SKRIPSI
PENDUGAAN UMUR SIMPAN
PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS
Oleh :
MONA FITRIA F24103015
2007
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
Mona Fitria. F24103015. Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi.
ABSTRAK
Produk biskuit merupakan salah satu jenis produk kering yang sudah popular di pasaran dan banyak digemari oleh konsumen. Biskuit tergolong makanan yang tidak mudah rusak karena kadar airnya yang relatif rendah (Manley, 1983; Matz dan Matz , 1978). Biskuit memiliki tekstur renyah dan parameter kerenyahan ini sangat terkait dengan kadar air produk. Peningkatan kadar air produk akan menyebabkan menurunnya mutu produk biskuit. Karena produk biskuit tergolong pada produk yang mudah rusak akibat penyerapan air, maka pendugaan umur simpannya dilakukan dengan pendekatan kadar air kritis.
Penelitian ini bertujuan menduga umur simpan produk biskuit pada umumnya yang sudah ada di pasaran dengan metode akselerasi berdasarkan pendekatan kadar air kritis dan selanjutnya membandingkan metode pendekatan kurva sorpsi isotermis dengan metode kadar air kritis termodifikasi. Selain itu, melalui penelitian ini dilihat pula pengaruh bahan kemasan dan kelembaban relatif lingkungan terhadap umur simpan produk. Sasaran yang ingin dicapai penelitian ini adalah diperolehnya metode yang efektif, efisien, dan ekonomis dalam pendugaan umur simpan produk biskuit pada umumnya. Sampel yang digunakan dalam penelitian ada dua jenis yaitu biskuit adonan lunak dan adonan keras.
Rangkaian penelitian yang dilakukan diawali dengan penentuan kadar air awal, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan untuk selanjutnya memperoleh kurva sorpsi isotermis, permeabilitas kemasan, perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan, serta pengukuran variabel umur simpan lainnya. Semua variabel di atas akan digunakan untuk menghitung umur simpan biskuit dengan dua pendekatan kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi.
Berdasarkan hasil perhitungan, umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi merupakan angka yang masih masuk akal (sekitar 23-28 bulan pada RH 75%), tapi lebih besar dari umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis (sekitar 12-20 bulan pada RH 75% dengan berbagai nilai slope kurva sorpsi isotermis). Angka umur simpan yang diperoleh berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi cenderung terlalu besar untuk produk biskuit karena produk biskuit biasanya memiliki umur simpan sekitar 12-18 bulan.
Nilai slope kurva sorpsi isotermis juga sangat mempengaruhi nilai umur simpan. Untuk biskuit jenis adonan lunak, nilai slope 1 dan 2 berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang paling sesuai dengan umur simpan (tanggal kadaluarsa) yang tercantum pada label. Umur simpan biskuit adonan keras ditentukan berdasarkan dua model persamaan sorpsi isotermis, yaitu model Caurie dan model GAB. Umur simpan berdasarkan model GAB pada berbagai nilai slope memberikan nilai yang lebih sesuai dengan tanggal kadaluarsa pada label, tapi nilai slope 2 menunjukkan umur simpan yang paling sesuai dengan umur simpan yang tercantum pada label. Secara umum dapat disimpulkan bahwa penggunaan slope 1 dan slope 2 dalam menduga umur simpan biskuit berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang lebih tepat.
Secara umum, pendekatan kurva sorpsi isotermis merupakan metode yang lebih tepat untuk menentukan umur simpan biskuit karena produk biskuit memiliki kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid, meskipun tidak sigmoid sempurna. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Labuza (1982), bahwa produk yang memiliki kurva sorpsi isotermis ditentukan umur simpannya dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Faktor utama yang mempengaruhi umur simpan biskuit secara umum adalah jenis kemasan, kondisi kelembaban ruang penyimpanan, kadar air awal, kadar air kritis, dan kadar air kesetimbangan.
Selain membandingkan kedua pendekatan di atas, dalam penelitian ini dilakukan pengembangan metode, yaitu metode penentuan kadar air kritis. Tahapan metode yang dikembangkan adalah metode penentuan kadar air kritis dengan menyimpan sampel secara terbuka pada suhu ruang dan dibiarkan hingga sampel rusak. Cara umum yang dilakukan dalam metode penentuan kadar air kritis adalah dengan cara menyimpan produk tanpa kemasan dalam chamber dengan berbagai nilai RH yang terukur dan terkondisikan dengan baik hingga sampel rusak. Cara ini membutuhkan alat yang cukup banyak dan menggunakan larutan garam jenuh yang memerlukan biaya tinggi. Dari penelitian yang dilakukan telah dibuktikan bahwa tahapan ini memiliki keuntungan yaitu mudah dilakukan, efektif, efisien, dan tidak membutuhkan biaya yang tinggi.
PENDUGAAN UMUR SIMPAN
PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh MONA FITRIA
F 24103015
2007
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENDUGAAN UMUR SIMPAN
PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh MONA FITRIA
F 24103015
Dilahirkan pada tanggal 18 Mei 1985 di Payakumbuh Taggal lulus : 13 Agustus 2007
Menyetujui, Bogor, Agustus 2007
Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Koto Kecil, Payakumbuh pada tanggal 18 Mei 1985. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, anak dari pasangan Zainal Idris dan Yulfina.
Penulis mengawali studinya di TK Cerdas Koto Kecil pada tahun 1990, dilanjutkan ke SDN 19 Koto Kecil, SLTPN 4 Guguk, SMUN 1 Suliki, dan selanjutnya diterima di Departemen Teknologi Pangan dan Gizi yang sekarang telah berubah nama menjadi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).
Penulis aktif dalam berbagai organisasi ekstra dan intra kampus. Dua tahun berturut-turut, penulis tergabung dalam kepengurusan HIMITEPA, sebagai staf Divisi Sosial Kemahasiswaan dan staf Divisi Public Relation. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan kegiatan di dalam kampus, diantaranya Seminar Pangan Halal Nasional (2004), Seminar dan Pelatihan HACCP (2005), Kongres Nasional I HMPPI (Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Nasional), Focus Group Discussion Formalin: Unnecessery Necessity (2006), dan berbagai kegiatan intra kampus lainnya. Selain itu, penulis juga aktif berkecimpung dalam Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA), yaitu IPMM (Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Minang) dan IKMP (Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Payakumbuh).
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulisan skripsi dengan judul Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis ini bisa diselesaikan dengan baik. Selesainya penelitian ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada:
1. Ibunda Yulfina, Ayahanda Zainal Idris, Uda Iin, dan semua keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dukungan, semangat, dan telah mengajarkan arti hidup yang sebenarnya sehingga penulis bisa menjalani hidup dengan lebih baik.
2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan ketulusan, sehingga penulis berhasil menyelesaikan penelitian ini dengan baik.
3. Ir. Elvira Syamsir, MSi sebagai dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberi banyak masukan bagi penulis.
4. Laboratorium Jasa Analisis Pangan (LJA) dan semua analis LJA (Mba Yane, Mba Ririn, dan Mba Yuli), Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB atas kerja samanya dalam memberikan bantuan dana dan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian ini.
5. Semua staf dosen, laboran, dan teknisi yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini.
6. Sahabat-sahabat terbaikku: Ade, Wayan, Chietra, Zano, Aan, dan Widhi yang selalu ada in my bad and good time. Aku tiada arti disini tanpa kalian semua. Kalian semua telah menorehkan warna indah dalam hidupku. You are my best friends.
8. Teman terbaikku: Nooy, Intan, Lala. Terima kasih untuk semua kebaikan dan kebersamaan kita selama hampir 3 tahun di asrama, Darmaga Regency, dan kostan Fadhillah. Tidak sedikit suka duka yang kita lalui bersama. Thanks for all, I’ll never forget our friendship. 9. Teman-teman kostan ‘keluarga baru’ di kostan Mega : Mba Ririn,
Kamila ‘cantik’, Reni, Eno, Mpit, dan Esti yang telah memberikan bantuan, dukungan, semangat, dan perhatian selama 1 tahun terakhir. 10.Teman-teman seperjuangan ‘perantau sejati’ dari IPMM dan IKMP :
Mudia, Inggit, Ayu, Dora, Eva, Rahmi, Adiak Amen, Tari, Rumah Qta crew, ex DR Q crew, dan teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.. Thanks for the time that you’ve spent with me.
