• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lampiran 8. Kadar air kesetimbangan biskuit adonan lunak dan adonan keras berdasarkan model-model persamaan model sorpsi isotermis

E. MODEL PERSAMAAN SORPSI ISOTERMIS

Menurut Sun (2000), lebih dari 200 model sorpsi isotermis produk tersedia, namun tidak ada satu pun model yang mampu menggambarkan dengan baik untuk seluruh produk pangan dengan kisaran RH dan suhu yang luas. Ketepatan setiap model tergantung pada kisaran nilai aw dan jenis bahan penyusun produk pangan tersebut. Model matematika mengenai persamaan sorpsi isotermis ini sudah sangat banyak dikemukakan para ahli baik secara empiris, semi empiris, maupun teoritis (Chirife dan Iglesias, 1978, Van den Berg dan Bruin, 1981). Nilai dari suatu model sorpsi isotermis tergantung pada kemampuannya secara matematis untuk menguraikan sorpsi isotermis dan kemampuan tetapan-tetapan dalam model tersebut untuk menjelaskan fenomena secara teoritis. Model matematika yang dikembangkan pada umumnya tidak dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dan hanya dapat memprediksi kurva sorpsi isotermis pada salah satu dari ketiga daerah kurva sorpsi isotermis. Penggunaan model sorpsi isotermis sangat tergantung pada tujuan pemakai misalnya jika ingin mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi maka model yang sederhana dan lebih sedikit jumlah tetapannya akan lebih mudah penggunaannya (Labuza, 1982).

Menurut Chirife dan Iglesias (1978), ada beberapa kendala yang dihadapi dalam menyusun suatu persamaan yang dapat menjelaskan kurva sorpsi isotermis pada keseluruhan selang aw yang ada dan dapat diaplikasikan untuk berbagai jenis bahan pangan, yaitu:

1. Perubahan aw pada bahan pangan dipengaruhi oleh kombinasi berbagai macam faktor yang masing-masing mendominasi dalam selang-selang aw yang berbeda.

2. Sorpsi isotermis suatu bahan pangan menggambarkan kemampuan higroskopis yang kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi baik fisik maupun kimia antara komponen-komponen bahan pangan tersebut yang diinduksi oleh proses pemanasan atau perlakuan awal lainnya.

3. Pada saat bahan pangan menyerap air dari lingkungannya, bahan pangan tersebut umumnya akan mengalami perubahan baik perubahan fisik, kimia, dan lainnya.

Teori paling klasik tentang adsorpsi lapisan tunggal yang merupakan dasar bagi perkembangan teori-teori selanjutnya dikemukakan oleh Langmuir (1918). Dari percobaannya didapat persamaan berikut:

V = Vm * [ba/(K+ba)]

dimana: V = jumlah gas yang diadsorpsi pada tekanan tertentu Vm = jumlah gas yang diadsorpsi pada lapisan tunggal a = sifat termodinamika gas

b = konstanta yang tergantung pada suhu dan jenis bahan

Model Langmuir ini tidak cocok diterapkan pada bahan pangan karena adanya asumsi-asumsi yang tidak dapat dipenuhi dalam persamaan seperti adsorpsi air dapat bersifat lebih dari satu lapisan molekul air, permukaan bahan tidak rata dan terdiri dari berbagai komponen yang masing-masing mempunyai ikatan yang berbeda terhadap air, dan interaksi molekul-molekul uap air yang diadsorpsi dapat terjadi. Untuk menyempurnakan asumsi Langmuir, Brauner, Emmet, dan Teller (1938) menambahkan bahwa proses adsorpsi tidak hanya

bersifat satu lapis molekul air, namun juga membentuk lapisan molekul ganda. Bentuk persamaan isotermis BET adalah sebagai berikut:

aw = 1 + aw (C – 1) (1 – aw)M CMm CMm dimana: Mm = kadar air pada lapisan tunggal

C = tetapan adsorpsi BET

Model BET ini hanya dapat digunakan pada kisaran aw kurang dari 0.5, namun data yang didapat ini sangat tepat untuk menggambarkan kondisi lapisan tunggal dari suatu bahan pangan (Labuza, 1982 diacu dalam Arpah, 2001).

Salah satu model yang diakui secara internasional adalah model GAB (Guggenheim, Anderson, dan de Boer). Model ini bisa menggambarkan sorpsi isotermis bahan pangan pada kisaran aw yang lebih luas dari model BET, yaitu 0.05 < aw < 0.9 dan (Spiess dan Wolf, 1987). Persamaan GAB merupakan persamaan yang tepat untuk menggambarkan sorpsi isotermis pada sebagian besar produk pangan. Model sorpsi isotermis GAB dinyatakan sebagai berikut:

