• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERMASALAHAN SDM PERUSAHAAN DI INDONESIA

Dalam dokumen Manajemen SDM (Halaman 39-57)

Catatan Akhir Tahun 2009 tentang Gerakan Buruh di Indonesia Catatan Akhir oleh Komite Solidaritas Nasional

Situasi Umum Perekonomian Dunia dan Indonesia di masa Krisis Keuangan Global tahun 2008-2009

Krisis keuangan yang menghantam Amerika Serikat dan beberapa negara maju lainnya di pertengahan tahun 2008 mulai menampakkan wajahnya di Indonesia pada awal tahun 2009. Krisis ini bermula dari ambruknya bursa Wallstreet Amerika Serikat, yang mengakibatkan perusahan-perusahaan seperti Lehman, General Motor, Citicorp, Merryl Linch dan Bank of America (yang semula menjadi ikon kapitalisme) rontok satu demi satu. Kerontokan ini akhirnya menghasilkan efek domino menjalar ke negara-negara lain dan menular tak terkontrol. BPS di awal tahun 2009 pernah memperkirakan bahwa akan terjadi penambahan pengangguran sekitar 300 ribu orang. Sebab dengan target pertumbuhan ekonomi 5,5 persen, maka tenaga kerja yang terserap hanya 2,2 juta orang.

Krisis keuangan global mulai terasa menohok Indonesia secara signifikan pada triwulan III tahun 2008, dan dampak putaran kedua krisis mulai dirasakan meningkat intensitasnya sehingga berdampak negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di sisi neraca pembayaran, neraca sektor riil dan APBN. Dampak negatif yang paling cepat dirasakan sebagai akibat dari krisis perekonomian global adalah pada sektor keuangan melalui aspek sentimen psikologis maupun akibat

merosotnya likuiditas global. Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar 50 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih berlangsungnya upaya penurunan utang-utang (deleveraging) dari lembaga keuangan global.

Departemen Keuangan dalam laporannya memperkirakan bahwa kecenderungan penurunan pertumbuhan ekonomi hanya mampu berkisar antara 4,0 – 5,0 persen dengan titik estimasi paling optimis pada 4,7 persen (lebih rendah dari titik estimasi awal sebesar 5,0 persen) terutama disebabkan (1) perlambatan investasi yang diperkirakan mencapai 5,9 persen, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 7,5 persen, antara lain berasal dari penanaman modal asing (PMA) dan investasi portofolio; dan (2) kinerja ekspor yang melambat dari perkiraan sebelumnya 7,8 persen menjadi paling tinggi 5,1 persen . Data tiga bulan terakhir menunjukkan ekspor melemah sangat cepat hingga pertumbuhan diperkirakan akan stagnan (nol persen) atau bahkan negatif (-3,0 persen). Penurunan ekspor tersebut juga akan diikuti oleh penurunan produksi, sehingga pada akhirnya rasionalisasi tenaga kerja sulit dihindari. Situasi di atas pararel dengan observasi ILO bahwa hantaman krisis paling telak adalah pada industri-industri di sektor formal, terutama yang berciri ekspor seperti tekstil dan garmen, perkebunan-perkebunan sawit akibat turunnya harga sawit dunia, industri otomotif dan suku cadang akibat guncangnya sektor otomotif di Amerika Serikat dan Eropa, serta industri alas kaki. Gejala krisis tersebut juga dapat ditambah jika kita menengok pada apa yang terjadi di sektor buruh migran dimana terjadi proses pemulangan besar-besaran buruh migran kembali ke Indonesia. Lalu bagaimana langkah yang diambil oleh pemerintah neoliberal Indonesia?

Situasi di atas telah menghasilkan peningkatan pengangguran tenaga kerja dan jumlah masyarakat miskin merupakan dampak berikutnya yang akan segera dialami oleh perekonomian nasional akibat krisis perekonomian global. Saat ini, fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) telah terjadi pada industri-industri yang berorientasi ekspor, menyusul kemudian rencana PHK pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan kertas, dan rencana merumahkan tenaga kerja pada industri perkayuan dan industri perkebunan. Selain itu, resesi global juga akan mengakibatkan PHK atas sebagian dari tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, dan pemulangan mereka ke Indonesia. Hal ini tidak saja akan menambah berat tekanan pada pasar tenaga kerja di Indonesia, tetapi juga akan mengurangi pendapatan devisa dari penghasilan mereka di luar negeri (remittances). Sebagai contoh, data ILO memberi ilustrasi bahwa situasi makro perekonomian Indonesia belakangan ini ditandai oleh tingkat pengangguran riil

