• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 KEEFEKTIFAN IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN

7.1 Permasalahan Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu

keseluruhan, kinerja kelembagaan pemanfaatan SL khususnya yang terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros belum sesuai harapan. Indikator kinerja harapan serta indikator kinerja faktual pemanfaatan komersial kupu-kupu yang diperoleh dari hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 7.1.

Tabel 7.1 Indikator kinerja harapan dan indikator kinerja faktual pemanfaatan komersial kupu-kupu di lokasi penelitian

Indikator kinerja harapan Indikator kinerja faktual

Penangkapan tidak melampaui kuota yang telah ditentukan. Tidak menyebabkan kerusakan pada spesimen.

Cara menangkap tidak menyebabkan terganggunya populasi di habitat alam.

Penangkapan dan peredaran sesuai dengan izin.

Penangkapan dilakukan oleh penangkap yang terampil secara teknis.

Penerapan peraturan dan sanksi secara konsisten oleh instansi terkait.

Seluruh individu kupu-kupu ditangkap, terdapat 45 jenis dan 341 individu hasil tangkapan belum ada kuota.

Kupu-kupu hasil tangkapan sebagian besar kualitas A2.

Penangkapan tidak selektif, berpotensi menurunkan ukuran dan kualitas populasi.

Seluruh penangkap tidak memiliki izin & hanya 3 pengumpul pedagang yang memiliki izin pengedar SL DN. Mayoritas penangkap belum terampil.

Peraturan belum diimplementasikan secara keseluruhan serta sanksi belum ditegakkan.

Mengacu kepada indikator kinerja harapan pemanfaatan komersial kupu- kupu, maka diperlukan upaya penguatan kelembagaan. Tujuan dari penguatan kelembagaan adalah mewujudkan pemanfaatan komersial kupu-kupu yang dapat mengendalikan perilaku individu atau kelompok masyarakat untuk mencapai kinerja pemanfaatan komersial kupu-kupu secara lestari dan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Penguatan kelembagaan dilakukan berdasarkan hasil analisis terhadap permasalahan karakteristik sumber daya yang dimanfaatkan, karakteristik komunitas pemanfaat, serta peraturan perundang-undangan. Kupu-kupu di habitat alam memiliki karakteristik dapat ditangkap untuk dimanfaatkan oleh siapa saja dan sulit untuk melarang atau membatasi orang lain adalah ciri sumber daya bersama (CPRs). Ostrom (2008) menyebutkan bahwa CPRs memiliki karakteristik menghasilkan manfaat yang dapat dinikmati oleh orang banyak tanpa

dapat dikecualikan (non excludable), di mana masing‐masing pihak dapat mengambil manfaatnya hingga batas ketersediaan manfaatnya habis.

Situasi pemanfaatan komersial kupu-kupu memperlihatkan adanya tekanan yang begitu tinggi terhadap populasinya di habitat alam. Hal ini ditunjukkan dari seluruh spesimen kupu-kupu yang dijumpai di alam ditangkap untuk diperdagangkan. Hal lain adalah jumlah pemanfaat kupu-kupu terutama penangkap dan pengumpul pedagang yang tidak terdefenisi dengan jelas. Perilaku para penangkap yang tidak selektif dalam menangkap serta para pengumpul pedagang yang membeli seluruh spesimen kupu-kupu hasil tangkapan membuktikan hal tersebut.

Keterlibatan pemerintah untuk mengendalikan pemanfaatan SL dalam bentuk implementasi peraturan perundang-undangan belum efektif. Hal ini disebabkan oleh pemanfaatan SL dari habitat alam sebagai sumber daya milik negara membutuhkan biaya transaksi tinggi terutama pada tahap pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan karena sulitnya melaksanakan aturan dan menegakkan sanksi (Satria 2009). Substansi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL belum cukup serta terlalu umum sehingga sering kali tidak sesuai dengan karakteristik SL kupu-kupu serta karakteristik situasi di lapangan.

Penguatan kelembagaan sumber daya bersama (CPRs) seperti halnya pemanfaatan SL dari habitat alam, diharapkan mampu mempengaruhi aksi bersama (collective actions) dalam rangka mewujudkan pemanfaatan secara lestari. Pengelolaan pemanfaatan komersial kupu-kupu memerlukan aksi kolektif tinggi karena cenderung bersifat non excludable dan subtractable,bila tidak ada kesepakatan bersama maka akan mengancam kelestariannya.

