• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasal 105

(1) Pemeriksaan Berkala Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 dilakukan untuk seluruh atau sebagian Bangunan Gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau sarana dan prasarana dalam rangka pemeliharaan dan perawatan yang harus dicatat dalam laporan pemeriksaan sebagai bahan untuk memperoleh perpanjangan SLF.

(2) Pemilik atau Pengguna Bangunan Gedung di dalam melakukan kegiatan Pemeriksaan Berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan penyedia jasa pengkajian teknis Bangunan Gedung atau perorangan yang mempunyai sertifikat kompetensi yang sesuai. (3) Lingkup layanan Pemeriksaan Berkala Bangunan Gedung

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pemeriksaan dokumen administrasi, pelaksanaan, pemeliharaan dan perawatan Bangunan Gedung;

b. kegiatan pemeriksaan kondisi Bangunan Gedung terhadap pemenuhan persyaratan teknis termasuk pengujian keandalan Bangunan Gedung;

c. kegiatan analisis dan evaluasi, dan

d. kegiatan penyusunan laporan.

(4) Bangunan rumah tinggal tunggal, bangunan rumah tinggal deret dan bangunan rumah tinggal sementara yang tidak Laik Fungsi, SLF-nya dibekukan.

(5) Dalam hal belum terdapat penyedia jasa pengkajian teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengkajian teknis dilakukan oleh pemerintah daerah dan dapat bekerja sama dengan asosiasi profesi yang terkait dengan bangunan gedung.

Paragraf 5 Perpanjangan SLF

Pasal 106

(1) Perpanjangan SLF Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 diberlakukan untuk Bangunan Gedung yang telah dimanfaatkan dan masa berlaku SLF-nya telah habis.

(2) Ketentuan masa berlaku SLF sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu:

a. untuk bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal sederhana dan rumah deret sederhana tidak dibatasi (tidak ada ketentuan untuk perpanjangan SLF);

b. untuk bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal, dan rumah deret sampai dengan 2 (dua) lantai ditetapkan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun;

c. untuk untuk bangunan gedung hunian rumah tinggal tidak sederhana, bangunan gedung lainnya pada umumnya, dan bangunan gedung tertentu ditetapkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun.

(3) Pengurusan perpanjangan SLF Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari

kalender sebelum berkhirnya masa berlaku SLF dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Pengurusan perpanjangan SLF dilakukan setelah pemilik/ pengguna/ pengelola Bangunan Gedung memiliki hasil pemeriksaan/kelaikan fungsi Bangunan Gedung berupa:

a. laporan Pemeriksaan Berkala, laporan pemeriksaan dan perawatan Bangunan Gedung;

b. daftar simak pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung; dan

c. dokumen surat pernyataan pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung atau rekomendasi.

(5) Permohonan perpanjangan SLF diajukan oleh pemilik/ pengguna/ pengelola Bangunan Gedung dengan dilampiri dokumen:

a. surat permohonan perpanjangan SLF;

b. surat pernyataan pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung atau rekomendasi hasil pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung yang ditandatangani di atas meterai yang cukup;

c. as built drawings;

d. fotokopi IMB Bangunan Gedung atau perubahannya; e. fotokopi dokumen status hak atas tanah;

f. fotokopi dokumen status kepemilikan Bangunan Gedung;

g. rekomendasi dari instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang fungsi khusus; dan

h. dokumen SLF Bangunan Gedung yang terakhir.

(6) Pemerintah Daerah menerbitkan SLF paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). (7) SLF disampaikan kepada pemohon selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari

kerja sejak tanggal penerbitan perpanjangan SLF.

Pasal 107

Tata cara perpanjangan SLF diatur lebih lanjut dalam peraturan bupati.

Paragraf 6

Pengawasan Pemanfaatan Bangunan Gedung Pasal 108

Pengawasan Pemanfaatan Bangunan Gedung dilakukan oleh Pemerintah Daerah:

a. pada saat pengajuan perpanjangan SLF; b. adanya laporan dari masyarakat, dan

c. adanya indikasi perubahan fungsi dan/atau Bangunan Gedung yang membahayakan lingkungan.

Paragraf 7 Pelestarian Pasal 109

(1) Pelestarian Bangunan Gedung meliputi kegiatan penetapan dan pemanfaatan, perawatan dan pemugaran, dan kegiatan pengawasannya sesuai dengan kaidah pelestarian.

