• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan dan Pengembangan UMKM Sebagai Upaya Pengendalian Pencemaran wilayah Pesisir dan Laut

Dalam dokumen Jurnal HLI Vol. 3 Issue 1 Juli 2016 (Halaman 51-65)

DAFTAR PUSTAKA

II. Pembahasan 1. UMKM Perikanan

3. Perlindungan dan Pengembangan UMKM Sebagai Upaya Pengendalian Pencemaran wilayah Pesisir dan Laut

Menurut Daud Silalahi, keberadaan hukum lingkungan yang merupakan kumpulan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip hukum yang diberlakukan untuk tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.25 Demikian

25 Daud Silalahi, Hukum Lingkungan (Dalam Penegakan hukum Lingkungan), (Bandung: Alumni, 1996), hlm. 9

pula Moestadji, bahwa peran hukum lingkungan secara garis besar adalah mengendalikan perilaku manusia untuk tidak melakukan tindakan yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan berkurangnya sumber daya alam.26 Dalam konteks pengendalian pencemaran limbah UPI, pengusaha UPI baik usaha besar maupun UMKM mempunyai kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (1)UUPPLH, usaha yang tidak termasuk dalam kriteria berdampak penting berkewajiban memiliki UKL-UPL. Sedangkan usaha yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (Pasal 35 ayat 1). Kedua hal tersebut dikecualikan untuk kegiatan usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur Pasal 35 ayat (2) huruf (b). Meskipun usaha mikro dan kecil tidak wajib memiliki UKL-UPL dan membuat surat pernyataan, tidak terlepas dari kewajiban untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Kewajiban tersebut tertera pada Pasal 67, Pasal 68 huruf (b) dan (c); Pasal 69 ayat (1) huruf (a).

Kewajiban-kewajiban tersebut pada dasarnya sebagai konsekuensi dan penghormatan terhadap adanya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang menjadi bagian dari hak asasi manusia. Hak tersebut adalah hak subyektif dan hak konstitusional setiap orang sebagaimana diatur Pasal 28H UUD NRI 1945. Walaupun demikian tidak hanya ditujukan terhadap hak asasi manusia tetapi juga hak asasi alam dan seluruh kehidupan. Menurut Aldo Leopold dan penganut teori etika lingkungan biosentrisme dan ekosentrisme, hak asasi tidak hanya dimiliki oleh manusia sebagai spesies khusus, melainkan oleh semua makhluk hidup di dalam komunitas biotis atau ekologis.27 Oleh karena itu melaksanakan kewajiban-kewajiban hukum lingkungan tidak hanya untuk kepentingan manusia, tetapi juga kepentingan lingkungan dan sumber daya alam yang mendukung seluruh kehidupan.

26 Moestadji, “Peranan Hukum Dalam Mewujudkan Konsep Pembangunan Berkelanjutan”, Jakarta: ICEL, Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun I Nomor 1 Tahun 1994, hlm. 26.

27 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Cetakan 1. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), Hlm. 105.