yang cenderung meningkat meski BPS menyatakan bahwa pengangguran terbuka telah menurun. Berbeda dengan Agustus 2008 dimana besaran pekerja di sektor informal adalah 61,3%, pekerja sektor informal yang rentan tidak terlindungi oleh hukum ketenagakerjaan meningkat menjadi 67,9% pada Februari 2009. Data lain juga menunjukkan bahwa rata-rata sekitar 30% populasi pekerja hanya bekerja selama kurang dari 35 jam/minggu. Implikasinya yaitu jumlah rakyat pekerja yang miskin juga terus mengalami peningkatan.

Berkaitan dengan itu, dalam rangka memperkecil dampak negatif dari krisis keuangan global tersebut, Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah penyesuaian darurat di bidang fiskal, guna menyelamatkan perekonomian nasional tahun 2009 dari krisis global,

antara lain dengan memperluas program stimulus ekonomi melalui APBN 2009. Langkah itu dilakukan dengan 3 cara untuk 3 tujuan yaitu :

(a) mempertahankan dan/atau meningkatkan daya beli masyarakat untuk dapat menjaga laju pertumbuhan konsumsi di atas 4 persen atau mendekati 4,7 persen;

(b) mencegah PHK dan meningkatkan daya tahan dan daya saing usaha menghadapi krisis ekonomi dunia; dan

(c) menangani dampak PHK dan mengurangi tingkat pengangguran dengan belanja infrastruktur padat karya. Peningkatan daya beli masyarakat dilakukan melalui penurunan tarif PPh Orang Pribadi dan kenaikan penghasilan tidak kena pajak, pemberian subsidi harga untuk obat generik dan minyak goreng, dan PPN untuk produk akhir ditanggung Pemerintah (DTP), penurunan harga BBM, kenaikan gaji PNS, TNI, Polri dan pensiunan, guru/dosen, dan pemberian BLT.

Sementara pada aras lain, pemerintah neoliberal Indonesia berusaha melakukan peningkatan daya saing dan daya tahan usaha dan ekspor ditempuh melalui penurunan tarif PPh Badan dan perusahaan terbuka, pemberian fasilitas bea masuk DTP, PPh pasal 21 dan 25 DTP, PPN DTP, potongan tarif listrik untuk industri, penurunan harga solar, dan penyertaan modal negara (PMN) dalam rangka kredit usaha rakyat dan penjaminan ekspor. Penciptaan lapangan kerja dan pencegahan/pengamanan dampak PHK dilakukan melalui penambahan anggaran untuk infrastruktur yang terkait dengan bencana alam, proyek tahun jamak, jaringan kereta api, instalasi pengolahan air minum, perumahan rakyat, pembangkit dan transmisi listrik, rehabilitasi jalan usaha

Singkatnya, dengan melihat seluruh program penanganan krisis di atas maka pemerintah neoliberal Indonesia hanya melakukan upaya keluar dari krisis dengan berbagai kebijakan yang bersifat mengulang kembali pada situasi dan kondisi yang terjadi pada periode yang dianggap belum terjadi krisis (counter cyclical) berbasiskan konsumsi. Ukuran untuk menilai normalitas kondisi ekonomi dilihat dari pengeluaran untuk konsumsi, bukan dari pendapatan yang diperoleh dari sektor produksi. Secara metodologis, hitungan-hitungan ekonomi semacam itu dapat menyesatkan karena perbandingan tentang kesejahteraan tidak dicari dari apa yang setara, yaitu pendapatan dengan pengeluaran melainkan hanya dari pengeluaran. Dengan cara penanganan krisis semacam itu, apakah krisis yang menerjang rakyat pekerja di Indonesia akan berkurang? Apa aja langkah-langkah ekonomi-politik yang diambil dalam memaksa rakyat pekerja untuk menyesuaikan diri terhadap skema-skema pemulihan krisis yang dibuat oleh pemerintah neoliberal Indonesia?

Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja dan Hubungan Perburuhan sebagai Program Ekonomi-Politik Neoliberalisme terhadap Krisis di Indonesia : Pandangan tentang Beberapa Taktik Musuh Kaum Pekerja di Indonesia

Salah satu organisasi dalam Komite Solidaritas Nasional yang konsisten menyoroti persoalan ekonomi politik, khususnya bidang perburuhan, adalah Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS). Bagian catatan tahunan berikut akan lebih banyak memuat hasil observasi atas panorama perburuhan dengan tambahan disana-sini tanpa mengubah substansi dasar laporan. Dalam laporan observasinya LIPS mencatat sebagaimana dikeluhkan pengusaha, pemerintah meyakini masalah pengangguran berkaitan dengan kekakuan pasar tenaga kerja. Bentuk-bentuk kekakuan dalam pasar tenaga kerja yang disebabkan oleh berbagai regulasi pemerintah -seperti upah minimum provinsi (UMP), aturan pesangon, dan aturan perlindungan kerja- dinilai sangat memberatkan pengusaha. Berdasarkan alasan tersebut, pemerintah didorong untuk mengurangi perannya di pasar tenaga kerja. Konsekuensinya, peran bipartit (pengusaha dan pekerja) akan menentukan keseimbangan pasar Dengan pasar tenaga kerja fleksibel pemerintah berharap membuka kesempatan kerja, upah yang bersaing dengan negara tetangga di kawasan Indocina dan buruh yang memiliki skill tinggi. Untuk melengkapi gambaran itu dapat ditambahkan bahwa harapan pemerintah dengan pembukaan tenaga kerja fleksibel semacam itu berlawanan dengan kondisi dimana bahkan para lulusan tenaga kerja terdidik yang dianggap berketerampilan tinggi sekalipun menghadapi persoalan tidak terserap dalam pasar tenaga kerja yang sudah fleksibel seperti saat ini. Jumlah pengangguran tingkat sarjana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, jumlahnya sekitar 740.000, dan awal tahun 2009 bertambah mendekati angka satu juta atau lebih dari 900.000 sarjana yang

menganggur. Jika melihat tahun 2005, sarjana yang menganggur sebanyak 183.629 orang. Setahun kemudian, yakni 2006 tercatat 409.890 lulusan tidak memiliki pekerjaan, tahun 2007 menjadi 740.000, dan awal tahun 2009 melonjak mendekati angka satu juta sarjana pengangguran. Jadi untuk meningkatkan deposit army reserve of labour yang murah maka pendidikan tinggi setiap tahunnya dapat dikatakan menyumbang produksi sekitar 300.000 sarjana dari 2.900 perguruan tinggi.

Kebijakan pasar kerja fleksibel dituangkan ke dalam Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004—2009. Masalah ketenagakerjaan dibahas secara khusus dalam RPJMN Bab 23 mengenai Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan.

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini difokuskan antara lain pada: Penyempurnaan peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan agar tercipta pasar kerja yang fleksibel. Beberapa hal penting untuk disempurnakan agar tidak mengurangi fleksibilitas pasar kerja adalah:

a) Aturan main yang berkaitan dengan pembatasan pekerja kontrak. Dalam keadaan di mana jumlah penganggur terbuka sangat tinggi maka salah satu upaya menguranginya adalah dengan mempermudah perusahaan untuk melakukan rekrutmen tanpa membatasi jenis pekerjaan bagi pekerja kontrak.

b) Aturan main yang berkaitan dengan pengupahan serta mendorong penentuan upah secara bipartit.

c) Aturan main yang berkaitan dengan PHK. Uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang harus disediakan oleh pemberi kerja bila PHK terjadi dirasakan memberatkan. Selain itu, masih ada ketentuan mengenai uang penggantian hak dan uang pisah bagi mereka yang melakukan kesalahan berat atau mengundurkan diri. Penurunan tingkat pesangon seperti tingkat pesangon di Negara ASEAN harus secepatnya dilaksanakan.

Aturan main yang dikaitkan dengan perlindungan tenaga kerja. Perlindungan pekerja yang berlebihan, seperti cuti panjang setelah 6 tahun bekerja dan pembayaran gaji kepada pekerja yang sakit sampai satu tahun akan dipertimbangkan kembali. Perlindungan berlebihan yang diberikan kepada pekerja wanita seperti larangan kerja malam bagi wanita usia kerja yang berusia kurang dari 18 tahun serta aturan yang berkaitan dengan cuti haid bila dilaksanakan secara kaku dapat mengurangi fleksibilitas pasar kerja. Pemerintah mendorong berbagai perlindungan melalui perundingan antara pekerja dan pemberi kerja yang kemudian disepakati dalam perjanjian kerja bersama.

PKB yang jelas bersifat bipartit dimana posisi pekerja jelas tidak selalu setara di meja perundingan.