(2) Pelestarian Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara tertib dan menjamin kelaikan fungsi Bangunan Gedung dan lingkungannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 8

Penetapan dan Pendaftaran Bangunan Gedung yang Dilestarikan Pasal 110

(1) Bangunan Gedung dan lingkungannya dapat ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi dan dilestarikan apabila telah berumur paling sedikit 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan termasuk nilai arsitektur dan teknologinya, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

(2) Pemilik, masyarakat, Pemerintah Daerah dapat mengusulkan Bangunan Gedung dan lingkungannya yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi dan dilestarikan.

(3) Bangunan Gedung dan lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum diusulkan penetapannya harus telah mendapat pertimbangan dari tim ahli pelestarian Bangunan Gedung dan hasil dengar pendapat masyarakat dan harus mendapat persetujuan dari Pemilik Bangunan Gedung.

(4) Bangunan Gedung yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai Bangunan Gedung yang dilindungi dan dilestarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan klasifikasinya yang terdiri atas:

a. klasifikasi utama yaitu Bangunan Gedung dan lingkungannya yang bentuk fisiknya sama sekali tidak boleh diubah;

b. klasifikasi madya yaitu Bangunan Gedung dan lingkungannya yang bentuk fisiknya dan eksteriornya sama sekali tidak boleh diubah, namun tata ruang dalamnya sebagian dapat diubah tanpa mengurangi nilai perlindungan dan pelestariannya;

c. klasifikasi pratama yaitu Bangunan Gedung dan lingkungannya yang bentuk fisik aslinya boleh diubah sebagian tanpa mengurangi nilai perlindungan dan pelestariannya serta tidak menghilangkan bagian utama Bangunan Gedung tersebut.

(5) Pemerintah Daerah melalui instansi terkait mencatat Bangunan Gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan dilestarikan serta keberadaan Bangunan Gedung dimaksud menurut klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

(6) Keputusan penetapan Bangunan Gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan dilestarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan secara tertulis kepada pemilik.

Paragraf 9

Pasal 111

(1) Bangunan Gedung yang ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) dapat dimanfaatkan oleh pemilik dan/atau pengguna dengan memperhatikan kaidah pelestarian dan Klasifikasi Bangunan Gedung cagar budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Bangunan Gedung cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan dengan mengikuti ketentuan dalam klasifikasi tingkat perlindungan dan pelestarian Bangunan Gedung dan lingkungannya.

(3) Bangunan Gedung cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dijual atau dipindahtangankan kepada pihak lain tanpa seizin Pemerintah Daerah.

(4) Pemilik Bangunan Gedung cagar budaya wajib melindungi Bangunan Gedung dan/atau lingkungannya dari kerusakan atau bahaya yang mengancam keberadaannya, sesuai dengan klasifikasinya.

(5) Pemilik Bangunan Gedung cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) berhak memperoleh insentif dari Pemerintah Daerah. (6) Besarnya insentif untuk melindungi Bangunan Gedung sebagaimana

dimaksud pada ayat (5) diatur dalam peraturan bupati berdasarkan kebutuhan nyata.

Pasal 112

(1) Pemugaran, pemeliharaan, perawatan, pemeriksaan secara berkala Bangunan Gedung cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dilakukan oleh Pemerintah Daerah atas beban APBD.

(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan rencana teknis pelestarian dengan mempertimbangkan keaslian bentuk, tata letak, sistem struktur, penggunaan bahan bangunan, dan nilai-nilai yang dikandungnya sesuai dengan tingkat kerusakan Bangunan Gedung dan ketentuan klasifikasinya.

Bagian Kelima Pembongkaran

Paragraf 1 Umum Pasal 113

(1) Pembongkaran Bangunan Gedung meliputi kegiatan penetapan pembongkaran dan pelaksanaan pembongkaran Bangunan Gedung, yang dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah pembongkaran secara umum serta memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2) Pembongkaran Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan secara tertib dan mempertimbangkan keamanan, keselamatan masyarakat dan lingkungannya.

(3) Pembongkaran Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan ketetapan perintah pembongkaran atau persetujuan pembongkaran oleh Pemerintah Daerah, kecuali Bangunan Gedung fungsi khusus oleh Pemerintah.