Bagi UMKM UPI melaksanakan kewajiban menjaga dan memelihara kelestarian dan daya dukung lingkungan, pada dasarnya akan berpulang pada keberlanjutan usahanya. Tetapi hal tersebut belum disadari dan dipahami oleh pelaku UMKM karena berbagai faktor terutama kelemahan-kelemahan yang melekat pada UMKM baik secara internal maupun faktor eksternal. Ketidakmampuan UMKM untuk berkembang dan keluar dari kemiskinan, menjadi salah satu penyebab UMKM UPI belum dapat berperan dalam pengendalian pencemaran lingkungan baik yang disebabkan oleh usahanya maupun yang ada disekitarnya. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk memberikan perlindungan dan mengembangkan UMKM di bidang perikanan. Hal tersebut dapat dilakukan oleh berbagai pihak baik pemerintah, dunia usaha dan masyarakat sebagaimana diatur pada Pasal 7 Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa UMKM perikanan tidak memiliki legalitas usaha baik secara institusional maupun operasional. Oleh sebab itu untuk memberikan perlindungan dan mengembangkan UMKM perlu dilakukan penguatan kelembagaan. Upaya tersebut telah dilakukan terhadap pelaku usaha pengolah ikan di lokasi penelitian melalui kegiatan pengabdian masyarakat. Pengolah ikan yang tergabung dalam kelompok Usaha Bersama ‘Ceria’ di Kelurahan Sumber Jaya – Kecamatan Kampung Melayu Kota Bengkulu, secara kelembagaan telah ditingkatkan statusnya menjadi badan hukum Koperasi “ASINTA”.28 Dalam wadah Koperasi selain memiliki legalitas usaha, sebagai anggota koperasi akan dapat mengembangkan diri sebagai pelaku usaha maupun usahanya. Hal tersebut dimungkinkan karena koperasi pada dasarnya merupakan lembaga ekonomi sekaligus lembaga pendidikan. Menurut Mohammad Hatta, berbagai didikan Koperasi di dalam praktik, untuk membentuk moril yang kuat dan moral yang tinggi di dalam dada manusia. Koperasi mendidik manusia sosial dengan mempunyaitanggungjawab sosial terhadap masyarakat. Sebab itu pula koperasi yang mengemukakan kesejahteraan bersama, menjadi pendorong kearah pelaksanaan keadilan sosial.29 Demikian pula Emil Salim (1998) mengatakan,

28 Nur Sulistyo B Ambarini, “Penguatan Kelembagaan Usaha Mikro Kecil Bidang Perikanan Pada Masyarakat Pesisir di Kota Bengkulu”, (Bengkulu: Univeritas Bengkulu, 2014), Laporan Akhir Program IPTEK Bagi Masyarakat (IbM), 2014, hlm. 27.

bahwa koperasi mempunyai makna sebagai lima pokok wahana yaitu ekonomi, pengembangan manusia (pendidikan), pendemokrasian rakyat, penyeimbang BUMN dan Swasta, serta penghayatan ideologi Pancasila. Koperasi dapat berusaha secara efektif sebagai ‘agent’ perubahan ekonomi dan sosial secara evolusioner. Perubahan sosial mencakup perubahan mentalitas manusia yang terlibat dalam proses yang bersangkutan.30

Secara ekonomi dalam wadah koperasi, pelaku UMKM perikanan dapat mengaktualisasikan kepentingan-kepentingan ekonomi, menjalin kerjasama antar anggota koperasi maupun pihak lain secara seimbang. Selain itu dapat melakukan pembelajaran bersama berdasarkan prinsip-prinsip koperasi terkait dengan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dalam wadah koperasi melalui proses pendidikan dapat ditransformasikan konsep ADS (Atur Diri Sendiri) kepada pelaku UMKM sebagai anggota koperasi. Konsep ADS merupakan pendekatan alternatif dalam sistem pengelolaan lingkungan, yang mempunyai makna bahwa tanggungjawab menjaga kepatuhan dan penegakan hukum lebih banyak ditanggung oleh masyarakat. Pendekatan ini dipelopori dunia usaha, yang memberikan kebebasan untuk mengatur diri sendiri dengan mengembangkan praktik pengelolaan lingkungan yang bersifat sukarela.31

Dengan menerapkan konsep ADS pelaku UMKM dapat mengubah pandangan tentang lingkungan hidup sebagai faktor eksternal menjadi faktor internal dalam kegiatan bisnis. Dengan mengatur diri sendiri dapat mengembangkan strategi bisnis yang terintegrasi dengan lingkungan hidup. Sebagaimana dikemukakan Otto Sumarwoto, dengan berlandaskan konsep ADS, UMKM yang faktanya memiliki modal terbatas dapat dikembangkan dan dimotivasi untuk dapat berperan mendukung pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan.32 Demikian halnya UMKM perikanan yang menjadi anggota koperasi yang berbadan hukum, dengan menerapkan konsep ADS dalam kegiatan usahanya selain secara ekonomi dapat mengembangkan usahanya juga dapat berperan dalam mengendalikan

