• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlunya Sistem Pelapisan Sosial Dalam Masyarakat

KELEMBAGAAN SOSIAL

G. Peranan Lembaga Sosial

8. Perlunya Sistem Pelapisan Sosial Dalam Masyarakat

Manusia pada umumnya bercita-citakan agar ada perbedaaan kedudukan danperanan dalam masyarakat, akantetapi cita-cita itu akan selalu terbentur dengan suatu kenyataan yag berlainan. Setiap masyarakat harus menempatkan individu-individu pada tempat-tempat tertentu dalam struktur sosial dan mendorong mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai akibat penempatan tersebut. Dengan demikian, masyarakat menghadapi dua persoalan, yaitu masalah penempatan individu-individu dan mendorong mereka agar melaksanakan kewajibannya.

Apabila misalnya semua kewajiban tersebut selalu sesuai dengan keinginan-keinginan si individu-individu, sesuai dengan kemampuan-kemampuan individu-individu tersbut dan seterusnya makapersoalannya tidak akan terlalu sulit untuk dilaksanakan. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian, kedudukan-kedudukan dan peranan-peranan tertentu sering memerlukan kemampuannya dan latihan-latihan tertentu, dan pentinganya kedudukan-kedudukan dan peranan-peranan tersebut juga tidak selalu sama. Maka tidak akan dapat dihindarkan lagi bahwa masyarakat harus menyediakan beberapa macam sistem pembalasan jasa sebagai pendorong agar si individu mau melaksanakan kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan posisinya dalam masyarakat.

Balas jasa tersebut dapat berupa insentif di bidang ekonomi, estetis atau mungkin juga secara perlambang dan yang paling penting adalah bahwa individu-individu tersebut mendapatkan hak-hak, yang merupakan himpunan kewenangan-kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan atau untuk tidak berbuat sesuatu. Sering pula ditemukan hak-hak yang secara tidak langsung berhubungan dengan kedudukan dan peranan seseorang, akan tetapi hak-hak tersebut sedikit banyaknya merupakan pendorong bagi si individu.Hak-hak tersebut di lain fihak juga mendorong individu-individu untuk memperoleh kedudukan-kedudukan dan peranan-peranan tertentu dalam masyarakat.

Dengan demikian, maka mau tidak mau ada sistem berlapis-lapis dalam masyarakat, oleh karena gejala tersebut sekaligus memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat yaitu penempatan individu dalam tempat-tempat yangtersedia dalam dalamstruktursosial dan

mendorong agar melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kedudukan dan peranannya.

Pengisisan tempat-tempat tersebut, merupakan daya pendorong agar masyarakat bergerak sesuai adengan fungsinya. Akan tetapi wujudnya dalam setiap masyarakat juga berlainan, karena hal itu tergantung pada bentuk dan kebutuhan masing-masing masyarakat. Jelas bahwa kedudukan dan peranan yang dianggap tinggi oleh setiap masyarakat adalah kedudukan dan peranan yang dianggap terpenting serta memerlukan kemampuan dan latihan-latihan yang maksimal.

Tidak banyak individu yang dapat memenuhi persyaratan demikian, bahkan mungkin hanya segolongan kecil dalam masyarakat. Maka oleh sebab itu pada umumnya warga lapisan atas (upper class) tidak terlalu banyak apabila dibandingkan dengan lapisan menengah (middle class) dan lapisan bawah (lower class); tidak mengherankan bila sistem pelapisan sosial ini diwujudkan dalam bentuk gambar akan selalu berbentu kerucut; semakin ke atas semakin runcing, menandakan, semakin atas suatu lapisan semakin sedikit orang yang berkepentingan di sana.

