• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG IZIN PENGELOLAAN

C. Permasalahan Pengelolaan Hutan Indonesia

Permasalahan yang dihadapi sektor kehutanan saat ini adalah kondisi hutan yang mengalami degradasi cukup tajam. Kondisi ini mengakibatkan hutan tidak mampu lagi menjadi penyangga bagi kelestarian alam. Berbagai bencana alam yang terjadi belakangan ini menunjukkan keseimbangan dan kelestarian alam yang semakin terganggu. Pengelolaan hutan saat ini lebih mengejar profit yaitu mencari keuntungan

ekonomi semata, dan bahkan Negara secara sentralistis mengeksploitir hutan sehingga fungsi sosial kepentingan umum terabaikan.

Pengelolaan hutan yang dilakukan selama ini menimbulkan konflik kepentingan antara pusat dengan daerah dan masyarakat setempat. Kebijakan- kebijakan yang diambil selalu mendahulukan kepetingan pusat dan sering mengabaikan kepentingan masyarakat daerah, sehingga pengelolaan hutan yang semula bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk mensejaterahkan masyarakat hanya mensejahterahkan segelintir orang.37

Secara keseluruhan, pengelolaan hutan Indonesia mengalami krisis yang bersifat multidimensional, mulai dari deforestasi kawasan hutan hingga konflik Selama lebih dari tiga dasawarsa kepemimpinan di era baru. Keadaan hutan Indonesia memiliki potret yang menyedihkan pengelolaan kawasan hutan yang eksploitatif menjadikan hutan dan sumber daya alam yang ada didalamnya sebagai obyek eksploitasi untuk mengejar pembangunan ekonomi tanpa memperdulikan kerentanan 41 tahun 1999 sebenarnya telah mencoba mengubah paradigma pengelolaan hutan yang tadinya sangat eksploitatif ke arah pengelolaan yang juga menitikberatkan perlindungan sumber daya hutan dan pemberian akses pemanfaatan kawasan hutan bagi masyarakat. Apalagi jika dikaitkan dengan UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang mencoba mengembangkan kewajiban Pemerintah dan peran serta masyarakat dalam upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai bagian terpenting dari unsur pembentuk lingkungan hidup. Namun, tampaknya komitmen Pemerintah dalam kedua undang-undang tersebut hanya berhenti sebatas regulasi semata tanpa ada aplikasi yang memadai.

37

horizontal di masyarakat. Beberapa permasalahan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:

1. Deforestasi

Deforestasi di Indonesia sebenarnya berangkat dari warisan suatu sistem politik dan ekonomi korup yang menganggap bahwa sumber daya alam, khususnya hutan merupakan sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi sebanyak- banyaknya demi mengejar keuntungan pribadi, tanpa memperdulikan akibatnya terhadap kelestarian ekosistem kawasan hutan. Pemanfaatan kawasan hutan selama ini telah membawa ancaman deforestasi yang cukup mengejutkan. Deforestasi disebabkan karena berbagai hal, diantaranya kebakaran hutan, penebangan liar (illegal logging), penambahan hutan secara ilegal, konversi hutan untuk tempat tinggal, industri serta kegiatan pembangunan lainnya dan kesalahan pengelolaan. Dengan angka deforestasi hutan yang sedemikian besar, tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan pemanfaatan hutan selama ini telah membawa kepada hilangnya ekosistem kawasan hutan.

2. Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan umumnya terjadi di hutan Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran hutan diduga terjadi, baik secara disengaja maupun secara alami. Secara alami, kebakaran hutan diduga sebagai konsekuensi adanya endapan kayu asing. Namun, belakangan ini diketahui bahwa kebakaran hutan lebih disebabkan oleh faktor deforestasi yang sangat tinggi. Kebakaran hutan secara sengaja pada umumnya lebih untuk kegiatan perladangan maupun pembukaan lahan untuk tujuan lainnya. Kebakaran hutan tidak dapat disangkal menimbulkan kerugian yang cukup besar, baik dari segi ekonomi maupun konservasi yang meliputi

rusaknya habitat dan ekosistem hutan, pencemaran udara, gangguan penerbangan, gangguan kesehatan, kematian maupun rusaknya harta benda.