Cetakan. 1 (Jakarta:Pusat Koperasi Pegawai negeri, 1971; diterbitkan kembali Penerbit Buku Kompas, 2015), hlm. 217

30 Titik Kartika Pratomo; Abdul Rahman Soejono, Ekonomi Skala Kecil/Menengah dan Koperasi,

Cetakan 1 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 123. 31 Otto Sumarwoto, Op.Cit, hlm. 108

pencemaran di wilayah pesisir dan laut disekitarnya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan konsep reuse, recovery, dan recycle. Misalnya mengolahlimbah padat maupun cair menjadi produk samping yang mempunyai nilai ekonomi seperti tepung ikan, petis, pupuk dan sebagainya ke lingkungan di sekitarnya.

Penerapan konsep ADS tersebut dapat dilakukan dengan berlandaskan pada aturan-aturan lokal yang berlaku bagi masyarakat pesisir di lokasi penelitian. Aturan lokal tersebut antara lain tidak diperbolehkan menangkap ikan yang masih kecil dan menggunakan racun/potas di perairan sungai, pantai maupun laut.33 Namun kepatuhan terhadap aturan lokal tersebut telah berkurang karena penggunaan alat tangkap seperti jaring trawl, pukat harimau, pukat udang (shrimp net), bahan peledak dan lain-lain. Oleh karena itu dengan konsep ADS melalui usaha bersama (UB) pengolah ikan tidak membuang limbah padat atau cair sembarangan, melainkan mengolah kembali menjadi produk samping yang memiliki nilai ekonomis.

Di wilayah pesisir Propinsi Bengkulu ditemukan sebagian besar ditemukan produk pangan olahan yang terbuat dari bahan baku utama perikanan (62,86%) baik laut maupun air tawar.34 Hasil perikanan tangkap dan ikan bandeng merupakan komoditi unggulan sumberdaya pesisir kota Bengkulu yang berdaya saing baik. Oleh karena itu perlu dikembangkan untuk memunculkan keunggulan kompetitif,

efisien, dan berwawasan lingkungan serta bertumpu pada sumberdaya lokal agar

terwujud sistem yang berkelanjutan.35 Tetapi hal ini perlu mendapat dukungan pemerintah daerah berupa regulasi untuk memberdayakandan mengembangkan aturan-aturan lokal yang relevan. Selain itu juga pembinaan, pendampingan secara berkelanjutan dari berbagai pihak, baik pemerintah, dunia usaha, masyarakat termasuk perguruan tinggi.

33 Nur Sulistyo B Ambarini, Pemberdayaan Hukum Lokal Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut di Daerah”, Supremasi Hukum Vol. 12, No. 2, ISSN: 1693-766X, Agustus 2007, hlm. 81-91.

34 Wuri Marsigit, “Pengembangan Diversifikasi Produk Pangan Olahan Lokal Bengkulu

Untuk Menunjang Ketahanan Pangan berkelanjutan”, AGRITECH, Vol.30, No. 4 Nopember 2010, hlm 256-264.

35 Bonodikun; Putri Suci Astriani; Ellys Yuliarti “ kajian Agoridustri Unggulan Wilayah Pesisir Kota Bengkulu”, AGRISEP Vol. 14 No. 1. ISSN: 1412-8837, Maret 2015, hlm. 79-84

