• Tidak ada hasil yang ditemukan

PPI Blanakan

9 Peralatan untuk penanganan awal seperti trays plastik, box, lori,

5.3.2. Permasalahan Mutu dan Jaminan Mutu Produk Ikan Olahan

Penerapan sanitasi dan kehigienisan serta cara berproduksi yang baik merupakan salah satu faktor untuk menghasilkan produk ikan olahan bermutu dan bernilai tambah tinggi. Saat ini penerapan sanitasi, kehigienisan serta cara berproduksi yang baik pada usaha pengolahan ikan laut yang terdapat di wilayah Jawa Barat, sebagian besar dilakukan oleh usaha pengolahan skala besar (industri) berbasis ekspor. Bagi industri pengolahan ikan tersebut, penerapan sanitasi, kehigienisan, dan cara berproduksi yang baik merupakan persyaratan dasar agar produk yang dihasilkan dapat diterima oleh pasar negara tujuan ekspor yang memilki persyaratan jaminan mutu produk impor yang sangat ketat. Setelah terdapat larangan ekspor komoditas perikanan Indonesia ke negara-negara Uni Eropa pada tahun 2005 terkait dengan jaminan mutu produk perikanan, pihak pemerintah melalui DKP memperketat pengawasan mutu produk dan kegiatan produksi industri pengolahan ikan berbasis ekspor. Industri pengolahan ikan yang akan melakukan ekspor harus memiliki surat kelayakan pengolahan (SKP) yang menyatakan dilaksanakannya kelayakan dasar serta HACCP. DKP mengeluarkan atau memperpanjang SKP berdasarkan hasil penilikan terhadap pelaksanaan kelayakan dasar dan HACCP pada industri. Kegiatan pra SKP, validasi dan audit penerapan HACCP di industri dilaksanakan oleh Unit Pengawas Mutu hasil perikanan propinsi, Pengawas Mutu hasil perikanan BPPMHP dan Pengawas Mutu kabupaten/kota yang telah mengikuti pelatihan pengawas mutu PMMT/HACCP yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan dan telah memiliki nomor

registrasi. Audit HACCP pada industri dilakukan untuk mengajukan Approval Number (Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat, 2006). Bagi industri yang akan mengekspor produk olahan ikan ke negara-negara Uni Eropa, Approval Number

dapat diperoleh bila telah memiliki SKP dengan nilai A+ (Poernomo, 2008). Berdasarkan data Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat (2008), seluruh industri pengolahan ikan berorientasi ekspor di Jawa Barat telah menerapkan kelayakan dasar dan HACCP. Hal tersebut terbukti dari kepemilikan SKP oleh seluruh industri pengolahan ikan dan hasil evaluasi penerapan HACCP. Dari delapan industri pengolahan ikan yang terdapat di wilayah utara Jawa Barat, satu industri memiliki SKP bernilai A, tiga industri memiliki SKP bernilai B, dan empat industri memiliki SKP bernilai C. Industri dengan SKP bernilai A telah mengekspor produk olahannya ke Uni Eropa, sedangkan industri dengan SKP bernilai B dan C mengekspor produk olahannya ke negara-negara di Asia (Korea Selatan, Hongkong, Cina, Jepang, dan Vietnam).

Pada industri pengolahan ikan skala kecil dan menengah, sertifikasi mutu dan keamanan produk belum berkembang. Pada umumnya pengetahuan pelaku usaha industri pengolahan ikan skala kecil terhadap terhadap sertifikasi mutu dan keamanan produk masih lemah. Di lain pihak, masih banyak usaha pengolahan ikan yang belum mampu menerapkan standar cara berproduksi yang baik sesuai persyaratan sertifikasi. Pada industri pengolahan ikan skala kecil dan menengah yang telah mampu memenuhi standar mutu produk maupun pengolahan yang baik kendala tingginya biaya sertifikasi mutu menjadi permasalahan diperolehnya sertifikat mutu sebagai jaminan mutu bagi produk yang dihasilkannya. Untuk usaha skala menengah, biaya preassessment sertifikasi produk mencapai US$ 10 ribu dan US$ 20-100 ribu untuk full assessment selama lima tahun.

Masih rendahnya jaminan mutu produk industri skala kecil dan menengah disebabkan oleh kurangnya penerapan GMP dan SSOP yang baik sebagai kelayakan dasar penerapan HACCP dalam kegiatan produksinya. Sebagian besar usaha pengolahan ikan skala kecil dan menengah yang menghasilkan produk ikan olahan tradisional melakukan aktivitas produksi berdasarkan metode yang diketahui secara turun temurun. Kondisi mutu produk belum menjadi pertimbangan pelaku usaha olahan ikan tradisional skala kecil dan menengah dalam menghasilkan produknya. Menurut Heruwati (2002), aktivitas produksi pada usaha pengolahan ikan tradisional memiliki ciri bahwa proses dan prosedur yang diterapkan berbeda menurut tempat dan pekerja; perlakuan tidak terukur

secara kuantitatif; satuan yang digunakan tidak rasional sehingga proses tidak dapat diulang dengan hasil yang identik; serta produk yang dihasilkan tidak memiliki mutu seragam dan daya awet yang bervariasi. Berdasarkan hasil evaluasi usaha peningkatan mutu dan nilai tambah produk olahan perikanan yang dilakukan oleh Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat (2006b), penerapan sanitasi dan cara berproduksi yang baik oleh usaha kecil dan menengah dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi a) pengetahuan dan kepedulian pemilik usaha dan pekerja terhadap mutu produk; b) fluktuasi pasokan dan harga bahan baku; c) teknik pengolahan, fasilitas dan peralatan yang digunakan; serta d) modal usaha.