Berikut ini dijelaskan rumusan permasalahan kelembagaan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul, meliputi karakteristik jenis kupu-kupu yang dimanfaatkan secara komersial, karakteristik penangkapan dan peredaran (perdagangan), serta keefektifan implementasi peraturan perundang- undangan pemanfaatan SL.

7.1.1 Karakteristik Sumber Daya Kupu-Kupu

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah kupu-kupu hasil tangkapan di lokasi penelitian sebanyak 838 individu dari 89 jenis yang tergolong ke dalam 4 famili dan didominasi oleh famili Nymphalidae. Dari seluruh hasil tangkapan tersebut terdapat 341 individu dari 45 jenis yang belum ditetapkan kuota penangkapannya. Hal ini disebabkan oleh proses penetapan kuota pemanfaatan kupu-kupu selama ini belum dilakukan berdasarkan pada data dan informasi yang akurat dari lapangan. Kegiatan inventarisasi dan monitoring populasi sebagai dasar penetapan kuota pemanfaatan jenis kupu-kupu khususnya untuk wilayah kerja Balai Besar KSDA Sulsel belum dilaksanakan. Sehubungan dengan hal itu, perlu dilakukan pemutakhiran data tentang komposisi jenis kupu-kupu serta jumlah individu yang boleh ditangkap dalam kuota penangkapan.

Data dan informasi tentang populasi kupu-kupu sebagai dasar pertimbangan dalam penetapan kuota dapat diperoleh dari berbagai sumber, misalnya dari masyarakat pemanfaat kupu-kupu terutama dari para pengumpul pedagang serta dari Balai TN Babul. Pemerintah Kabupaten Maros atau Balai Besar KSDA Sulsel perlu memprioritaskan SL kupu-kupu untuk dilakukan inventarisasi dan monitoring populasi di habitat alam.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan meningkatnya hasil tangkapan secara berturut-turut pada bulan Februari, Mei, dan Agustus, seiring dengan menurunnya intensitas curah hujan. Dengan kata lain bahwa hasil tangkapan meningkat pada akhir musim hujan dan di musim kemarau. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas penangkapan kupu-kupu pada akhir musim penghujan atau di musim kemarau lebih intensif, sebab tidak terkendala cuaca. Penyebab lain adalah keragaman dan kelimpahan jenis kupu- kupu dipengaruhi oleh musim (Boovanno et al. 2000; Rizal 2007; Sumah 2012). Berdasarkan hasil pengamatan tersebut maka pengaturan penangkapan kupu-kupu dari habitat alam perlu memperhatikan musim perkembangbiakan serta sebaran jenis kupu-kupu berdasarkan waktu.

Hasil tangkapan menunjukkan bahwa kupu-kupu jantan lebih banyak dibandingkan betina. Hal ini disebabkan oleh lokasi pengamatan penangkapan kupu-kupu dilakukan pada lokasi-lokasi yang sering ditemukan kupu-kupu jantan secara bergerombol sehingga memungkinkan kupu-kupu jantan lebih banyak tertangkap dari pada betina. Penyebab lain adalah kupu-kupu jantan lebih aktif sehingga lebih mudah tertangkap dibandingkan kupu-kupu betina (Idris dan Hassan 2014). Berdasarkan data tersebut maka dalam penetapan kuota agar mempertimbangkan komposisi individu (spesimen) berdasarkan jenis kelamin

Kupu-kupu yang ditangkap dari alam meliputi seluruh jenis yang dijumpai termasuk 4 jenis yang dilindungi, 3 jenis dari genus Troides tergolong Appendix II

CITES. Jenis-jenis tersebut adalah Chetosia myrina, Troides haliphron, T. helena,

dan T. hypolitus. Hasil wawancara menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut di

habitat alam banyak ditemukan, serta menurut informan bahwa jenis-jenis tersebut mudah dibudidayakan.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sangat sulit untuk mengawasi serta mencegah terjadinya penangkapan jenis kupu-kupu yang dilindungi di habitat alam. Akibatnya adalah pengawasan dan penerapan sanksi belum dilakukan secara efektif terhadap para pelaku penangkapan jenis kupu-kupu yang dilindungi. Sementara itu, pakan larva kupu-kupu dari genus Troides yaitu Aristolachia

tagala banyak dijumpai di daerah penyangga TN Babul, hal ini memungkinkan

jenis kupu-kupu tersebut dapat berkembangbiak dengan baik. Berdasarkan hal tersebut maka status jenis kupu-kupu yang dilindungi yaitu Chetosia myrina,

