• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DIBAWAH UMUR

Pada dasarnya setiap orang yang menjadi Warga Negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D (1) dan 28G ayat (1) dan (2), yakni :

Pasal 28D :

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pasal 28G :

(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.

Negara dalam memberikan perlindungan hukum kepada korban perkosaan dibawah umur yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pasal 2 ayat (3) dan (4), sebagai berikut :

(3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

(4) Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.

Penjelasan dari pasal diatas jelas menyatakan dan mendorong perlu adanya perlindungan anak dalam rangka mencapai kesejahteraan anak dan perlakuan yang adli terhadap anak. Agar dapat terwujudnya kesejahteraan anak dalam kegiatan perlindungan anak, maka harus dilakukan secara bersama antara masyarakat dengan pemerintah. Adanya kerjasama dan koordinasi antara partisipasan masyarakat dan pemerintah guna melancarkan kegiatan perlindungan anak yang bertanggungjawab dan bermanfaat bagi para partisipan.

Bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi korban perkosaan di bawah umur dapat dilakukan dengan dua tindakan yaitu preventif dan represif. Berikut bentuk dari perlindungan hukum bagi korban tindak pidana perkosaan di umur :

3.1 Tindakan Preventif

Yaitu tindakan pencegahan dilakukan agar tidak terjadi tindak pidana perkosaan terhadap anak-anak. Tindakan ini terdiri dari internal dan eksternal.

3.1.1 Internal

Perlidungan dari Keluarga

Keluarga merupakan orang-orang terdekat korban yang mempunyai andil besar dalam membantu memberikan perlindungan kepada korban. Hal ini dengan dapat ditunjukkan dengan selalu menghibur korban, tidak mengungkit-ungkit dengan menanyakan peristiwa perkosaan yang telah dialaminya, memberi dorongan dan motivasi bahwa korban tidak boleh terlalu larut dengan masalah yang dihadapinya, memberi keyakinan bahwa

perkosaan yang dialaminya tidak boleh merusak masa depannya, melindungi dia dari cibiran masyarakat yang menilai buruk.37

Hal-hal semacam ini sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh korban, karena pada dasarnya korban perkosaan adalah merupakan korban ganda yang selain mengalami kekerasan fisik secara seksual, ia juga mengalami kekerasan psikis yang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkannya. Hukuman yang telah diterima pelaku dan ganti rugi yang didapatkan oleh korban tidak lantas membuatkondisi kejiwaannya menjadi kembali seperti semula. Jadi keluarga sangat berperan penting dalam rangka membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban sehingga korban juga merasa dilindungi oleh orang-orang terdekat dalam kehidupannya.

3.1.2 Eksternal

Perlindungan Hukum dari Pemerintah

Pemerintah Daerah mengeluarkan ketentuan Peraturan Daerah (yang selanjutnya disebut Perda) Propinsi Jawa Timur Nomor : 9 Tahun 2005 tentang Penyelenggarakan Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan. Perda ini dibuat karena jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jawa Timur masih tinggi dan agar pelayanan dan perlindungan hukum oleh pemerintah di Jawa Timur dapat dilakukan

37

Wawancara dengan Rudy R bagian Staf di LSM Wahana Visi Indonesia, Rabu, 23 Februari 2011, 11.00 WIB

secara optimal. Bentuk kewajiban dan tanggung jawab yang dilakukan oleh Pemerintah Jawa Timur diatur dalam Perda Nomor: 9 Tahun 2005 pasal 6 ayat (2) :

Pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab untuk melaksanakan upaya pencegahan terjadinya kekerasan, dalam bentuk :

a. Mengumpulkan data dan informasi tentang perempuan dan anak korban kekerasan serta peraturan perundangan.

b. Melakukan pendidikan tentang nilai-nilai anti kekerasan terhadap perempuan dan anak.

c. Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.

d. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.

Perlindungan Hukum dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur dalam melakukan tindakan pencegahan kekerasan seksual anak salah satunya adalah bekerjasama dengan Lembaga lainnya yaitu Wahana Visi Indonesia yang beralamat di Jalan Opak 45 Surabaya. Kedua lembaga bekerjasama dengan membuat suatu buku yang berisi tentang informasi-informasi penting bagi anak untuk menghindari kekerasan seksual dan mengajarkan kepada anak tentang teknik-teknik yang bisa digunakan untuk melindungi dirinya dari bahaya kekerasan seksual.

