• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

B. Anak Jalanan, Penyebab dan Pengelompokannya

B.3. Permasalahan Anak Jalanan

Jalanan sebagai sebuah tempat bagi orang-orang “terbuang” adalah sebuah fakta sosial yang muncul sebagai akibat derasnya arus modernisasi yang menggilas mereka yang tidak mampu mengikutinya. Krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini, tentu memberikan kontribusi yang buruk pada hampir segala sektor kehidupan di Indonesia. Beberapa indikator yang dapat dilihat adalah menurunnya daya beli masyarakat. Anak jalanan pada umumnya mempunyai keluarga dari golongan yang kurang mampu secara materi, sehingga anak-anak mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Sedangkan orang tuanya tidak berperan secara maksimal, hal ini dapat dilihat manakala orang tua sangat mendukung untuk anaknya bekerja.

Menurut Gosita, Arief (1985;34) permasalahan anak jalanan dapat dipetakan sebagai berikut:

a. Anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan untuk keluarga. Hal ini terjadi karena ketidakberfungsian keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga.

b. Rumah atau tempat tinggal yang kumuh membuat ketidakbetahan anak berada di rumah, sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu faktor pendorong untuk anak turun ke jalan.

c. Rendahnya pendidikan orangtua anak jalanan sehingga mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orangtua dan juga ketidaktahuannya mengenai hak-hak anak.

d. Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik kebijakan dari kepolisian, pemda, maupun Departemen Sosial.

e. Belum optimalnya sosial control di dalam masyarakat.

Dalam banyak kasus, anak jalanan ini awalnya tidak terjun begitu saja ke jalanan. Biasanya mereka melakukan proses pembelajaran secara bertahap. Awalnya mereka lari dari rumah, satu dua hari bahkan sampai seminggu kemudian pulang, lalu lari lagi selama dua minggu bahkan berbulan-bulan sampai akhirnya benar-benar lari, tidak lagi kembali selama setahun-dua tahun. Proses tahap kedua yang harus dijalani adalah proses “inisiasi”.

Biasanya anak-anak yang baru akan menjadi objek pengompasan anak jalanan yang lebih dewasa (Hariadi, 2001;213).

Sejumlah studi menemukan, anak-anak jalanan yang kecil biasanya sering “ditampar” oleh yang lebih besar. Selain itu preman yang ada di sekitarnya tak segan merampas barang dagangan atau meminta uang. Intimidasi adalah peristiwa sehari-hari yang dapat kita lihat menjadi “makanan” anak jalanan. Dalam beberapa kasus dan kesempatan memang anak jalanan itu mampu mengembangkan mekanismenya sendiri guna menghindari intimidasi dan ancaman kekerasan. Tetapi yang sering terjadi mereka hanya pasrah terhadap ancaman kekerasan yang dialaminya (Suyanto,2001;135).

Marginal, rentan dan eksploitasi adalah istilah-istilah yang dapat menggambarkan kondisi dan kehidupan anak jalanan. Marginal karena mereka melakukan jenis pekerjaan yang tidak jelas jenjang kariernya, tidak dihargai dan umumnya juga tidak menjanjikan prospek apapun kemasa depan. Rentan karena resiko yang harus ditanggung akibat jam kerja yang sangat panjang yang dilihat dari segi kesehatan maupun sosial sangatlah rawan. Eksploitasi karena mereka biasanya memiliki posisi tawar-menawar (bargaining position) yang sangat lemah, tersubordinasi cenderung menjadi objek perlakuan yang semena-mena dari ulah preman dan oknum-oknum lain yang tidak bertanggungjawab. Sebagai bagian dari pekerja anak (child labour), anak jalanan bukanlah kelompok yang homogen. Mereka cukup beragam, dan dapat dibedakan atas pekerjaannya, hubungan dengan orang tua atau orang dewasa terdekat, waktu dan jenis kegiatannya di jalanan serta jenis kelaminnya.