Troides halipron, T. helena, dan T. hypolitus khususnya di Kabupaten Maros

perlu ditinjau kembali sebagaimana bunyi pasal 6 PP 7/1999. Pasal tersebut menyebutkan bahwa "... Suatu jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dapat diubah statusnya menjadi tidak dilindungi apabila populasinya telah mencapai tingkat pertumbuhan tertentu sehingga jenis yang bersangkutan tidak lagi termasuk kategori jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 ...".

7.1.2 Karakteristik Pelaku, Teknik Penangkapan dan Perdagangan

Hasil wawancara menunjukkan bahwa jumlah penangkap kupu-kupu tidak pasti. Dengan kata lain bahwa para penangkap tidak terdefenisi dengan jelas, baik jumlah maupun siapa-siapa penangkapnya. Secara de facto tidak ada pembatasan bagi siapa-siapa yang berhak melakukan penangkapan kupu-kupu dari habitat alam di luar kawasan TN Babul. Setiap warga dapat melakukan penangkapan kupu-kupu tanpa ada yang membatasi atau melarang. Oleh sebab itu, untuk

memudahkan pengawasan, para penangkap harus mendaftarkan diri kepada pengumpul pedagang. Selanjutnya pengumpul pedagang berkewajiban mendata dan mendaftarkan para penangkap tersebut kepada instansi yang berwenang.

Para penangkap kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul seluruhnya tidak memiliki izin penangkapan sebagaimana diatur dalam Kepmenhut 447/2003. Mayoritas dari para penangkap merupakan anak laki-laki usia sekolah pada tingkat SD─SMU. Sulit untuk mewajibkan para penangkap tersebut secara perorangan mengurus dan memiliki izin penangkapan. Oleh sebab itu, pengumpul pedaganglah yang diwajibkan mendaftarkan serta melaporkan para penangkap yang dikoordinirnya kepada instansi terkait kemudian mengurus izin tangkap. Bila hal tersebut dilaksanakan maka seluruh penangkap kupu-kupu akan terorganisir dan terdata dengan jelas.

Terdapat para penangkap yang melakukan aktivitas menangkap kupu-kupu secara temporer, hanya musiman dan tidak dilakukan sepanjang tahun. Sebagai penyebabnya adalah bahwa menangkap kupu-kupu bagi mereka hanya pekerjaan sambilan yang dilakukan di waktu senggang. Oleh sebab itu, para penangkap yang berkeinginan menangkap kupu-kupu diwajibkan mendaftar dan terdaftar pada pengumpul pedagang. Selanjutnya pengumpul pedagang melaporkan kepada instansi terkait secara periodik setiap bulannya, sehingga nantinya daftar para penangkap kupu-kupu dapat berubah-ubah secara temporer, bergantung pada aktivitas yang dilakukannya.

Pengumpul pedagang, pengrajin souvenir, dan penjual souvenir tidak terdefenisi dengan jelas. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pengumpul pedagang yang teridentifikasi sebanyak 12 orang di lokasi penelitian. Dari jumlah tersebut, hanya 3 orang diantaranya yang memiliki izin sebagai pengedar SL dalam negeri. Hasil wawancara menunjukkan bahwa alasan tidak mengurus izin pengedar SL antara lain: tidak mengetahui prosedur dan tata cara (KT5.6), rumit dan banyak persyaratan yang harus disiapkan, serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit (KT4.4). Selain itu, selama ini belum ada penegakan sanksi bagi pengumpul pedagang yang tidak memiliki izin dan masih tetap beroperasi.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa permintaan (demand) kupu-kupu dari para pembeli lebih besar dibandingkan kemampuan para pengumpul pedagang menyediakan (supply) kupu-kupu dari hasil tangkapan para penangkap. Hasil wawancara menunjukkan: "...bulan 1─3 seperti ini sepi (kurang) hasil tangkapan,

padahal permintaan banyak.... (KT4.20), "...pengiriman ke Jawa biasanya 2─4

kali sebulan... 1 kali pengiriman ada kurang lebih 1000 ekor...selain ke Jawa juga

ke Sumatera, dan Kalimantan..." (KT4.29). Untuk memenuhi permintaan tersebut,

pengumpul pedagang mendatangkan kupu-kupu dari luar kawasan Bantimurung

sebanyak 10─20 persen: "...kupu-kupu yang saya beli bukan hanya dari Bantimurung, tetapi ada juga dari Papua, Palu, Palopo...tapi paling banyak