Tenaga kerja pada usaha kecil dan menengah penghasil produk olahan tradisional pada umumnya terdiri dari keluarga nelayan dan masyarakat di sekitar pantai pendaratan ikan. Tingkat pendidikan pelaku usaha dan pekerja di sektor perikanan yang pada umumnya rendahmenyebabkan terbatasnya pengetahuan tentang kelayakan dasar dalam kegiatan produksi. Pelaku usaha dan pekerja terbiasa melakukan kegiatan produksi yang kurang memperhatikan syarat kelayakan dasar berupa sanitasi dan cara berproduksi yang baik dengan anggapan bahwa produk yang dihasilkan masih diterima dengan baik oleh konsumen walaupun tidak menerapkan GMP dan SSOP dalam kegiatan berproduksinya. Adanya anggapan para pelaku usaha bahwa untuk menghasilkan mutu produk yang lebih baik akan meningkatkan biaya produksi dan harga produk sementara daya beli konsumennya relatif rendah, menjadi salah satu penghambat penerapan kelayakan dasar pada aktivitas produksi produk olahan ikan tradisional.

Sifat pasokan ikan yang dipengaruhi oleh musim tangkapan dan cuaca, menyebabkan banyak usaha pengolahan ikan tidak selalu memperoleh pasokan sesuai dengan jumlah yang diinginkan secara berkelanjutan. Pada saat pasokan ikan sangat sulit diperoleh, pihak usaha pengolahan menghadapi kendala tingginya harga bahan baku sedangkan pasokan ikan yang tersedia tidak selalu memiliki kondisi mutu yang baik. Oleh karea itu ikan dengan mutu lebih rendah tetap diterima oleh beberapa pelaku usaha untuk mempertahankan aktivitas produksi agar permintaan konsumen masih dapat dipenuhi.

Hambatan lain untuk menerapkan kelayakan dasar GMP dan SSOP adalah diperlukan perbaikan fasilitas dan peralatan yang mendukung terlaksananya kelayakan dasar bagi usaha pengolahan ikan. Di lain pihak, pelaku

usaha memiliki modal terbatas sementara bantuan modal usaha tidak mudah diperoleh. Kemampuan diusahakannya fasilitas dan peralatan produksi yang lebih baik untuk terjaminnya mutu produk lebih mampu diupayakan oleh usaha pengolahan yang memiliki modal usaha lebih besar dan menyadari pentingnya penerapan kelayakan dasar bagi mutu produk yang dihasilkan.

Dengan berbagai kendala yang dihadapi dalam kegiatan berproduksi, mutu produk yang baik, melalui cara berproduksi yang baik, dan penerapan sanitasi maupun kehigienisan masih sulit diterapkan oleh pelaku usaha skala kecil. Fokus utama bagi pelaku usaha tersebut adalah mampu memenuhi permintaan konsumen dengan biaya produksi cukup rendah sehingga harga jual sesuai dengan daya beli konsumen dan usaha pengolahan mampu mengoptimalkan keuntungan. Hal tersebut dapat diperhatikan dari contoh kasus usaha pengolahan ikan asin, yang seringkali mutu bahan bakunya kurang diperhatikan dan masih menerapkan proses pengolahan ikan dengan cara konvensional.

Pada salah satu usaha pembuatan ikan asin yang berbahan baku ikan pari dan cucut (hiu) hasil penangkapan kapal penangkap ikan yang berlabuh di PPN Kejawanan, proses pengeringan ikan dilakukan hanya menggunakan panas matahari. Kondisi tersebut menyebabkan proses pengolahan sangat bergantung pada cuaca. Proses pengolahan ikan asin dilakukan ketika tidak sedang musim hujan dan telah terdapat pesanan. Selama menunggu kegiatan produksi dimulai, ikan yang dipasok dibersihkan kemudian disimpan dalam gudang pendingin. Lama penyimpanan ikan dalam gudang pendingin dapat mencapai lebih dari satu bulan. Walaupun ikan yang dikeluarkan dari gudang pendingin menghasilkan aroma busuk, ikan tersebut tetap diolah menjadi ikan asin.

Hambatan lainnya dalam jaminan mutu dan keamanan produk industri pengolahan ikan adalah belum mampu diterapkannya ketertelusuran informasi produk di sepanjang rantai pasok ikan laut tangkapan. Hal tersebut disebabkan oleh belum terdapatnya sistem ketertelusuran informasi produk yang dapat diterapkan pada rantai pasok terutama untuk pasokan ikan yang diperoleh melalui lelang di TPI. Adanya anggapan pelaku usaha bahwa penerapan sistem ketertelusuran adalah rumit dan tidak praktis menjadi kendala penerapan ketertelusuran informasi produk. Selain hal tersebut kondisi SDM dan fasilitas penunjang dalam rantai pasok ikan laut tangkapan pada umumnya belum siap menerapkan sistem ketertelusuran informasi.

5.3.3. Rendahnya Jaminan Pasokan Bahan Baku yang Berkesinambungan