• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN ANAK HASIL PERKAWINAN

C. Perlindungan Hukum Bagi Anak Hasil Perkawinan Campuran

Tuanya Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan

Pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang mendasar akibat perceraian dari perkawinan sesama WNI dengan perkawinan campuran, mengingat sesuai dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Anak dari perkawinan campuran memperoleh kewarganegaraan Indonesia, kecuali bagi pasangan perkawinan campuran yang anak-anaknya lahir sebelum Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 berlaku dan anak tersebut belum diajukan untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia.

Dalam suatu perkawinan campuran kembali harus dilihat hukum mana yang mereka sepakati untuk digunakan dengan melihat bagaimana perkawinan tersebut dilangsungkan.

Beberapa asas Hukum Perdata Internasional menyatakan bahwa masalah berakhirnya perkawinan karena perceraian serta akibat-akibat perceraian harus diselesaikan berdasarkan sistem hukum tempat, yaitu :

lex loci celebrationis (hukum yang berlaku atas sebuah perkawinan adalah

hukum tempat dimana perkawinan tersebut dilangsungkan).

domicilie of choice (pemilihan tempat tinggal tetap) setelah perkawinan

tempat diajukannya gugatan perceraian (lex fori)

Putusnya suatu perkawinan campuran karena perceraian yang berada dalam ruang lingkup HPI dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan, yaitu :

1. menyelesaikan perkara berdasarkan lex loci celebrationis, karena ada kemungkinan bahwa hakim belum mengenal kaidah-kaidah hukum locus celebrationis.

2. Menentukan sistem hukum yang berlaku, khususnya bila para pihak tetap mempertahankan kewarganegaraannya masing-masing.

3. Menetapkan tempat kediaman bersama para pihak, karena mungkin saja terjadi bahwa menjelang berakhirnya suatu perkawinan, suami istri tidak lagi hidup di tempat kediaman yang sama.

Tampaknya asas lex loci celebrationis atau asas lex fori merupakan asas yang paling cocok dipergunakan untuk mengatur perceraian serta akibat-akibat perceraian. Jika perceraian terjadi di Indonesia tentu saja hukum yang

mengaturnya adalah sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Ketentuan tersebut berlaku pula dalam perceraian pada mereka yang melakukan perkawinan campuran, sepanjang perceraiannya dilakukan di Indonesia dan melalui prosedur peradilan sebagaimana telah ditentukan. Sepanjang perkawinan dan perceraian itu dilakukan di Indonesia, maka peraturan yang berlaku adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Persoalan menjadi rumut tatkala perceraian itu terjadi antara dua insan yang berbeda kewarganegaraan. Karena di dalam Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama yaitu Undang-Undang No. 62 Tahun 1958, terdapat dua bentuk perkawinan campuran, yaitu :

1. Pria Warga Negara Asing menikah dengan wanita Warga Negara Indonesia. Berdasarkan pasal 8 Undang-Undang No. 62 Tahun 1958, seorang wanita Warga Negara Indonesia yang menikah dengan pria Warga Negara Asing dapat kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan ketarangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan.

2. Wanita Warga Negara Asing menikah dengan pria Warga Negara Indonesia. Indonesia menganut kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan pasal 7 Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 apabila seorang wanita Warga Negara Asing menikah dengan pria Warga Negara Indonesia, ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tetapi pada saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan asalnya.

Oleh karena itu, perbedaan dua bentuk perkawinan campuran ini juga mempengaruhi kewarganegaraan seorang anak yang lahir dari perkawinan campuran.

Akan tetapi dengan lahirnya Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru, yaitu Undang-Undang No. 12 Tahun 2006, perbedaan dari kedua bentuk perkawinan ini tidak menjadi kendala bagi status kewarganegaraan anak, karena Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru ini menganut asas kewarganegaraan ganda terbatas.

Hal ini ditegaskan dalam pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, yang berbunyi :

“Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya berkewarganegaraan Republik Indonesia.”

Bahkan di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 ini pada pasal 25 juga dikatakan bahwa :

(1) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang ayah tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.

(2) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang ibu tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.

(3) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia karena memperoleh kewarganegaraan lain bagi seorang ibu yang putus perkawinannya, tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.

(4) Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tetap memberikan perlindungan hukum bagi anak hasil perkawinan campuran dengan tetap menjamin status kewarganegaraannya, yaitu tetap berkewarganegaraan ganda terbatas sampai dengan berumur 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.

Perlu ditegaskan disini, bahwa Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan tidak mengatur secara tegas di dalam pasal-pasalnya tentang perlindungan hukum bagi anak dengan kewarganegaraan ganda apabila terjadi perceraian oleh kedua orang tuanya.

Hingga saat ini di Indonesia belum ada undang-undang atau peraturan umum yang khusus mengatur tentang pemeliharaan anak (child custody) pada umumnya dan pemeliharaan anak sebagai dampak dari putusnya perkawinan campuran kedua orang tuanya pada khusunya. Ketentuan-ketentuan yang ada masih tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan.

Akibat putusnya perkawinan terhadap anak diatur dalam pasal 41 UUP, yaitu :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusannnya. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya

pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi

kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Berdasarkan ketentuan pasal 41 UUP di atas, dapat dipahami bahwa ada perbedaan tanggung jawab antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat materiil dengan tanggung jawab pengasuhan. Pasal 41 ini lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab materiil yang menjadi tanggung jawab suami atau bekas suami jika ia mampu dan sekiranya ia tidak mampu Pengadilan dapat menentukan lain.

Kedudukan anak dalam perkawinan campuran yang mengalami perceraian juga diatur dalam pasal 29 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu :

(1) Jika terjadi perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesaia dengan Warga Negara Asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

(2) Dalam hal terjadinya perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) , anak berhak memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya;

(3) Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sedangkan anak belum mampu melakukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak tersebut.

Berkaitan dengan kasus Yuni Vs Larry di atas, di mana perkawinan campuran yang dilakukan mereka berdua telah berujung dengan perceraian, Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan tetap memberikan

perlindungan hukum dengan anak dengan berkewarganegaraan ganda seperti Thomas. Hal ini berlaku sampai Thomas berumur 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

D. Cara Pendaftaran Kewarganegaraan Indonesia Bagi Anak Dengan

Dokumen terkait