11.Teman-teman yang selalu mengingatkan di saat aku salah dan lalai: T’ Euis, Gading, Lasty, Angel, Mae, dan Asih. Semoga kita bisa selalu saling mengingatkan untuk mendapatkan rahmat dan ridha-Nya.
12.Mitoel, Tilo, Dion, Hendy, Lilin, Abdy, Gilang, Iin, Andiny, teman-teman di golongan A, teman-teman-teman-teman di HIMITEPA dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk kebersamaannya selama 4 tahun terakhir ini.
13.Semua panelis yang telah menyediakan waktu dan ikut berpartisipasi dalam penelitian ini.
14.Kak Steisi, Mba Fafa, Mba Yayah, dan seluruh civitas ITP serta pihak lain yang telah ikut membantu dan memberi dukungan pada penulis.
Akhir kata, penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini sangat jauh dari sempurna. Namun demikian, penulis berharap tulisan ini akan bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai salah satu kajian awal yang bisa menginspirasi penelitian-penelitian berikutnya yang lebih baik. Terima kasih.
Bogor, Agustus 2007
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang 1
B. Tujuan 4
C. Manfaat 4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.Biskuit 5
B. Mutu dan Penurunan Mutu Biskuit 11
C. Aktivitas Air 12
D.Kadar Air Kesetimbangan dan Sorpsi Isotermis 14
E. Model Persamaan Sorpsi Isotermis 17
F. Kemasan 20
G.Umur Simpan 24
H.Metode Akselerasi 26
III. METODOLOGI PENELITIAN
A.Bahan dan Alat 31
B. Metode Penelitian 31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Kadar Air Awal dan Kadar Air Kritis 40
B. Kadar Air Kesetimbangan dan Kurva Sorpsi Isotermis 46 C. Model Persamaan Sorpsi Isotermis dan Uji Ketepatan Model 48
Halaman
E. Perbedaan Tekanan Dalam dan Luar Kemasan 56
F. Variabel Umur Simpan Lainnya 57
G.Umur Simpan 61
V. KESIMPULAN DAN SARAN 70
DAFTAR PUSTAKA 73
SKRIPSI
PENDUGAAN UMUR SIMPAN
PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS
Oleh :
MONA FITRIA F24103015
2007
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
Mona Fitria. F24103015. Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi.
ABSTRAK
Produk biskuit merupakan salah satu jenis produk kering yang sudah popular di pasaran dan banyak digemari oleh konsumen. Biskuit tergolong makanan yang tidak mudah rusak karena kadar airnya yang relatif rendah (Manley, 1983; Matz dan Matz , 1978). Biskuit memiliki tekstur renyah dan parameter kerenyahan ini sangat terkait dengan kadar air produk. Peningkatan kadar air produk akan menyebabkan menurunnya mutu produk biskuit. Karena produk biskuit tergolong pada produk yang mudah rusak akibat penyerapan air, maka pendugaan umur simpannya dilakukan dengan pendekatan kadar air kritis.
Penelitian ini bertujuan menduga umur simpan produk biskuit pada umumnya yang sudah ada di pasaran dengan metode akselerasi berdasarkan pendekatan kadar air kritis dan selanjutnya membandingkan metode pendekatan kurva sorpsi isotermis dengan metode kadar air kritis termodifikasi. Selain itu, melalui penelitian ini dilihat pula pengaruh bahan kemasan dan kelembaban relatif lingkungan terhadap umur simpan produk. Sasaran yang ingin dicapai penelitian ini adalah diperolehnya metode yang efektif, efisien, dan ekonomis dalam pendugaan umur simpan produk biskuit pada umumnya. Sampel yang digunakan dalam penelitian ada dua jenis yaitu biskuit adonan lunak dan adonan keras.
Rangkaian penelitian yang dilakukan diawali dengan penentuan kadar air awal, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan untuk selanjutnya memperoleh kurva sorpsi isotermis, permeabilitas kemasan, perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan, serta pengukuran variabel umur simpan lainnya. Semua variabel di atas akan digunakan untuk menghitung umur simpan biskuit dengan dua pendekatan kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi.
Berdasarkan hasil perhitungan, umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi merupakan angka yang masih masuk akal (sekitar 23-28 bulan pada RH 75%), tapi lebih besar dari umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis (sekitar 12-20 bulan pada RH 75% dengan berbagai nilai slope kurva sorpsi isotermis). Angka umur simpan yang diperoleh berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi cenderung terlalu besar untuk produk biskuit karena produk biskuit biasanya memiliki umur simpan sekitar 12-18 bulan.
Nilai slope kurva sorpsi isotermis juga sangat mempengaruhi nilai umur simpan. Untuk biskuit jenis adonan lunak, nilai slope 1 dan 2 berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang paling sesuai dengan umur simpan (tanggal kadaluarsa) yang tercantum pada label. Umur simpan biskuit adonan keras ditentukan berdasarkan dua model persamaan sorpsi isotermis, yaitu model Caurie dan model GAB. Umur simpan berdasarkan model GAB pada berbagai nilai slope memberikan nilai yang lebih sesuai dengan tanggal kadaluarsa pada label, tapi nilai slope 2 menunjukkan umur simpan yang paling sesuai dengan umur simpan yang tercantum pada label. Secara umum dapat disimpulkan bahwa penggunaan slope 1 dan slope 2 dalam menduga umur simpan biskuit berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang lebih tepat.
Secara umum, pendekatan kurva sorpsi isotermis merupakan metode yang lebih tepat untuk menentukan umur simpan biskuit karena produk biskuit memiliki kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid, meskipun tidak sigmoid sempurna. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Labuza (1982), bahwa produk yang memiliki kurva sorpsi isotermis ditentukan umur simpannya dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Faktor utama yang mempengaruhi umur simpan biskuit secara umum adalah jenis kemasan, kondisi kelembaban ruang penyimpanan, kadar air awal, kadar air kritis, dan kadar air kesetimbangan.
Selain membandingkan kedua pendekatan di atas, dalam penelitian ini dilakukan pengembangan metode, yaitu metode penentuan kadar air kritis. Tahapan metode yang dikembangkan adalah metode penentuan kadar air kritis dengan menyimpan sampel secara terbuka pada suhu ruang dan dibiarkan hingga sampel rusak. Cara umum yang dilakukan dalam metode penentuan kadar air kritis adalah dengan cara menyimpan produk tanpa kemasan dalam chamber dengan berbagai nilai RH yang terukur dan terkondisikan dengan baik hingga sampel rusak. Cara ini membutuhkan alat yang cukup banyak dan menggunakan larutan garam jenuh yang memerlukan biaya tinggi. Dari penelitian yang dilakukan telah dibuktikan bahwa tahapan ini memiliki keuntungan yaitu mudah dilakukan, efektif, efisien, dan tidak membutuhkan biaya yang tinggi.
PENDUGAAN UMUR SIMPAN
PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh MONA FITRIA
F 24103015
2007
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENDUGAAN UMUR SIMPAN
PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh MONA FITRIA
F 24103015
Dilahirkan pada tanggal 18 Mei 1985 di Payakumbuh Taggal lulus : 13 Agustus 2007
Menyetujui, Bogor, Agustus 2007
Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Koto Kecil, Payakumbuh pada tanggal 18 Mei 1985. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, anak dari pasangan Zainal Idris dan Yulfina.
Penulis mengawali studinya di TK Cerdas Koto Kecil pada tahun 1990, dilanjutkan ke SDN 19 Koto Kecil, SLTPN 4 Guguk, SMUN 1 Suliki, dan selanjutnya diterima di Departemen Teknologi Pangan dan Gizi yang sekarang telah berubah nama menjadi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).
Penulis aktif dalam berbagai organisasi ekstra dan intra kampus. Dua tahun berturut-turut, penulis tergabung dalam kepengurusan HIMITEPA, sebagai staf Divisi Sosial Kemahasiswaan dan staf Divisi Public Relation. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan kegiatan di dalam kampus, diantaranya Seminar Pangan Halal Nasional (2004), Seminar dan Pelatihan HACCP (2005), Kongres Nasional I HMPPI (Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Nasional), Focus Group Discussion Formalin: Unnecessery Necessity (2006), dan berbagai kegiatan intra kampus lainnya. Selain itu, penulis juga aktif berkecimpung dalam Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA), yaitu IPMM (Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Minang) dan IKMP (Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Payakumbuh).