Materi-materi pencegahan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Lembaga perlindungan Anak berisi tentang:

a. Pembekalan Secara Kognitif

Dengan mengenali bagian tubuh pribadi yang harus dilindungi. Media

yang bisa digunakan: media gambar.

Gambar 1 : Contoh Model Media Gambar Untuk Tubuh Anak Laki-laki

Gambar 2 : Contoh Model Media Gambar Untuk Tubuh Anak Perempuan

Sumber : Lembaga Perlindungan Anak

Keterangan :

 Bagian yang diarsir warna hitam merupakan bagian yang harus dilindungi.

 Sebenarnya untuk anak laki-laki, payudara dan punggung juga bisa menjadi area yang sensitif sehingga juga harus dilindungi. Namun, yang diutamakan adalah area yang diarsir dengan warna hitam.  Pada intinya melindungi bagian tubuh yang harus dilindungi

adalah bagian tubuh yang membuat anak tidak nyaman. Tata Laksana Pemberian Meteri ini :

 Setiap anak mendapatkan 2 gambar yaitu gambar laki dan perempuan.

 Tujuan diberikan gambar ini adalah supaya masing-masing anak ,mengerti bagian tubuh mana yang harus dilindungi.

b. Pembekalan Secara Afektif

Mengenali Pola Kekerasan seksual, media yang bisa digunakan : - Panggung Bonek

- Latar Belakang

- Skenario atau cerita yang menggambarkan situasi yang menjurus ke arah kekerasan seksual.

Gambar 3 : Mengenali pola kekerasan seksual dengan menggunakan metode bermain boneka

Sumber : Lembaga Perlindungan Anak

Gambar 4 : Mengenali pola kekerasan seksual dengan bahasanya sendiri

Gambar 5 : Mengenali pola kekerasan seksual dengan bahasanya sendiri melalui Bermain Peran (Role Play)

Sumber : Lembaga Perlindungan Anak

c. Secara Psikomotor

Mengajarkan teknik bela diri sederhana dengan tujuan anak mampu menegenali berbagai situasi yang berbahaya yang menjurus ke arah kekerasan seksual dan tindakan yang harus dilakukan oleh anak kerika menghadapi situasi yang berbahaya.

Gambar 6 : Teknik perlindungan diri jika tangan dipegang pelaku

3.2 Tindakan Represif

Tindakan penanganan terhadap korban perkosaan di bawah umur dilakukan agar si korban dapat pulih dari trauma yang dialaminya. Tindakan ini juga dibagi menjadi internal dan eksternal.

3.2.1 Internal

Perlindungan Hukum dari Pihak Kepolisian

Perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban tindak pidana perkosaan, pertama kali diberikan oleh polisi pada waktu korban melapor. Saat ini Pihak Kepolisian telah membentuk suatu Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang diawaki oleh Polisi Wanita (Polwan) yang terwadahi dalam satu Unit Khusus yang berdiri sendiri untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pada umumnya masyarakat mencibir korban perkosaan dengan menilai bahwa perkosaan yang terjadi adalah kesalahannya sendiri dan korban dianggap sengaja memancing terjadinya perkosaan, selain itu tidak jarang masyarakat menyebut korban perkosaan dengan sebutan wanita nakal dan dianggap membawa aib dalam masyarakat. Ruang Pelayanan Khusus (RPK) adalah sebuah ruang khusus yang tertutup dan nyaman di kesatuan Polri, dimana perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual dapat melaporkan

kasusnya dengan aman kepada Polwan yang empatik, penuh pengertian dan profesional.38

3.2.2 Eksternal

Perlindungan Hukum dari Pemerintah

Pemerintah melalui legislati dan yudikatif memberikan perlindungan hukum dengan suatu kebijakan membentuk perundang- undangan baik dipemerintahan pusat maupun daerah, antara lain:39 Pemerintah pusat mengeluarkan ketentuan Perundang-Undangan Nomor: 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Undang-undang 23 Tahun 2002 pasal 6 disebutkan beberapa bentuk perlindungan hukum bagi korban kekerasan:

a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga.

b. Upaya perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial.

d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

38

Wawancara dengan AKP. Herlina Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di Polrestabes Surabaya, Senin, 21 Maret 2011 , 11.00 WIB

39

Wawancara dengan Abu Thoyib bagian Office Manager di Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur, Senin, 28 Februari 2010, 10.00 WIB