M = Xm C K aw

(1 – K aw) (1 – K aw + C K aw) dimana: M = kadar air (% basis kering)

aw = aktivitas air

Xm = kadar air monolayer (%) K = konstanta

C = konstanta energi

Secara empiris, Henderson mengemukakan persamaan yang menggambarkan hubungan antara kadar air kesetimbangan bahan pangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini merupakan salah satu persamaan yang paling banyak digunakan untuk kebanyakan bahan pangan, terutama biji-bijian (Chirife dan Iglesias, 1978). Bentuk persamaan tersebut adalah seperti dibawah ini.

dimana: Me = kadar air kesetimbangan (% basis kering) K dan n = konstanta

Selanjutnya, Caurie dari hasil percobaannya mendapatkan model yang dapat berlaku untuk kebanyakan bahan pangan pada selang aw 0.0 sampai 0.85. Persamaan tersebut adalah sebagai berikut dengan P1 dan P2 merupakan konstanta.

ln Me = ln P1 – (P2*aw)

Hasley mengembangkan persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan multilayer. Persamaan ini dapat digunakan untuk bahan makanan dengan aw 0.1 sampai 0.81. Berikut ini adalah model persamaan Hasley.

aw = exp [-P1/(Me)P2)

Persamaan Oswin dapat berlaku untuk bahan pangan pada aw 0.00 sampai 0.85 dan cocok untuk kurva sorpsi isotermis yang berbentuk S (sigmoid). Model persamaan Oswin tersebut adalah seperti dibawah ini.

Me = P1 [aw/(1 – aw)]P2

Chen Clayton juga telah membuat model matematika yang berlaku untuk bahan pangan pada semua kisaran nilai aw. Persamaan tersebut dinyatakan sebagai berikut.

aw = exp[-P1/exp(P2*Me)]

F. KEMASAN

Pengertian umum dari kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk wadah atau tempat yang dapat memberikan perlindungan sesuai dengan tujuannya (Syarief et al., 1989). Adanya kemasan dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan yang ada di dalamnya dari pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan dan getaran. Dari segi promosi kemasan berfungsi sebagai perangsang atau daya tarik pembeli.

Bahan kemasan yang umum untuk pengemasan produk hasil pertanian untuk tujuan pengangkutan atau distribusi adalah kayu, serat goni, plastik, kertas dan gelombang karton (Syarief et al., 1989).

Menurut Winarno dan Jenie (1983) tujuan makanan dikemas adalah untuk mengawetkan makanan, yaitu mempertahankan mutu kesegaran, warnanya yang tetap, untuk menarik konsumen, memberikan kemudahan penyimpanan dan distribusi, serta yang lebih penting lagi dapat menekan peluang terjadinya kontaminasi dari udara, air, dan tanah baik oleh mikroorganisme pembusuk, mikroorganisme yang dapat membahayakan kesehatan manusia, maupun bahan kimia yang bersifat merusak atau racun. Menurut Syarief dan Irawati (1988), kemasan berfungsi sebagai: (1) wadah untuk menempatkan prosuk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi, (2) memberi perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi luar dan kerusakan, dan (3) menambah daya tarik produk.

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan, keadaan lingkungan dan sifat bahan kemasan. Gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas, dan cahaya. Sebagai akibat perubahan kadar air pada produk, akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan pada bubuk, dan pelunakan pada produk kering (Syarief et al., 1989).

Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap penyerapan atau pengeluaran gas (udara dan uap air). Bahan kering harus dilindungi dari penyerapan air dan oksigen dengan cara menggunakan bahan pengemas yang mempunyai daya tembus rendah terhadap gas tersebut (Purnomo dan Adiono, 1987).

Produk kering terutama yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Umumnya produk-produk ini memiliki ERH yang rendah, oleh sebab itu harus dikemas dengan kemasan yang memiliki permeabilitas air yang rendah untuk mencegah produk yang berkadar gula tinggi merekat atau produk-produk tepung menjadi basah sehingga tidak lagi bersifat mawur (free flowing) (Syarief et al., 1989).

Plastik merupakan bahan pengemas yang penting dalam industri pangan. Sebagai bahan pembungkus, plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit, atau berupa lapisan-lapisan (multi lapis) dengan bahan lain seperti kertas dan alumunium foil. Menurut Robertson (1993), kombinasi antara berbagai kemasan plastik yang berbeda atau plastik dengan kemasan non plastik dimana ketebalan setiap lapisan utamanya lebih dari 6 mikron yang diproses baik dengan cara laminasi ekstrusi atau laminasi adhesif disebut sebagai kemasan laminasi. Dalam kemasan laminasi minimal ada dua jenis kemasan, dimana salah satunya harus bersifat thermoplastic.

Kemasan laminasi yang sering digunakan industri pangan saat ini tidak hanya kombinasi antara berbagai macam plastik saja melainkan kombinasi plastik dengan aluminium. Kemasan seperti ini disebut metallized plastic. Kemasan seperti ini cocok digunakan sebagai pengemas kopi, makanan kering, keju, dan roti panggang. Metallized plastic bersifat tidak meneruskan cahaya, menghambat masuknya oksigen, menahan bau, memberikan efek mengkilap, dan mampu menahan gas (Brown, 1992). Selain itu, metallized plastic mudah disobek sehingga memudahkan konsumen membuka kemasan.