BAB VI

PENGUASAAN TANAH DAN KELEMBAGAAN

Perkembangan penguasaan lahan dan kelembagaan kerja penting untuk dibicarakan berkaitan dengan (a) upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui berbagai program pembangunan dalam rangka peningkatan produktivitas dan produksi, (B) pemerintah juga telah berupaya memperbaiki pola distribusi pendapatan masyarakat dan mengurangi kemiskinan, yang di dalamnya berkaitan dengan kelembagaan hubungan kerja pertanian, dan (c) pengetahuan tentang dinamika kelembagaan kerja penting untuk mengarahkan kebijakan yang sesuai dalam bentuk fasilitasi maupun pembinaan kelembagaan yang dikehendaki dan dinilai lebih baik.

Kelembagaan muncul dan berkembang sebagai upaya untuk memecahkan masalah yang timbul di masyarakat. Munculnya kelembagaan dapat terjadi karena perkembangan/evolusi dari lembaga yang telah ada sebelumnya (lembaga informal) dan atau sengaja dibentuk (lembaga formal) seperti melalui peraturan dan lainnya. Suatu bentuk kelembagaan yang timbul di suatu daerah tidak lepas dari kondisi sumber daya setempat, lingkungan, dan norma yang berlaku di mayarakat (Gunawan 1989).

Kelembagaan hubungan kerja pertanian merupakan institusi yang sudah mengakar di masyarakat petani, terutama pada usaha tani padi. Sistem ini mampu menjembatani kebutuhan pemilik lahan terhadap tenaga kerja untuk mengelola lahannya dan kebutuhan terhadap lahan garapan dari kelompok petani yang tidak memiliki lahan (landless). Kelembagaan hubungan kerja yang berkembang di masyarakat bervariasi antarwilayah dan antarwaktu, tergantung dari dinamika sosial dan ekonomi yang berkembang. Struktur penguasaan lahan akan memengaruhi kelembagaan hubungan kerja di masyarakat dan sebaliknya kelembagaan hubungan kerja juga dapat memengaruhi struktur penguasaan lahan di masyarakat.

Dalam kaitan berkembangnya kelembagaan di masyarakat, Teori Induce Innovation (Ruttan dan Hayami 1984) mengemukakan bahwa pada kondisi kelangkaan sumber daya (seperti sumber daya alam dan sumber daya manusia) akan membimbing masyarakat untuk menciptakan kelembagaan baru, termasuk di dalamnya kelembagaan di bidang teknologi baru. Dampak dari bekerjanya suatu kelembagaan dapat dinilai positif dan negatif. Secara positif, perubahan

kelembagaan memberi arti dari proses yang terjadi. Contohnya, berkembangnya sewa tanah dan sakap telah berperan positif dalam redistribusi penggarapan lahan dan pendapatan masyarakat.

Kelangkaan tenaga kerja dan berkembangnya pasar telah menumbuhkan pola tebasan. Dampak perubahan tersebut dapat dinilai baik dan buruk tergantung siapa yang terlibat.

Tulisan ini akan mengungkapkan dinamika penguasaan lahan dan keterkaitannya dengan kelembagaan hubungan kerja pertanian. Tulisan ini merupakan tinjauan (review) dari berbagai hasil penelitian terutama hasil Studi Dinamika Pedesaan-Survei Agro Ekonomi (SDP-SAE) tahun 1975-an, dan studi Panel Petani Nasional (PATANAS) yang dilakukan PSEKP sejak tahun 1980 sampai tahun 2010-an.

Sejarah Kebijakan Penguasaan Lahan

Dinamika penguasaan lahan tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah di bidang lahan, terutama dalam rangka mendukung kepentingan penguasa. Kebijakan yang diterapkan pemerintah dengan sendirinya menentukan dinamika struktur penguasaan lahan dan kelembagaan yang terbangun.

Pada masa feodalisme, alat produksi seperti tanah dan bahkan rakyat menjadi milik negara sehingga tenaga kerja dan hasil produksi dikerahkan untuk kepentingan raja. Pola penguasaan lahan yang berkembang di masyarakat tidak lepas dari kepentingan raja selaku penguasa.