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulisan skripsi dengan judul Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis ini bisa diselesaikan dengan baik. Selesainya penelitian ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada:
1. Ibunda Yulfina, Ayahanda Zainal Idris, Uda Iin, dan semua keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dukungan, semangat, dan telah mengajarkan arti hidup yang sebenarnya sehingga penulis bisa menjalani hidup dengan lebih baik.
2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan ketulusan, sehingga penulis berhasil menyelesaikan penelitian ini dengan baik.
3. Ir. Elvira Syamsir, MSi sebagai dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberi banyak masukan bagi penulis.
4. Laboratorium Jasa Analisis Pangan (LJA) dan semua analis LJA (Mba Yane, Mba Ririn, dan Mba Yuli), Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB atas kerja samanya dalam memberikan bantuan dana dan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian ini.
5. Semua staf dosen, laboran, dan teknisi yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini.
6. Sahabat-sahabat terbaikku: Ade, Wayan, Chietra, Zano, Aan, dan Widhi yang selalu ada in my bad and good time. Aku tiada arti disini tanpa kalian semua. Kalian semua telah menorehkan warna indah dalam hidupku. You are my best friends.
8. Teman terbaikku: Nooy, Intan, Lala. Terima kasih untuk semua kebaikan dan kebersamaan kita selama hampir 3 tahun di asrama, Darmaga Regency, dan kostan Fadhillah. Tidak sedikit suka duka yang kita lalui bersama. Thanks for all, I’ll never forget our friendship. 9. Teman-teman kostan ‘keluarga baru’ di kostan Mega : Mba Ririn,
Kamila ‘cantik’, Reni, Eno, Mpit, dan Esti yang telah memberikan bantuan, dukungan, semangat, dan perhatian selama 1 tahun terakhir. 10.Teman-teman seperjuangan ‘perantau sejati’ dari IPMM dan IKMP :
Mudia, Inggit, Ayu, Dora, Eva, Rahmi, Adiak Amen, Tari, Rumah Qta crew, ex DR Q crew, dan teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.. Thanks for the time that you’ve spent with me.
11.Teman-teman yang selalu mengingatkan di saat aku salah dan lalai: T’ Euis, Gading, Lasty, Angel, Mae, dan Asih. Semoga kita bisa selalu saling mengingatkan untuk mendapatkan rahmat dan ridha-Nya.
12.Mitoel, Tilo, Dion, Hendy, Lilin, Abdy, Gilang, Iin, Andiny, teman-teman di golongan A, teman-teman-teman-teman di HIMITEPA dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk kebersamaannya selama 4 tahun terakhir ini.
13.Semua panelis yang telah menyediakan waktu dan ikut berpartisipasi dalam penelitian ini.
14.Kak Steisi, Mba Fafa, Mba Yayah, dan seluruh civitas ITP serta pihak lain yang telah ikut membantu dan memberi dukungan pada penulis.
Akhir kata, penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini sangat jauh dari sempurna. Namun demikian, penulis berharap tulisan ini akan bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai salah satu kajian awal yang bisa menginspirasi penelitian-penelitian berikutnya yang lebih baik. Terima kasih.
Bogor, Agustus 2007
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang 1
B. Tujuan 4
C. Manfaat 4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.Biskuit 5
B. Mutu dan Penurunan Mutu Biskuit 11
C. Aktivitas Air 12
D.Kadar Air Kesetimbangan dan Sorpsi Isotermis 14
E. Model Persamaan Sorpsi Isotermis 17
F. Kemasan 20
G.Umur Simpan 24
H.Metode Akselerasi 26
III. METODOLOGI PENELITIAN
A.Bahan dan Alat 31
B. Metode Penelitian 31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Kadar Air Awal dan Kadar Air Kritis 40
B. Kadar Air Kesetimbangan dan Kurva Sorpsi Isotermis 46 C. Model Persamaan Sorpsi Isotermis dan Uji Ketepatan Model 48
Halaman
E. Perbedaan Tekanan Dalam dan Luar Kemasan 56
F. Variabel Umur Simpan Lainnya 57
G.Umur Simpan 61
V. KESIMPULAN DAN SARAN 70
DAFTAR PUSTAKA 73
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Syarat Mutu Biskuit Berdasarkan SNI 01-2973-1992 5
Tabel 2. Penyimpangan Produk Akhir Biskuit dan Penyebabnya 6
Tabel 3. Hubungan antara aktivitas air (aw) dan keadaan fisik air 16
Tabel 4. Kadar air, nilai kerenyahan, dan skor kesukaan biskuit adonan lunak pada berbagai kondisi penyimpanan 42
Tabel 5. Kadar air, nilai kerenyahan, dan skor kesukaan biskuit adonan keras pada berbagai kondisi penyimpanan 43
Tabel 6. RH larutan garam jenuh pada suhu 30 oC 46
Tabel 7. Kadar air kesetimbangan (me) biskuit adonan lunak dan adonan keras dan waktu tercapainya pada berbagai RH penyimpanan 48
Tabel 8. Persamaan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak 49
Tabel 9. Persamaan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras 50
Tabel 10. Hasil perhitungan nilai MRD model-model persamaan 51
Tabel 11. Nilai aw minimum pertumbuhan berbagai mikroorganisme 54
Tabel 12. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan 61
Tabel 13. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan 62
Tabel 14. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model Caurie 63
Tabel 15. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model Caurie 64
Tabel 16. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model GAB 65
Tabel 17. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model GAB 66 Tabel 18. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak pada beberapa RH
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Metode pembuatan biskuit secara umum 11 Gambar 2. Kurva sorpsi isothermis secara umum 16 Gambar 3. Diagram alir metode penelitian 33 Gambar 4. Prinsip kerja Permatran W*3/31 38 Gambar 5. Parameter kritis kerusakan produk biskuit 41 Gambar 6. Hubungan kadar air dan skor kesukaan biskuit adonan lunak dan
adonan keras 43 Gambar 7. Hubungan nilai kerenyahan dan skor kesukaan biskuit adonan lunak
dan adonan keras 44
Gambar 8. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak dan adonan keras 48 Gambar 9. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak model GAB 52 Gambar 10. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model Caurie 52 Gambar 11. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model GAB 53 Gambar 12. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak
berdasarkan model GAB 58
Gambar 13. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model
Caurie dan GAB 58
Gambar 14. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak
berdasarkan model GAB 59
Gambar 15. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras
berdasarkan model Caurie 59
Gambar 16. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Form survei atribut utama penyebab kerusakan biskuit 76 Lampiran 2. Hasil survei atribut utama penyebab kerusakan biskuit 77 Lampiran 3. Form pengujian organoleptik biskuit 78 Lampiran 4. Setting alat texture analyzer untuk pengujian nilai kerenyahan 79 Lampiran 5. Modifikasi model sorpsi isotermis dari persamaan non linear
menjadi persamaan linear 80
Lampiran 6. Contoh perhitungan mencari konstanta model persamaan sorpsi
isotermis 82
Lampiran 7. Modifikasi persamaan dan contoh perhitungan mencari nilai
konstanta persamaan GAB 83
Lampiran 8. Kadar air kesetimbangan biskuit adonan lunak dan adonan keras berdasarkan model-model persamaan model sorpsi isotermis 85 Lampiran 9. Kurva sorpsi isotermis berdasarkan model-model persamaan untuk
biskuit adonan lunak dan adonan keras 86 Lampiran 10. Contoh perhitungan nilai MRD 90 Lampiran 11. Komposisi biskuit adonan lunak dan adonan keras 91
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Informasi umur simpan merupakan salah satu informasi yang wajib dicantumkan oleh produsen pada kemasan produk pangan. Pencantuman informasi umur simpan menjadi sangat penting karena terkait dengan keamanan produk pangan tersebut dan untuk menghindari pengkonsumsian pada saat kondisi produk sudah tidak layak dikonsumsi. Kewajiban produsen untuk mencantumkan informasi umur simpan ini telah diatur oleh pemerintah dalam UU Pangan tahun 1996 serta PP Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dimana setiap industri pangan wajib mencantumkan tanggal kadaluarsa (umur simpan) pada setiap kemasan produk pangan (Setiawan, 2005).
Informasi umur simpan produk sangat penting bagi banyak pihak, baik produsen, konsumen, penjual, dan distributor. Konsumen tidak hanya mengetahui tingkat kesegaran dan keamanan produk, melainkan juga menjadi petunjuk bagi perubahan citarasa, penampakan dan kandungan gizi produk tersebut. Bagi produsen, informasi umur simpan merupakan bagian dari konsep pemasaran produk yang penting secara ekonomi dalam hal pendistribusian produk serta berkaitan dengan usaha pengembangan jenis bahan pengemas yang digunakan. Bagi penjual dan distributor informasi umur simpan sangat penting dalam hal penanganan stok barang dagangannya.