3. Kebijakan otonomi daerah

Instrumen kebijakan perimbangan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemeruntah Daerah, baik dalam UU No.22 tahun 2009 maupun UU No.32 tahun 2004 telah memberikan porsi kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Hal ini tentu saja memberikan keleluasaan kepada daerah dalam mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, termasuk dalam sektor kehutanan. Namun, sayangnya, orientasi pemanfaatan hutan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah tidak mengutamakan unsur konservasi dan kelestarian ekosistem. Pemanfaatan hutan seringkali disalahartikan sebagai eksploitasi besar-besaran seluruh sumber daya hutan yang tentunya mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah.

4. Konflik Agraria

Konflik agraria terjadi akibat adanya sengketa penggunaan lahan kehutanan yang terjadi antara masyarakat adat, para transmigran. Kegiatan perkebunan, kegiatan pertambangan maupun kegiatan kehutanan itu sendiri. Konflik antara masyarakat sekitar kawasan hutan yang mengklaimkan hak-haknya atas tanah dan sumberdaya hutan dengan pemerintah maupun perusahaan pertambangan dan perkebunan telah meningkat secara konsisten sepanjang lima belas tahun terakhir. Masyarakat sekitar kawasan hutan yang selama turun-temurun melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan menuntut haknya terhadap akses kawasan hutan yang telah diberikan konsesi baik kepada perusahaan pertambangan maupun perkebunan. Tidak adanya batas lahan yang jelas serta wilayah kosesi yang terlalu luas menjadi faktor utama penyebab konflik

horizontal tersebut. Konflik atas pemanfaatan terhadap hutan dan sumber daya alam tersebut akan tetap terjadi konflik laten, kecuali jika ada satu usaha serius dan terorganisir untuk merasionalisasi kawasan hutan negara melalui strategi tindakan yang jelas.

5. Penebangan Liar (Illegal Loging) dan Penambangan Liar (Ilegal Mining)

Timbulnya kegiatan penebangan liar lebih banyak dilatarbelakangin oleh lemahnya penegakan hukum dan buruknya sistem perekonomian. Ketika krisis ekonomi melanda tahun 1998, terjadi putusan hubungan kerja besar-besaran yang menyebabkan masyarakat kemudian beralih mencari nafkah dengan melakukan kegiatan penebangan hutan (ilegal logging). Selain itu, kegiatan penebangan liar juga tidak jarang dilakukan oleh perusahaan besar yang tidak memiliki izin. Diduga kerugian negara akibat penebangan liar mencapai miliaran rupiah, belum lagi kerugian akibat hilangnya tegakan serta habitat satwa liar. Khususnya penambangan liar pada umumnya dilakukan secara tradisional oleh masyarakat sekitar hutan maupun perusahaan pertambangan skala kecil yang tidak memiliki izin usaha. Namun, tidak jarang pula dilakukan oleh perusahaan besar yang bersekongkol dengan aparat pemerintah setempat. Contoh paling nyata kegiatan penambangan liar adalah tambang biji emas di kawasan daerah aliran sungai atau biasa disebut dengan penambangan emas tanpa izin.

6. Kerusakan Lingkungan

Kegiatan pertambangan seringkali menjadi penyebab rusaknya kelestarian lingkungan dikawasan hutan. Kerusakan tersebut terjadi baik pada masa penambangan maupun pasca tambang. Dampak lingkungan ini sangat terkait dengan penerapan teknologi dan teknik pertambangan yang digunakan. Pada masa penambangan, permasalahan seringkali berkaitan dengan pembuangan

limbah (dumping), hilangnya biodiversity (keanekaragaman hayati) akibat pembukaan lahan maupun adanya air asam tambang. Sedangkan masa pasca tambang, banyak perusahaan yang kemudian meninggalkan wilayah pertambangannya apabila tidak terdapat kandungan bahan tambang atau cadangan telah habis. Oleh karena itu, kebijakan reklamasi pasca tambang harus memiliki aturan yang jelas serta pengawasan yang ketat dari aparat pemerintah. 7. Tumpang tindih lahan Pemanafaatan hutan