Rakyat/petani hanya berstatus sebagai penggarap, buruh lepas atau berada dalam lindungan keluarga pemilik tanah yang memperoleh tanah kesikepan. Pemilik lahan sikep juga merupakan anak buah dari pamong desa, menggarap lahan milik pamong desa. Penguasa tanah adalah pamong desa yang menguasai sebagian besar tanah desa sebagai upah mereka mengatur pemerintahan melalui tanah bengkok. Pamong desa menggarap sawahnya dengan bantuan petani sikep dan kuli menggarap. Kegiatan pengelolaan lahan/ usaha tani dominan dilakukan oleh penggarap dengan luas lahan yang sempit. Pada kondisi demikian, kesenjangan/distribusi penguasaan lahan terang menjadi permasalahan dan keberadaan penggarap menjadi pelaku penting dalam sistem produksi pertanian pada masa feodalisme. Bagi petani, areal lahan sawah merupakan sumber utama penghidupan sehingga konsentrasi penduduk umumnya berada di sekitar daerah irigasi tersebut. Pada masa feodalisme ini, kegiatan investasi belum berkembang karena semua fasilitas irigasi dan lumbung dibangun oleh kerajaan. Kerajaan memperoleh surplus dari hasil produksi yang dikerjakan petani.

Pada masa penjajahan, pemerintah kolonial sangat berkepentingan dengan penguasaan lahan. Untuk itu, pemerintah kolonial bekerja sama memanfaatkan golongan feodal yang ada untuk mengeksploitasi lahan masyarakat dengan cara memanfaatkan dan mendayagunakan aturan yang sebelumnya diterapkan oleh raja, seperti dalam penerapan pajak, upeti, dan wajib kerja. Untuk memudahkan manajemen pengaturan seperti dalam penarikan pajak dan wajib kerja tersebut, pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem komunal di Jawa. Dengan sistem komunal ini, pengaturan pajak, upeti, dan wajib kerja dapat dikoordinasikan melalui tingkatan pemerintahan yang telah terbangun.

Sejalan dengan kepentingan peningkatan produksi dari produk ekspor (nonberas), pemerintah kolonial pada era gubernur Van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa berupa (a) kewajiban petani menanam tanaman ekspor yang dibeli pemerintah kolonial dengan harga yang ditetapkan, (b) penyerahan tanah secara wajib kepada pemerintah kolonial untuk ditanami tanaman ekspor, dan (c) pembayaran pajak tanah dalam bentuk natura, bukan uang. Ada dua kepemerintahan yang berkuasa dan masing-masing berkepentingan, yaitu pemerintah kolonial dan kerajaan. Oleh karena itu, tingkat eksploitasi pada masa tersebut sangat intensif. Dengan kewajiban untuk menyerahkan tanah kepada pemerintah, petani hanya berperan sebagai buruh tani di lahan sendiri yang diusahakan oleh pemerintah kolonial.

Berkembangnya paham liberalisme di negara barat juga mewarnai pola penguasaan lahan di negara jajahannya. Sistem liberalisme yang dianut oleh pemerintah kolonial Belanda juga diterapkan di wilayah jajahannya (Indonesia), yaitu dengan cara memberi kesempatan kepada pihak swasta untuk ikut dalam produksi pertanian yang berorientasi ekspor. Untuk itu sektor swasta Belanda diberi kesempatan untuk melakukan investasi di bidang perkebunan. Untuk mendukung kepentingan tersebut, terutama untuk memberikan kepastian penguasaan lahan dalam jangka panjang, pada tahun 1870 pemerintah kolonial mengeluarkan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet). Pada era ini, hak penguasaan tanah sesuai dengan hukum perdata barat seperti hak milik (eigendom), hak usaha (het erfpachtsregt), hak pakai hasil (het vrucht gebruik), hak kedudukan berkuasa (bezit), hak pengabdian tanah (erfainenst), hak numpang karang (het regt van opsaad), dan lainnya. Sementara itu, dari hukum adat juga diberlakukan beberapa hak atas tanah, seperti hak persekutuan atas tanah berupa hak ulayat dan hak kekerabatan, serta hak milik perseorangan seperti hak milik, hak yasan, hak menikmati hasil, hak

garap, hak imbalan jabatan, hak wewenang beli, dan hak lainnya (Wargakusumah 1992; Wiradi dan Makali 1984).