10─20 persen yang dari luar Bantimurung..." (KT4.24).

Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebabnya adalah: (1) jumlah kupu- kupu di alam yang kurang; (2) para penangkap kurang terampil dalam menangkap; atau (3) jumlah penangkap yang kurang. Berdasarkan data tersebut, maka beberapa hal yang perlu dilakukan adalah: (1) penelitian tentang studi populasi kupu-kupu di habitat alam untuk menentukan taraf panen lestari; (2) peningkatan keterampilan para penangkap melalui pelatihan untuk meningkatkan nilai hasil tangkapan khususnya terhadap kualitas kupu-kupu; dan (3) bagi para

penangkap kupu-kupu yang sudah terampil diharapkan mendaftarkan diri kepada para pengumpul pedagang.

Harga spesimen kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros bervariasi, bergantung pada kualitas, ukuran, dan jenis kelamin. Klasifikasi kualitas kupu-kupu terdiri atas A1, A-, A2, dan A3. Perbedaan kualitas kupu-kupu tersebut sangat ditentukan dari cara menangkap, penanganan spesimen setelah ditangkap, dan kondisi kupu-kupu secara alami sebelum ditangkap. Penangkap yang sudah berpengalaman dapat meminimalisir kerusakan saat menangkap dibandingkan dengan penangkap yang belum berpengalaman. Penanganan spesimen yang tidak hati-hati dapat menyebabkan kerusakan. Serta faktor lainnya yaitu kondisi fisik kupu-kupu yang sudah mengalami kerusakan (cacat) sebelum ditangkap, juga sangat mempengaruhi kualitas kupu-kupu hasil tangkapan. Berdasarkan hasil tersebut maka peningkatan keterampilan para penangkap sangat dibutuhkan untuk meningkatkan nilai dari kupu-kupu hasil tangkapan.

Beberapa warga pemanfaat kupu-kupu telah melakukan upaya budi daya kupu-kupu melalui penangkaran dan pembesaran (ranching) serta menanam tanaman pakan kupu-kupu di pekarangan rumah. Namun, sebagian besar warga belum melakukan hal yang sama. Oleh sebab itu, diperlukan upaya menggalang aksi bersama untuk melakukan budi daya kupu-kupu dalam rangka menjamin ketersediaan kupu-kupu sehingga dapat dimanfaatkan secara komersial.

7.1.3 Keefektifan Implementasi Peraturan Perundang-Undangan

Implementasi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL dalam pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul belum efektif. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan formal pemanfaatan SL didominasi oleh pemerintah yang sifatnya sentralistis. Akibat ketentuan semacam itu, pengaturan pemanfaatan SL begitu terpusat. Pemerintah pusat memiliki wewenang yang dominan dalam pengaturan pemanfaatan SL. Dominansi pemerintah yang besar tersebut ditunjukkan oleh adanya kewenangan pemerintah pusat yang penuh terhadap pengaturan pemanfaatan SL. Hal tersebut tertuang pada isi peraturan perundang-undangan yang mengatur pemanfaatan SL melalui Kepmenhut 447/2003 yang secara rinci mengatur prosedur dan tata cara pemanfaatan SL.