KSN adalah organisasi yang bersifat lintas sektoral sebagai wadah perlawanan pekerja terhadap neoliberalisme yang menyusup ke berbagai sendi perikehidupan rakyat pekerja di Indonesia. KSN utamanya memberi perhatian pada dimensi anti-privatisasi, anti-pemberangusan serikat pekerja dan anti-buruh kontrak/outsourcing sebagai taktik yang paling sering digunakan oleh aparat-aparat neoliberal dalam mengedepankan program neoimperialisme. Taktik-taktik tersebut dimuarakan untuk membentuk apa yang dinamakan pola manajemen (pasar) tenaga kerja yang fleksibel. Fleksibel untuk dijadikan bahan permainan para elit ekonomi-politik yang berkepentingan terhadap berbagai kekayaan yang ada di bumi Indonesia. Persis pada momentum krisis, upaya melakukan fleksibilisasi mendapat angin segar dengan berbagai justifikasi yang diperlukan untuk mendukungnya. Untuk itu, KSN akan mengurai catatannya mengapa ketiga taktik di atas penting untuk dilawan dan apa kaitan satu sama lain dari taktik-taktik tersebut, yaitu privatisasi, pemberangusan serikat, dan outsourcing tenaga kerja. Hukum perburuhan yang berlaku di Indonesia adalah rangkaian paket undang-undang seperti Undang mengenai kebebasan berserikat No. 21 Tahun 2000, Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Mengenai Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Namun, misalnya, sejak Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh disahkan, korban pemberangusan serikat buruh (union busting) justru terus berjatuhan. Kenyataan itu memperlihatkan bahwa meskipun, di satu sisi, undang-undang itu mendorong terlaksananya kebebasan berserikat, tetapi di sisi lain, undang-undang itu merupakan alat untuk memetakan siapa saja organisasi-organisasi buruh yang dapat dikooptasi maupun, sekaligus, dilumatkan oleh pengaruh neoliberalisme yang in essence bersifat konservatif. KSN mencatat bahwa terutama sejak kursi pelaksana operasi rejim neoliberal diduduki oleh SBY-Kalla, dari tahun 2005 hingga 2009 tercatat ada sekitar 28 kasus pemberangusan serikat. Pada 28 kasus itu, ada 24 kemungkinan cara yang sering digunakan para manajer, baik di tingkat perusahaan swasta dan BUMN maupun lokal dan nasional, untuk melakukan pemberangusan serikat. Cara-cara yang saling berkombinasi satu sama lain untuk makin melancarkan program fleksibilisasi (pasar) tenaga kerja. Dalam ha pembuatan PKB pun, eksistensi UU No.21/2000 tersebut sering dikangkangi oleh pengusaha dengan tidak menyertakan secara proporsional serikat-serikat buruh yang ada di perusahaan tersebut.

Kemudian meskipun dalam UU No.13 telah diatur berbagai prosedur yang mempersulit pelaksanaan PHK, namun sejak krisis finansial 2008, pukulan terberat terus dialami oleh baik industri sektor riil maupun jasa yang bersifat formal. Sebagai contoh adalah

industri garmen dan tekstil. Dua industri ini, sejak 2005 telah menyetujui penghilangan kuota dari World Trade Organisation (WTO). Liberalisasi perdagangan tekstil menyebabkan gempuran impor tekstil luar negari yang dijual murah. Sementara, industri tekstil dalam negeri masih menggunakan teknologi padat karya. Persaingan industri tekstil telah menyebabkan tekanan pemecatan yang semakin hebat, dan penurunan upah.

Tabel Kumulasi PHK Semester I, II 2009

Sektor

Kasus Jumlah PHK

I. TSK (Tekstil, Sandang dan Kulit) 33 130,291

II. RTMM (Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman) 11 19,722 III. LEM (Logam, Elektronik dan Metal) 17 44,597 IV. KEP (Kimia, Energi dan Pertambangan) 9 3,295

V. Perkayuan dan Kehutanan 19 50,790

VI. Transportasi dan Komunikasi 8 3,588

Sumber: Pusat Data dan Dokumentasi Lembaga Informasi Perburuhan Sedane PHK belum termasuk di sektor Jasa Keuangan dan Agroindustri

Sumber : Dinamika Perburuhan Indonesia 2009 : Krisis, Privatisasi dan Fleksibilisasi.