Anak-anak jalanan adalah anak-anak yang mengalami penderitaan ganda. Bukan saja menjadi objek kekerasan otoritas, tetapi juga akses mereka untuk berkembang semakin tertutup seiring dengan penderitaan yang dialami orang tua mereka. Maka, dalam konteks

piramida penderitaan, anak-anak jalanan berada dilapisan terujung/terendah. Anak jalanan bukanlah kriminal yang harus terus diburu. Mereka adalah anggota masyarakat yang mengalami korban keresahan dan kemiskinan keluarga yang perlu ditangani. Oleh karena itu security approach (pendekatan keamanan) tidak mencukupi lagi dan tidak akan pernah betul-betul menyapu anak di jalanan. Prosperity approach (pendekatan kesejahteraan) melalui kebijakan nasional dan lokal (pemda) hendaknya mulai dipikirkan (ISJ,1997;29).

Eksploitasi dan ancaman adalah dua hal yang sekaligus dialami oleh anak jalanan. Mereka sudah biasa mengalami tipuan oleh teman sendiri, caci maki bahkan menjadi korban pelecehan seksual oleh orang yang lebih dewasa, dipukuli petugas, barang dagangan dirampas oleh preman (Irwanto,1998;120). Peristiwa demi peristiwa kekerasan yang dihadapi anak jalanan justru mencerminkan adanya kecenderungan menjadikan anak-anak jalanan sebagai objek kekerasan dari pemegang otoritas, seperti orang tua, preman, orang yang lebih dewasa dan petugas keamanan. Rasa keadilan dan peri kemanusiaan apalagi kepastian hukum seakan enggan menjamah anak jalanan. Kekerasan yang sering terjadi pada anak jalanan akan memberikan dampak atau pengaruh dalam kehidupan anak jalanan tersebut. Maka tidak jarang anak jalanan cenderung untuk terjerumus dalam tindakan patologis, seperti studi yang dilakukan oleh Hadi Utomo pada tahun1998. salah satu perilaku yang popular menyimpang adalah “ngelem”, yang secara harafiah berarti mengisap lem. Diperkirakan sekitar 60-75% anak yang seharian hidup mencari nafkah di jalanan menggunakan zat ini (Irwanto, dalam Adi, 2002;43).

Anak jalanan merupakan salah satu potret penderitaan dan kemiskinan, sedang penderitaan dan kemiskinan adalah produk dari ketidakadilan pembangunan. Kebijaksanaan pembangunan selama ini dimulai dari rezim orde baru hanya menyentuh

warga perkotaan. Sementara warga desa terabaikan, dampaknya muncul kesenjangan sosial ekonomi atau labelisasi kaya-miskin atau maju-terbelakang. Kesenjangan pembangunan antara desa dan kota ini, juga mengakibatkan banyak penduduk desa berduyun-duyun pergi ke kota untuk mengadu nasib, namun karena tidak cukupnya bekal pengetahuan serta keahlian membuat sebagian dari mereka terlempar dari persaingan dan dengan terpaksa hidup di tempat-tempat kumuh, bahkan di kolong-kolong jembatan untuk mempertahankan hidup. Buruknya lagi mereka datang dengan anak-anak mereka. Dengan kondisi mereka yang buruk, mengakibatkan anak-anak dipaksa untuk ikut menanggung beban hidup keluarga (Fanggidae, 1993;104).

Pembangunan juga telah mengorbankan ruang bermain bagi anak (lapangan, taman dan lahan-lahan kosong). Dampaknya sangat terasa pada daerah-daerah kumuh perkotaan dimana anak-anak menjadikan jalanan sebagai ajang bermain dan bekerja. Selain hal tersebut, meningkatnya angka anak putus sekolah juga telah mengakibatkan sebagian anak mencari pekerjaan, dan jalanan mereka jadikan sebagai salah satu tempat untuk mencari uang. Fenomena keberadaan mereka semakin dirasakan ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia pada tahun 1997. Berdasarkan penelitian diperoleh gambaran umum yang menunjukkan 60% anak jalanan telah putus sekolah dan 80% anak jalanan masih tinggal dengan orang tua mereka (Depsos kerjasama YKAI, 1999;61).

Dokumen terkait