Umur simpan atau masa kadaluarsa merupakan suatu parameter ketahanan produk selama penyimpanan. Salah satu kendala yang selalu dihadapi oleh industri dalam pendugaan umur simpan suatu produk adalah masalah waktu, karena bagi produsen hal ini akan mempengaruhi jadwal peluncuran suatu produk pangan. Karena itu, metode pendugaan umur simpan yang dipilih harus metode yang paling cepat, mudah, memberikan hasil yang tepat, dan sesuai dengan karakteristik produk pangan yang bersangkutan.
waktu yang lama dan biaya yang mahal karena pendugaan umur simpan dilakukan dalam kondisi normal sehari-hari. Namun demikian, metode ini sangat akurat dan tepat. Metode akselerasi dapat dilakukan dalam waktu yang relatif lebih singkat karena penentuan umur simpan ini dilakukan pada kondisi percobaan yang ekstrim (suhu tinggi, kelembaban di atas atau di bawah kondisi normal penyimpanan) sehingga mempercepat proses penurunan mutu produk. Dengan ekstrapolasi, kecepatan penurunan mutu bisa dihitung berdasarkan persamaan matematis. Keuntungan dari metode ini adalah waktu pengujian yang relatif lebih singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tepat (Arpah, 2001).
Penerapan metode akselerasi perlu memperhatikan karakteristik dan penyebab kerusakan produk yang akan ditentukan umur simpannya. Metode akselerasi dapat dilakukan dengan pendekatan model Arrhenius dan model kadar air kritis. Model Arrhenius biasanya digunakan untuk produk yang sensitif terhadap perubahan suhu penyimpanan, sedangkan model kadar air kritis biasanya digunakan untuk produk yang mudah rusak karena penyerapan air dari lingkungan selama penyimpanan. Model kadar air kritis memiliki dua pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan kadar air kritis termodifikasi (Kusnandar, 2006).
Produk biskuit merupakan salah satu jenis produk kering yang sudah populer di pasaran dan banyak digemari oleh konsumen. Biskuit tergolong makanan yang tidak mudah rusak dan mempunyai umur simpan yang relatif lama karena kadar airnya yang relatif rendah (Manley, 1983; Matz dan Matz , 1978). Biskuit memiliki tekstur renyah dan parameter kerenyahan ini sangat terkait dengan kadar air produk. Perubahan kadar air produk selama penyimpanan akibat penyerapan uap air dari lingkungan akan menyebabkan perubahan karakteristik utama produk yaitu kerenyahan.
yang mempunyai sifat sensitif terhadap perubahan kadar air, maka metode pendugaan umur simpan yang dipilih adalah pendekatan kadar air kritis.
Mengingat pentingnya nilai umur simpan bagi berbagai pihak, maka penelitian umur simpan dan kajian metode pendugaan umur simpan terhadap produk biskuit ini dianggap penting untuk dilakukan. Melalui penelitian ini dilakukanlah pendugaan umur simpan biskuit dengan menggunakan dua model kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi serta membandingkan pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Secara teori pemilihan penggunaan kedua pendekatan tersebut didasarkan pada karakteristik mutu dari produk pangan yang digunakan. Produk pangan kering seperti biskuit yang memiliki kurva sorpsi isotermis dapat diduga umur simpannya dengan menggunakan pendekatan kurva sorpsi isotermis, sedangkan produk pangan yang memiliki kandungan sukrosa tinggi seperti permen dapat diduga umur simpannya dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Penelitian ini ingin melihat kebenaran teori di atas untuk produk biskuit pada umumnya sehingga digunakanlah dua jenis biskuit yang berbeda. Selain itu, diharapkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat digunakan untuk produk biskuit sehingga pendugaan umur simpan biskuit dapat dilakukan dengan cara yang lebih sederhana bila dibandingkan dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis.
diketahui dengan melihat kerenyahan biskuit secara objektif tanpa melakukan uji organoleptik. Secara umum sasaran yang ingin dicapai penelitian ini adalah diperolehnya metode yang sesuai, cepat, dan ekonomis dalam pendugaan umur simpan produk biskuit pada umumnya.
B. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan menduga umur simpan produk biskuit pada umumnya yang sudah ada di pasaran dengan dua pendekatan kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi serta selanjutnya membandingkan umur simpan berdasarkan kedua pendekatan tersebut. Selain itu, melalui penelitian ini dilihat pula pengaruh bahan kemasan, nilai slope kurva sorpsi isotermis, dan kelembaban relatif lingkungan terhadap umur simpan produk. Tujuan lain yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah diperolehnya tahapan metode yang efektif, efisien, dan ekonomis dalam pendugaan umur simpan produk biskuit pada umumnya.
C. MANFAAT PENELITIAN
1. Mengetahui perbandingan umur simpan biskuit yang ditentukan dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis dengan umur simpan yang ditentukan dengan pendekatan kadar air termodifikasi sehingga dapat diketahui metode yang sesuai dan dapat diaplikasikan untuk menduga umur simpan produk biskuit secara umum.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BISKUIT
Biskuit adalah salah satu jenis kue kering (cookies), yang terbuat dari bahan dasar tepung (Vail et al., 1978), dan diproses dengan proses pemanggangan sampai kadar air produk tidak lebih dari 5 % (BSN, 1992). Di
dalam SNI 01-2973-1992 tentang Mutu dan Cara Uji Biskuit, biskuit
didefinisikan sebagai sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan
penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan.
Biskuit merupakan produk kering yang mempunyai daya awet yang relatif
tinggi sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama dan mudah dibawa
karena volume dan beratnya yang relatif ringan akibat adanya proses
pengeringan (Matz dan Matz, 1978). Biskuit dicirikan oleh tingginya kadar
gula dan shortening serta rendahnya kandungan air dalam adonan (Faridi dan Faubion, 1990). Apabila dikemas produk biskuit akan terlindung dari
kelembaban dan memiliki umur simpan yang lama (Brown, 2000).
Menurut Whiteley (1971), suatu produk disebut biskuit bila 40% dari
bahan utamanya merupakan serealia seperti gandum, jagung, oat, atau barley
dan kadar air produk tidak lebih dari 5 %. Syarat mutu biskuit dapat ditemukan
dalam SNI 01 – 2973 – 1992 tentang Mutu dan Cara Uji Biskuit seperti yang
tercantum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992
Komponen Satuan Spesifikasi Air % b/b Maks. 5,0
Protein % b/b Min. 9,0 Lemak % b/b Min. 9,5 Karbohidrat % b/b Min. 70,0 Abu % b/b Maks. 1,5
Logam - Negatif
Kalori Kal/ g Min. 400,0 Serat kasar % b/b Maks. 0,5
Jenis tepung - Terigu
Bau dan rasa - Normal, tidak tengik
Warna - Normal
Mutu biskuit tergantung pada beberapa hal, yaitu komponen
penyusunnya dan penanganan bahan sebelum serta sesudah produksi.
Penyimpangan mutu produk akhir dapat terjadi karena penggunaan bahan yang
tidak proporsional atau cara pembuatan yang tidak tepat (Vail et al., 1978). Tabel 2 berikut ini menyajikan jenis-jenis penyimpangan yang dapat terjadi
pada produk biskuit dan penyebab terjadinya penyimpangan tersebut.