Pada masa kemerdekaan (Orde Lama), berbagai permasalahan agraria semakin menguat terutama dalam distribusi lahan. Hal ini mendorong adanya upaya perombakan hukum atas tanah (agraria) dengan keinginan untuk menerapkan kebijakan yang searah dengan UUD 1945 dan Pancasila. Untuk itu, ditetapkan Undang-Undang Pokok Agraria/ UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) dengan menempatkan hukum adat sebagai dasar utamanya. Landasan pokok dari UUPA adalah:

(a) fungsi sosial dari tanah, (b) penguasaan bersama, (c) asas nasionalisme, (d) larangan pemilikan lahan melampaui batas, (e) pencegahan monopoli atas tanah, dan (f) pengaturan hukum atas tanah. Dalam UUPA muncul beberapa hak atas tanah seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tahan, hak memungut hasil hutan (Pasal 4, Pasal 16 UUPA), serta hak yang sifatnya sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang (Pasal 53), dan hak sewa tanah pertanian (Pasal 16, Pasal 53 UUPA).

Pada dasarnya UUPA disusun atas dasar sifat sosial dan menentang liberlisme sebagaimana dituangkan dalam Pasal 6 bahwa semua hak tanah mempunyai fungsi sosial. Sifat sosial ini juga terlihat dari adanya Perpu 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, yang di dalamnya antara lain mengatur luas maksimum pemilikan lahan (Pasal 1 Ayat 2) dan luas minimum pemilikan lahan (Pasal 8). Langkah pemerintah memberikan kesempatan pemilikan atas tanah melalui kegiatan landreform telah dijadikan alat partai politik tertentu seperti PKI sehingga menimbulkan kekisruhan.

Pada era Orde Baru, kebijakan pembangunan lebih diarahkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi nasional. Hal tersebut dicapai dengan menggenjot pertumbuhan sektor industri, termasuk industri pertanian. Untuk mencapai tujuan tersebut, upaya yang dilakukan adalah merangsang tumbuhnya investasi terutama sektor swasta skala besar. Sejalan dengan itu, telah ditumbuhkan usaha skala besar (seperti perkebunan swasta skala besar). Berbeda dengan era Orde lama yang mengarah kepada landreform, kebijakan pembangunan pada masa Orde Baru lebih mengarah ke liberalisasi, dan program landreform tidak lagi menjadi perhatian. Pemihakan kepada sektor swasta dalam rangka merangsang investasi menjadikan lahan bukan lagi mempunyai fungsi sosial sebagaimana diamanatkan pada Pasal 6 UUPA. Untuk merangsang masuknya investasi asing, disusunNo. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang

memberikan izin usaha selama 30 tahun (Pasal 18) disertai kemudahan dan fasilitasi untuk kegiatan investasi.

Berkembangnya teknologi maju, termasuk di dalamnya penerapan revolusi hijau di sektor pertanian telah meningkatkan surplus usaha dan mendorong akumulasi penguasaan lahan dan polarisasi sosial ekonomi dan pada akhirnya meminggirkan kelompok petani kecil dan yang tidak berlahan. Berkembangnya komersialisasi di perdesaan melalui introduksi input baru serta tuntutan kebutuhan yang meningkat telah mengikis ikatan komunal primordial seperti kegiatan sambatan/gotong royong dan digantikan oleh sistem upah. Masuknya prinsip-prinsip efisiensi telah mengubah cara pandang dan pengambilan keputusan pemilik lahan dengan mengurangi penggunaan tenaga kerja dan menggantikannya dengan penggunaan alsintan. Prinsip sosial dari lahan seperti yang diinginkan UUPA semakin menjauh, atau ini berarti pula UUPA sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika sosial ekonomi masyarakat.

Pertumbuhan sektor di luar pertanian dan perkotaan telah meningkatkan kebutuhan lahan untuk industri, perumahan, dan infrastruktur serta konversi lahan pertanian. Pertumbuhan industri dan perumahan lebih memilih daerah yang telah memiliki infrastruktur yang baik. Hal tersebut menyebabkan letak industri dan perumahan lebih banyak berada di sekitar kota besar dan kawasan lahan pertanian subur. Tingkat konversi lahan pertanian subur menjadi non-pertanian telah sampai pada tahap mengganggu eksistensi produksi pangan nasional jangka pendek dan menengah. Meningkatnya nilaitambah pelaku usaha pertanian yang memiliki lahan dan pelaku yang bergerak di sektor di luar pertanian telah mengakibatkan akumulasi pemilikan lahan oleh kelompok tertentu (stratifikasi). Di sisi lain, hal tersebut juga meningkatkan jumlah petani tidak berlahan, jumlah petani kecil (gurem), dan tanah guntai (pemilikan tanah oleh penduduk di luar wilayah).

Pada era reformasi, kebijakan yang diterapkan semakin memperkuat kebijakan sebelumnya (era Orde Baru) dan bahkan lebih mengarah kepada penguatan sistem liberalisasi di berbagai bidang. Sebagai contoh di bidang investasi, melalui UU No. 25 tahun 2007 investasi asing diberikan keleluasaan sebesar-besarnya, dengan memberikan kesamaan hak antara investasi modal asing dan modal domestik. Beberapa kemudahan investasi yang diberikannya tersebut adalah (Pasal 14): (a) kepastian hak, hukum, dan perlindungan, (b) informasi yang terbuka tentang bidang usaha, (c) hak pelayanan, (d) berbagai fasilitas dan kemudahan. Di samping itu, untuk menjamin kepastian usaha kepada investasi modal asing diberikan izin HGU selama 95

Tahun, HGB selama 80 tahun, dan Hak Pakai selama 70 tahun. Meskipun pada akhirnya UU No 25 tahun 2007 dbatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan kembali ke peraturan yang ada sebelumnya, namun dari sisi kebijakan tetap saja mengacu kepada liberalisasi.

Kondisi ini menyebabkan semakin timpangnya penguasaan lahan di Indonesia. Di satu sisi penguasaan terkonsentrasi kepada sekelompok pengusaha tertentu (perkebunan dan HTI), di sisi lain jumlah masyarakat yang tidak punya lahan dan petani gurem meningkat. Situasi ketimpangan lahan dan konversi lahan pertanian ke non-pertanian terus terjadi dan bahkan menunjukkan grafik yang meningkat. Tuntutan akan adanya reformasi agraria dalam bentuk landreform tidak mampu dilaksanakan karena tuntutan kemajuan pembangunan yang memerlukan lahan. Upaya mengendalikan laju konversi lahan pertanian subur melalui penetapan berbagai peraturan tidak mampu dilaksanakan karena terbentur oleh konflik kepentingan antarkelompok masyarakat dan partai politik.

Dinamika Penguasaan Lahan Pertanian Struktur Penguasaan Lahan

Dinamika penguasaan lahan dapat dilihat dari perubahan struktur pengusaan lahan pertanian. Secara makro, dari hasil Sensus Pertanian tahun 1983–1993 menunjukkan telah terjadi perubahan struktur penguasaan lahan oleh rumah tangga pertanian, yaitu makin bertambahnya jumlah petani gurem dengan luas penguasaan yang makin kecil, dan di sisi lain terjadinya pengumpulan penguasaan lahan pada sebagian kecil rumah tangga berlahan luas (Sumaryanto dan Rusastra 2000). Semakin timpangnya struktur penguasaan lahan mengindikasikan semakin timpangnya struktur pendapatan masyarakat pedesaan, karena petani lahan luas semakin memperoleh nilai tambah dan akumulasi modal sehingga dapat melakukan perluasan usaha baik pada usaha tani maupun usaha non-pertanian.