Catatan tahunan Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), hal.7

PHK terbanyak selama semester I 2009 dialami industri TSK yang disusul oleh industri Perkayuan dan kehutanan. Industri tekstil dikenal sebagai penyerap tenaga kerja terbesar di perkotaan, sementara industri perkayuan dan kehutanan menyerap tenaga kerja di perdesaaan. PHK pada sektor-sektor itu biasanya disertai alasan menurunnya dan adanya penghentian pesanan dari pasar internasional. Menurunnya pesanan dari pasar internasional mendorong pengurangan tenaga kerja dan buruh yang dirumahkan karena perusahaan seolah harus ditutup.

Melalui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, pemerintah mewanti-wanti untuk tidak memecat buruh tetap ketika mengalami kesulitan berusaha. Hanya saja, krisis memperlihatkan pola PHK yang khas. Krisis menjadi alasan sekaligus peluang bagi pengusaha untuk mem-PHK buruh tetap dan merekrut buruh kontrak. PT. Grand Pintalan Serang Banten, pada Maret 2009, telah mem-PHK 400 buruhnya dan merekrut

buruh dengan status kontrak dari Bandung. PT. Frans Putratex Serang Banten, telah mem-PHK 73 orang buruhnya, dan mengumumkan perekrutan buruh kontrak.

Pola lain adalah PHK yang dialamatkan kepada aktivis serikat. Hal ini, dialami oleh PUK KEP SPSI PT. Framas Plastic Technology, yang memproduksi Brand Adidas, mem-PHK lima pengurusnya. DPC FSPMI Bogor Jawa Barat, DPC FSPMI Pasuruan Jawa Timur (PT. Kim Jing), Serikat Pekerja Hotel Grand Aquila IUF, SPN Tangerang Banten (PT. PRATAMA SHOES dan PT. Wonnel Middas).

PHK semakin memperburuk keanggotaan serikat buruh setelah dipreteli oleh masifikasi buruh kontrak dan outsourcing. Rata-rata buruh kontrak maupun outsourcing enggan berserikat, karena terancam kepastian kerjanya. Mereka dapat mudah diputus kontraknya oleh perusahaan. Fleksibilisasi mengandaikan perundingan setara antara buruh dengan pengusaha. Dengan demikian, fleksibilisasi tidak menghendaki keberadaan perundingan kolektif oleh serikat buruh.

Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sebagai dinding terakhir pertahanan buruh di perusahaan, sejak 2007, banyak yang tidak diperpanjang. Perusahaan, dengan alasan krisis, menghindar untuk merundingkan PKB. Kasus ini terlihat di PUK KEP SPSI PT. Framas Plastic Technology Bekasi Jawa Barat, PSP SPN PT. Frans Putratex Serang Banten. Krisis pun dijadikan alasan untuk tidak menaikkan upah minimum provinsi, padahal order yang diterima terus-terusan bertambah. Pasca penetapan paket undang-undang tersebut, terjadi masifikasi yang gila-gilaan atas penggunaan buruh kontrak dan outsourcing, penurunan kondisi kerja, degradasi kesejahteraan buruh-buruh di bawah mandor dan pelemahan daya tawar serikat buruh.

Di perusahaan-perusahaan publik, fleksibilisasi tenaga kerja beriringan dengan program privatisasi. BUMN digembosi dengan isu inefisiensi dan korupsi untuk melapangkan jalan pemindahan manajemen dari negara ke swasta. Tidak dipungkiri bahwa BUMN-BUMN patut dapat diduga dijadikan sebagai sapi perah partai politik, terutama di masa-masa kampanye. Untuk membayar kembali dana yang terindikasi dikeluarkan sebagai biaya setoran politik, maka diperlukan efisiensi keuangan dan yang terjadi kemudian adalah PHK besar-besaran dan makin maraknya pekerja kontrak dan outsourcing di lingkungan BUMN. Pemberangusan serikat pekerja BUMN yang aktif dalam memperjuangkan terciptanya BUMN bersih terlihat pada kasus-kasus PHK dan mutasi pengurus serikat pekerja BUMN di PT Angkasa Pura I, PT Bank Mandiri, PT Merpati Nusantara Airlines, PT Garuda Indonesia Airways, PT Dok Koja Bahari, dll. Riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan menyebutkan bahwa privatisasi juga tidak memperbaiki layanan untuk kalangan publik. Kasus Rumah Sakit Omni

Internasional dengan Prita Mulyasari, pada Juni 2009, memperlihatkan bagaimana buruknya pelayanan kesehatan. Dalam bidang pendidikan, di mana lembaga-lembaga pendidikan diberikan hak otonom dalam mencari keuangan sembari dikurangi subsidinya, kekerasan terus saja mewarnai pelaksanaan pendidikan. Privatisasi terhadap perusahaan negara telah meminggirkan akses warga miskin untuk mendapatkan hak ekonomi, sosial dan budaya.