Paragraf 2

Penetapan Pembongkaran Pasal 114

(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mengidentifikasi Bangunan Gedung yang akan ditetapkan untuk dibongkar berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau laporan dari masyarakat.

(2) Bangunan Gedung yang dapat dibongkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Bangusnan Gedung yang tidak Laik Fungsi dan tidak dapat diperbaiki lagi;

b. Bangunan Gedung yang pemanfaatannya menimbulkan bahaya bagi pengguna, masyarakat, dan lingkungannya;

c. Bangunan Gedung yang tidak memiliki IMB; dan/atau

d. Bangunan Gedung yang pemiliknya menginginkan tampilan baru.

(3) Pemerintah Daerah menyampaikan hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemilik/Pengguna Bangunan Gedung yang akan ditetapkan untuk dibongkar.

(4) Berdasarkan hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemilik/pengguna/pengelola Bangunan Gedung wajib melakukan pengkajian teknis dan menyampaikan hasilnya kepada Pemerintah Daerah.

(5) Apabila hasil pengkajian tersebut sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pemerintah Daerah menetapkan Bangunan Gedung tersebut untuk dibongkar dengan surat penetapan pembongkaran atau surat pesetujuan pembongkaran dari bupati, yang memuat batas waktu dan prosedur pembongkaran serta sanksi atas pelanggaran yang terjadi.

(6) Dalam hal pemilik/pengguna/pengelola Bangunan Gedung tidak melaksanakan perintah pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pembongkaran akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah atas beban biaya pemilik/pengguna/pengelola Bangunan Gedung, kecuali bagi pemilik bangunan rumah tinggal yang tidak mampu, biaya pembongkarannya menjadi beban Pemerintah Daerah.

Paragraf 3

Rencana Teknis Pembongkaran Pasal 115

(1) Pembongkaran Bangunan Gedung yang pelaksanaannya dapat menimbulkan dampak luas terhadap keselamatan umum dan lingkungan harus dilaksanakan berdasarkan rencana teknis pembongkaran yang disusun oleh penyedia jasa Perencanaan Teknis yang memiliki sertifikat keahlian yang sesuai.

(2) Rencana teknis pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disetujui oleh Pemerintah Daerah, setelah mendapat pertimbangan dari TABG.

(3) Dalam hal pelaksanaan pembongkaran berdampak luas terhadap keselamatan umum dan lingkungan, pemilik dan/atau Pemerintah Daerah melakukan sosialisasi dan pemberitahuan tertulis kepada masyarakat di sekitar Bangunan Gedung, sebelum pelaksanaan

pembongkaran.

(4) Pelaksanaan pembongkaran mengikuti prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

Paragraf 4

Pelaksanaan Pembongkaran Pasal 116

(1) Pembongkaran Bangunan Gedung dapat dilakukan oleh pemilik dan/ atau Pengguna Bangunan Gedung atau menggunakan penyedia jasa pembongkaran Bangunan Gedung yang memiliki sertifikat keahlian yang sesuai.

(2) Pembongkaran Bangunan Gedung yang menggunakan peralatan berat dan/atau bahan peledak harus dilaksanakan oleh penyedia jasa pembongkaran Bangunan Gedung yang mempunyai sertifikat keahlian yang sesuai.

(3) Pemilik dan/atau Pengguna Bangunan Gedung yang tidak melaksanakan pembongkaran dalam batas waktu yang ditetapkan dalam surat perintah pembongkaran, pelaksanaan pembongkaran dilakukan oleh Pemerintah Daerah atas beban biaya pemilik dan/atau Pengguna Bangunan Gedung.

Paragraf 5

Pengawasan Pembongkaran Bangunan Gedung Pasal 117

(1) Pengawasan pembongkaran Bangunan Gedung tidak sederhana dilakukan oleh penyedia jasa pengawasan yang memiliki sertifikat keahlian yang sesuai.

(2) Pembongkaran Bangunan Gedung tidak sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rencana teknis yang telah memperoleh persetujuan dari Pemerintah Daerah.

(3) Hasil pengawasan pembongkaran Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan kepada Pemerintah Daerah.

(4) Pemerintah Daerah melakukan pemantauan atas pelaksanaan kesesuaian laporan pelaksanaan pembongkaran dengan rencana teknis pembongkaran.