Hasil sensus tersebut juga diperkuat oleh hasil studi di tingkat mikro. Hasil studi yang dilakukan oleh Wiradi dan Makali (1984) berdasarkan kegiatan Studi Dinamika Pedesaan (SDP) di Jawa dan Sulawesi Selatan menunjukkan dalam tahun 1982 telah terjadi ketimpangan pemilikan lahan 15 desa contoh, seperti ditunjukan oleh nilai indeks Gini pemilikan lahan antara 0,60–0,80 dan separuh desa contoh mempunyai nilai di atas 0,80 yang menggambarkan suatu tingkat ketimpangan yang berat. Secara relatif, tingkat ketimpangan pemilikan lahan terjadi di Jawa dibandingkan dengan di luar Jawa. Ketimpangan ini ditunjang oleh kondisi di mana

sebanyak 30% rumah tangga tidak mempunyai lahan dan kurang dari 20% rumah tangga memiliki lebih dari setengah total luas lahan desa.

Tingkat ketimpangan pemilikan lahan juga dilaporkan dari hasil-hasil studi Patanas tahun 1985-an (Nasution 1989; dan Suntoro 1989). Nilai indeks Gini pemilikan lahan sawah semua di atas 0,5; dengan kecenderungan tingkat ketimpangan di Jawa lebih tinggi dibandingkan di Sulawesi Selatan. Ketimpangan pemilikan lahan tersebut dipercepat oleh kegiatan pembangunan yang menyebabkan konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian.

Hasi-hasil studi Panel Petani Nasional tahun 1995–1999 menunjukkan proporsi rumah tangga petani yang tidak memiliki lahan meningkat. Ketimpangan pemilikan lahan juga meningkat, dilihat dari nilai indeks Gini yang semula 0,72 menjadi 0,78 di Jawa, dan di luar Jawa yang berkisar 0,53 menjadi 0,54 (Adyana 2000). Ketimpangan ini juga terjadi di desa contoh di Jawa dan Sulawesi Selatan (Rachmat et al. 2000) dan Kalimantan Selatan (Suhartini, dkk. 2000). Nilai indeks Gini pemilikan lahan di Jawa dan Kalimantan Selatan berada di atas 0,66, sementara di Sulawesi Selatan antara 0,37–0,50. Kondisi ini searah dengan meningatnya partisipasi petani dalam usaha tani pada pascakrisis ekonomi. Kejadian fragmentasi lahan juga terjadi di Sulawesi Selatan. Sementara di NTB dan Lampung, cenderung terjadi pemusatan (konsilidasi) lahan. Sistem persewaan dan bagi hasil cenderung berkembang di luar Jawa, seperti di Sulawesi Selatan dan NTB, pemilik lahan juga memperluas penguasaan lahannya melalui persewaan dan sakap; sementara di Jawa, petani yang umumnya memiliki lahan sempit cenderung memilih menggarap sendiri lahannya. Pada era krisis, lahan mempunyai arti yang semakin penting bagi petani.

Ketimpangan kepemilikan lahan juga terjadi dari hasil penelitian tahun 2007–2010 (Susilawati 2010). Ketimpangan semakin besar terutama terjadi di Jawa, sementara di luar Jawa menunjukkan kondisi sebaliknya. Di Jawa, rataan luas pemilikan lahan mengalami penurunan.

Tahun 1997–2010 rataan pemilikan lahan di jawa menurun dari 1,13 ha menjadi 1,05 ha.

Penurunan terjadi di seluruh jenis lahan yaitu lahan pekarangan, sawah, tegal, dan kebun.