Peraturan Daerah Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2005 tentang Penyelenggarakan Perlindungan Perempuan Dan Anak Korbn Kekerasan pasal 6 ayat (2) :

(2) Untuk mengantisipasi terjadinya tindak kekerasan Pemerintah Propinsi berkewajiban menyediakan layanan bagi korban dalam bentuk ;

a. Mendirikan dan menfasilitasi terselenggarakannya lembaga layanan terpadu dengan melibatkan unsur masyarakat

b. Mendorong kepedulian masyrakat akan pentingnya perlindungan terhadap korban

Dalam terwujudnya keterpaduan layanan yang memberikan perlindungan kepada korban kekerasan perempuan dan anak, Pemerintah Propinsi Jawa Timur membentuk suatu lembaga yang bersifat sosial yaitu Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) yang berlokasi di Rumah Sakit Bhayangkara Jalan Ahmad Yani 116 Surabaya. Bentuk-bentuk pelayanan yang diselenggarakan oleh Pusat Pelayanan Terpadu diatur dalam pasal 9 ayat (1) Perda 9 Tahun 2005 :40

Pasal 9

(1) Bentuk-bentuk pelayanan terhadap korban yang diselenggarakan oleh Pelayanan Terpadu meliputi :

a. Pelayanan medis, berupa perawatan dan pemulihan luka-luka fisik yang bertujuan untuk pemulihan kondisi fisik korban yang dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis.

b. pelayanan medicolegal adalah satu bentuk layanan medis untuk kepentingan pembuktian di bidang hukum.

c. Pelayanan psikososial merupakan pelayanan yang diberikan oleh pendamping dalam rangka memulihkan kondisi traumatis korban, termasuk penyediaan rumah aman untuk melindungi korban dari berbagai ancaman dan intimidasi bagi korban dan memberikan dukungan secara sosial sehingga korban 40

mempunyai rasa percaya diri, kekuatan, dan kemandirian dalam menyelesaikan masalahnya.

d. Pelayanan hukum untuk membantu korban dalam menjalani proses peradilan.

e. Pelayanan kemandirian ekonomi berupa layanan untuk pelatihan ketrampilan dan memberikan akses ekonomi agar korban dapat mandiri.

Selama ini bentuk-bentuk pelayanan yang dilakukan oleh PPT sudah berjalan dengan baik, namun masih ada bentuk pelayanan yang masih kurang dalam pelaksanaannya yaitu bentuk pelayanan yang terakhir (pelayanan kemandirian ekonomi berupa layanan untuk kemandirian ketrampilan dan memberikan akses ekonomi agar korban dapat mandiri). Pelakasanaan tersebut terhambat disebabkan oleh masih minimnya dana dari pemerintah terhadap lembaga-lembaga yang terkait dengan perlidungan anak.

Perlindungan Hukum dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Masyarakat

Bentuk pelaksanaan LSM dalam menanggulangi kekerasan terhadap anak dan perempuan dilakukan dengan :

1.Salin tukar informasi dengan LSM yang lainnya unutk membahas perkembangan kasus kekerasan terhadap anak

2.Bekerjasama dengan instansi pemerintah untuk melakukan sosialisasi Undang-undang 39 Tahun 1999 tentang HAM dan dan Undang-undang 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

52

3.Mendorong atau menyelenggarakan pelatihan, lokalatih, lokakarya khusus bagi Aparat Penegak Hukum dalam menangani korban perkosaan dan pencabulan terhadap anak, dilakukan agar Aparat Penegak Hukum meningkat, sehingga anak tidak menjadi korbak kedua kalinya. 4.Selalu berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk terciptanya Perda

Perlindungan Anak, alokasi anggaran untuk penanganan korban perkosaan.