Isi peraturan perundang-undangan menjelaskan bahwa penangkapan komersial terhadap jenis-jenis SL yang tidak dilindungi dan non-Appendix CITES diwajibkan mematuhi kuota penangkapan yang diatur secara nasional. Pengaturan yang sangat terpusat tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan karakteristik sumber daya yang ada, sebab SL terdiri atas beranekaragam jenis dari kelompok taksa yang berbeda. Seperti misalnya mengenai prosedur penetapan kuota pemanfaatan. Kuota ditetapkan oleh Direktur Jenderal PHKA untuk tiap-tiap provinsi terbukti kurang efektif, sebab masih terjadi pelanggaran dalam penangkapan dalam jumlah maupun jenis SL sebagaimana ditetapkan dalam kuota. Terjadinya pelanggaran atau ketidaksesuaian antara kuota yang ditetapkan dengan jumlah dan jenis kupu- kupu yang ditangkap disebabkan oleh informasi yang terbatas yang dimiliki instansi yang berwenang dalam proses penetapan kuota.

Isi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL belum menyebutkan ketentuan sanksi pidana dan atau denda administrasi terhadap pelaku (pengumpul pedagang) yang tidak memiliki izin dan memperdagangkan jenis-jenis SL yang

tidak dilindungi. Isi peraturan tidak secara jelas menyatakan bahwa bagi pelaku perdagangan SL yang tidak dilindungi dan tidak berizin akan diberikan sanksi.

Isi peraturan yang belum mengatur hal-hal yang terkait dengan sanksi akan menimbulkan kesalahfahaman dan interpretasi yang berbeda ketika diimplementasikan. Oleh sebab itu, ketentuan Pidana pada Pasal 50 UU 5/1990 sebaiknya juga mengatur dengan jelas terkait dengan pelanggaran pemanfaatan jenis-jenis yang tidak dilindungi. Demikian pula sanksi pidana dan denda administrasi terhadap pelanggaran pemanfaatan jenis-jenis yang tidak dilindungi pada Pasal 50 PP 8/1999 sebaiknya juga disebutkan dengan jelas.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa terdapat 3 dari 12 orang pengumpul pedagang kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul diidentifikasi telah memiliki izin pengedar SL. Penyebab dari kurangnya pemegang izin tersebut, antara lain: (1) belum memahami prosedur dan tata cara pengurusan izin; (2) prosedurnya rumit dan banyak persyaratan yang harus dilengkapi (akte pendirian, SITU, SIUP, NPWP, keterangan domisili, KK, KTP, dan proposal); serta (3) membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Persepsi yang berkembang dari para pengumpul pedagang adalah mengurus izin justru menambah kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dan menimbulkan konsekuensi biaya. Di lain pihak, selama ini tidak ada sanksi yang dikenakan bagi pengumpul pedagang yang tidak memiliki izin. Akibatnya adalah dukungan dari masyarakat untuk mengurus izin kurang.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa sejak terbitnya Kepmenhut 447/2003 sampai dengan saat penelitian ini dilaksanakan, belum ada sosialisasi, khususnya kepada para pengumpul pedagang kupu-kupu yang tidak memiliki izin. Sosialisasi peraturan merupakan hal penting agar kelompok sasaran tidak hanya memahami peraturan akan tetapi berpartisipasi aktif mewujudkan tujuan dari peraturan tersebut (Purwanto dan Sulistyastuti 2012). Berdasarkan hal tersebut, aparatur pada instansi Balai Besar KSDA Sulsel dan Pemerintah Kabupaten Maros perlu melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan, pembinaan serta memfasilitasi pemberian izin kepada para pengumpul pedagang yang tidak berizin. Selanjutnya bila sosialisasi, pembinaan dan fasilitasi telah dilakukan maka pengenaan sanksi secara tegas dan konsisten berupa ...dirampas untuk negara... bagi SL kupu-kupu yang diperdagangkan tanpa izin (sesuai pasal 64 ayat 2 PP 8/1999) dapat dikenakan.

Substansi Kepmenhut 447/2003 terlalu umum, sebab mencakup seluruh jenis tumbuhan dan SL. Peraturan pemanfaatan komersial kupu-kupu secara khusus belum ada. Oleh sebab itu, bagi SL kupu-kupu perlu dibuatkan peraturan tersendiri disebabkan karakteristik yang dimilikinya, yaitu mempunyai siklus hidup yang spesifik serta memiliki musim berkembangbiak.