III. Simpulan dan Rekomendasi

Seperti halnya UMKM pada umumnya, UMKM perikanan memiliki berbagai keterbatasan dalam menjalankan usahanya. Jumlahnya yang banyak mempunyai peranan penting dalam perekomian nasional sebagai sumber pangan terutama sumber protein. Di sisi lain aktivitasnya juga memiliki potensi menimbulkan pencemaran di wilayah pesisir dan laut. Walaupun demikian dapat juga berperan mengendalikan pencemaran di wilayah pesisir dan laut. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan perlindungan hukum dan mengembangkan UMKM di bidang perikanan. Perlindungan hukum dapat diberikan melalui penguatan kelembagaan UMKM untuk memperoleh legalitas usaha. Hal tersebut dapat diupayakan dengan meningkatkan status hukum UMKM yaitu dengan menghimpun dalam wadah badan hukum koperasi. Dalam wadah Koperasi, UMKM perikanan dapat mengaktualisasikan kepentingan-kepentingan ekonomi, sekaligus mendapatkan pendidikan dan pembelajaran hal-hal terkait ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Dalam hal ini dengan mentranformasikan konsep ADS agar UMKM dapat mengintegrasikan strategi bisnis dan lingkungan. Dengan demikian UMKM perikanan akan dapat berperan dalam mengendalikan pencemaran di wilayah pesisir dan laut.

Rekomendasi yang dapat diberikan berdasarkan paparan sebelumnya antara lain adalah:

1. Perlu ada kebijakan Pemerintah Daerah yang dapat memberikan perlindungan hukum dalam pembinaan dan pengembangan UMKM khususnya di bidang perikanan.

2. Perlu adanya program pemerintah untuk melakukan penguatan kelembagaan UMKM dan revitalisasi fungsi Koperasi Perikanan yang ada.

3. Perlu adanya pembinaan dan pendampingan dari berbagai pihak baik Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat termasuk Perguruan Tinggi secara berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Chaidir. 2005. Badan Usaha. Edisi 1, Cetakan 3. Bandung: Penerbit Alumni.

Ambarini, Nur Sulistyo B. 2007. “Pemberdayaan Hukum Lokal Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut di Daerah”. Supremasi Hukum Vol. 12, No. 2, ISSN: 1693-766X, Agustus.

Ambarini, Nur Sulistyo B. 2012. “Perlindungan Hukum UMKM di Bidang Perikanan Dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan”, Semarang: PDIH Universitas Diponegoro, 2012). Disertasi (tidak dipublikasikan).

Ambarini, Nur Sulistyo B. 2014. “Penguatan Kelembagaan Usaha Mikro Kecil Bidang Perikanan Pada Masyarakat Pesisir di Kota Bengkulu”, (Bengkulu: Univeritas Bengkulu, 2014). Laporan Akhir Program IPTEK Bagi Masyarakat (IbM).

Ambarini, Nur Sulistyo B, dkk. 2015. “ Pengembangan Model Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Pelaku Usaha Perikanan Skala Mikro dan Kecil Dalam Upaya Meningkatkan Daya Saing Produk”, Bengkulu: Universitas Bengkulu, 2015,Laporan Penelitian Hibah Strategi Nasional (STRANAS)- tidak dipublikasikan.

Bonodikun; Putri Suci Astriani; Ellys Yuliarti. 2015. “Kajian Agoridustri Unggulan Wilayah Pesisir Kota Bengkulu”, AGRISEP Vol. 14 No. 1. ISSN: 1412-8837. 2015.

Boyke LW, 2014. “5.000 nelayan di Bengkulu dikategorikan miskin”, http:// www.antarabengkulu.com/berita/24162/5000-nelayan-di-bengkulu-dikategorikan-miskin, 7 Mei 2014

Dahuri, Rohmin. 2003. “Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis kelautan”. Orasi Ilmiah Guru Besar tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

Dua, Mikhael. 2008. Filsafat Eknomi, Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama, Cetakan 1. Jogyakarta: Kanisius.

Erani Yustika, Ahmad. 2002. Pembangunan dan Krisis (Memetakan Perekonomian Indonseia). Cetakan 1. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo) Fauzi, Ahmad. 2010. Ekonomi Perikanan, Teori, Kebijakan dan Pengeloaan. Cetakan 1.

Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Hartono, Sri Redjeki. 2007. Hukum Ekonomi Indonesia. Cetakan 2. Malang : Bayumedia Publishing.