Selama ini Lembaga Perlindungan Anak di Jawa Timur sudah melakukan koordinasi dengan Pihak Kepolisian di Polrestabes Surabaya untuk bekerjasama dalam melakukan sosialisai Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dilakukan agar masyarakat juga mengerti bagaimana proses hukum dalam perlindungan anak. Disamping itu LPA juga sudah berkoordinasi dengan LSM lainnya yaitu Wahana Visi Indonesia untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk saling bertukar informasi dan membuat suatu program materi-materi perlindungan anak yang dalam bentuk buku untuk siswa-siswi.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Tindak pidana perkosaan membutuhkan suatu alat bukti yang utama, alat bukti itu adalah visum et repertum. Pada tahap penyidikan dimana pada tahapan ini mempunyai peranan penting untuk menentukan suatu perkara itu dapat atau tidaknya dilanjutkan ke proses selanjutnya yaitu proses peradilan. Maka dari itu pembuktian dari visum et repertum sangat diperlukan dalam tahap penyidikan dan diharuskan adanya alat bukti visum, karena jika tidak dilakukan visum maka perkara tersebut tidak dapat dilakukan ke proses penyidikan dan persidangan. Bila perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan ke proses persidangan maka perkara itu dianggap selesai dan tidak ada.

2. Perlidungan hukum terhadap korban perkosaan dibawah umur tidak hanya dilakukan oleh keluarga, tetapi perlu melibatkan seluruh instansi lainnya dan semua unsur masyrakat.

4.2 Saran

1. Pihak Kepilisian selaku aparat penyidik dan penyelidik harus berusaha mencari mencari alat bukti lain selain visum et repertum dalam tindak pidana perkosaan, dilakukan agar pihak penyidik tidak hanya berpedoman pada alat

54

butki visum saja dengan alat-alat bukti lainnya sehingga perkara-perkara perkosaan bisa selalu dilanjutkan ke proses persidangan.

2. Perlindungan hukum terhadap korban perkosaan dilakukan dengan selalu memberiksan sosialisasi-sosialisasi secara bertahap dan berkelanjutan melalui pendekatan sacara informal, agar korban tidak menjadi pelaku dan harus bisa menimbulkan rasa yang aman bagi korban tindak pidana perkosaaan dibawah umur.

DAFTAR PUSATAKA

Buku :

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian 1, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Arif Gosita, Relevansi Viktimologidengan Pelayanan Terhadap Para Korban

Perkosaan, Jakarta, Ind. Hill, Co, 1987.

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak cetakan kedua , Akademika Pressindo, Jakarta, 1989.

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju, 2008

Djoko Prakoso, Alat Bukti Dan Kekuatan Pembutkian di Dalam Proses Pidana, Liberty,Yogyakarta, 1988.

Ibrahim Jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : PT. Bayu Media Publishing, 2010.

Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana, Jakarta, 1975. Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Jakarta,

Sinar Gragfika,2004

Mertokusumo Sudikno, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta, 1988

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi kedua., Jakarta, 2008.

R.Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman Edisi Kedua, Tarsito, Bandung, 1983.

R.Subekti, Hukum Pembuktian , Pradnya Paramita, Jakarta, 1985

R.Sugandi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya, Surabaya, Usaha Nasional, 1980.

Suparman Marzuki, Pelecehan Seksual, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1995

Y.A. Triana Ohoiwutun, Profesi Dokter dan Visum Et Repertum (Penegakan Hukum

dan Permasalahannya) , Penerbit Dioma, Malang, 2006

Zainuddin Ali , Metode Penelitian Hukum, cetakan pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2009

Peraturan perundang-undangan :

Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana, Politeia, Bogor, 1997

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1996

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1978 Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Visi Media, Yogyakarta, 2008

Undang-undang No.04 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Media Centre, Surabaya, 2006

Undang-undang No.03 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Media Centre, Surabaya, 2006

Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Media Centre, Surabaya, 2006

Undang-undang No 1 Ttahun 1974 tentang Perkawian, Pradnya Paramita, Jakarta Pusat, 1983

Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2005 tentang Penyelenggarakan Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan

57

Lain-lain :

DC Marbun , Handout Hukum Pidana. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, 10 Februari 2009

Subroto Suwiryo, Handout Ilmu Kedokteran Kehakiman, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, 3 Nopember 2009

Hariyo Sulistiyantoro , Handout Hukum Perlindungan Anak, Universitas Pembangunan Nasional Jawa Timur, 27 Desember 2009

Kamus Hukum, Bandung, Citra Umbara, 2008

Wawancara dengan Bapak Thoyib bagian Office Manager di Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur, Senin, 28 Februari 2010, 10.00 WIB

Wawancara dengan Bapak Rudy bagian Staf di LSM Wahana Visi Indonesia, Rabu, 23 Februari 2011, 11.00 WIB

Wawancara dengan AKP. Herlina Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di Polrestabes Surabaya, Senin, 21 Maret 2011 , 11.00 WIB

Dokumen terkait