Tabel 2. Penyimpangan produk akhir biskuit dan penyebabnya
Penyimpangan Penyebab Keras Kurang lemak
Kurang air dan terlalu banyak campuran Warna pucat Proporsi bahan kurang tepat dan kurang air
Oven kurang panas Bentuk tidak rata Pencampuran tidak rata
Penanganan tidak hati-hati Panas tidak merata
Warna tidak rata Bentuk tidak merata Panas tidak merata
Hambar dan berat Proporsi bahan pembentuk tidak seimbang Keras dan poros Pencampuran tidak tepat
Keras dan kering Adonan terlalu keras dan kenyal Pemanggangan terlalu lama Permukaan keras Pemanggangan terlalu lama
Suhu oven terlalu tinggi Berminyak dan rapuh Terlalu banyak lemak Sumber : Vail et al., 1978
1. Bahan Pembuat Biskuit
Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit dibedakan
menjadi bahan pengikat (binding material) dan bahan pelembut (tenderizing material). Bahan pengikat terdiri dari tepung, air, susu bubuk, putih telur, dan cocoa. Bahan pelembut terdiri dari gula, lemak atau minyak
(shortening), bahan pengembang, dan kuning telur (Matz dan Matz, 1978). Bahan baku utama dalam pembuatan biskuit adalah terigu, gula, minyak,
dan lemak, sedangkan bahan pembantu yang digunakan adalah garam, susu,
flavor, pewarna, pengembang, ragi, air, dan pengemulsi (Matz dan Matz,
Biskuit yang baik menggunakan terigu lunak sebagai bahan
dasarnya. Terigu lunak memiliki kadar protein sekitar 8% dan kandungan
glutennya tidak terlalu tinggi (Vail et al., 1978). Tepung terigu dalam pembuatan biskuit berperan sebagai pembentuk adonan selama
pencampuran, pengikat bahan-bahan lain dan mendistribusikannya, pengikat
gas selama proses fermentasi, dan pembentuk struktur biskuit selama
pemanggangan (Matz dan Matz, 1978).
Gula digunakan dalam pembuatan biskuit sebagai pemberi rasa
manis, pembentuk flavor, dan pembentuk warna pada permukaan biskuit.
Jenis gula yang biasa ditambahkan adalah gula pasir atau sirup glukosa.
Jumlah gula yang ditambahkan sangat mempengaruhi tekstur dan
penampakan produk akhir sepeti warna (Matz dan Matz, 1978).
Lemak dan minyak dalam biskuit akan melunakkan dan
menghaluskan tekstur, membuat struktur yang elastis, memberi cita rasa
khas biskuit. Keberadaan lemak dan minyak di dalam biskuit membuat
biskuit cepat melunak di dalam mulut. Lemak dan minyak alami yang sering
digunakan antara lain, lemak sapi, minyak kedelai, dan minyak kelapa.
Lemak nabati lebih banyak digunakan karena memberikan rasa lembut dan
halus (Matz dan Matz, 1978).
Bahan lain seperti telur berfungsi sebagai pengemulsi, peningkat
flavor, warna, dan kelembutan. Selain itu, kerenyahan biskuit akan
bertambah dengan adanya penambahan telur. Bahan pengembang
ditambahkan untuk melepaskan gas hingga jenuh dengan gas CO2. Gas akan
dilepaskan selama pemanggangan agar adonan mengembang sempurna.
Adanya bahan pengembang juga dapat mencegah penyusutan dan
menyeragamkan remah. Bahan pengembang yang sering digunakan adalah
ammonium bikarbonat (Matz dan Matz, 1978).
2. Klasifikasi Biskuit
Produk biskuit dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa sifat,
yaitu berdasarkan tekstur (kekerasan), perubahan bentuk akibat
(Manley, 1983). Menurut sifat adonan, biskuit dibedakan menjadi adonan
lunak, keras, dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak, gluten tidak
sampai mengembang akibat efek dari lemak (shortening) dan efek dari pelunakan oleh gula atau kristal sukrosa. Pada adonan keras, gluten
mengembang sampai pada batas tertentu dengan penambahan air. Adonan
fermentasi mengalami pengembangan gluten penuh karena air yang
ditambahkan memungkinkan pengembangan tersebut. Sebagai akibatnya,
terjadi penyusutan panjang produk setelah pencetakan dan pembakaran
(Soenaryo, 1985).
Jenis adonan lunak memiliki kadar gula 25-40% dan kadar lemak
15%. Produk yang tergolong jenis ini adalah cookies, snap, biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit buah, biskuit jahe, dan biskuit kacang. Adonan lunak
dibuat dengan mengocok lemak dan gula sampai membentuk krim. Selama
dikocok perisa dan pewarna dimasukkan ke dalam krim. Pengembang dan
garam dilarutkan dulu dengan air atau susu cair dan selanjutnya
dicampurkan dengan krim. Tepung terigu ditambahkan di akhir proses
pencampuran (Soenaryo, 1985).
Jenis adonan keras dibuat dengan cara yang hampir sama dengan
adonan lunak, akan tetapi waktu pencampuran diperpanjang dan
ditambahkan sodium metabisulfit untuk mereduksi pengembangan gluten.
Adonan keras akan mengalami aging (penuaan) setelah adonan terbentuk dan biasanya dibutuhkan waktu 15 menit untuk tahapan aging, tergantung pada jenis bahan pengembang. Pada adonan keras ini terjadi pengikatan pati
dengan protein, pelarutan gula, garam, bahan pengembang, dan
pendispersian lemak ke seluruh bagian adonan. Jenis adonan keras
mengandung kadar gula 20% dan kadar lemak 12-15%. Contoh produknya
adalah biskuit marie, biskuit setengah manis, dan biskuit tidak manis
(Soenaryo, 1985). Lain halnya dengan adonan fermentasi, adonan tersebut
memiliki kadar gula rendah, kadar lemak 25-30%, dan tingkat
kerenyahannya tertentu. Contoh produk jenis adonan fermentasi adalah
3. Proses Pembuatan Biskuit
Proses pembuatan biskuit terdiri dari tiga tahap, yaitu pembentukan
adonan, pencetakan, dan pemanggangan adonan. Pembuatan adonan
biasanya berbeda-beda tergantung jenis adonan yang akan dibuat. Menurut
Manley (1983), metode dasar pencampuran adonan dibagi menjadi dua
yaitu, metode krim (creaming method) dan metode all in. Pembuatan adonan dengan metode krim dilakukan secara bertahap. Awalnya lemak dan
gula dicampur sehingga membentuk krim yang homogen dan selama
pembuatan krim bisa pula ditambahkan pewarna dan perisa (essence). Selanjutnya ditambahkan susu, bahan pengembang, dan garam yang telah
dilarutkan dengan air. Pada tahap akhir ditambahkan tepung terigu ke dalam
adonan dan dilakukan pengadukan sampai terbentuk adonan yang cukup
mengembang dan mudah dibentuk. Metode krim ini akan menghasilkan
adonan yang sifat pengembangan glutennya tidak berlebihan dan terbatas
(Matz dan Matz, 1978). Lain halnya dengan metode all in, semua bahan dicampur bersamaan lalu diaduk sampai membentuk adonan. Metode ini
lebih cepat, namun adonan yang dihasilkan lebih padat dan keras.
Setelah adonan dibuat, adonan tersebut akan mengalami proses
aging selama ± 15 menit, tergantung jenis bahan pengembang yang digunakan. Aging diperlukan untuk memberi kesempatan pada bahan pengembang untuk bekerja efektif. Selanjutnya dilakukan pencetakan
terhadap adonan yang sebelumnya telah ditipiskan sampai mencapai
ketebalan tertentu. Bentuk dan ukuran biskuit diusahakan seragam karena
hal ini dapat membantu proses pemanggangan. Untuk menghindari
kelengketan antara adonan dan alat, permukaan adonan diberi tepung.
Adonan yang telah dicetak tersebut ditata di atas loyang yang telah diolesi
lemak lalu dipanggang. Pengolesan lemak bertujuan untuk menghindari
lengketnya biskuit pada loyang setelah dipanggang.
Pemanggangan merupakan tahap pemasakan adonan. Selama
pemanggangan terjadi beberapa perubahan, yaitu penurunan densitas,
terbentuknya tekstur yang porous, penurunan kadar air, dan perubahan
mengalami gelatinisasi dan protein mengalami denaturasi, gas CO2 dan
komponen aroma dibebaskan.
Pemanggangan segera dilakukan setelah pencetakan. Selama
pemanggangan akan terbentuk struktur biskuit akibat adanya gas yang
dilepaskan oleh bahan pengembang dan uap air akibat dari kenaikan suhu.
Ketebalan biskuit akan meningkat 4 - 5 kali dan kadar air akan menurun dari
21% menjadi kurang dari 5%. Pemanggangan biskuit dilakukan dengan
oven selama 2,5 sampai 30 menit, tergantung suhu, jenis oven, dan jenis
biskuitnya. Biasanya biskuit dipanggang pada suhu ± 350 oF (177 oC)
selama ± 10 menit. Suhu dan lama pemanggangan akan menentukan kadar
air akhir biskuit yang dihasilkan. Makin sedikit kandungan gula dan lemak,
biskuit dapat dibakar pada suhu yag lebih tinggi, yaitu 177-204 oC (Matz
dan Matz, 1978).
Faktor-faktor yang perlu dikendalikan pada proses pemanggangan
adalah suhu, waktu, serta sirkulasi udara di dalam oven. Suhu yang terlalu
tinggi menyebabkan biskuit menjadi hangus di bagian luar tetapi bagian
dalam belum matang. Sedangkan suhu yang terlalu rendah menyebabkan
pemanggangan terlalu lama sehingga biskuit akan menjadi kering karena
penguapan air yang terlalu banyak. Selain itu, rasa dan aroma juga banyak
berkurang.
Biskuit yang dihasilkan segera didinginkan untuk menurunkan
suhu dan mendapatkan tekstur yang keras akibat memadatnya gula dan
lemak. Biskuit dikemas untuk melindunginya dari kerusakan dan
penyimpangan mutu. Menurut Manley (1983), biskuit termasuk produk
yang mudah menyerap air dan oksigen. Oleh karena itu, bahan pengemasnya
harus memenuhi beberapa syarat antara lain kedap air, kedap oksigen, kedap
terhadap komponen volatil terutama bau-bauan, kedap terhadap sinar
matahari, dan mampu melindungi produk dari kerusakan mekanis. Bahan
pengemas yang dapat digunakan diantaranya plastik, alumunium foil, kertas
minyak, karton berlipat, dan kaleng berbentuk persegi dan bulat. Bahan
kemasan diatas dapat berperan sebagai kemasan primer atau sekunder.
di-mixing di-aging
dicetak
dipanggang
didinginkan
dikemas
Gambar 1. Metode pembuatan biskuit secara umum (Soenaryo, 1985)
B. MUTU DAN PENURUNAN MUTU BISKUIT
Mutu biskuit akan menurun seiring dengan bertambahnya umur
produk. Selama proses penanganan, pengolahan, penyimpanan, dan distribusi,
mutu produk pangan akan mengalami perubahan karena adanya interaksi
dengan berbagai faktor. Reaksi penurunan mutu suatu produk makanan dapat
disebabkan oleh faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor ekstrinsik
(lingkungan) meliputi udara, oksigen, uap air, cahaya, dan suhu, sedangkan
faktor intrinsik meliputi komposisi produk. Keadaan lingkungan akan memicu
reaksi dalam produk, seperti reaksi kimia, reaksi enzimatis, dan penyerapan
uap air atau gas.
Biskuit memiliki kadar air dan aw yang rendah sehingga teksturnya
menjadi renyah. Faktor utama yang menyebabkan penurunan mutu produk
biskuit adalah meningkatnya kadar air yang sangat erat kaitannya dengan
tingkat kerenyahan produk. Biskuit mempunyai kadar air awal sebesar
1.5-2.5% (Vail et al., 1978).
Makanan kering pada umumnya termasuk biskuit mengalami
kerusakan apabila menyerap uap air berlebihan. Kerusakan akibat air ini cukup
kompleks karena dapat melibatkan berbagai jenis reaksi kerusakan yang
sensitif terhadap perubahan aw. Beberapa reaksi dapat berlangsung secara
kehilangan atau kerusakan vitamin, oksidasi lipida, dan reaksi pembentukan
off-flavor.
Kerusakan produk biskuit sering dihubungkan dengan kerusakan
tekstur. Kerenyahan produk kering akan menurun dengan meningkatnya aw
produk. Apabila aw mencapai 0.35 - 0.50 maka kerenyahan yang menjadi
kekhasan produk akan hilang. Hal ini disebabkan oleh kegiatan air yang
melarutkan dan melunakkan matrik pati atau protein yang terkandung pada
sebagian besar produk pangan (Vail et al., 1978).
C. AKTIVITAS AIR
Istilah aktivitas air (aw) digunakan untuk menggambarkan kondisi air
dalam bahan pangan. Istilah ini menunjukkan jumlah air yang tidak terikat atau
bebas dalam sistem dan dapat menunjang reaksi biologis atau kimiawi.
Aktivitas air merupakan faktor kunci bagi pertumbuhan mikroba, produksi
racun, reaksi enzimatis, dan reaksi kimia lainnya (Mercado dan Canovas,
1996). Air dalam bahan pangan berperan sebagai bahan pereaksi dan pelarut
dari beberapa komponen.
Menurut Winarno (2004), istilah yang umum dipakai untuk air yang
terdapat dalam bahan pangan adalah air terikat. Istilah ini sebenarnya kurang
tepat karena keterikatan air dalam bahan pangan berbeda-beda bahkan ada air
yang tidak terikat. Menurut derajat keterikatannya, air dibagi dalam empat tipe,
yaitu tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Tipe I adalah molekul air yang terikat
pada molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen yang berenergi besar, tetapi
sebagian air ini dapat dihilangkan dengan cara pengeringan biasa. Tipe II
merupakan molekul air yang membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air
lain yang terdapat dalam mikrokapiler. Air jenis ini lebih sukar dihilangkan dan
penghilangan air tipe II akan mengakibatkan penurunan aw. Tipe III adalah air
yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran,
kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe III inilah yang sering disebut dengan air
bebas. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk
pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Tipe IV adalah
2004). Apabila air dalam bahan pangan terikat kuat dengan komponen bukan
air, maka air tersebut lebih sukar digunakan untuk aktivitas mikrobiologis
maupun aktivitas kimia hidrolitik (Syarief dan Halid, 1993).
Kadar air dalam bahan pangan berkaitan erat dengan daya awet
produk. Pengurangan air baik dalam pengeringan atau penambahan bahan lain
bertujuan untuk mengawetkan bahan pangan sehingga dapat tahan terhadap
kerusakan kimiawi maupun mikrobilologi (Fennema, 1985). Aktivitas air
merupakan faktor penting yang mempengaruhi kestabilan makanan kering
selama penyimpanan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kadar air dan aktivitas air sangat
berpengaruh dalam penentuan umur simpan suatu produk pangan karena faktor
ini akan mempengaruhi sifat fisik, sifat fisiko-kimia, perubahan-perubahan
kimia, kerusakan mikrobiologis, dan perubahan enzimatis terutama pada
makanan yang tidak diolah. Sifat-sifat yang dimaksud di atas diantaranya,
kekerasan, kekeringan, dan pencoklatan non-enzimatis (Winarno dan Jenie,
1983).
Menurut Labuza (1982), hubungan antara aktivitas air dan mutu
makanan yang dikemas adalah sebagai berikut:
1. Pada selang aktivitas air sekitar 0.7 – 0.75 atau lebih, mikroorganisme
berbahaya dapat mulai tumbuh dan produk menjadi beracun.
2. Pada selang aktivitas air sekitar 0.6 – 0.7, jamur dapat mulai tumbuh.
3. Aktivitas air sekitar 0.35 – 0.5 dapat menyebabkan makanan ringan hilang
kerenyahannya.
4. Pada selang aktivitas air 0.4 – 0.5, produk pasta yang terlalu kering akan
mudah hancur dan rapuh selama dimasak atau karena goncangan mekanis.
Secara matematis, aktivitas air (aw) dari suatu bahan pangan
dinyatakan sebagai perbandingan antara tekanan uap air pada bahan pangan
(Pf) dengan tekanan uap air murni (Po) pada suhu yang sama. Persamaannya
adalah sebagai berikut:
aw = Pf
Dalam keadaan setimbang, aktivitas air sering dihubungkan dengan
kelembaban relatif keseimbangan (equilibrium relative humidity = ERH) dari lingkungan, yaitu kelembaban udara saat terjadinya kadar air kesetimabangan
sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut:
aw = ERH
100
Aktivitas air (aw) menunjukkan sifat bahan itu sendiri, sedangkan
ERH menggambarkan sifat lingkungan di sekitarnya yang berada dalam
keadaan seimbang dengan bahan tersebut. Dengan kata lain, peranan air dalam
pangan biasanya dinyatakan dalam kadar air dan aktivitas air, sedangkan
peranan air di udara dinyatakan dalam kelembaban relatif dan kelembaban
mutlak. Bertambah atau berkurangnya kandungan air suatu bahan pangan pada
suatu keadaan lingkungan sangat tergantung pada ERH lingkungannya.
D. KADAR AIR KESETIMBANGAN DAN SORPSI ISOTERMIS
Kadar air kesetimbangan adalah kadar air suatu bahan setelah berada
pada kondisi lingkungannya dalam periode waktu yang lama (Brooker et al., 1992). Menurut Fellows (1990), kadar air kesetimbangan merupakan kadar air
bahan pangan ketika tekanan uap air dari bahan tersebut dalam kondisi
setimbang dengan lingkungannya dimana produk sudah tidak mengalami
perubahan atau pengurangan bobot produk. Pengertian ini sejalan dengan
definisi yang dikemukakan Heldman dan Singh (1981) bahwa kadar air
kesetimbangan suatu bahan adalah kadar air bahan tersebut saat tekanan uap air
bahan dalam kondisi setimbang dengan lingkungannya, sedangkan kelembaban
relatif pada saat terjadinya kadar air kesetimbangan dinyatakan sebagai
kelembaban relatif kesetimbangan (equilibrium relative humidity).
Kadar air kesetimbangan penting untuk menentukan bertambah atau
berkurangnya kadar air bahan pada kondisi suhu tertentu. Jika kelembaban
relatif udara lebih tinggi dibandingkan kelembaban relatif bahan pangan maka
bahan tersebut akan menyerap air (adsorpsi). Sebaliknya jika kelembaban
relatif udara lebih rendah dari kelembaban relatif bahan maka bahan akan
Penentuan kadar air kesetimbangan dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu metode statis dan metode dinamis. Berdasarkan metode statis, kadar air
kesetimbangan bahan diperoleh pada keadaan udara diam dengan cara
meletakkan contoh dalam tempat yang kondisi suhu dan RH-nya terkontrol.
Metode statis biasanya digunakan untuk keperluan penyimpanan karena pada
umumnya udara di sekitar bahan relatif tidak bergerak (diam). Pada metode
statis, tercapainya kadar air kesetimbangan ditandai dengan konstannya bobot
bahan. Bobot bahan dikatakan konstan bila selisih bobot antara tiga kali
penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2mg/g untuk kondisi RH ≤ 90 % dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk kondisi RH > 90% (Liovonen dan Ross,
2000 diacu dalam Adawiyah, 2006). Lain halnya dengan metode dinamis,
kadar air kesetimbangan diperoleh ketika bahan diletakkan pada kondisi udara
bergerak. Metode ini biasanya digunakan pada proses pengeringan. Pergerakan
udara dibutuhkan untuk untuk mempercepat pengeringan dan menghindari
penjenuhan uap air di sekitar bahan (Brooker et al., 1992). Kadar air kesetimbangan produk pangan sangat penting dalam menggambarkan kurva
sorpsi isothermis produk tersebut yang bergantung pada suhu dan kelembaban
udara lingkungan.
Perilaku produk makanan terhadap kelembaban udara lingkungannya
digambarkan oleh suatu kurva sorpsi isotermis, yaitu kurva yang menunjukkan
hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif
kesetimbangan ruang penyimpanan (ERH) atau aktivitas air (aw) pada suhu
tertentu (Syarief dan Halid, 1993). Kurva sorpsi isotermis juga
menggambarkan aktivitas adsorpsi (menyerap air) dan desorpsi (menguapkan
air) dari bahan makanan. Hubungan ERH atau aw dan kadar air bahan pangan
pada suhu konstan digambarkan seperti pada gambar 2. Pada bahan pangan,
sorpsi isotermis air dapat menggambarkan kandungan air yang dimiliki bahan
tersebut sebagai keadaan relatif ruang tempat penyimpanan (Winarno, 2004).
Sorpsi isotermis banyak dipakai dalam penelitian bahan pangan seperti umur
Gambar 2. Kurva sorpsi isotermis secara umum (Labuza, 1982)
Hubungan antara keadaan air dalam bahan pangan dan aktivitas air
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hubungan antara aktivitas air (aw) dan keadaan fisik air aw Keadaan air di dalam bahan pangan 0.00 – 0.35 Adsorpsi pada lapisan tunggal (monolayer) 0.35 – 0.60 Adsorpsi air pada lapisan tambahan (multilayer)
0.60 – 1.00 Air terkondensasi pada kapiler atau pori-pori yang dilanjutkan dengan disolusi padatan terlarut
Sumber : Gunasekharan dan John (1993)
Lebih lanjut Syarief dan Halid (1993) dan Buckle et al. (1985) menjelaskan pada umumnya kurva sorpsi isotermis bahan pangan berbentuk
sigmoid (menyerupai huruf S). Pada kenyataannya grafik penyerapan uap air
dari udara oleh bahan pangan (kurva adsorpsi) dan grafik pelepasan uap air
oleh bahan pangan ke udara (kurva desorpsi) tidak pernah berhimpit. Keadaan
tersebut disebut sebagai fenomena histeresis. Fenomena histeresis menjelaskan
bahwa nilai aw yang berbeda diperoleh pada pengukuran makanan dengan
kadar air sama, tergantung pada bagaimana cara tercapainya kadar air tersebut,
melalui proses adsorpsi atau desorpsi (Buckle et al., 1985).
Besarnya histeresis dan bentuk kurva sangat beragam sekali
fisik yang terjadi selama perpindahan air, suhu, kecepatan desorpsi dan
tingkatan air yang dipindahkan selama desorpsi (Fennema, 1985). Secara
umum, dapat dikatakan bahwa bentuk kurva sorpsi isotermis ini khas untuk
setiap jenis bahan pangan (Winarno, 2004).
Pengetahuan tentang sorpsi isotermis suatu bahan pangan akan sangat
membantu sekali dalam penentuan jenis pengemas yang dibutuhkan dan
memprediksikan karakteristik kondisi penyimpanan yang sesuai serta masa
simpannya (Mir dan Nath, 1995) sehingga pertumbuhan mikroba yang sering
menyebabkan kerusakan bahan pangan dapat dihindari (Boente et al., 1996). Selain itu berguna juga untuk menghitung waktu pengeringan, memprediksikan
kondisi keseimbangan dalam suatu campuran produk dengan nilai aw yang
berbeda (Chirife dan Iglesias, 1978).
E. MODEL PERSAMAAN SORPSI ISOTERMIS
Menurut Sun (2000), lebih dari 200 model sorpsi isotermis produk
tersedia, namun tidak ada satu pun model yang mampu menggambarkan
dengan baik untuk seluruh produk pangan dengan kisaran RH dan suhu yang
luas. Ketepatan setiap model tergantung pada kisaran nilai aw dan jenis bahan
penyusun produk pangan tersebut. Model matematika mengenai persamaan
sorpsi isotermis ini sudah sangat banyak dikemukakan para ahli baik secara
empiris, semi empiris, maupun teoritis (Chirife dan Iglesias, 1978, Van den
Berg dan Bruin, 1981). Nilai dari suatu model sorpsi isotermis tergantung pada
kemampuannya secara matematis untuk menguraikan sorpsi isotermis dan
kemampuan tetapan-tetapan dalam model tersebut untuk menjelaskan
fenomena secara teoritis. Model matematika yang dikembangkan pada
umumnya tidak dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dan
hanya dapat memprediksi kurva sorpsi isotermis pada salah satu dari ketiga
daerah kurva sorpsi isotermis. Penggunaan model sorpsi isotermis sangat
tergantung pada tujuan pemakai misalnya jika ingin mendapatkan kemulusan
kurva yang tinggi maka model yang sederhana dan lebih sedikit jumlah
Menurut Chirife dan Iglesias (1978), ada beberapa kendala yang
dihadapi dalam menyusun suatu persamaan yang dapat menjelaskan kurva
sorpsi isotermis pada keseluruhan selang aw yang ada dan dapat diaplikasikan
untuk berbagai jenis bahan pangan, yaitu:
1. Perubahan aw pada bahan pangan dipengaruhi oleh kombinasi berbagai
macam faktor yang masing-masing mendominasi dalam selang-selang aw
yang berbeda.
2. Sorpsi isotermis suatu bahan pangan menggambarkan kemampuan
higroskopis yang kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi baik fisik
maupun kimia antara komponen-komponen bahan pangan tersebut yang
diinduksi oleh proses pemanasan atau perlakuan awal lainnya.
3. Pada saat bahan pangan menyerap air dari lingkungannya, bahan pangan
tersebut umumnya akan mengalami perubahan baik perubahan fisik, kimia,
dan lainnya.
Teori paling klasik tentang adsorpsi lapisan tunggal yang merupakan
dasar bagi perkembangan teori-teori selanjutnya dikemukakan oleh Langmuir
(1918). Dari percobaannya didapat persamaan berikut:
V = Vm * [ba/(K+ba)]
dimana: V = jumlah gas yang diadsorpsi pada tekanan tertentu
Vm = jumlah gas yang diadsorpsi pada lapisan tunggal
a = sifat termodinamika gas
b = konstanta yang tergantung pada suhu dan jenis bahan
Model Langmuir ini tidak cocok diterapkan pada bahan pangan karena
adanya asumsi-asumsi yang tidak dapat dipenuhi dalam persamaan seperti
adsorpsi air dapat bersifat lebih dari satu lapisan molekul air, permukaan bahan
tidak rata dan terdiri dari berbagai komponen yang masing-masing mempunyai
ikatan yang berbeda terhadap air, dan interaksi molekul-molekul uap air yang
diadsorpsi dapat terjadi. Untuk menyempurnakan asumsi Langmuir, Brauner,
bersifat satu lapis molekul air, namun juga membentuk lapisan molekul ganda.
Bentuk persamaan isotermis BET adalah sebagai berikut:
aw = 1 + aw (C – 1)
(1 – aw)M CMm CMm
dimana: Mm = kadar air pada lapisan tunggal
C = tetapan adsorpsi BET
Model BET ini hanya dapat digunakan pada kisaran aw kurang dari 0.5, namun
data yang didapat ini sangat tepat untuk menggambarkan kondisi lapisan
tunggal dari suatu bahan pangan (Labuza, 1982 diacu dalam Arpah, 2001).
Salah satu model yang diakui secara internasional adalah model GAB
(Guggenheim, Anderson, dan de Boer). Model ini bisa menggambarkan sorpsi
isotermis bahan pangan pada kisaran aw yang lebih luas dari model BET, yaitu
0.05 < aw < 0.9 dan (Spiess dan Wolf, 1987). Persamaan GAB merupakan
persamaan yang tepat untuk menggambarkan sorpsi isotermis pada sebagian
besar produk pangan. Model sorpsi isotermis GAB dinyatakan sebagai berikut:
M = Xm C K aw
(1 – K aw) (1 – K aw + C K aw)
dimana: M = kadar air (% basis kering)
aw = aktivitas air
Xm = kadar air monolayer (%)
K = konstanta
C = konstanta energi
Secara empiris, Henderson mengemukakan persamaan yang
menggambarkan hubungan antara kadar air kesetimbangan bahan pangan
dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini merupakan salah satu
persamaan yang paling banyak digunakan untuk kebanyakan bahan pangan,
terutama biji-bijian (Chirife dan Iglesias, 1978). Bentuk persamaan tersebut
adalah seperti dibawah ini.
dimana: Me = kadar air kesetimbangan (% basis kering)
K dan n = konstanta
Selanjutnya, Caurie dari hasil percobaannya mendapatkan model yang
dapat berlaku untuk kebanyakan bahan pangan pada selang aw 0.0 sampai 0.85.
Persamaan tersebut adalah sebagai berikut dengan P1 dan P2 merupakan
konstanta.
ln Me = ln P1 – (P2*aw)
Hasley mengembangkan persamaan yang dapat menggambarkan
proses kondensasi pada lapisan multilayer. Persamaan ini dapat digunakan
untuk bahan makanan dengan aw 0.1 sampai 0.81. Berikut ini adalah model
persamaan Hasley.
aw = exp [-P1/(Me)P2)
Persamaan Oswin dapat berlaku untuk bahan pangan pada aw 0.00
sampai 0.85 dan cocok untuk kurva sorpsi isotermis yang berbentuk S
(sigmoid). Model persamaan Oswin tersebut adalah seperti dibawah ini.
Me = P1 [aw/(1 – aw)]P2
Chen Clayton juga telah membuat model matematika yang berlaku
untuk bahan pangan pada semua kisaran nilai aw. Persamaan tersebut
dinyatakan sebagai berikut.
aw = exp[-P1/exp(P2*Me)]
F. KEMASAN
Pengertian umum dari kemasan adalah suatu benda yang digunakan
untuk wadah atau tempat yang dapat memberikan perlindungan sesuai dengan
tujuannya (Syarief et al., 1989). Adanya kemasan dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan yang ada di dalamnya dari
pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan dan getaran. Dari
Bahan kemasan yang umum untuk pengemasan produk hasil pertanian untuk
tujuan pengangkutan atau distribusi adalah kayu, serat goni, plastik, kertas dan
gelombang karton (Syarief et al., 1989).
Menurut Winarno dan Jenie (1983) tujuan makanan dikemas adalah
untuk mengawetkan makanan, yaitu mempertahankan mutu kesegaran,
warnanya yang tetap, untuk menarik konsumen, memberikan kemudahan
penyimpanan dan distribusi, serta yang lebih penting lagi dapat menekan
peluang terjadinya kontaminasi dari udara, air, dan tanah baik oleh
mikroorganisme pembusuk, mikroorganisme yang dapat membahayakan
kesehatan manusia, maupun bahan kimia yang bersifat merusak atau racun.
Menurut Syarief dan Irawati (1988), kemasan berfungsi sebagai: (1) wadah
untuk menempatkan prosuk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam
penyimpanan, pengangkutan dan distribusi, (2) memberi perlindungan terhadap
mutu produk dari kontaminasi luar dan kerusakan, dan (3) menambah daya
tarik produk.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan
pangan adalah sifat bahan pangan, keadaan lingkungan dan sifat bahan
kemasan. Gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah
kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas, dan cahaya. Sebagai akibat
perubahan kadar air pada produk, akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan
pada bubuk, dan pelunakan pada produk kering (Syarief et al., 1989).
Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam
kepekaannya terhadap penyerapan atau pengeluaran gas (udara dan uap air).
Bahan kering harus dilindungi dari penyerapan air dan oksigen dengan cara
menggunakan bahan pengemas yang mempunyai daya tembus rendah terhadap
gas tersebut (Purnomo dan Adiono, 1987).
Produk kering terutama yang bersifat hidrofilik harus dilindungi
terhadap masuknya uap air. Umumnya produk-produk ini memiliki ERH yang
rendah, oleh sebab itu harus dikemas dengan kemasan yang memiliki
permeabilitas air yang rendah untuk mencegah produk yang berkadar gula
tinggi merekat atau produk-produk tepung menjadi basah sehingga tidak lagi
Plastik merupakan bahan pengemas yang penting dalam industri
pangan. Sebagai bahan pembungkus, plastik dapat digunakan dalam bentuk
tunggal, komposit, atau berupa lapisan-lapisan (multi lapis) dengan bahan lain
seperti kertas dan alumunium foil. Menurut Robertson (1993), kombinasi
antara berbagai kemasan plastik yang berbeda atau plastik dengan kemasan non
plastik dimana ketebalan setiap lapisan utamanya lebih dari 6 mikron yang
diproses baik dengan cara laminasi ekstrusi atau laminasi adhesif disebut
sebagai kemasan laminasi. Dalam kemasan laminasi minimal ada dua jenis
kemasan, dimana salah satunya harus bersifat thermoplastic.
Kemasan laminasi yang sering digunakan industri pangan saat ini
tidak hanya kombinasi antara berbagai macam plastik saja melainkan
kombinasi plastik dengan aluminium. Kemasan seperti ini disebut metallized plastic. Kemasan seperti ini cocok digunakan sebagai pengemas kopi, makanan kering, keju, dan roti panggang. Metallized plastic bersifat tidak meneruskan cahaya, menghambat masuknya oksigen, menahan bau, memberikan efek
mengkilap, dan mampu menahan gas (Brown, 1992). Selain itu, metallized plastic mudah disobek sehingga memudahkan konsumen membuka kemasan.
Metallizing merupakan proses pelapisan salah satu sisi film plastik transparan dengan logam pada kondisi yang sangat vakum. Logam yang biasa
digunakan adalah aluminium. Proses metalisasi dilakukan dengan menguapkan
dan melelehkan aluminium pada suhu 1500 oC. Uap aluminium akan melapisi
film plastik yang berputar pada sebuah rol pendingin bersuhu ± 15 oC
(Febriyanti, 2002).
Kelebihan plastik dari kemasan lain diantaranya adalah harga yang
relatif rendah, dapat dibentuk menjadi berbagai macam bentuk, dan dapat
mengurangi biaya transportasi. Selain itu, plastik sebagai bahan pengemas
memilki sifat ringan, transparan, kuat, termoplastis dan selektif dalam
permeabilitasnya terhadap uap air, O2, dan CO2. Sifat permeabilitas plastik
terhadap uap air dan udara menyebabkan plastik mampu berperan
memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan. Plastik juga merupakan jenis