Hatta, Mohammad. 2015. Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun, Gagasan & Pemikiran. Jakarta: Pusat Koperasi Pegawai negeri, 1971; diterbitkan kembali Penerbit Buku Kompas, Cetakan. 1.

http://unitpengolahanikan.com/tentang/ , tanggal 12 April 2016.

Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah.

Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tenatng Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Indonesia, Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.U Indonesia, Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian

Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Cetakan 1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Kiara. 2016. “Menghadirkan Negara untuk Melindungi dan Menyejahterakan Nelayan”, diunduh tanggal 12 April 2016 dari http://www.kiara.or.id/temu-akbar-nelayan-indonesia-2015/

Komarudin, Ade. 2014. Politik Hukum Integratif UMKM. Cetaka 1. Jakarta: Penerbit RMBOOKS

Kotler, Philip; Armstrong, Gery. 2001. Prinsip-Prinsip Pemasaran. Jilid 1. Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga.

Lumbanraja, Prihatin. 2011. “Bersama UKM Membangun Ekonomi Rakyat Dan Lingkungan Hidup”, Jurnal Ekonomi, Volume 14, No 2, April 2011.

Marsigit, Wuri. 2010. “Pengembangan Diversifikasi Produk Pangan Olahan Lokal

Bengkulu Untuk Menunjang Ketahanan Pangan berkelanjutan”, AGRITECH, Vol.30, No. 4 Nopember 2010.

Moestadji. 1994. “Peranan Hukum Dalam Mewujudkan Konsep Pembangunan Berkelanjutan”. Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun I Nomor 1 Tahun 1994. Jakarta: ICEL

Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Cetakan 1. Jakarta: PT. Pratnya Paramita.

Oktary, Rini; Aris Baso; Andi Adri Arief. 2016.” Produksi Dan Pemasaran Perikanan Tangkap Unit Penangkapan Purse Seine Di Kecamatan Galesong Utara, KabupatenTakalar”, diakses tanggal 15 April 2016 melalui http://pasca.

unhas.ac.id/jurnal/files/e1f1268d5d32180a9c8f8ebec10fb544.pdf

Pratomo, Titik Kartika ; Abdul Rahman Soejono. 2002. Ekonomi Skala Kecil/Menengah dan Koperasi. Cetakan 1. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Rastuti, Tuti. 2015. Seluk Beluk Perusahaan dan Hukum Perusahaan. Cetakan 1.

Bandung: Refika Aditama.

Shoimah, Hidayatus; Hartuti Purnaweni; Bambang Yulianto. 2013. “Pengelolaan Lingkungan di Sentra Pengasapan Ikan Desa Wonosari Kecamatan Bonang Kabupaten Demak”, Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013, ISBN 978-602-17001-1-2, hlm. 567.

Silalahi, Daud. 1996. Hukum Lingkungan (Dalam Penegakan hukum Lingkungan), Bandung: Alumni.

Soemarwoto, Otto. 2001. .Atur Diri Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidusp. Cetakan 2. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

t

anggung

r

enteng dalam

P

erkara

P

erdata

P

encemaran

u

dara dari

k

ebakaran

H

utan dan

l

aHan

Fajri Fadhillah1

Abstrak

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Indonesia selain menimbulkan kerusakan lingkungan hidup juga menimbulkan pencemaran udara. Kerugian atas terjadinya pencemaran udara dari karhutla sangat besar, meliputi berbagai bidang seperti kesehatan dan pendidikan. Namun belum pernah ada gugatan ke pengadilan terhadap pelaku pencemaran udara dari karhutla tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan korban pencemaran udara dari karhutla menuntut ganti rugi secara perdata terhadap beberapa pelaku pencemaran udara dari karhutla. Tulisan ini menggunakan metode penulisan yuridis normatif berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagai bahan hukum primer. Tulisan ini juga bersumber pada teori dari literatur-literatur hukum dan informasi dari internet yang menjadi bahan hukum sekunder. Tulisan ini menunjukan bahwa gugatan perdata terhadap beberapa pelaku pencemaran udara dari karhutla dapat dilakukan. Gugatan tersebut dapat dilakukan dalam bentuk gugatan tanggung renteng (joint and several liability). Selain itu, pertanggungjawaban mutlak dan asas kehati-hatian dapat menjawab tantangan pembuktian kausalitas dalam gugatan ini.

