dilaksanakannya penarikan 3.000 pekerja anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (BPTA) dalam rangka Program Keluarga Harapan di 13 provinsi. Saat ini, sekitar 80 persen pekerja anak yang telah ditarik dan sudah masuk

3 - 57 dalam satuan pendidikan, baik pendidikan formal, kesetaraan, maupun nonformal.

Sebagai upaya peningkatan bantuan sosial bagi anak, pada tahun 2010 telah dilaksanakan (1) penyaluran bantuan untuk 135.014 anak melalui panti sosial asuhan anak; (2) perekrutan 205 tenaga kesejahteraan sosial anak/TKSA; (3) penetapan dan peluncuran pedoman untuk program kesejahteraan sosial anak/PKSA; (4) fasilitasi 1.500 anak korban gempa di Sumatera Barat dalam Aksi Forum Partisipasi Anak; dan (5) peningkatan bantuan dukungan pendidikan dan kesehatan untuk anak dan balita dari 726.000 rumah tangga sangat miskin/RTSM melalui Program Keluarga Harapan.

Ketiga, peningkatan kelembagaan perlindungan anak yang ditandai oleh kenyataan bahwa dari segi pengelolaan data dan informasi perlindungan anak, telah dilaksanakan kajian untuk menilai kondisi sistem informasi perlindungan anak di Indonesia, serta sedang disusun strategi pengembangan sistem informasi perlindungan anak dan kajian awal indikator komposit perlindungan anak. Selain itu, telah dikembangkan pula database pencatatan dan pelaporan perempuan dan anak korban kekerasan. Kemudian untuk penguatan dasar hukum dan kebijakan yang mendukung peningkatan perlindungan anak, telah disusun/diterbitkan: (1) RUU tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; (2) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan No. 01 Tahun 2009 tentang Standar Pelayanan Minimal Pelayanan Terpadu bagi saksi dan/atau korban TPPO di kabupaten/kota; (3) Peraturan Ketua Harian Gugus Tugas Pusat Pencegahan dan Penanganan TPPO No. 08 Tahun 2009 tentang Pembentukan Sub Gugus Tugas Pusat Pencegahan dan Penanganan TPPO; (4) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan; (5) Peraturan Menteri Negara PP dan PA No. 02 Tahun 2010 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Anak 2010-2014; (6) Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung No. 166A/KMA/SKB/XII/2009, Jaksa Agung No. 148A/A/JA/12/2009, Kepala Kepolisian RI No. B/45/XII/2009, Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, Menteri Sosial No.

10/PRS-3 - 58

2/KPTS/2009, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 02/Men.PP dan PA/Xii/2009 tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; (7) Konsep Standar Operasional Prosedur (SOP) bidang Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang; (8) Konsep Pedoman Pembentukan dan Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu, sebagai tindak lanjut dari PP No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban TPPO, (9) sebanyak 51 Perda Kabupaten/Kota tentang Akte Kelahiran Bebas Bea sehingga sampai Juni 2010 secara total telah terdapat 244 Perda yang membebaskan biaya pembuatan akte kelahiran; dan (10) Laporan Negara RI kepada PBB tentang perkembangan pelaksanaan Convention on the Rigth of Child (CRC) Periode 2004--2009.

3.2.4.3 TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN

Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang masih dihadapi di masa yang akan datang, tindak lanjut yang akan dilaksanakan ke depan adalah (1) peningkatan kualitas tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak, antara lain, melalui peningkatan aksesibilitas dan kualitas program pengembangan anak usia dini; peningkatan kualitas kesehatan anak; dan peningkatan pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja; (2) perlindungan anak dari segala bentuk tindak kekerasan dan diskriminasi, antara lain melalui peningkatan rehabilitasi dan pelindungan sosial anak; peningkatan perlindungan bagi pekerja anak dan penghapusan pekerja terburuk anak; dan peningkatan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum antara lain dengan melakukan upaya perbaikan dalam sarana dan prasarana yang mendukung hak-hak perlindungan anak; (3) peningkatan kapasitas kelembagaan perlindungan anak, antara lain, melalui penyusunan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan anak; peningkatan kapasitas pelaksana perlindungan anak; peningkatan penyediaan data dan informasi perlindungan anak; dan peningkatan koordinasi dan kemitraan antarpemangku kepentingan yang terkait dengan pemenuhan hak-hak anak, baik lokal, nasional, maupun internasional.

Dokumen terkait