Metallizing merupakan proses pelapisan salah satu sisi film plastik transparan dengan logam pada kondisi yang sangat vakum. Logam yang biasa digunakan adalah aluminium. Proses metalisasi dilakukan dengan menguapkan dan melelehkan aluminium pada suhu 1500 oC. Uap aluminium akan melapisi film plastik yang berputar pada sebuah rol pendingin bersuhu ± 15 oC (Febriyanti, 2002).

Kelebihan plastik dari kemasan lain diantaranya adalah harga yang relatif rendah, dapat dibentuk menjadi berbagai macam bentuk, dan dapat mengurangi biaya transportasi. Selain itu, plastik sebagai bahan pengemas memilki sifat ringan, transparan, kuat, termoplastis dan selektif dalam permeabilitasnya terhadap uap air, O2, dan CO2. Sifat permeabilitas plastik terhadap uap air dan udara menyebabkan plastik mampu berperan memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan. Plastik juga merupakan jenis kemasan yang dapat menarik selera konsumen.

Salah satu jenis plastik yang sering digunakan sebagai bahan pengemas diantaranya polipropilen. Menurut Syarief et al. (1989), sifat-sifat utama polipropilen adalah sebagai berikut:

1. Ringan, mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk film, namun tidak transparan dalam bentuk kemasan kaku.

2. Mempunyai kekuatan tarik yang lebih besar dari polietilen. Pada suhu rendah akan rapuh sehingga tidak bisa digunakan sebagai kemasan beku. 3. Lebih kaku dan tidak gampang sobek sehingga mudah dalam penanganan

dan distribusi.

4. Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang, dan tidak baik untuk produk yang peka terhadap oksigen.

5. Tahan terhadap suhu tinggi, tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak. 6. Titik leburnya tinggi sehingga susah dibuat kantung dengan sifat kelim

panas yang baik.

Untuk memperbaiki sifat-sifatnya, polipropilen dapat dimodifikasi menjadi OPP (Oriented Polypropilene), dimana dalam pembuatannya ditarik ke satu arah. Jika ditarik ke dua arah disebut BOPP (Biaxially Oriented Polypropilene). OPP mempunyai sifat tahan terhadap suhu tinggi, tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak, tetapi rapuh terhadap suhu rendah. OPP digunakan untuk produk-produk yang memerlukan sifat penahanan terhadap uap air tinggi (Robertson, 1993). Biskuit merupakan salah satu produk yang biasanya menggunakan bahan kemasan OPP.

Aluminium foil merupakan jenis kemasan yang juga sering dipakai. Foil merupakan bahan kemas dari logam, berupa lembaran dan tipis dengan ketebalan kurang dari 0.15 mm. Foil mempunyai sifat hermetis, fleksibel, dan tidak tembus cahaya. Pada umumnya digunakan sebagai bahan pelapis (laminan) yang dapat ditempatkan pada bagian dalam (lapisan dalam) atau bagian tengah sebagai penguat yang dapat melindungi bungkusan (Syarief et al., 1989).

Ketebalan dari aluminium foil menentukan sifat protektifnya. Aluminium foil dengan ketebalan rendah masih dapat dilalui gas dan uap air.

Aluminium foil dengan ketebalan 0.0375 mm atau lebih mempunyai permeabilitas uap air nol. Sifat-sifatnya yang lebih tipis dapat diperbaiki dengan memberi lapisan plastik atau kertas sehingga menjadi foil-plastik, foil- kertas, atau kertas-foil-plastik (Syarief et al., 1989).

Salah satu sifat bahan kemasan yang sangat penting dan berhubungan dengan kerusakan produk yang dikemas adalah permeabilitas kemasan. Permeabilitas merupakan transfer molekul air atau gas melalui kemasan, baik dari dalam kemasan ke lingkungan atau sebaliknya. Kerusakan mutu produk kering terutama dihubungkan dengan permeabilitas uap air karena penyerapan uap air selama penyimpanan dapat menurunkan mutu produk pangan kering tersebut, misalnya menurunnya tingkat kerenyahan produk (Eskin dan Robinson, 2001).

Transfer uap air melalui bahan kemasan dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu difusi kapiler dan difusi aktif. Pada difusi kapiler, transfer uap air terjadi melalui pori-pori kemasan atau pori-pori mikroskopis yang berbentuk kristal dan amorphous yang menyebabkan terjadinya difusi gas. Difusi aktif adalah adalah proses solubilitas dan difusi, dimana uap air terlarut pada permukaan polimer , lalu dengan adanya perbedaan tekanan maka terjadi difusi melalui polimer, selanjutnya uap air akan mengalir dan mengalami evaporasi ke sisi yang berlawanan.

Dokumen terkait