Laporan Tahunan Tentang Praktek Hak Asasi Manusia di Indonesia Terkait Hak-Hak Pekerja – 2008 oleh Biro Demokrasi HAM, dan Perburuhan 25 Februari 2009 a. Hak untuk Berserikat

Undang-undang menjamin hak berserikat secara luas bagi para pekerja, dan mereka menjalankan hak-hak tersebut. Undang-undang memungkinkan pekerja membentuk dan bergabung dengan serikat-serikat pekerja sesuai pilihannya tanpa memerlukan izin sebelumnya atau persyaratan yang berlebihan, dan pekerja benar-benar menjalankannya. Hukum menetapkan bahwa 10 atau lebih pekerja berhak untuk membentuk perserikatan, dengan keanggotaan yang terbuka bagi semua pekerja, tanpa membedakan afiliasi politik, agama, etnis, atau jenis kelamin. Pekerja di sektor swasta, menurut hukum, bebas untuk membentuk organisasi pekerja tanpa perizinan terlebih dahulu, dan perserikatan dapat menyusun sendiri anggaran dasar dan peraturan serta memilih wakil-wakil. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencatat, bukannya menyetujui, pembentukan perserikatan, federasi, atau konfederasi dan memberikan nomor pendaftaran. Pada tahun ini, sejumlah serikat pekerja melaporkan bahwa kantor-kantor dinas tenaga kerja daerah melakukan penolakan pendaftaran berdasarkan prasangka tertentu. Kebanyakan anggota perserikatan tergabung pada salah satu dari tiga konfederasi perserikatan yang ada.

Menurut ILO, terdapat hampir 3,4 juta anggota serikat dagang pada tahun 2005-2006, yang berjumlah sekitar 10 persen dri sector formal, atau sekitar 3,6 persen dari seluruh tenaga kerja.

Undang-undang memberikan kebebasan bagi pegawai negeri untuk berserikat dan berorganisasi, dan pegawai dari beberapa departemen membentuk persatuan pegawai; organisasi-organisasi serikat pekerja berupaya utnuk mengorganisir para pekerja ini. Serikat-serikat pekerja juga berusaha mengorganisir pegawai dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), walaupun mereka mengalami hambatan dari pihak manajemen perusahaan, dan dasar hukum untuk bagi pendaftaran perserikatan di BUMN masih

Undang-undang mengizinkan pemerintah untuk mengajukan permohonan pembubaran sebuah serikat di pengadilan jika bertentangan dengan ideologi negara atau undang-undang dasar. Serikat juga bisa dibubarkan jika pemimpin atau anggota serikat pekerja, atas nama serikat pekerja, melakukan tindak kejahatan terhadap keamanan negara dan dihukum setidaknya lima tahun penjara. Bila serikat pekerja dibubarkan, para pemimpin dan anggotanya tidak boleh membentuk serikat baru selama sekurang-kurangnya tiga tahun. Sepanjang tahun ini tidak ada laporan pembubaran serikat pekerja oleh pemerintah.

Berdasarkan Undang-undang Ketenagakerjaan, pekerja harus memberitahukan rencana pemogokan secara tertulis kepada pihak berwenang dan kepada perusahaan tujuh hari sebelumnya agar pemogokan tersebut sah, dengan mencantumkan pula waktu dimulai dan berakhirnya pemogokan tersebut, tempat diadakannya, serta alasannya, dan ditandatangani oleh ketua dan sekretaris serikat pekerja. Peraturan menteri menyatakan semua mogok ilegal untuk “perusahaan yang melayani kepentingan umum atau perusahaan yang kegiatannya akan membahayakan keselamatan hidup manusia apabila tidak diteruskan.” Jenis perusahaan apa yang termasuk dalam kategori ini tidak dijelaskan, dan hanya diketahui oleh pemerintah. Peraturan yang sama juga mengkategorikan pemogokan sebagai ilegal jika “bukan sebagai akibat dari perundingan yang gagal” dan memberikan kepada perusahaan waktu tambahan untuk menghalangi tindakan serikat pekerja untuk melakukan pemogokan karena kegagalan dikategorikan sebagai perundingan yang mengarah pada jalan buntu “yang dinyatakan oleh kedua belah pihak.”

Sebelum pekerja dapat melakukan pemogokan, mereka harus mengupayakan mediasi

Dalam dokumen Manajemen SDM (Halaman 39-57)

Dokumen terkait