1 Penulis kini bekerja sebagai asisten peneliti di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). ICEL beralamat di Jalan Dempo II No. 21, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12120. Penulis memiliki perhatian khusus pada bidang studi hukum pencemaran lingkungan. Penulis memperoleh gelar sarjana hukum dari Universitas Indonesia pada Februari 2015.

Kata kunci: pencemaran udara, kebakaran hutan dan lahan, tanggung renteng, kausalitas

Abstract

Forest and land fires phenomena in Indonesia inflicted to air pollution besides the environmental harm. Injuries stemmed from the forest fires air pollution was somewhat huge, comprise to various sectors such as health and education. Unfortunately, there is no legal action alleging the air pollution tortfeasors from forest and land fires to the court until now. This article aims to see any possibilities that air pollution from land and forest fires victims could file a lawsuit against multiple tortfeasors. This article employed a normative study based on the enacted law in Indonesia as a primary source. This article also based on theories from kinds of law literature and information from the internet as a secondary source. This article shows that there is a possibility to file a civil lawsuit against multiple tortfeasors who causing an air pollution from land and forest fires. The civil lawsuit could be conducted in a joint and several liability formulation. Furthermore, strict liability and precautionary principle could answer the challenge arising from causation aspect in this particular case.

Keywords: air pollution, forest and land fires, joint and several liability, causation

I. Pendahuluan

Kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan/atau lahan (karhutla) di Indonesia pada tahun 2015 menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah. Kerugian ekonomi akibat karhutla pada tahun tersebut mencapai angka 221 triliun rupiah.2 Bahkan kerugian sebesar 221 triliun rupiah tersebut belum termasuk hitungan kerugian dari dampak terhadap kesehatan dan pendidikan.3 Angka 221 triliun rupiah tersebut lebih besar dua kali lipat dibandingkan dengan kerugian ekonomi akibat bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 silam.4

Lebih mengerucut lagi, dampak karhutla terhadap kesehatan publik juga

2 “Longsor Paling Mematikan”, Kompas, 19 Desember 2015. 3 Ibid.

tak kalah mencengangkan. Sebanyak 24 orang meninggal dan lebih dari 600.000 jiwa menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) akibat terjadinya karhutla.5 Angka mengenai jumlah korban tersebut menjadi hal yang tidak mengherankan jika melihat fakta berikut ini: pada periode bulan September sampai Oktober 2015, masyarakat di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat menjalani kehidupan sehari-hari dengan kualitas udara yang sangat berbahaya.6

Dampak pencemaran udara dari karhutla yang dirasakan oleh sekian banyak orang tersebut terjadi tentu bukan tanpa sebab. Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), terdapat sekitar 423 perusahaan diduga terlibat langsung dalam karhutla di tahun 2015.7 Hasil investigasi yang dilakukan Eyes on the Forest di Provinsi Riau dalam kurun waktu Oktober sampai November 2015, menunjukan bahwa terdapat 38 perusahaan yang konsesinya terbakar.8

Kerugian di bidang kesehatan yang timbul karena pencemaran udara dari karhutla sudah terlihat nyata dan juga cukup meyakinkan: menderita sakit ISPA bahkan hingga kematian.9 Indikator yang menentukan bahwa telah terjadi

