• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERJANJIAN DALAM HUKUM ISLAM DAN PERATURAN

C. Persaingan Usaha Tidak Sehat

2. Persaingan Usaha Tidak Sehat Menurut Hukum

39

6) Monopoli

Monopoli atau ih{tika<r ialah menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besarpun diperoleh. Rasulullah saw. melarang keras perilaku bisnis semacam ini. 45

d. Persaingan yang diperbolehkan

Di dalam Islam, terdapat persaingan yang diperbolehkan yaitu persaingan yang tidak menghilangkan prinsip syariat yang didalamnya mengandung unsur-unsur yang telah ditetapkan sesuai hukum Islam. Persaingan usaha yang

diperbolehkan dalam Islam harus memenuhi prinsip-prinsip syariat

diantaranyasikap saling jujur, tidak mengucapkan sumpah palsu, saling ramah tamah, tidak mencela bisnis antara satu pesaing bisnis dengan pesaing yang lain, tidak merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial, barang yang dijual suci dan halal, serta bersih dari unsur riba.46

2. Persaingan Usaha Tidak Sehat Menurut Hukum Positif a. Pengertian

Dalam pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang dimaksud dengan persiangan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang

45Ibid., 17.

40 dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.47

UU No. 5 Tahun 1999 memberikan tiga indikator untuk menyatakan terjadinya persaingan usaha tidak sehat, yaitu:

1) Persaingan usaha yang dilakukan secara tidak jujur

2) Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara melawan hukum

3) Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara menghambat terjadinya persaingan diantara pelaku usaha.48

b. Dasar hukum

Dalam hal ini pemerintah berupaya untuk mencegah adanya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dengan mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

c. Macam-macam

Secara substansial, ada tiga bentuk larangan di dalam UU No. 5 Tahun 1999, yaitu :

1) Perjanjian yang dilarang. Sebagaimana yang terdapat di dalam Bab III dari pasal 4 sampai pasal 16, terdiri dari:

a) Pasal 4 mengenai praktek oligopoli

b) Pasal 5 sampai 8 mengenai penetapan harga c) Pasal 9 mengenai pembagian wilayah d) Pasal 10 mengenai pemboikotan e) Pasal 11 mengenai kartel

47 Hermansyah, Pokok Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia,cet. 2 (Jakarta: Kencana, 2009), 4. 48 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan UsahaTeori dan Praktiknya di Indonesia, cet. 2 (Jakarta: PT Raja

41 f) Pasal 12 mengenai trust

g) Pasal 13 mengenai oligopsoni h) Pasal 14 mengenai integrasi vertikal i) Pasal 15 mengenai perjanjian tertutup

j) Pasal 16 mengenai perjanjian dengan pihak Luar Negeri

2) Kegiatan yang dilarang terdapat pada Bab IV yang rinciannya dimuat dari pasal 17 sampai pasal 24, terdiri dari:

a) Pasal 17 mengenai monopoli b) Pasal 18 mengenai monopsoni

c) Pasal 19 sampai 21 mengenai penguasaan pasar d) Pasal 22 sampai 24 mengenai persekongkolan

3) Larangan yang berkaitan dengan posisi dominan terdapat di dalam Bab V dari pasal 25 sampai pasal 29, terdiri dari:

a) Pasal 25 mengenai ketentuan umum posisi dominan b) Pasal 26 mengenai jabatan rangkap

c) Pasal 27 mengenai pemilikan saham

d) Pasal 28 dan 29 mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan49

Dalam UU No 5 Tahun 1999 pasal 1 angka17 dijelaskan bahwa perjanjian adalah suatuperbuatan satu atau lebih pelaku usaha mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis ataupun tidak tertulis. Adapun perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999 sebagai berikut :

1) Praktek oligopoli.

42 Menurut pasal 4 yaitu (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

2) Penetapan harga.

Menurut pasal 5 yaitu (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi: a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.

3) Pembagian wilayah.

Menurut pasal 9 yaitu Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

4) Pemboikotan.

Menurut pasal 10 yaitu (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. (2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut: a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.

5) Kartel.

Menurut pasal 11 yaitu Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

43 6) Trust.

Menurut pasal 12 yaitu Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

7) Oligopsoni.

Menurut pasal 13 yaitu (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

8) Integrasi vertical.

Menurut pasal 14 yaitu Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.

9) Perjanjian tertutup.

Menurut pasal 15 yaitu (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu. (2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. (3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok: a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari

44 pelaku usaha pemasok; atau b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

10) Perjanjian dengan pihak luar negeri.

Menurut pasal 16 yaitu Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Adapun kegiatan yang dilarang adalah kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha seperti monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dumping, manipulasi biaya produksi dan persekongkolan. Perbedaan antara kegiatan yang dilarang dengan perjanjian yang dilarang terletak pada jumlah pelakuusaha. Dalam perjanjian yang dilarang paling tidak ada dua pihak pelaku usaha, karenasuatu perjanjian menghendaki sedikitnya dua subjek hukum. Sementara dalam kegiatan yang dilarang tidak tertutup untuk dilakukan oleh satu pelaku usaha.50

d. Persaingan yang tidak dilarang

Kendati UU No. 5 Tahun 1999 melarang dengan jelas praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, namun undang-undang ini memberi pengecualian kepada setidaknya dua bentuk usaha yang mirip-mirip monopoli. Pertama, Bisnis Franchise (waralaba). Kedua, adalah Hak milik intelektual. Misalnya hak paten. Jelas bahwa pemegang hak paten memiliki kekuasaan monopoli terhadap produk yang dipatenkan. Ia dapat dengan bebas mengatur dan mendikte pasar, tanpa ada barang lain sebagai substitusinya.51

50Ibid., 38.

Dokumen terkait