Pemasalahan lain yang tidak kalah penting dalam tumpang tindih antara lahan tambang dan kehutanan. Hutan merupakan rumah bagi ribuan organisme alami dan tempat bagi senyawa-senyawa organik yang membusuk. Setelah melalui periode yang cukup panjang, senyawa organik yang membusuk tersebut tertimbun di dalam tanah dan menghasilkan mineral-mineral organik yang berpotensi menjadi bahan tambang. Oleh karena itu, kawasan hutan merupakan salah satu tempat paling strategis untuk pertambangan.38

D. Ketentuan-Ketentuan Mengenai Masalah Perizinan Pengelolaan Hutan

Berapa banyak masalah pengelolaan hutan yang diselesaikan. Salah satunya menyangkut proses perizinan yang melangkahi prosedur yang ada. Seluruh kebijakan dan izin pengelolaan hutan harus dievaluasi. Namun, yang melakukan evaluasi tersebut bukan pihak yang menjadi bagian dari masalah dalam pengelolaan hutan. Misalnya, pemerintah pusat memerintahkan pemerintah daerah (Pemda) untuk mengevaluasi izin yang sudah diterbitkan. Padahal, kepala daerah menjadi bagian dari

38

Ristyo Pradana, Kebijakan Kehutanan: Mencari Solusi Sistem Pengelolaan Hutan Indonesia, Fakultas kehutanan Universitas Hasanuddin, 2009, hal 5

masalah karena kerap menerbitkan izin tanpa mengacu prinsip perlindungan kawasan hutan, lingkungan dan sosial.39

1. Undang - Undang Nomor. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Pekerjaan pemberian izin oleh pemerintah pada dasarnya merupakan perbuatan hukum publik yang bersegi 1 (satu) yang dilakukan dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan instansi pemerintahan yang mengeluarkan izin tersebut. Sehingga membicarakan ketentuan-ketentuan mengenai masalah perizinan amat luas sekalanya karena beranekaragamnya jenis izin yang dikeluarkan sesuai dengan kedudukan masing-masing instansi pemerintahan itu sendiri. Tetapi meskipun demikian secara umum dapat dikatakan ketentuan ketentuan mengenai masalah perizinan tersebut merupakan pekerjaan pemerintah dalam bentuk nyata (konkret) yang diwujudkan dalam perbuatan mengeluarkan ketetapan yang mempunyai ciri konkret artinya nyata mengatur orang tertentu yang disebutkan identitasnya sebagai pemohon izin untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan pemerintah agar seseorang tersebut dapat diberikan izin.

Ketentuan-ketentuan mengenai masalah perizinan pengelolaan hutan meliputi:

Kekayaan sumber daya alam hutan dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hak menguasai sumber daya hutan oleh Negara menurut Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, memberikan wewenang kepada pemerintah untuk: (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan, dan (c) mengatur dan

39

menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. (Pasal 50 ayat (2)). Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf l); dan mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. (Pasal 50 ayat (3) huruf m).

Sementara Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (selanjutnya disebut ‘UU Kehutanan´) tidak mendefinisikan secara jelas illegal logging dan hanya menjabarkan tindakan-tindakan illegal logging. Kategori illegal logging menurut Pasal 50, antara lain:mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah (ilegal), merambah kawasan hutan, melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan, membakar hutan, dan lain-lain. Dimensi dari kegiatan illegal logging, yaitu: (1) perizinan, apabila kegiatan tersebut tidak ada izinnya atau belum ada izinnya atau izin yang telah kadaluarsa, (2) praktek, apabila dalam praktek tidak menerapkan logging yang sesuai peraturan, (3)lokasi, apabila dilakukan pada lokasi diluar izin, menebang di kawasankonservasi/lindung, atau asal-usul lokasi tidak dapat ditunjukkan, (4) produksi kayu, apabila kayunya sembarangan jenis (dilindungi), tidak ada batas diameter, tidak ada identitas asal kayu, tidak ada tanda pengenal perusahaan, (5)

dokumen, apabila tidak ada dokumen sahnya kayu, (6) pelaku, apabila orang- perorang atau badan usaha tidak memegang izin usaha logging atau melakukan kegiatan pelanggaran hukum dibidang kehutanan, dan (7) penjualan, apabila pada saat penjualan tidak ada dokumen maupun ciri fisik kayu atau kayu diseludupkan. 2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang terdiri dari 12 Bab dan 114 Pasal ini dititikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, terdiri atas dua orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada suatu waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tetapi tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional. Pengecualian terhadap kegiatan perladangan tradisional diberikan kepada masyarakat yang telah hidup secara turun-temurun di dalam wilayah hutan tersebut dan telah melakukan kegiatan perladangan dengan mengikuti tradisi rotasi yang telah ditetapkan oleh kelompoknya.