5 Ibid.

6 Pada periode waktu September sampai Oktober 2015, Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) di kelima Provinsi tersebut berada di atas angka 400. ISPU Provinsi Kalimantan Tengah bahkan mencapai angka 1.987 pada bulan September dan 2.230 pada bulan Oktober. Lihat dalam: Pusdatin Kementerian Kesehatan RI, “Masalah Kesehatan Akibat Kabut Asap Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2015”, http://www.depkes.go.id/resources/ download/pusdatin/infodatin/infodatin-asap.pdf, diakses tanggal 16 Maret 2016. 7 “Ratusan Perusahaan Diduga Terlibat Pembakaran Hutan”, http://nasional.republika.

co.id/berita/nasional/umum/16/01/22/o1cgje361-ratusan-perusahaan-diduga-terlibat-pembakaran-hutan, diakses tanggal 21 Maret 2016.

8 Eyes on the Forest, “Terlibat Kejahatan Kemanusiaan, Para Pelaku Layak Diseret ke Pengadilan”, http://eyesontheforest.or.id/attach/Laporan%20Ringkas%20EoF%20 (Dec2015)%20Pembakaran%20hutan%20lahan%20di%2037%20lokasi%20Riau%20 FINAL2.pdf, diakses tanggal 21 Maret 2016.

9 Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, memberikan keterangan bahwa ada 10 korban tewas akibat kabut asap di Sumatera dan Kalimantan, baik lewat dampak langsung maupun tidak langsung. Menurut Sutopo Purwo Nugroho, korban tewas akibat dampak langsung kebakaran hutan dan lahan contohnya adalah korban yang meninggal saat memadamkan api lalu ikut terbakar. Sedangkan korban yang tewas akibat dampak tidak langsung adalah korban yang sakit akibat asap, atau yang sudah punya riwayat sakit lalu adanya asap memperparah sakitnya. Lihat dalam: bbc.com, “Asap Kebakaran Hutan Sampai Jakarta,

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151024_indonesia_jakarta_ kabutasap, diakses pada tanggal 21 Juni 2016.

pencemaran udara akibat asap dari karhutla pun tersedia. Selain itu, informasi mengenai para pihak yang diduga sebagai penyebab terjadinya pencemaran udara dari karhutla pun sudah cukup diketahui. Dengan fakta dan informasi tersebut, ternyata tidak pernah ada gugatan atas dasar pencemaran udara dari karhutla untuk memperoleh kompensasi atas kerugian yang dialami.

Penegakan hukum terhadap peristiwa karhutla dapat dilakukan melalui tiga jalur, yakni melalui jalur pidana, perdata, dan administrasi. Di antara ketiga jalur tersebut, jalur pidana menjadi jalur yang sering digunakan oleh pemerintah dalam penegakan hukum karhutla.10 Sementara untuk penegakan hukum perdata dalam kasus karhutla, terdapat beberapa putusan pengadilan yang sudah dihasilkan.11 Putusan pengadilan dalam perkara perdata karhutla yang dianggap berhasil adalah putusan Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh No. 12/PDT.G/2012/PN.MBO12 antara Menteri LHK (Penggugat) melawan PT. Kallista Alam (Tergugat). Gugatan perdata dalam kasus karhutla tersebut merupakan hal yang patut diapresiasi namun sayangnya gugatan ini hanya menyentuh kerusakan lahan yang ditimbulkan

10 Andri G. Wibisana, “Menggugat Kebakaran Hutan”, Kompas, Rabu 07 Oktober 2015. Dalam opini tersebut, Andri menyatakan bahwa Polri telah menetapkan 140 tersangka dalam kasus karhutla di tahun 2015.

11 Putusan pengadilan yang sudah dihasilkan dalam perkara perdata karhutla, yakni:

Putusan PN Meulaboh No. 12.PDT.G/2012/PN.MBO antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK) vs PT. Kallista Alam;

Putusan PN Jakarta Selatan No. 700/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel. antara Menteri LHK vs PT. Surya Panen Subur. Dalam perkara ini Majelis Hakim menolak seluruh gugatan

Dalam dokumen Jurnal HLI Vol. 3 Issue 1 Juli 2016 (Halaman 51-65)