Bagian Keenam

Penyelenggaraan Bangunan Gedung Pascabencana Paragraf 1

Penanggulangan Darurat Pasal 118

(1) Penanggulangan darurat merupakan tindakan yang dilakukan untuk mengatasi sementara waktu akibat yang ditimbulkan oleh bencana alam yang menyebabkan rusaknya Bangunan Gedung yang menjadi hunian atau tempat beraktivitas.

(2) Penanggulangan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau kelompok masyarakat.

dilakukan setelah terjadinya bencana alam sesuai dengan skalanya yang mengancam keselamatan Bangunan Gedung dan penghuninya. (4) Skala bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan

oleh pejabat yang berwenang dalam setiap tingkatan pemerintahan yaitu:

a. Presiden untuk bencana alam dengan skala nasional;

b. Gubernur untuk bencana alam dengan skala provinsi;

c. Bupati untuk bencana alam skala Kabupaten.

(5) Di dalam menetapkan skala bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berpedoman pada peraturan perundang-undangan terkait.

Paragraf 2

Bangunan Gedung Umum Sebagai Tempat Penampungan Pasal 119

(1) Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib melakukan upaya penanggulangan darurat berupa penyelamatan dan penyediaan penampungan sementara.

(2) Penampungan sementara pengungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada lokasi yang aman dari ancaman bencana dalam bentuk tempat tinggal sementara selama korban bencana mengungsi berupa tempat penampungan massal, penampungan keluarga atau individual.

(3) Bangunan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan fasilitas penyediaan air bersih dan fasilitas sanitasi yang memadai.

(4) Penyelenggaraan bangunan penampungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam peraturan bupati berdasarkan persyaratan teknis sesuai dengan lokasi bencananya.

Bagian Ketujuh

Rehabilitasi Pascabencana Pasal 120

(1) Bangunan Gedung yang rusak akibat bencana dapat diperbaiki atau dibongkar sesuai dengan tingkat kerusakannya.

(2) Bangunan Gedung yang rusak tingkat sedang dan masih dapat diperbaiki, dapat dilakukan rehabilitasi sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.

(3) Rehabilitasi Bangunan Gedung yang berfungsi sebagai hunian rumah tinggal pascabencana berbentuk pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat.

(4) Bantuan perbaikan rumah masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi dana, peralatan, material, dan sumber daya manusia. (5) Persyaratan teknis rehabilitasi Bangunan Gedung yang rusak

disesuaikan dengan karakteristik bencana yang mungkin terjadi di masa yang akan datang dan dengan memperhatikan standar konstruksi bangunan, kondisi sosial, adat istiadat, budaya dan ekonomi.

(6) Pelaksanaan pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan melalui bimbingan teknis dan bantuan teknis oleh instansi/ lembaga terkait.

(7) Tata cara dan persyaratan rehabilitasi Bangunan Gedung pascabencana diatur lebih lanjut dalam peraturan bupati.

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pemerintah Daerah memberikan kemudahan kepada Pemilik Bangunan Gedung yang akan direhabilitasi berupa:

a. Pengurangan atau pembebasan biaya IMB, atau

b. Pemberian desain prototip yang sesuai dengan karakter bencana, atau

c. Pemberian bantuan konsultansi penyelenggaraan rekonstruksi Bangunan Gedung, atau

d. Pemberian kemudahan kepada permohonan SLF;

e. Bantuan lainnya.

(9) Untuk mempercepat pelaksanaan rehabilitasi Bangunan Gedung hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bupati dapat menyerahkan kewenangan penerbitan IMB kepada pejabat pemerintahan di tingkat paling bawah.

(10) Rehabilitasi rumah hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui proses Peran Masyarakat di lokasi bencana, dengan difasilitasi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

(11) Tata cara penerbitan IMB Bangunan Gedung hunian rumah tinggal pada tahap rehabilitasi pascabencana, dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82.

(12) Tata cara penerbitan SLF Bangunan Gedung hunian rumah tinggal pada tahap rehabilitasi pascabencana, dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100.

Pasal 121

Rumah tinggal yang mengalami kerusakan akibat bencana dapat dilakukan rehabilitasi dengan menggunakan konstruksi Bangunan Gedung yang sesuai dengan karakteristik bencana.

BAB V

TIM AHLI BANGUNAN GEDUNG

Dokumen terkait