Kondisi sebaliknya terjadi di luar Jawa di mana rataan luas pemilikan lahan meningkat, dari 1,74 ha pada tahun 1997 menjadi 1,79 ha pada tahun 2000. Ketimpangan pemilikan dan penguasaan lahan disebabkan beberapa faktor utama:

Pertama, adanya sistem waris bagi, di mana lahan yang diwariskan dipecah dan dibagikan kepada ahli waris. Pola ini menyebabkan pemilikan lahan dari generasi ke generasi semakin

sempit (marjinalisasi pemilikan lahan). Pemecahan pemilikan lahan pada tingkatan luasan tertentu dinilai tidak efisien lagi untuk diusahakan di bidang pertanian sehingga petani cenderung menjualnya atau mengonversikannya menjadi perumahan. Kedua, pada sisi lain terdapat pula petani kaya yang menampung/membeli lahan sempit sehingga memiliki lahan yang luas. Petani bermodal tersebut dapat membeli dan menyewa lahan untuk kegiatan usaha tani.

Dengan nilai tambah yang diperolehnya dari usaha tani dan digunakan kembali untuk memperluas pemilikan dan penguasaan lahannya menyebabkan akumulasi lahan. Ketiga, adanya pemilikan lahan guntai oleh penduduk luar desa (penduduk kota), yang dengan sengaja menanamkan modalnya dalam bentuk pemilikan lahan dan usaha pertanian di desa atau spekulasi karena mengetahui adanya rencana pembangunan dan berharap nilai lahan meningkat secara tajam (Susilowati et al. 2010). Kondisi tersebut dapat terjadi karena tidak dilaksanakannya UUPA yang mengatur batas luas pemilikan dan penggarapan lahan serta aturan lahan guntai. Dalam Perpu No 56/ 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, yang di dalamnya diatur bahwa luas maksimum usaha pertanian di lahan sawah di daerah, antara 5 ha untuk daerah sangat padat sampai 15 ha untuk daerah tidak padat.

Sistem Sewa

Sewa merupakan cara pengalihan hak garap melalui transaksi untuk waktu yang tertentu dengan pembayaran uang tunai. Setelah habis waktu transaksi, tanah tersebut kembali kepada pemiliknya. Transaksi ini memberi kepada si penyewa hak untuk mengolah tanah tersebut, menanami, serta memetik hasilnya atas tanggungan sendiri dan berbuat seakan-akan sebagai hak miliknya sendiri. Akan tetapi, ia tidak boleh menjual atau menyewakan tanpa seizin pemilik tanah. Supomo (1993) menyebutkan istilah sewa tanah dengan jual tahunan yaitu suatu pengoperan hak untuk jangka waktu yang tertentu.

Nilai sewa dipengaruhi oleh mekanisme pasar lahan dan mencerminkan produktvitas lahan.

Ada bentuk hak sewa tanah menurut adat di beberapa daerah di Indonesia, sewa tanah pertanian dikenal dengan beberapa istilah yang berbeda seperti di Tapanuli Selatan disebut “mengasi”, di Sumatera Selatan disebut “sewa bumi”, di Kalimantan disebut “cukai”, di Ambon disebut “sewa ewang”, dan di Bali disebut “ngupetenin”. Untuk daerah Sulawesi Selatan, sewa tanah pertanian dikenal dengan istilah “paje’”. Umumnya praktik sewa-menyewa tanah pertanian ini masih terjadi di daerah pedesaan dan pelaksanaannya didasarkan pada hukum adat masing-masing.

Dalam pasal 53 UUPA Ayat (1) dinyatakan bahwa hak sewa merupakan salah satu hak yang bersifat sementara yang diberikan oleh UUPA. Hal ini berkaitan dengan penilaian bahwa hak tersebut bertentangan dengan peraturan karena penyewaan tanah pertanian ini mengandung unsur pemerasan. Oleh karena itu, pada saatnya hak sewa tanah pertanian akan dihapuskan melalui suatu undang-undang. Akan tetapi, undang-undang yang dimaksud hingga 42 tahun usia UUPA belum juga ada, sehingga meskipun bersifat sementara hak sewa tanah pertanian ini tetap diakui eksistensinya.

Hubungan antara penyewa dan pemberi sewa lebih banyak didasarkan pada adanya rasa

Hubungan antara penyewa dan pemberi sewa lebih banyak didasarkan pada adanya rasa

Dokumen terkait