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya.40

Pembangunan hutan berkelanjutan memerlukan upaya yang sungguh- sungguh karena masih terjadi berbagai tindak kejahatan kehutanan, seperti pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan perkebunan tanpa izin. Kejahatan

40

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Pasal 1 angka 1

itu telah menimbulkan kerugian negara dan kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup yang sangat besar serta telah meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu nasional, regional, dan internasional.

Akhir-akhir ini perusakan hutan semakin meluas dan kompleks. Perusakan itu terjadi tidak hanya di hutan produksi, tetapi juga telah merambah ke hutan lindung ataupun hutan konservasi. Perusakan hutan telah berkembang menjadi suatu tindak pidana kejahatan yang berdampak luar biasa dan terorganisasi serta melibatkan banyak pihak, baik nasional maupun internasional. Perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah.41Kerusakan yang ditimbulkan telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu, penanganan perusakan hutan harus dilakukan secara luar biasa. Pencegahan perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat, badan hukum, dan/atau korporasi yang memperoleh izin pemanfaatan hutan.42

Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.43 Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.44

41

Ibid, Pasal 1 angka 3

42

Ibid, Pasal 7

43

Ibid, Pasal 1 angka 4

44

Ibid, Pasal 1 angka 9

Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu adalah izin usaha yang diberikan oleh Menteri

untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan, dan pemasaran.45

3. Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH)

Melalui pengawasan yang konsisten dan teratur maka berbagai bentuk pelanggaran izin dan peraturan perundang-undangan yang berpotensi mencemari dan merusak lingkungan dapat dicegah sedini mungkin. Dengan demikian pengawasan merupakan "jantung" dari penegakan hukum administratif. Perangkat pengelolaan lingkungan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan izin (terutama izin lingkungan atau izin yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup) dapat dijadikan tolok ukur pelaksanaan pemantauan atau pengawasan penaatan dalam kemasan penegakan hukum administrasi. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa pengawasan (yang dilakukan oleh birokrasi/pemerintah/Pemda) merupakan jantung dari penegakan hukum administrasi. Sedangkan perizinan, baku mutu limbah/emisi atau baku mutu lingkungan dan kewajiban yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan merupakan perangkat administrasi yang digunakan sebagai tolok ukur pelaksanaan pengawasan pemerintah. Undang-Undang

45

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengatur Jenis-Jenis Sanksi Administratif dan Kewenangan Pejabat Pengawas (baik pengawas di tingkat pusat maupun daerah). Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan 4 (empat) jenis sanksi administratif yaitu: (a) teguran tertulis; (b) paksaan pemerintah; (c) pembekuan izin lingkungan; atau (d) pencabutan izin lingkungan. Dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga dijelaskan bentuk-bentuk paksaan pemerintah antara lain penghentian sementara kegiatan produksi dan penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi.46

4. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Versifikasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan Atau pada Hutan Tanaman

Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan alam adalah izin untuk memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau penebangan hutan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengelolaan dan pemasaran hasil hutan kayu.47 Sedangkan Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUHHK) pada hutan tanaman adalah lahan, perbenihan atau pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan, pengelolaan dan pemasaran hasil hutan kayu.48

46

Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 25

47

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Versifikasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan Atau pada Hutan Tanaman, Pasal 1 angka 1

48

Ibid, Pasal 1 angka 2

Maksud verifikasi Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUHHK) pada hutan alam dan atau hutan tanaman adalah dalam rangka memberikan kepastian hukum atas Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUHHK) yang diterbitkan oleh Gubernur

atau Bupati/Walikota dengan tujuan agar pemanfaatan hutan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.49

Satu atau lebih fungsí pokok hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas wilayah administrasi pemerintahan. Dalam hal satu Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), dapat terdiri lebih dari satu fungsi pokok hutan, penetapan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Ketentuan mengenai tata cara penetapan Kesatuan Pengelolaan Hutan.

6. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan

Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan hutan dalam upaya menjaga kelestarian hutan, yang dilakukan antara lain, dengan menata hutan dan menyusun rencana pengelolaan hutan, serta memanfaatkan hutan dalam rangka menjaga kelestarian hutan.

50

Berdasarkan ketentuan dari Peraturan Pemerintah bahwa hasil kegiatan disusun rencana pengelolaan hutan, yang dilakukan dengan mengacu pada rencana kehutanan nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota, memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat, serta kondisi lingkungan. Rencana pengelolaan hutan meliputi rencana pengelolaan hutan jangka panjang dan rencana pengelolaan hutan jangka pendek.51

Kemudian Pemegang izin, dalam melakukan kegiatan usaha pemanfaatan aliran air dan pemanfaatan air pada hutan lindung, harus membayar biaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.52

49

Ibid, Pasal 2

50

Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, Pasal 6

51

Ibid, Pasal 13 ayat (1) dan (2)

52

Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, wajib: menyusun rencana kerja untuk seluruh areal kerja dan melaksanakan kegiatan nyata di lapangan untuk paling lambat 6 (enam) bulan sejak diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, 1 (satu) bulan sejak diberikan izin pemungutan hasil hutan, 1 (satu) tahun untuk Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam hutan alam, Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam maupun hutan tanaman; atau 6 (enam) bulan sejak diberikan izin penjualan tegakan hasil hutan dalam hutan hasil rehabilitasi.53

Apabila pada saat berakhirnya izin, pemegang izin tidak mengajukan permohonan perpanjangan, pemberi izin menerbitkan keputusan hapusnya izin.54

Izin yang diberikan oleh gubernur ditembuskan kepada Menteri, bupati/walikota, dan kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, dan izin yang diberikan oleh bupati/walikota ditembuskan kepada Menteri, gubernur, dan kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan.55

Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan, selain melaksanakan kegiatan pemanfaatan hutan, wajib melaksanakan pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari.56

Memuat Pasal 129 Sanksi administratif berupa penghentian sementara pelayanan administrasi dikenakan pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu dalam hutan alam pada hutan produksi yang melakukan pelanggaran, pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi yang melakukan pelanggaran pemegang Izin

53

Ibid, Pasal 71 ayat (1)

54

Ibid, Pasal 81 ayat (3)

55

Ibid, Pasal 96 (1)

56

Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (HTI) dalam hutan tanaman pada hutan produksi yang melakukan pelanggaran, pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dalam hutan tanaman pada hutan produksi yang melakukan pelanggaran dan pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu yang melakukan pelanggaran.57

Pasal 128 ayat (1) bahwa Sanksi administratif berupa penghentian sementara pelayanan administrasi, penghentian sementara kegiatan di lapangan, denda danpengurangan jatah produksi; atau pencabutan izin. Ayat (2) Sanksi administratif dijatuhkan oleh pemberi izin sesuai dengan kewenangannya masing- masing, kecuali sanksi administratif berupa denda, dijatuhkan oleh Menteri. Ayat (3) bahwa Sanksi administratif berupa denda merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang disetorkan ke Kas Negara.58

5. Peraturan Daerah No.21 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Hutan Di Propinsi Sumatera Utara

Keberadaan hutan sangat penting dalam kehidupan dan pelestarian lingkungan sehingga perlu ditingkatkan pengelolaannya dalam rangka mewujudkan peran dan fungsinya secara optimal. Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan berupa pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu, secara optimal, berkeadilan untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.59 Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada hutan lindung dan hutan produksi.60

57

Ibid, Pasal 129

58

Ibid, Pasal 128 ayat (3)

59

Op.Cit, Peraturan Daerah No.21 Tahun 2002, Pasal 1 angka 31

60

Jenis usaha dalam rangka pemanfaatan kawasan hutan adalah: a) budidaya jamur; b) budidaya tanaman obat (herbal); c) budidaya tanaman hias; d) budidaya tanaman pangan; e) budidaya perlebahan; f) budidaya persuteraan alam; g) budidaya hijauan pakan ternak; h) budidaya payau; i) budidaya penangkaran satwa dan tumbuhan; J) budidaya rotan dan k) budidaya lainnya yang tidak merusak ekosistem

Dokumen terkait