Sejak terbitnya PP 38/2007 terjadi ketidakjelasan pengaturan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul. Sebab menurut Kepmenhut 447/2003, kewenangan pemberian izin pemanfaatan TSL yang tidak dilindungi adalah Kepala BKSDA. Hasil wawancara dengan petugas di Balai Besar KSDA Sulsel menunjukkan bahwa dengan terbitnya PP tersebut, kewenangan pemberian izin pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul menjadi urusan Pemerintah Kabupaten Maros. Di lain pihak, Pemerintah Kabupaten Maros dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros belum melaksanakan kewenangannya terkait dengan pemberian izin pemanfaatan tumbuhan dan SL yang tidak dilindungi. Hasil wawancara dengan aparatur Dinas

Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros menunjukkan bahwa pemerintah Kabupaten Maros belum menyusun peraturan di tingkat daerah yang terkait dengan pemanfaatan tumbuhan dan SL yang tidak dilindungi. Padahal peraturan tersebut diperlukan sebagai pedoman pelaksanaan dalam pemberian izin pemanfaatan tumbuhan dan SL yang tidak dilindungi.

Sehubungan dengan hal tersebut maka Kepmenhut 447/2003 perlu direvisi. Kewenangan pemberian izin pemanfaatan tumbuhan dan SL yang tidak dilindungi diserahkan kepada pemerintah daerah. Selanjutnya Pemerintah Kabupaten Maros diharapkan menyusun kebijakan dalam bentuk Peraturan Bupati terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu, sesuai dengan Peraturan Menteri Negara LH 29/2009 (pasal 8 ayat 4). Peraturan Bupati tersebut merupakan tindak lanjut dari PP 38/2007.

Pemahaman aparatur Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan serta aparatur Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros terkait peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL tergolong kurang. Kurangnya pemahaman tersebut disebabkan oleh kurangnya perhatian dari pemerintah daerah terkait dengan pemanfaatan SL yang tidak dilindungi. Selain itu disebabkan oleh ketidakjelasan pembagian kewenangan pemanfaatan SL yang tidak dilindungi karena kurangnya koordinasi yang dilakukan oleh Balai Besar KSDA Sulsel.

Dukungan masyarakat di daerah penyangga TN Babul khususnya para pemanfaat komersial kupu-kupu terhadap implementasi peraturan perundang- undangan pemanfaatan SL masih rendah. Hal ini dibuktikan oleh hanya 2 dari 13 poin kewajiban yang dilaksanakan terkait dengan pemanfaatan komersial kupu- kupu. Salah satu penyebabnya adalah pemahaman mereka terhadap peraturan perundang-undangan yang kurang karena belum disosialisasikan dengan baik.

Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi instansi yang terkait dengan pengaturan pemanfaatan SL kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul dalam rangka implementasi peraturan perundang-undangan belum dilakukan secara efektif. Pelaksana peraturan khususnya Balai Besar KSDA Sulsel serta Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam hal ini Dinas Kehutanan belum melaksanakan tugas dan fungsinya terutama menyangkut pengawasan dan pengendalian pemanfaatan SL sesuai peraturan perundang-undangan. Pemerintah Kabupaten Maros belum melaksanakan kewenangannya memberikan izin pemanfaatan jenis- jenis SL yang tidak dilindungi dan non Appendix CITES sesuai PP 38/2007.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa sejak adanya Balai TN Babul di tahun 2004, urusan mengenai kupu-kupu di Bantimurung dan sekitarnya seolah- olah hanya menjadi tugas dari Balai TN Babul. Sementara itu, hasil analisis menunjukkan bahwa Balai Besar KSDA Sulsel baru melaksanakan 12 dari 40 poin urusan yang terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu sesuai Kepmenhut 447/2003.

Situasi permasalahan, struktur peraturan perundang-undangan, perilaku masyarakat pemanfaat kupu-kupu serta kinerja yang dihasilkan menunjukkan bahwa kelembagaan pemanfaatan SL belum efektif berfungsi mengendalikan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros. Akibatnya adalah para penangkap maupun pengumpul pedagang secara individu tetap berperilaku memaksimumkan hasilnya masing-masing tanpa perduli terhadap kondisi di sekelilingnya. Hal tersebut menyebabkan tidak ada kepedulian dan rasa tanggung jawab individu atas kelestarian dan perlindungan

sumber daya SL ini. Saat hampir keseluruhan para pihak berpikir dan bertindak demikian secara kolektif (collective actions), maka munculah dilema CPRs (Khan 2008).

7.2 Rumusan Penguatan Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu