• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS. Oleh : MONA FITRIA F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS. Oleh : MONA FITRIA F"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENDUGAAN UMUR SIMPAN

PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS

Oleh :

MONA FITRIA F24103015

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

Mona Fitria. F24103015. Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi.

ABSTRAK

Produk biskuit merupakan salah satu jenis produk kering yang sudah popular di pasaran dan banyak digemari oleh konsumen. Biskuit tergolong makanan yang tidak mudah rusak karena kadar airnya yang relatif rendah (Manley, 1983; Matz dan Matz , 1978). Biskuit memiliki tekstur renyah dan parameter kerenyahan ini sangat terkait dengan kadar air produk. Peningkatan kadar air produk akan menyebabkan menurunnya mutu produk biskuit. Karena produk biskuit tergolong pada produk yang mudah rusak akibat penyerapan air, maka pendugaan umur simpannya dilakukan dengan pendekatan kadar air kritis.

Penelitian ini bertujuan menduga umur simpan produk biskuit pada umumnya yang sudah ada di pasaran dengan metode akselerasi berdasarkan pendekatan kadar air kritis dan selanjutnya membandingkan metode pendekatan kurva sorpsi isotermis dengan metode kadar air kritis termodifikasi. Selain itu, melalui penelitian ini dilihat pula pengaruh bahan kemasan dan kelembaban relatif lingkungan terhadap umur simpan produk. Sasaran yang ingin dicapai penelitian ini adalah diperolehnya metode yang efektif, efisien, dan ekonomis dalam pendugaan umur simpan produk biskuit pada umumnya. Sampel yang digunakan dalam penelitian ada dua jenis yaitu biskuit adonan lunak dan adonan keras.

Rangkaian penelitian yang dilakukan diawali dengan penentuan kadar air awal, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan untuk selanjutnya memperoleh kurva sorpsi isotermis, permeabilitas kemasan, perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan, serta pengukuran variabel umur simpan lainnya. Semua variabel di atas akan digunakan untuk menghitung umur simpan biskuit dengan dua pendekatan kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi.

Berdasarkan hasil perhitungan, umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi merupakan angka yang masih masuk akal (sekitar 23-28 bulan pada RH 75%), tapi lebih besar dari umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis (sekitar 12-20 bulan pada RH 75% dengan berbagai nilai slope kurva sorpsi isotermis). Angka umur simpan yang diperoleh berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi cenderung terlalu besar untuk produk biskuit karena produk biskuit biasanya memiliki umur simpan sekitar 12-18 bulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kemasan sangat mempengaruhi umur simpan produk. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan umur simpan yang menggunakan dua kemasan yang berbeda, yaitu metallized plastic dan plastik PP tebal. Permeabilitas kemasan metallized plastic jauh lebih kecil daripada plastik PP tebal, sehingga umur simpan produk yang dikemas dengan metallized plastic lebih panjang daripada yang dikemas dengan plastik PP tebal. Jenis biskuit tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap umur simpan biskuit. Hal ini dapat dilihat dari umur simpan kedua jenis biskuit bila dikemas dengan kemasan yang sama yaitu PP tebal.

(3)

Nilai slope kurva sorpsi isotermis juga sangat mempengaruhi nilai umur simpan. Untuk biskuit jenis adonan lunak, nilai slope 1 dan 2 berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang paling sesuai dengan umur simpan (tanggal kadaluarsa) yang tercantum pada label. Umur simpan biskuit adonan keras ditentukan berdasarkan dua model persamaan sorpsi isotermis, yaitu model Caurie dan model GAB. Umur simpan berdasarkan model GAB pada berbagai nilai slope memberikan nilai yang lebih sesuai dengan tanggal kadaluarsa pada label, tapi nilai slope 2 menunjukkan umur simpan yang paling sesuai dengan umur simpan yang tercantum pada label. Secara umum dapat disimpulkan bahwa penggunaan slope 1 dan slope 2 dalam menduga umur simpan biskuit berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang lebih tepat.

Secara umum, pendekatan kurva sorpsi isotermis merupakan metode yang lebih tepat untuk menentukan umur simpan biskuit karena produk biskuit memiliki kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid, meskipun tidak sigmoid sempurna. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Labuza (1982), bahwa produk yang memiliki kurva sorpsi isotermis ditentukan umur simpannya dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Faktor utama yang mempengaruhi umur simpan biskuit secara umum adalah jenis kemasan, kondisi kelembaban ruang penyimpanan, kadar air awal, kadar air kritis, dan kadar air kesetimbangan.

Selain membandingkan kedua pendekatan di atas, dalam penelitian ini dilakukan pengembangan metode, yaitu metode penentuan kadar air kritis. Tahapan metode yang dikembangkan adalah metode penentuan kadar air kritis dengan menyimpan sampel secara terbuka pada suhu ruang dan dibiarkan hingga sampel rusak. Cara umum yang dilakukan dalam metode penentuan kadar air kritis adalah dengan cara menyimpan produk tanpa kemasan dalam chamber dengan berbagai nilai RH yang terukur dan terkondisikan dengan baik hingga sampel rusak. Cara ini membutuhkan alat yang cukup banyak dan menggunakan larutan garam jenuh yang memerlukan biaya tinggi. Dari penelitian yang dilakukan telah dibuktikan bahwa tahapan ini memiliki keuntungan yaitu mudah dilakukan, efektif, efisien, dan tidak membutuhkan biaya yang tinggi.

Selain itu, melalui penelitian ini juga dikembangkan metode pengukuran tekstur (kerenyahan) biskuit dengan menggunakan alat texture analyzer pada sampel yang telah diberi perlakuan penyimpanan sehingga nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai dapat diketahui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis biskuit adonan lunak akan mencapai kadar air kritis pada saat persentase penurunan kerenyahannya sekitar 60%, sedangkan jenis biskuit adonan keras akan mencapai kadar air kritis pada saat persentase penurunan kerenyahannya sekitar 50%.

(4)

PENDUGAAN UMUR SIMPAN

PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh MONA FITRIA

F 24103015

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENDUGAAN UMUR SIMPAN

PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh MONA FITRIA

F 24103015

Dilahirkan pada tanggal 18 Mei 1985 di Payakumbuh Taggal lulus : 13 Agustus 2007

Menyetujui, Bogor, Agustus 2007

Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Koto Kecil, Payakumbuh pada tanggal 18 Mei 1985. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, anak dari pasangan Zainal Idris dan Yulfina.

Penulis mengawali studinya di TK Cerdas Koto Kecil pada tahun 1990, dilanjutkan ke SDN 19 Koto Kecil, SLTPN 4 Guguk, SMUN 1 Suliki, dan selanjutnya diterima di Departemen Teknologi Pangan dan Gizi yang sekarang telah berubah nama menjadi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Penulis aktif dalam berbagai organisasi ekstra dan intra kampus. Dua tahun berturut-turut, penulis tergabung dalam kepengurusan HIMITEPA, sebagai staf Divisi Sosial Kemahasiswaan dan staf Divisi Public Relation. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan kegiatan di dalam kampus, diantaranya Seminar Pangan Halal Nasional (2004), Seminar dan Pelatihan HACCP (2005), Kongres Nasional I HMPPI (Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Nasional), Focus Group Discussion Formalin: Unnecessery Necessity (2006), dan berbagai kegiatan intra kampus lainnya. Selain itu, penulis juga aktif berkecimpung dalam Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA), yaitu IPMM (Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Minang) dan IKMP (Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Payakumbuh).

Semasa kuliah penulis juga aktif dalam bidang akademik. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia TPB dan Praktikum Kimia dan Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Pada tahun 2006, penulis berhasil masuk 6 besar Mahasiswa Berprestasi Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis adalah penerima beasiswa PPA (2005) dan beasiswa PERTAMINA-BP MIGAS (2006). Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis melakukan penelitian yang mendapatkan dana bantuan dari Laboratorium Jasa Analisis (LJA), Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB dengan judul: Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulisan skripsi dengan judul Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis ini bisa diselesaikan dengan baik. Selesainya penelitian ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada:

1. Ibunda Yulfina, Ayahanda Zainal Idris, Uda Iin, dan semua keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dukungan, semangat, dan telah mengajarkan arti hidup yang sebenarnya sehingga penulis bisa menjalani hidup dengan lebih baik.

2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan ketulusan, sehingga penulis berhasil menyelesaikan penelitian ini dengan baik.

3. Ir. Elvira Syamsir, MSi sebagai dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberi banyak masukan bagi penulis.

4. Laboratorium Jasa Analisis Pangan (LJA) dan semua analis LJA (Mba Yane, Mba Ririn, dan Mba Yuli), Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB atas kerja samanya dalam memberikan bantuan dana dan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian ini.

5. Semua staf dosen, laboran, dan teknisi yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini.

6. Sahabat-sahabat terbaikku: Ade, Wayan, Chietra, Zano, Aan, dan Widhi yang selalu ada in my bad and good time. Aku tiada arti disini tanpa kalian semua. Kalian semua telah menorehkan warna indah dalam hidupku. You are my best friends.

7. Teman seperjuangan dalam pelaksanaan penelitian ini : Bos Fina dan Aji. “Fin, dari awal sampai akhir penelitian ini kita selalu bersama. Semoga kebersamaan ini tidak hanya sampai disini dan bisa berlanjut sampai kapan pun”. “Aji, terima kasih untuk kerjasamanya”.

(8)

8. Teman terbaikku: Nooy, Intan, Lala. Terima kasih untuk semua kebaikan dan kebersamaan kita selama hampir 3 tahun di asrama, Darmaga Regency, dan kostan Fadhillah. Tidak sedikit suka duka yang kita lalui bersama. Thanks for all, I’ll never forget our friendship. 9. Teman-teman kostan ‘keluarga baru’ di kostan Mega : Mba Ririn,

Kamila ‘cantik’, Reni, Eno, Mpit, dan Esti yang telah memberikan bantuan, dukungan, semangat, dan perhatian selama 1 tahun terakhir. 10.Teman-teman seperjuangan ‘perantau sejati’ dari IPMM dan IKMP :

Mudia, Inggit, Ayu, Dora, Eva, Rahmi, Adiak Amen, Tari, Rumah Qta crew, ex DR Q crew, dan teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.. Thanks for the time that you’ve spent with me.

11.Teman-teman yang selalu mengingatkan di saat aku salah dan lalai: T’ Euis, Gading, Lasty, Angel, Mae, dan Asih. Semoga kita bisa selalu saling mengingatkan untuk mendapatkan rahmat dan ridha-Nya.

12.Mitoel, Tilo, Dion, Hendy, Lilin, Abdy, Gilang, Iin, Andiny, teman-teman di golongan A, teman-teman-teman-teman di HIMITEPA dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk kebersamaannya selama 4 tahun terakhir ini.

13.Semua panelis yang telah menyediakan waktu dan ikut berpartisipasi dalam penelitian ini.

14.Kak Steisi, Mba Fafa, Mba Yayah, dan seluruh civitas ITP serta pihak lain yang telah ikut membantu dan memberi dukungan pada penulis.

Akhir kata, penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini sangat jauh dari sempurna. Namun demikian, penulis berharap tulisan ini akan bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai salah satu kajian awal yang bisa menginspirasi penelitian-penelitian berikutnya yang lebih baik. Terima kasih.

Bogor, Agustus 2007

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang 1

B. Tujuan 4

C. Manfaat 4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Biskuit 5

B. Mutu dan Penurunan Mutu Biskuit 11

C. Aktivitas Air 12

D.Kadar Air Kesetimbangan dan Sorpsi Isotermis 14

E. Model Persamaan Sorpsi Isotermis 17

F. Kemasan 20

G.Umur Simpan 24

H.Metode Akselerasi 26

III. METODOLOGI PENELITIAN

A.Bahan dan Alat 31

B. Metode Penelitian 31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Kadar Air Awal dan Kadar Air Kritis 40

B. Kadar Air Kesetimbangan dan Kurva Sorpsi Isotermis 46 C. Model Persamaan Sorpsi Isotermis dan Uji Ketepatan Model 48

(10)

Halaman

E. Perbedaan Tekanan Dalam dan Luar Kemasan 56

F. Variabel Umur Simpan Lainnya 57

G.Umur Simpan 61

V. KESIMPULAN DAN SARAN 70

DAFTAR PUSTAKA 73

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Syarat Mutu Biskuit Berdasarkan SNI 01-2973-1992 5

Tabel 2. Penyimpangan Produk Akhir Biskuit dan Penyebabnya 6

Tabel 3. Hubungan antara aktivitas air (aw) dan keadaan fisik air 16

Tabel 4. Kadar air, nilai kerenyahan, dan skor kesukaan biskuit adonan lunak pada berbagai kondisi penyimpanan 42

Tabel 5. Kadar air, nilai kerenyahan, dan skor kesukaan biskuit adonan keras pada berbagai kondisi penyimpanan 43

Tabel 6. RH larutan garam jenuh pada suhu 30 oC 46

Tabel 7. Kadar air kesetimbangan (me) biskuit adonan lunak dan adonan keras dan waktu tercapainya pada berbagai RH penyimpanan 48

Tabel 8. Persamaan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak 49

Tabel 9. Persamaan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras 50

Tabel 10. Hasil perhitungan nilai MRD model-model persamaan 51

Tabel 11. Nilai aw minimum pertumbuhan berbagai mikroorganisme 54

Tabel 12. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan 61

Tabel 13. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan 62

Tabel 14. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model Caurie 63

Tabel 15. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model Caurie 64

Tabel 16. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model GAB 65

Tabel 17. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model GAB 66 Tabel 18. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak pada beberapa RH

(12)

Tabel 19. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi 69

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Metode pembuatan biskuit secara umum 11

Gambar 2. Kurva sorpsi isothermis secara umum 16

Gambar 3. Diagram alir metode penelitian 33

Gambar 4. Prinsip kerja Permatran W*3/31 38

Gambar 5. Parameter kritis kerusakan produk biskuit 41

Gambar 6. Hubungan kadar air dan skor kesukaan biskuit adonan lunak dan adonan keras 43

Gambar 7. Hubungan nilai kerenyahan dan skor kesukaan biskuit adonan lunak dan adonan keras 44

Gambar 8. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak dan adonan keras 48

Gambar 9. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak model GAB 52

Gambar 10. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model Caurie 52

Gambar 11. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model GAB 53

Gambar 12. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak berdasarkan model GAB 58

Gambar 13. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model Caurie dan GAB 58

Gambar 14. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak berdasarkan model GAB 59

Gambar 15. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras berdasarkan model Caurie 59

Gambar 16. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras berdasarkan model GAB 60

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Form survei atribut utama penyebab kerusakan biskuit 76 Lampiran 2. Hasil survei atribut utama penyebab kerusakan biskuit 77 Lampiran 3. Form pengujian organoleptik biskuit 78 Lampiran 4. Setting alat texture analyzer untuk pengujian nilai kerenyahan 79 Lampiran 5. Modifikasi model sorpsi isotermis dari persamaan non linear

menjadi persamaan linear 80

Lampiran 6. Contoh perhitungan mencari konstanta model persamaan sorpsi

isotermis 82

Lampiran 7. Modifikasi persamaan dan contoh perhitungan mencari nilai

konstanta persamaan GAB 83

Lampiran 8. Kadar air kesetimbangan biskuit adonan lunak dan adonan keras berdasarkan model-model persamaan model sorpsi isotermis 85 Lampiran 9. Kurva sorpsi isotermis berdasarkan model-model persamaan untuk

biskuit adonan lunak dan adonan keras 86 Lampiran 10. Contoh perhitungan nilai MRD 90 Lampiran 11. Komposisi biskuit adonan lunak dan adonan keras 91

(15)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Informasi umur simpan merupakan salah satu informasi yang wajib dicantumkan oleh produsen pada kemasan produk pangan. Pencantuman informasi umur simpan menjadi sangat penting karena terkait dengan keamanan produk pangan tersebut dan untuk menghindari pengkonsumsian pada saat kondisi produk sudah tidak layak dikonsumsi. Kewajiban produsen untuk mencantumkan informasi umur simpan ini telah diatur oleh pemerintah dalam UU Pangan tahun 1996 serta PP Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dimana setiap industri pangan wajib mencantumkan tanggal kadaluarsa (umur simpan) pada setiap kemasan produk pangan (Setiawan, 2005).

Informasi umur simpan produk sangat penting bagi banyak pihak, baik produsen, konsumen, penjual, dan distributor. Konsumen tidak hanya mengetahui tingkat kesegaran dan keamanan produk, melainkan juga menjadi petunjuk bagi perubahan citarasa, penampakan dan kandungan gizi produk tersebut. Bagi produsen, informasi umur simpan merupakan bagian dari konsep pemasaran produk yang penting secara ekonomi dalam hal pendistribusian produk serta berkaitan dengan usaha pengembangan jenis bahan pengemas yang digunakan. Bagi penjual dan distributor informasi umur simpan sangat penting dalam hal penanganan stok barang dagangannya.

Umur simpan atau masa kadaluarsa merupakan suatu parameter ketahanan produk selama penyimpanan. Salah satu kendala yang selalu dihadapi oleh industri dalam pendugaan umur simpan suatu produk adalah masalah waktu, karena bagi produsen hal ini akan mempengaruhi jadwal peluncuran suatu produk pangan. Karena itu, metode pendugaan umur simpan yang dipilih harus metode yang paling cepat, mudah, memberikan hasil yang tepat, dan sesuai dengan karakteristik produk pangan yang bersangkutan.

(16)

waktu yang lama dan biaya yang mahal karena pendugaan umur simpan dilakukan dalam kondisi normal sehari-hari. Namun demikian, metode ini sangat akurat dan tepat. Metode akselerasi dapat dilakukan dalam waktu yang relatif lebih singkat karena penentuan umur simpan ini dilakukan pada kondisi percobaan yang ekstrim (suhu tinggi, kelembaban di atas atau di bawah kondisi normal penyimpanan) sehingga mempercepat proses penurunan mutu produk. Dengan ekstrapolasi, kecepatan penurunan mutu bisa dihitung berdasarkan persamaan matematis. Keuntungan dari metode ini adalah waktu pengujian yang relatif lebih singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tepat (Arpah, 2001).

Penerapan metode akselerasi perlu memperhatikan karakteristik dan penyebab kerusakan produk yang akan ditentukan umur simpannya. Metode akselerasi dapat dilakukan dengan pendekatan model Arrhenius dan model kadar air kritis. Model Arrhenius biasanya digunakan untuk produk yang sensitif terhadap perubahan suhu penyimpanan, sedangkan model kadar air kritis biasanya digunakan untuk produk yang mudah rusak karena penyerapan air dari lingkungan selama penyimpanan. Model kadar air kritis memiliki dua pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan kadar air kritis termodifikasi (Kusnandar, 2006).

Produk biskuit merupakan salah satu jenis produk kering yang sudah populer di pasaran dan banyak digemari oleh konsumen. Biskuit tergolong makanan yang tidak mudah rusak dan mempunyai umur simpan yang relatif lama karena kadar airnya yang relatif rendah (Manley, 1983; Matz dan Matz , 1978). Biskuit memiliki tekstur renyah dan parameter kerenyahan ini sangat terkait dengan kadar air produk. Perubahan kadar air produk selama penyimpanan akibat penyerapan uap air dari lingkungan akan menyebabkan perubahan karakteristik utama produk yaitu kerenyahan.

Karakteristik kerenyahan produk dapat dipertahankan dengan sistem pengemasan yang benar. Pemilihan bahan kemasan yang tepat sangat menentukan mutu produk biskuit dalam kemasan. Pengetahuan tentang pola penyerapan air dan kadar air kritis produk dapat dijadikan dasar dalam penentuan umur simpan produk. Karena produk yang dipilih adalah biskuit

(17)

yang mempunyai sifat sensitif terhadap perubahan kadar air, maka metode pendugaan umur simpan yang dipilih adalah pendekatan kadar air kritis.

Mengingat pentingnya nilai umur simpan bagi berbagai pihak, maka penelitian umur simpan dan kajian metode pendugaan umur simpan terhadap produk biskuit ini dianggap penting untuk dilakukan. Melalui penelitian ini dilakukanlah pendugaan umur simpan biskuit dengan menggunakan dua model kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi serta membandingkan pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Secara teori pemilihan penggunaan kedua pendekatan tersebut didasarkan pada karakteristik mutu dari produk pangan yang digunakan. Produk pangan kering seperti biskuit yang memiliki kurva sorpsi isotermis dapat diduga umur simpannya dengan menggunakan pendekatan kurva sorpsi isotermis, sedangkan produk pangan yang memiliki kandungan sukrosa tinggi seperti permen dapat diduga umur simpannya dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Penelitian ini ingin melihat kebenaran teori di atas untuk produk biskuit pada umumnya sehingga digunakanlah dua jenis biskuit yang berbeda. Selain itu, diharapkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat digunakan untuk produk biskuit sehingga pendugaan umur simpan biskuit dapat dilakukan dengan cara yang lebih sederhana bila dibandingkan dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis.

Tahapan metode yang dikembangkan adalah metode penentuan kadar air kritis dengan menyimpan sampel secara terbuka pada suhu ruang dan dibiarkan hingga sampel rusak. Cara umum yang dilakukan dalam metode penentuan kadar air kritis adalah dengan cara menyimpan produk tanpa kemasan dalam chamber dengan berbagai nilai RH yang terukur dan terkondisikan dengan baik hingga sampel rusak. Cara ini membutuhkan alat yang cukup banyak dan menggunakan larutan garam jenuh yang memerlukan biaya tinggi. Selain itu, melalui penelitian ini juga dikembangkan metode pengukuran tekstur (kerenyahan) biskuit dengan menggunakan alat texture analyzer pada sampel yang telah diberi perlakuan penyimpanan sehingga nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai dapat diketahui. Sasaran yang diharapkan dari pengembangan metode ini adalah parameter kritis dapat

(18)

diketahui dengan melihat kerenyahan biskuit secara objektif tanpa melakukan uji organoleptik. Secara umum sasaran yang ingin dicapai penelitian ini adalah diperolehnya metode yang sesuai, cepat, dan ekonomis dalam pendugaan umur simpan produk biskuit pada umumnya.

B. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan menduga umur simpan produk biskuit pada umumnya yang sudah ada di pasaran dengan dua pendekatan kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi serta selanjutnya membandingkan umur simpan berdasarkan kedua pendekatan tersebut. Selain itu, melalui penelitian ini dilihat pula pengaruh bahan kemasan, nilai slope kurva sorpsi isotermis, dan kelembaban relatif lingkungan terhadap umur simpan produk. Tujuan lain yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah diperolehnya tahapan metode yang efektif, efisien, dan ekonomis dalam pendugaan umur simpan produk biskuit pada umumnya.

C. MANFAAT PENELITIAN

1. Mengetahui perbandingan umur simpan biskuit yang ditentukan dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis dengan umur simpan yang ditentukan dengan pendekatan kadar air termodifikasi sehingga dapat diketahui metode yang sesuai dan dapat diaplikasikan untuk menduga umur simpan produk biskuit secara umum.

2. Mengetahui nilai umur simpan produk biskuit pada umumnya, dimana umur simpan ini sangat penting karena terkait dengan keamanan produk.

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.BISKUIT

Biskuit adalah salah satu jenis kue kering (cookies), yang terbuat dari bahan dasar tepung (Vail et al., 1978), dan diproses dengan proses pemanggangan sampai kadar air produk tidak lebih dari 5 % (BSN, 1992). Di dalam SNI 01-2973-1992 tentang Mutu dan Cara Uji Biskuit, biskuit didefinisikan sebagai sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Biskuit merupakan produk kering yang mempunyai daya awet yang relatif tinggi sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama dan mudah dibawa karena volume dan beratnya yang relatif ringan akibat adanya proses pengeringan (Matz dan Matz, 1978). Biskuit dicirikan oleh tingginya kadar gula dan shortening serta rendahnya kandungan air dalam adonan (Faridi dan Faubion, 1990). Apabila dikemas produk biskuit akan terlindung dari kelembaban dan memiliki umur simpan yang lama (Brown, 2000).

Menurut Whiteley (1971), suatu produk disebut biskuit bila 40% dari bahan utamanya merupakan serealia seperti gandum, jagung, oat, atau barley dan kadar air produk tidak lebih dari 5 %. Syarat mutu biskuit dapat ditemukan dalam SNI 01 – 2973 – 1992 tentang Mutu dan Cara Uji Biskuit seperti yang tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992

Komponen Satuan Spesifikasi

Air % b/b Maks. 5,0 Protein % b/b Min. 9,0 Lemak % b/b Min. 9,5 Karbohidrat % b/b Min. 70,0 Abu % b/b Maks. 1,5 Logam - Negatif

Kalori Kal/ g Min. 400,0

Serat kasar % b/b Maks. 0,5

Jenis tepung - Terigu

Bau dan rasa - Normal, tidak tengik

(20)

Mutu biskuit tergantung pada beberapa hal, yaitu komponen penyusunnya dan penanganan bahan sebelum serta sesudah produksi. Penyimpangan mutu produk akhir dapat terjadi karena penggunaan bahan yang tidak proporsional atau cara pembuatan yang tidak tepat (Vail et al., 1978). Tabel 2 berikut ini menyajikan jenis-jenis penyimpangan yang dapat terjadi pada produk biskuit dan penyebab terjadinya penyimpangan tersebut.

Tabel 2. Penyimpangan produk akhir biskuit dan penyebabnya

Penyimpangan Penyebab

Keras Kurang lemak

Kurang air dan terlalu banyak campuran Warna pucat Proporsi bahan kurang tepat dan kurang air

Oven kurang panas Bentuk tidak rata Pencampuran tidak rata

Penanganan tidak hati-hati Panas tidak merata

Warna tidak rata Bentuk tidak merata Panas tidak merata

Hambar dan berat Proporsi bahan pembentuk tidak seimbang Keras dan poros Pencampuran tidak tepat

Keras dan kering Adonan terlalu keras dan kenyal Pemanggangan terlalu lama Permukaan keras Pemanggangan terlalu lama

Suhu oven terlalu tinggi Berminyak dan rapuh Terlalu banyak lemak Sumber : Vail et al., 1978

1. Bahan Pembuat Biskuit

Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit dibedakan menjadi bahan pengikat (binding material) dan bahan pelembut (tenderizing material). Bahan pengikat terdiri dari tepung, air, susu bubuk, putih telur, dan cocoa. Bahan pelembut terdiri dari gula, lemak atau minyak (shortening), bahan pengembang, dan kuning telur (Matz dan Matz, 1978). Bahan baku utama dalam pembuatan biskuit adalah terigu, gula, minyak, dan lemak, sedangkan bahan pembantu yang digunakan adalah garam, susu, flavor, pewarna, pengembang, ragi, air, dan pengemulsi (Matz dan Matz, 1978).

(21)

Biskuit yang baik menggunakan terigu lunak sebagai bahan dasarnya. Terigu lunak memiliki kadar protein sekitar 8% dan kandungan glutennya tidak terlalu tinggi (Vail et al., 1978). Tepung terigu dalam pembuatan biskuit berperan sebagai pembentuk adonan selama pencampuran, pengikat bahan-bahan lain dan mendistribusikannya, pengikat gas selama proses fermentasi, dan pembentuk struktur biskuit selama pemanggangan (Matz dan Matz, 1978).

Gula digunakan dalam pembuatan biskuit sebagai pemberi rasa manis, pembentuk flavor, dan pembentuk warna pada permukaan biskuit. Jenis gula yang biasa ditambahkan adalah gula pasir atau sirup glukosa. Jumlah gula yang ditambahkan sangat mempengaruhi tekstur dan penampakan produk akhir sepeti warna (Matz dan Matz, 1978).

Lemak dan minyak dalam biskuit akan melunakkan dan menghaluskan tekstur, membuat struktur yang elastis, memberi cita rasa khas biskuit. Keberadaan lemak dan minyak di dalam biskuit membuat biskuit cepat melunak di dalam mulut. Lemak dan minyak alami yang sering digunakan antara lain, lemak sapi, minyak kedelai, dan minyak kelapa. Lemak nabati lebih banyak digunakan karena memberikan rasa lembut dan halus (Matz dan Matz, 1978).

Bahan lain seperti telur berfungsi sebagai pengemulsi, peningkat flavor, warna, dan kelembutan. Selain itu, kerenyahan biskuit akan bertambah dengan adanya penambahan telur. Bahan pengembang ditambahkan untuk melepaskan gas hingga jenuh dengan gas CO2. Gas akan dilepaskan selama pemanggangan agar adonan mengembang sempurna. Adanya bahan pengembang juga dapat mencegah penyusutan dan menyeragamkan remah. Bahan pengembang yang sering digunakan adalah ammonium bikarbonat (Matz dan Matz, 1978).

2. Klasifikasi Biskuit

Produk biskuit dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa sifat, yaitu berdasarkan tekstur (kekerasan), perubahan bentuk akibat pemanggangan, ekstensibilitas (sifat) adonan, dan pembentukan produk

(22)

(Manley, 1983). Menurut sifat adonan, biskuit dibedakan menjadi adonan lunak, keras, dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak, gluten tidak sampai mengembang akibat efek dari lemak (shortening) dan efek dari pelunakan oleh gula atau kristal sukrosa. Pada adonan keras, gluten mengembang sampai pada batas tertentu dengan penambahan air. Adonan fermentasi mengalami pengembangan gluten penuh karena air yang ditambahkan memungkinkan pengembangan tersebut. Sebagai akibatnya, terjadi penyusutan panjang produk setelah pencetakan dan pembakaran (Soenaryo, 1985).

Jenis adonan lunak memiliki kadar gula 25-40% dan kadar lemak 15%. Produk yang tergolong jenis ini adalah cookies, snap, biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit buah, biskuit jahe, dan biskuit kacang. Adonan lunak dibuat dengan mengocok lemak dan gula sampai membentuk krim. Selama dikocok perisa dan pewarna dimasukkan ke dalam krim. Pengembang dan garam dilarutkan dulu dengan air atau susu cair dan selanjutnya dicampurkan dengan krim. Tepung terigu ditambahkan di akhir proses pencampuran (Soenaryo, 1985).

Jenis adonan keras dibuat dengan cara yang hampir sama dengan adonan lunak, akan tetapi waktu pencampuran diperpanjang dan ditambahkan sodium metabisulfit untuk mereduksi pengembangan gluten. Adonan keras akan mengalami aging (penuaan) setelah adonan terbentuk dan biasanya dibutuhkan waktu 15 menit untuk tahapan aging, tergantung pada jenis bahan pengembang. Pada adonan keras ini terjadi pengikatan pati dengan protein, pelarutan gula, garam, bahan pengembang, dan pendispersian lemak ke seluruh bagian adonan. Jenis adonan keras mengandung kadar gula 20% dan kadar lemak 12-15%. Contoh produknya adalah biskuit marie, biskuit setengah manis, dan biskuit tidak manis (Soenaryo, 1985). Lain halnya dengan adonan fermentasi, adonan tersebut memiliki kadar gula rendah, kadar lemak 25-30%, dan tingkat kerenyahannya tertentu. Contoh produk jenis adonan fermentasi adalah biskuit crackers (Soenaryo, 1985).

(23)

3. Proses Pembuatan Biskuit

Proses pembuatan biskuit terdiri dari tiga tahap, yaitu pembentukan adonan, pencetakan, dan pemanggangan adonan. Pembuatan adonan biasanya berbeda-beda tergantung jenis adonan yang akan dibuat. Menurut Manley (1983), metode dasar pencampuran adonan dibagi menjadi dua yaitu, metode krim (creaming method) dan metode all in. Pembuatan adonan dengan metode krim dilakukan secara bertahap. Awalnya lemak dan gula dicampur sehingga membentuk krim yang homogen dan selama pembuatan krim bisa pula ditambahkan pewarna dan perisa (essence). Selanjutnya ditambahkan susu, bahan pengembang, dan garam yang telah dilarutkan dengan air. Pada tahap akhir ditambahkan tepung terigu ke dalam adonan dan dilakukan pengadukan sampai terbentuk adonan yang cukup mengembang dan mudah dibentuk. Metode krim ini akan menghasilkan adonan yang sifat pengembangan glutennya tidak berlebihan dan terbatas (Matz dan Matz, 1978). Lain halnya dengan metode all in, semua bahan dicampur bersamaan lalu diaduk sampai membentuk adonan. Metode ini lebih cepat, namun adonan yang dihasilkan lebih padat dan keras.

Setelah adonan dibuat, adonan tersebut akan mengalami proses aging selama ± 15 menit, tergantung jenis bahan pengembang yang digunakan. Aging diperlukan untuk memberi kesempatan pada bahan pengembang untuk bekerja efektif. Selanjutnya dilakukan pencetakan terhadap adonan yang sebelumnya telah ditipiskan sampai mencapai ketebalan tertentu. Bentuk dan ukuran biskuit diusahakan seragam karena hal ini dapat membantu proses pemanggangan. Untuk menghindari kelengketan antara adonan dan alat, permukaan adonan diberi tepung. Adonan yang telah dicetak tersebut ditata di atas loyang yang telah diolesi lemak lalu dipanggang. Pengolesan lemak bertujuan untuk menghindari lengketnya biskuit pada loyang setelah dipanggang.

Pemanggangan merupakan tahap pemasakan adonan. Selama pemanggangan terjadi beberapa perubahan, yaitu penurunan densitas, terbentuknya tekstur yang porous, penurunan kadar air, dan perubahan warna karena adanya reaksi Maillard dan karamelisasi. Selain itu, pati akan

(24)

mengalami gelatinisasi dan protein mengalami denaturasi, gas CO2 dan komponen aroma dibebaskan.

Pemanggangan segera dilakukan setelah pencetakan. Selama pemanggangan akan terbentuk struktur biskuit akibat adanya gas yang dilepaskan oleh bahan pengembang dan uap air akibat dari kenaikan suhu. Ketebalan biskuit akan meningkat 4 - 5 kali dan kadar air akan menurun dari 21% menjadi kurang dari 5%. Pemanggangan biskuit dilakukan dengan oven selama 2,5 sampai 30 menit, tergantung suhu, jenis oven, dan jenis biskuitnya. Biasanya biskuit dipanggang pada suhu ± 350 oF (177 oC) selama ± 10 menit. Suhu dan lama pemanggangan akan menentukan kadar air akhir biskuit yang dihasilkan. Makin sedikit kandungan gula dan lemak, biskuit dapat dibakar pada suhu yag lebih tinggi, yaitu 177-204 oC (Matz dan Matz, 1978).

Faktor-faktor yang perlu dikendalikan pada proses pemanggangan adalah suhu, waktu, serta sirkulasi udara di dalam oven. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan biskuit menjadi hangus di bagian luar tetapi bagian dalam belum matang. Sedangkan suhu yang terlalu rendah menyebabkan pemanggangan terlalu lama sehingga biskuit akan menjadi kering karena penguapan air yang terlalu banyak. Selain itu, rasa dan aroma juga banyak berkurang.

Biskuit yang dihasilkan segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan mendapatkan tekstur yang keras akibat memadatnya gula dan lemak. Biskuit dikemas untuk melindunginya dari kerusakan dan penyimpangan mutu. Menurut Manley (1983), biskuit termasuk produk yang mudah menyerap air dan oksigen. Oleh karena itu, bahan pengemasnya harus memenuhi beberapa syarat antara lain kedap air, kedap oksigen, kedap terhadap komponen volatil terutama bau-bauan, kedap terhadap sinar matahari, dan mampu melindungi produk dari kerusakan mekanis. Bahan pengemas yang dapat digunakan diantaranya plastik, alumunium foil, kertas minyak, karton berlipat, dan kaleng berbentuk persegi dan bulat. Bahan kemasan diatas dapat berperan sebagai kemasan primer atau sekunder. Berikut ini adalah diagram alir pembuatan biskuit secara umum.

(25)

di-mixing di-aging dicetak dipanggang didinginkan dikemas

Gambar 1. Metode pembuatan biskuit secara umum (Soenaryo, 1985)

B.MUTU DAN PENURUNAN MUTU BISKUIT

Mutu biskuit akan menurun seiring dengan bertambahnya umur produk. Selama proses penanganan, pengolahan, penyimpanan, dan distribusi, mutu produk pangan akan mengalami perubahan karena adanya interaksi dengan berbagai faktor. Reaksi penurunan mutu suatu produk makanan dapat disebabkan oleh faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor ekstrinsik (lingkungan) meliputi udara, oksigen, uap air, cahaya, dan suhu, sedangkan faktor intrinsik meliputi komposisi produk. Keadaan lingkungan akan memicu reaksi dalam produk, seperti reaksi kimia, reaksi enzimatis, dan penyerapan uap air atau gas.

Biskuit memiliki kadar air dan aw yang rendah sehingga teksturnya menjadi renyah. Faktor utama yang menyebabkan penurunan mutu produk biskuit adalah meningkatnya kadar air yang sangat erat kaitannya dengan tingkat kerenyahan produk. Biskuit mempunyai kadar air awal sebesar 1.5-2.5% (Vail et al., 1978).

Makanan kering pada umumnya termasuk biskuit mengalami kerusakan apabila menyerap uap air berlebihan. Kerusakan akibat air ini cukup kompleks karena dapat melibatkan berbagai jenis reaksi kerusakan yang sensitif terhadap perubahan aw. Beberapa reaksi dapat berlangsung secara spontan seperti reaksi pencoklatan non-enzimatis, perubahan organoleptik,

(26)

kehilangan atau kerusakan vitamin, oksidasi lipida, dan reaksi pembentukan off-flavor.

Kerusakan produk biskuit sering dihubungkan dengan kerusakan tekstur. Kerenyahan produk kering akan menurun dengan meningkatnya aw produk. Apabila aw mencapai 0.35 - 0.50 maka kerenyahan yang menjadi kekhasan produk akan hilang. Hal ini disebabkan oleh kegiatan air yang melarutkan dan melunakkan matrik pati atau protein yang terkandung pada sebagian besar produk pangan (Vail et al., 1978).

C.AKTIVITAS AIR

Istilah aktivitas air (aw) digunakan untuk menggambarkan kondisi air dalam bahan pangan. Istilah ini menunjukkan jumlah air yang tidak terikat atau bebas dalam sistem dan dapat menunjang reaksi biologis atau kimiawi. Aktivitas air merupakan faktor kunci bagi pertumbuhan mikroba, produksi racun, reaksi enzimatis, dan reaksi kimia lainnya (Mercado dan Canovas, 1996). Air dalam bahan pangan berperan sebagai bahan pereaksi dan pelarut dari beberapa komponen.

Menurut Winarno (2004), istilah yang umum dipakai untuk air yang terdapat dalam bahan pangan adalah air terikat. Istilah ini sebenarnya kurang tepat karena keterikatan air dalam bahan pangan berbeda-beda bahkan ada air yang tidak terikat. Menurut derajat keterikatannya, air dibagi dalam empat tipe, yaitu tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Tipe I adalah molekul air yang terikat pada molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen yang berenergi besar, tetapi sebagian air ini dapat dihilangkan dengan cara pengeringan biasa. Tipe II merupakan molekul air yang membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lain yang terdapat dalam mikrokapiler. Air jenis ini lebih sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe II akan mengakibatkan penurunan aw. Tipe III adalah air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe III inilah yang sering disebut dengan air bebas. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Tipe IV adalah air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan atau air murni (Winarno,

(27)

2004). Apabila air dalam bahan pangan terikat kuat dengan komponen bukan air, maka air tersebut lebih sukar digunakan untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia hidrolitik (Syarief dan Halid, 1993).

Kadar air dalam bahan pangan berkaitan erat dengan daya awet produk. Pengurangan air baik dalam pengeringan atau penambahan bahan lain bertujuan untuk mengawetkan bahan pangan sehingga dapat tahan terhadap kerusakan kimiawi maupun mikrobilologi (Fennema, 1985). Aktivitas air merupakan faktor penting yang mempengaruhi kestabilan makanan kering selama penyimpanan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kadar air dan aktivitas air sangat berpengaruh dalam penentuan umur simpan suatu produk pangan karena faktor ini akan mempengaruhi sifat fisik, sifat fisiko-kimia, perubahan-perubahan kimia, kerusakan mikrobiologis, dan perubahan enzimatis terutama pada makanan yang tidak diolah. Sifat-sifat yang dimaksud di atas diantaranya, kekerasan, kekeringan, dan pencoklatan non-enzimatis (Winarno dan Jenie, 1983).

Menurut Labuza (1982), hubungan antara aktivitas air dan mutu makanan yang dikemas adalah sebagai berikut:

1. Pada selang aktivitas air sekitar 0.7 – 0.75 atau lebih, mikroorganisme berbahaya dapat mulai tumbuh dan produk menjadi beracun.

2. Pada selang aktivitas air sekitar 0.6 – 0.7, jamur dapat mulai tumbuh. 3. Aktivitas air sekitar 0.35 – 0.5 dapat menyebabkan makanan ringan hilang

kerenyahannya.

4. Pada selang aktivitas air 0.4 – 0.5, produk pasta yang terlalu kering akan mudah hancur dan rapuh selama dimasak atau karena goncangan mekanis.

Secara matematis, aktivitas air (aw) dari suatu bahan pangan dinyatakan sebagai perbandingan antara tekanan uap air pada bahan pangan (Pf) dengan tekanan uap air murni (Po) pada suhu yang sama. Persamaannya adalah sebagai berikut:

aw = Pf Po

(28)

Dalam keadaan setimbang, aktivitas air sering dihubungkan dengan kelembaban relatif keseimbangan (equilibrium relative humidity = ERH) dari lingkungan, yaitu kelembaban udara saat terjadinya kadar air kesetimabangan sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut:

aw = ERH 100

Aktivitas air (aw) menunjukkan sifat bahan itu sendiri, sedangkan ERH menggambarkan sifat lingkungan di sekitarnya yang berada dalam keadaan seimbang dengan bahan tersebut. Dengan kata lain, peranan air dalam pangan biasanya dinyatakan dalam kadar air dan aktivitas air, sedangkan peranan air di udara dinyatakan dalam kelembaban relatif dan kelembaban mutlak. Bertambah atau berkurangnya kandungan air suatu bahan pangan pada suatu keadaan lingkungan sangat tergantung pada ERH lingkungannya.

D.KADAR AIR KESETIMBANGAN DAN SORPSI ISOTERMIS

Kadar air kesetimbangan adalah kadar air suatu bahan setelah berada pada kondisi lingkungannya dalam periode waktu yang lama (Brooker et al., 1992). Menurut Fellows (1990), kadar air kesetimbangan merupakan kadar air bahan pangan ketika tekanan uap air dari bahan tersebut dalam kondisi setimbang dengan lingkungannya dimana produk sudah tidak mengalami perubahan atau pengurangan bobot produk. Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan Heldman dan Singh (1981) bahwa kadar air kesetimbangan suatu bahan adalah kadar air bahan tersebut saat tekanan uap air bahan dalam kondisi setimbang dengan lingkungannya, sedangkan kelembaban relatif pada saat terjadinya kadar air kesetimbangan dinyatakan sebagai kelembaban relatif kesetimbangan (equilibrium relative humidity).

Kadar air kesetimbangan penting untuk menentukan bertambah atau berkurangnya kadar air bahan pada kondisi suhu tertentu. Jika kelembaban relatif udara lebih tinggi dibandingkan kelembaban relatif bahan pangan maka bahan tersebut akan menyerap air (adsorpsi). Sebaliknya jika kelembaban relatif udara lebih rendah dari kelembaban relatif bahan maka bahan akan menguapkan air yang dikandungnya (desorpsi) (Brooker et al., 1992).

(29)

Penentuan kadar air kesetimbangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu metode statis dan metode dinamis. Berdasarkan metode statis, kadar air kesetimbangan bahan diperoleh pada keadaan udara diam dengan cara meletakkan contoh dalam tempat yang kondisi suhu dan RH-nya terkontrol. Metode statis biasanya digunakan untuk keperluan penyimpanan karena pada umumnya udara di sekitar bahan relatif tidak bergerak (diam). Pada metode statis, tercapainya kadar air kesetimbangan ditandai dengan konstannya bobot bahan. Bobot bahan dikatakan konstan bila selisih bobot antara tiga kali penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2mg/g untuk kondisi RH ≤ 90 % dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk kondisi RH > 90% (Liovonen dan Ross, 2000 diacu dalam Adawiyah, 2006). Lain halnya dengan metode dinamis, kadar air kesetimbangan diperoleh ketika bahan diletakkan pada kondisi udara bergerak. Metode ini biasanya digunakan pada proses pengeringan. Pergerakan udara dibutuhkan untuk untuk mempercepat pengeringan dan menghindari penjenuhan uap air di sekitar bahan (Brooker et al., 1992). Kadar air kesetimbangan produk pangan sangat penting dalam menggambarkan kurva sorpsi isothermis produk tersebut yang bergantung pada suhu dan kelembaban udara lingkungan.

Perilaku produk makanan terhadap kelembaban udara lingkungannya digambarkan oleh suatu kurva sorpsi isotermis, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif kesetimbangan ruang penyimpanan (ERH) atau aktivitas air (aw) pada suhu tertentu (Syarief dan Halid, 1993). Kurva sorpsi isotermis juga menggambarkan aktivitas adsorpsi (menyerap air) dan desorpsi (menguapkan air) dari bahan makanan. Hubungan ERH atau aw dan kadar air bahan pangan pada suhu konstan digambarkan seperti pada gambar 2. Pada bahan pangan, sorpsi isotermis air dapat menggambarkan kandungan air yang dimiliki bahan tersebut sebagai keadaan relatif ruang tempat penyimpanan (Winarno, 2004). Sorpsi isotermis banyak dipakai dalam penelitian bahan pangan seperti umur simpan, penyimpanan, pengemasan, dan pengeringan.

(30)

Gambar 2. Kurva sorpsi isotermis secara umum (Labuza, 1982)

Hubungan antara keadaan air dalam bahan pangan dan aktivitas air dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hubungan antara aktivitas air (aw) dan keadaan fisik air aw Keadaan air di dalam bahan pangan 0.00 – 0.35 Adsorpsi pada lapisan tunggal (monolayer) 0.35 – 0.60 Adsorpsi air pada lapisan tambahan (multilayer)

0.60 – 1.00 Air terkondensasi pada kapiler atau pori-pori yang dilanjutkan dengan disolusi padatan terlarut

Sumber : Gunasekharan dan John (1993)

Lebih lanjut Syarief dan Halid (1993) dan Buckle et al. (1985) menjelaskan pada umumnya kurva sorpsi isotermis bahan pangan berbentuk sigmoid (menyerupai huruf S). Pada kenyataannya grafik penyerapan uap air dari udara oleh bahan pangan (kurva adsorpsi) dan grafik pelepasan uap air oleh bahan pangan ke udara (kurva desorpsi) tidak pernah berhimpit. Keadaan tersebut disebut sebagai fenomena histeresis. Fenomena histeresis menjelaskan bahwa nilai aw yang berbeda diperoleh pada pengukuran makanan dengan kadar air sama, tergantung pada bagaimana cara tercapainya kadar air tersebut, melalui proses adsorpsi atau desorpsi (Buckle et al., 1985).

Besarnya histeresis dan bentuk kurva sangat beragam sekali tergantung pada beberapa faktor seperti sifat alami bahan pangan, perubahan

(31)

fisik yang terjadi selama perpindahan air, suhu, kecepatan desorpsi dan tingkatan air yang dipindahkan selama desorpsi (Fennema, 1985). Secara umum, dapat dikatakan bahwa bentuk kurva sorpsi isotermis ini khas untuk setiap jenis bahan pangan (Winarno, 2004).

Pengetahuan tentang sorpsi isotermis suatu bahan pangan akan sangat membantu sekali dalam penentuan jenis pengemas yang dibutuhkan dan memprediksikan karakteristik kondisi penyimpanan yang sesuai serta masa simpannya (Mir dan Nath, 1995) sehingga pertumbuhan mikroba yang sering menyebabkan kerusakan bahan pangan dapat dihindari (Boente et al., 1996). Selain itu berguna juga untuk menghitung waktu pengeringan, memprediksikan kondisi keseimbangan dalam suatu campuran produk dengan nilai aw yang berbeda (Chirife dan Iglesias, 1978).

E.MODEL PERSAMAAN SORPSI ISOTERMIS

Menurut Sun (2000), lebih dari 200 model sorpsi isotermis produk tersedia, namun tidak ada satu pun model yang mampu menggambarkan dengan baik untuk seluruh produk pangan dengan kisaran RH dan suhu yang luas. Ketepatan setiap model tergantung pada kisaran nilai aw dan jenis bahan penyusun produk pangan tersebut. Model matematika mengenai persamaan sorpsi isotermis ini sudah sangat banyak dikemukakan para ahli baik secara empiris, semi empiris, maupun teoritis (Chirife dan Iglesias, 1978, Van den Berg dan Bruin, 1981). Nilai dari suatu model sorpsi isotermis tergantung pada kemampuannya secara matematis untuk menguraikan sorpsi isotermis dan kemampuan tetapan-tetapan dalam model tersebut untuk menjelaskan fenomena secara teoritis. Model matematika yang dikembangkan pada umumnya tidak dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dan hanya dapat memprediksi kurva sorpsi isotermis pada salah satu dari ketiga daerah kurva sorpsi isotermis. Penggunaan model sorpsi isotermis sangat tergantung pada tujuan pemakai misalnya jika ingin mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi maka model yang sederhana dan lebih sedikit jumlah tetapannya akan lebih mudah penggunaannya (Labuza, 1982).

(32)

Menurut Chirife dan Iglesias (1978), ada beberapa kendala yang dihadapi dalam menyusun suatu persamaan yang dapat menjelaskan kurva sorpsi isotermis pada keseluruhan selang aw yang ada dan dapat diaplikasikan untuk berbagai jenis bahan pangan, yaitu:

1. Perubahan aw pada bahan pangan dipengaruhi oleh kombinasi berbagai macam faktor yang masing-masing mendominasi dalam selang-selang aw yang berbeda.

2. Sorpsi isotermis suatu bahan pangan menggambarkan kemampuan higroskopis yang kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi baik fisik maupun kimia antara komponen-komponen bahan pangan tersebut yang diinduksi oleh proses pemanasan atau perlakuan awal lainnya.

3. Pada saat bahan pangan menyerap air dari lingkungannya, bahan pangan tersebut umumnya akan mengalami perubahan baik perubahan fisik, kimia, dan lainnya.

Teori paling klasik tentang adsorpsi lapisan tunggal yang merupakan dasar bagi perkembangan teori-teori selanjutnya dikemukakan oleh Langmuir (1918). Dari percobaannya didapat persamaan berikut:

V = Vm * [ba/(K+ba)]

dimana: V = jumlah gas yang diadsorpsi pada tekanan tertentu Vm = jumlah gas yang diadsorpsi pada lapisan tunggal a = sifat termodinamika gas

b = konstanta yang tergantung pada suhu dan jenis bahan Model Langmuir ini tidak cocok diterapkan pada bahan pangan karena adanya asumsi-asumsi yang tidak dapat dipenuhi dalam persamaan seperti adsorpsi air dapat bersifat lebih dari satu lapisan molekul air, permukaan bahan tidak rata dan terdiri dari berbagai komponen yang masing-masing mempunyai ikatan yang berbeda terhadap air, dan interaksi molekul-molekul uap air yang diadsorpsi dapat terjadi. Untuk menyempurnakan asumsi Langmuir, Brauner, Emmet, dan Teller (1938) menambahkan bahwa proses adsorpsi tidak hanya

(33)

bersifat satu lapis molekul air, namun juga membentuk lapisan molekul ganda. Bentuk persamaan isotermis BET adalah sebagai berikut:

aw = 1 + aw (C – 1) (1 – aw)M CMm CMm dimana: Mm = kadar air pada lapisan tunggal

C = tetapan adsorpsi BET

Model BET ini hanya dapat digunakan pada kisaran aw kurang dari 0.5, namun data yang didapat ini sangat tepat untuk menggambarkan kondisi lapisan tunggal dari suatu bahan pangan (Labuza, 1982 diacu dalam Arpah, 2001).

Salah satu model yang diakui secara internasional adalah model GAB (Guggenheim, Anderson, dan de Boer). Model ini bisa menggambarkan sorpsi isotermis bahan pangan pada kisaran aw yang lebih luas dari model BET, yaitu 0.05 < aw < 0.9 dan (Spiess dan Wolf, 1987). Persamaan GAB merupakan persamaan yang tepat untuk menggambarkan sorpsi isotermis pada sebagian besar produk pangan. Model sorpsi isotermis GAB dinyatakan sebagai berikut:

M = Xm C K aw

(1 – K aw) (1 – K aw + C K aw) dimana: M = kadar air (% basis kering)

aw = aktivitas air

Xm = kadar air monolayer (%)

K = konstanta

C = konstanta energi

Secara empiris, Henderson mengemukakan persamaan yang menggambarkan hubungan antara kadar air kesetimbangan bahan pangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini merupakan salah satu persamaan yang paling banyak digunakan untuk kebanyakan bahan pangan, terutama biji-bijian (Chirife dan Iglesias, 1978). Bentuk persamaan tersebut adalah seperti dibawah ini.

(34)

dimana: Me = kadar air kesetimbangan (% basis kering) K dan n = konstanta

Selanjutnya, Caurie dari hasil percobaannya mendapatkan model yang dapat berlaku untuk kebanyakan bahan pangan pada selang aw 0.0 sampai 0.85. Persamaan tersebut adalah sebagai berikut dengan P1 dan P2 merupakan konstanta.

ln Me = ln P1 – (P2*aw)

Hasley mengembangkan persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan multilayer. Persamaan ini dapat digunakan untuk bahan makanan dengan aw 0.1 sampai 0.81. Berikut ini adalah model persamaan Hasley.

aw = exp [-P1/(Me)P2)

Persamaan Oswin dapat berlaku untuk bahan pangan pada aw 0.00 sampai 0.85 dan cocok untuk kurva sorpsi isotermis yang berbentuk S (sigmoid). Model persamaan Oswin tersebut adalah seperti dibawah ini.

Me = P1 [aw/(1 – aw)]P2

Chen Clayton juga telah membuat model matematika yang berlaku untuk bahan pangan pada semua kisaran nilai aw. Persamaan tersebut dinyatakan sebagai berikut.

aw = exp[-P1/exp(P2*Me)]

F.KEMASAN

Pengertian umum dari kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk wadah atau tempat yang dapat memberikan perlindungan sesuai dengan tujuannya (Syarief et al., 1989). Adanya kemasan dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan yang ada di dalamnya dari pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan dan getaran. Dari segi promosi kemasan berfungsi sebagai perangsang atau daya tarik pembeli.

(35)

Bahan kemasan yang umum untuk pengemasan produk hasil pertanian untuk tujuan pengangkutan atau distribusi adalah kayu, serat goni, plastik, kertas dan gelombang karton (Syarief et al., 1989).

Menurut Winarno dan Jenie (1983) tujuan makanan dikemas adalah untuk mengawetkan makanan, yaitu mempertahankan mutu kesegaran, warnanya yang tetap, untuk menarik konsumen, memberikan kemudahan penyimpanan dan distribusi, serta yang lebih penting lagi dapat menekan peluang terjadinya kontaminasi dari udara, air, dan tanah baik oleh mikroorganisme pembusuk, mikroorganisme yang dapat membahayakan kesehatan manusia, maupun bahan kimia yang bersifat merusak atau racun. Menurut Syarief dan Irawati (1988), kemasan berfungsi sebagai: (1) wadah untuk menempatkan prosuk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi, (2) memberi perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi luar dan kerusakan, dan (3) menambah daya tarik produk.

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan, keadaan lingkungan dan sifat bahan kemasan. Gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas, dan cahaya. Sebagai akibat perubahan kadar air pada produk, akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan pada bubuk, dan pelunakan pada produk kering (Syarief et al., 1989).

Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap penyerapan atau pengeluaran gas (udara dan uap air). Bahan kering harus dilindungi dari penyerapan air dan oksigen dengan cara menggunakan bahan pengemas yang mempunyai daya tembus rendah terhadap gas tersebut (Purnomo dan Adiono, 1987).

Produk kering terutama yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Umumnya produk-produk ini memiliki ERH yang rendah, oleh sebab itu harus dikemas dengan kemasan yang memiliki permeabilitas air yang rendah untuk mencegah produk yang berkadar gula tinggi merekat atau produk-produk tepung menjadi basah sehingga tidak lagi bersifat mawur (free flowing) (Syarief et al., 1989).

(36)

Plastik merupakan bahan pengemas yang penting dalam industri pangan. Sebagai bahan pembungkus, plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit, atau berupa lapisan-lapisan (multi lapis) dengan bahan lain seperti kertas dan alumunium foil. Menurut Robertson (1993), kombinasi antara berbagai kemasan plastik yang berbeda atau plastik dengan kemasan non plastik dimana ketebalan setiap lapisan utamanya lebih dari 6 mikron yang diproses baik dengan cara laminasi ekstrusi atau laminasi adhesif disebut sebagai kemasan laminasi. Dalam kemasan laminasi minimal ada dua jenis kemasan, dimana salah satunya harus bersifat thermoplastic.

Kemasan laminasi yang sering digunakan industri pangan saat ini tidak hanya kombinasi antara berbagai macam plastik saja melainkan kombinasi plastik dengan aluminium. Kemasan seperti ini disebut metallized plastic. Kemasan seperti ini cocok digunakan sebagai pengemas kopi, makanan kering, keju, dan roti panggang. Metallized plastic bersifat tidak meneruskan cahaya, menghambat masuknya oksigen, menahan bau, memberikan efek mengkilap, dan mampu menahan gas (Brown, 1992). Selain itu, metallized plastic mudah disobek sehingga memudahkan konsumen membuka kemasan.

Metallizing merupakan proses pelapisan salah satu sisi film plastik transparan dengan logam pada kondisi yang sangat vakum. Logam yang biasa digunakan adalah aluminium. Proses metalisasi dilakukan dengan menguapkan dan melelehkan aluminium pada suhu 1500 oC. Uap aluminium akan melapisi film plastik yang berputar pada sebuah rol pendingin bersuhu ± 15 oC (Febriyanti, 2002).

Kelebihan plastik dari kemasan lain diantaranya adalah harga yang relatif rendah, dapat dibentuk menjadi berbagai macam bentuk, dan dapat mengurangi biaya transportasi. Selain itu, plastik sebagai bahan pengemas memilki sifat ringan, transparan, kuat, termoplastis dan selektif dalam permeabilitasnya terhadap uap air, O2, dan CO2. Sifat permeabilitas plastik terhadap uap air dan udara menyebabkan plastik mampu berperan memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan. Plastik juga merupakan jenis kemasan yang dapat menarik selera konsumen.

(37)

Salah satu jenis plastik yang sering digunakan sebagai bahan pengemas diantaranya polipropilen. Menurut Syarief et al. (1989), sifat-sifat utama polipropilen adalah sebagai berikut:

1. Ringan, mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk film, namun tidak transparan dalam bentuk kemasan kaku.

2. Mempunyai kekuatan tarik yang lebih besar dari polietilen. Pada suhu rendah akan rapuh sehingga tidak bisa digunakan sebagai kemasan beku. 3. Lebih kaku dan tidak gampang sobek sehingga mudah dalam penanganan

dan distribusi.

4. Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang, dan tidak baik untuk produk yang peka terhadap oksigen.

5. Tahan terhadap suhu tinggi, tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak. 6. Titik leburnya tinggi sehingga susah dibuat kantung dengan sifat kelim

panas yang baik.

Untuk memperbaiki sifat-sifatnya, polipropilen dapat dimodifikasi menjadi OPP (Oriented Polypropilene), dimana dalam pembuatannya ditarik ke satu arah. Jika ditarik ke dua arah disebut BOPP (Biaxially Oriented Polypropilene). OPP mempunyai sifat tahan terhadap suhu tinggi, tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak, tetapi rapuh terhadap suhu rendah. OPP digunakan untuk produk-produk yang memerlukan sifat penahanan terhadap uap air tinggi (Robertson, 1993). Biskuit merupakan salah satu produk yang biasanya menggunakan bahan kemasan OPP.

Aluminium foil merupakan jenis kemasan yang juga sering dipakai. Foil merupakan bahan kemas dari logam, berupa lembaran dan tipis dengan ketebalan kurang dari 0.15 mm. Foil mempunyai sifat hermetis, fleksibel, dan tidak tembus cahaya. Pada umumnya digunakan sebagai bahan pelapis (laminan) yang dapat ditempatkan pada bagian dalam (lapisan dalam) atau bagian tengah sebagai penguat yang dapat melindungi bungkusan (Syarief et al., 1989).

Ketebalan dari aluminium foil menentukan sifat protektifnya. Aluminium foil dengan ketebalan rendah masih dapat dilalui gas dan uap air.

(38)

Aluminium foil dengan ketebalan 0.0375 mm atau lebih mempunyai permeabilitas uap air nol. Sifat-sifatnya yang lebih tipis dapat diperbaiki dengan memberi lapisan plastik atau kertas sehingga menjadi plastik, foil-kertas, atau kertas-foil-plastik (Syarief et al., 1989).

Salah satu sifat bahan kemasan yang sangat penting dan berhubungan dengan kerusakan produk yang dikemas adalah permeabilitas kemasan. Permeabilitas merupakan transfer molekul air atau gas melalui kemasan, baik dari dalam kemasan ke lingkungan atau sebaliknya. Kerusakan mutu produk kering terutama dihubungkan dengan permeabilitas uap air karena penyerapan uap air selama penyimpanan dapat menurunkan mutu produk pangan kering tersebut, misalnya menurunnya tingkat kerenyahan produk (Eskin dan Robinson, 2001).

Transfer uap air melalui bahan kemasan dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu difusi kapiler dan difusi aktif. Pada difusi kapiler, transfer uap air terjadi melalui pori-pori kemasan atau pori-pori mikroskopis yang berbentuk kristal dan amorphous yang menyebabkan terjadinya difusi gas. Difusi aktif adalah adalah proses solubilitas dan difusi, dimana uap air terlarut pada permukaan polimer , lalu dengan adanya perbedaan tekanan maka terjadi difusi melalui polimer, selanjutnya uap air akan mengalir dan mengalami evaporasi ke sisi yang berlawanan.

G.UMUR SIMPAN

Hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk pangan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi (Syarief dan Halid, 1993). Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu pangan tidak lagi dapat diterima ini disebut sebagai umur simpan. Bahan pangan akan disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya pangan tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus.

(39)

Umur simpan produk pangan biasa dituliskan sebagai best before date yang berarti produk masih dalam kondisi baik dan masih dapat dikonsumsi beberapa saat setelah tanggal yang tercantum terlewati. Istilah lain yang digunakan adalah use by date yang menyatakan produk tidak dapat lagi dikonsumsi, karena berbahaya bagi kesehatan manusia (produk yang sangat mudah rusak oleh mikroba) setelah tanggal yang tercantum terlewati (Ellis, 1994).

Menurut Institute of Food Technologist, umur simpan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. National Food Processor Association mendefinisikan umur simpan sebagai berikut: Suatu produk dikatakan berada pada kisaran umur simpannya bila kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah dan Syarief, 2000).

Menurut Ellis (1994), penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Penentuan umur simpan dilakukan dengan mengamati perubahan yang terjadi pada produk selama selang waku tertentu. Syarief dan Halid (1993), menyatakan bahwa perubahan mutu pangan dapat diketahui dari perubahan faktor-faktor mutunya. Oleh karena itu, untuk menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut.

Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut:

1. Keadaaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik.

2. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume.

3. Kondisi atmosfer terutama suhu dan kelembaban, dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan.

(40)

4. Kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat.

Umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian ditetapkan umur simpannya dengan menggunakan dua konsep yaitu dengan metode konvesional (Extended Storage Studies) dan metode percepatan (Accelerated Shelf Life Testing). Metode konvensional adalah penentuan umur simpan dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun membutuhkan waktu yang panjang dan analisis parameter mutu yang relatif banyak. Biasanya metode konvensional digunakan untuk produk yang mempunyai masa kadaluarsa kurang dari 3 bulan (Arpah, 2001). Metode ASLT menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi deteriorasi (penurunan mutu) produk pangan. Keuntungan dari metode ini adalah waktu pengujian yang relatif lebih singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tepat (Arpah, 2001).

H.METODE AKSELERASI

Beberapa asumsi dasar yang sering digunakan dalam perhitungan umur simpan menurut Gunasekharan dan John (1993) adalah sebagai berikut: 1. Mekanisme kerusakan yang terjadi sangat tergantung pada faktor

lingkungan (tekanan parsial oksigen, kelembaban relatif, dan temperatur) dan faktor komposisi (pH, konsentrasi, aktivitas air, dan sebagainya). 2. Laju penurunan mutu dapat ditentukan dengan menghubungkan beberapa

hasil penilaian organoleptik dan toksikologi.

3. Kemasan diasumsikan bebas dari kebocoran sehingga karakteristik penyerapan hanya tergantung pada bahan kemasan saja.

Metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu model Arhenius dan model kadar air kritis.

(41)

1. Model Arrhenius

Model Arrhenius umumnya digunakan untuk menduga umur simpan produk pangan yang sensitif terhadap perubahan suhu, diantaranya produk pangan yang mudah mengalami ketengikan (oksidasi lemak), perubahan warna oleh reaksi pencoklatan, atau kerusakan vitamin C. Prinsip model Arrhenius adalah menyimpan produk pangan pada suhu ekstrim, dimana produk pangan akan lebih cepat rusak, kemudian umur simpan produk ditentukan berdasarkan ekstrapolasi ke suhu penyimpanan. Oleh karena itu, umur simpan yang diperoleh merupakan nilai perkiraan yang validitasnya sangat ditentukan oleh model matematika yang diperoleh dari hasil percobaan. Contoh produk yang dapat ditentukan umur simpannya dengan model Arrhenius adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk, produk snack, meat product, produk pasta, jus buah, mie instant, tepung-tepungan, kacang-kacangan, dan produk lain yang mengandung lemak tinggi atau mengandung gula pereduksi dan protein yang memungkinkan terjadinya oksidasi lemak atau reaksi pencoklatan (Kusnandar, 2006).

Pendugaan umur simpan dengan metode ASLT pada prinsipnya sangat bertumpu pada model Arrhenius, yaitu upaya mempercepat penurunan umur simpan dengan meningkatkan suhu secara terukur. Secara umum, rumus umum penurunan mutu adalah:

-dQ/dt = kQn

Pengujian laju kerusakan mutu biasanya dilakukan pada minimal tiga suhu yang berbeda. Nilai konstanta laju penurunan mutu (k) dapat ditentukan berdasarkan persamaan Arrhenius, dimana nilai k merupakan fungsi suhu. Selanjutnya masa kadaluarsa (ts) produk ditentukan dengan persamaan ts = (Qo-Qs)/k untuk laju reaksi ordo nol dan ts = [ln(Qo/Qs)]/k untuk reaksi ordo 1, dimana Qo adalah nilai mutu awal dan Qs adalah nilai mutu akhir. Berikut ini adalah persamaan Arrhenius:

k = k0.exp (–Ea/RT) dimana:

k = konstanta laju penurunan mutu

(42)

T = suhu mutlak

R = konstanta gas (8.314 J/mol.K = 1.986kal/mol.K) 2. Model Kadar Air Kritis

Model kadar air kritis biasanya digunakan untuk produk pangan yang relatif mudah rusak akibat penyerapan uap air dari lingkungan. Dalam metode kadar air kritis ini kerusakan produk semata-mata disebabkan oleh penyerapan air dari lingkungan hingga mencapai batas yang tidak dapat diterima secara organoleptik. Kadar air pada kondisi dimana produk pangan mulai tidak diterima oleh konsumen secara organoleptik disebut kadar air kritis. Batas penerimaan tersebut didasarkan pada standar mutu organoleptik yang spesifik untuk setiap jenis produk. Waktu yang diperlukan oleh produk untuk mencapai kadar air kritis menyatakan umur simpan produk. Pada metode pendekatan kadar air kritis ini, produk pangan kering disimpan pada kondisi lingkungan penyimpanan yang memiliki kelembaban relatif tinggi, sehingga akan mengalami penurunan mutu akibat menyerap air (Labuza, 1982).

Labuza (1982) menyatakan bahwa penambahan atau kehilangan kandungan air dari suatu bahan pangan pada suhu dan kelembaban (RH) yang konstan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

x(P P )A k dt dw in out − = dimana:

dw/dt = jumlah air yang bertambah atau berkurang per hari (gram) k/x = permeabilitas kemasan (g H2O/hari.m2.mmHg)

A = luas permukaan kemasan (m2)

Pout = tekanan uap air di luar kemasan (mmHg) Pin = tekanan uap air di dalam kemasan (mmHg)

Model kadar air kritis dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan metode kadar air kritis termodifikasi. Pendekatan kurva sorpsi isotermis digunakan untuk produk yang mempunyai kurva isotermis yang biasanya berbentuk sigmoid (bentuk S).

Gambar

Tabel 2 berikut ini menyajikan jenis-jenis penyimpangan yang dapat terjadi  pada produk biskuit dan penyebab terjadinya penyimpangan tersebut
Gambar 2. Kurva sorpsi isotermis secara umum (Labuza, 1982)
Gambar 3. Diagram alir metode penelitian
Gambar 4. Prinsip kerja Permatran W*3/31
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Berita Acara Penetapan Pemenang Nomor : 09/PPBJ/BRG-1/IV.30/I/2013 tanggal 21 Januari 2013 perihal Penetapan Pemenang Pekerjaan Belanja Modal Pengadaan Lampu PJU

Nama Paket : Pengadaan Jasa Pemeliharaan Perangkat Keras Merk SUN ORACLE Dan Software Support Beserta Perangkat Pendukung Lainnya di Lingkungan Direktorat Jenderal Bea

[r]

MODEL PENGEMBANGAN PRODUK - PRODUK BERBASIS KEARIFAN LOKAL YANG BERDAYA SAING MEMASUKI MEA 2015 ( STUDI PADA KOPERASI SIMPAN PINJAM DI SULAWESI SELATAN ). 79 Universitas Kristen

Sirkulasi Politik Transaksional DANA SEBAGAI BASIS KEMENANGA N SOLIDITAS PARTAI POLITIK KURANG KAMPANYE TRANSAKSIONAL KOMPETISI TIDAK IMBANG HASIL PEMILU YANG

Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara berencana menyelenggarakan Pelatihan Penulisan

Dan yang terakhir, seorang penjual kertas, memberikan selembar kertas besar kepada si nenek, yang lalu oleh si nenek dibentangkan di atas sumur yang baru saja digali di

Sebagai tindak lanjut hasil Desk Evaluasi Proposal Baru Penelitian Kompetitif Nasional Tahun 2015, Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal