• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persentase Embrio Mengekspresikan Transgen (PEMT) dan Tingkat Ekspresi Gen GFP Ekspresi Gen GFP

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1 Hasil

4.1.3 Persentase Embrio Mengekspresikan Transgen (PEMT) dan Tingkat Ekspresi Gen GFP Ekspresi Gen GFP

Tingkat ekspresi gen GFP ditunjukkan dengan 3 kelas ekspresi gen GFP yang ditampilkan pada Gambar 8.

Pada Tabel 2 dan Gambar 9 diketahui bahwa promoter keratin dan heatshock pada parameter persentase embrio mengekspresikan transgen (PEMT) relatif sama, namun promoter keratin mampu mengontrol ekspresi GFP lebih baik dibandingkan dengan promoter heatshock. Hal ini dapat diketahui dari rataan jumlah telur yang mengekspresikan GFP pada tingkat 3 (pendar hijau sangat terang) oleh promoter keratin lebih banyak (8±1.4) dibandingkan dengan promoter heatshock (5±0.0). Jumlah embrio mengekspresikan transgen menunjukkan nilai yang sama; 14±1.4% pada promoter keratin, 15±1.4% pada promoter heatshock. Data keseluruhan ditunjukkan pada Lampiran 8.

Tabel 2. Persentase Embrio Mengekspresikan Transgen (PEMT) dan Tingkat Ekspresi GFP pada Embrio Ikan Nila O.niloticus

Jenis Promoter Ulangan Jumlah telur yang diinjeksi Persentase Embrio Mengekspresikan Transgen (PEMT) % Tingkat Ekspresi (Jumlah Telur) (1) (2) (3) Keratin 2 30 43.34±4.7a 1.5±0.7a 3±1.4a 8±1.4a Heatshock 2 30 50.00±4.7a 5.5±0.7b 4.5±0.7a 5±0.0b

(1): ekspresi pendar hijau kurang terang; (2): ekspresi pendar hijau terang, dan (3): ekspresi pendar hijau sangat terang.

Gambar 9. Ekspresi gen GFP dengan promoter keratin dan promoter heatshock pada embrio ikan nila O.niloticus

4.2 Pembahasan

Telur kontrol memiliki nilai derajat kelangsungan hidup embrio (DKHE) dan derajat penetasan (DP) yang cukup tinggi menunjukkan bahwa kualitas telur ikan nila hasil pembuahan semi buatan memiliki kualitas yang baik.

Nilai DKHE dan DP pada telur kontrol relatif lebih tinggi dibandingkan dengan telur yang diberi perlakuan mikroinjeksi gen GFP dengan promoter keratin dan promoter heatshock. Rendahnya derajat kelangsungan hidup embrio pada telur yang dimikroinjeksi merupakan suatu hal yang umumnya terjadi, dikarenakan tingginya resiko perlakuan mikroinjeksi terhadap kelangsungan hidup embrio (Zbikowska, 2003; Dunham et al., 1987 dalam Ath-thar, 2007). Pada umumnya rendahnya kelangsungan hidup embrio diakibatkan oleh tidak tepatnya jarum mikroinjeksi masuk ke dalam blastodisk, sehingga jarum mikroinjeksi tersebut mengenai yolk sac dan terjadi kerusakan pada embrio. Kerusakan pada embrio dapat mengakibatkan infeksi pada perkembangan organogenesis embrio dan menghambat pertumbuhan embrio serta abnormalitas sehingga embrio tidak mampu menetas.

Pada persentase embrio mengekspresikan transgen (PEMT), kedua promoter menunjukkan nilai yang relatif sama. Hal ini membuktikan bahwa promoter keratin yang diisolasi dari ikan flounder Jepang maupun heatshock diisolasi dari ikan rainbow trout dapat aktif pada ikan nila. Sehingga kedua jenis promoter tidak bersifat spesifik pada suatu jenis ikan tertentu.

Pada promoter keratin, ekspresi gen GFP mulai terlihat pada saat jam ke-8 pasca injeksi demikian juga pada promoter heatshock ekspresi awal mulai terlihat antara jam ke-8 sampai dengan jam ke-12 jam setelah injeksi, pada saat telur ikan nila memasuki peralihan antara fase early blastula menuju fase mid blastula. Hal ini berbeda dengan ikan lele yang disebutkan bahwa awal ekspresi gen GFP terjadi pada fase gastrula awal (Ath-thar, 2007). Namun Iyengar et al. (1996) menjelaskan bahwa pada umumnya ekspresi gen GFP dapat teramati saat dimulainya transkripsi pada fase MBT (Mid Blastula Transition, yang pada ikan nila umumnya terjadi antara selang waktu 12-17 jam pasca pembuahan) oleh enzim RNA polymerase II.

Puncak ekspresi gen GFP yang diaktivasi oleh kedua promoter terjadi pada jam-36 setelah injeksi, atau ketika telur ikan nila memasuki akhir pembentukan epiboly. Kondisi ini serupa dengan yang disampaikan Iyengar et al. (1996) bahwa kondisi seperti terjadi karena adanya akumulasi dari DNA eksogenus (DNA yang diinjeksikan) tereplikasi dari fase pembelahan (cleavage) dan akumulasi dari hasil transkripsi pada fase MBT.

Hilangnya ekspresi gen GFP pada jam ke-72 pasca mikroinjeksi, menunjukkan bahwa ekspresi gen GFP yang dipicu oleh promoter keratin maupun heatshock bersifat transient (sementara). Ekspresi sementara ini terkait dengan ketahanan dari DNA yang diinjeksikan ke dalam telur. Ekspresi sementara ini sering terjadi pada beberapa penelitian transgenik, diantaranya pada ikan medaka Oryzias latipes (Winkler et al., 1991; Hamada et al., 1998; Chou et al., 2001), ikan zebra Danio rerio (Higashijima et al., 1997; Meng et al., 1999), ikan lele Clarias gariepinus (Volckaert et al., 1997; Ath-thar, 2007), kakap Sparus auratus (Garcia-Pozo et al., 1998), dan ikan mas Cyprinus carpio (Purwanti, 2007).

Promoter keratin menunjukkan aktivitas yang berbeda dengan yang dilaporkan oleh Yazawa et al. (2005) dalam pengujian pada ikan zebra yang menyebutkan bahwa, aktivitas promoter keratin mampu mendorong GFP terekspresi dari embrio hingga ikan zebra tumbuh dewasa. Hal ini dikarenakan pada penelitian Yazawa et al. (2005) pada ikan zebra yang diteliti sudah F2, sedangkan pada penelitian ikan nila ini masih F0. Aktivitas yang sama dengan ikan zebra mungkin sama terjadi bila ikan nila sudah F2.

Pada saat pengamatan puncak ekspresi gen GFP, jumlah telur yang mengekspresikan GFP pada tingkat 3 (pendar hijau terang) yang dikendalikan promoter keratin lebih banyak dibandingkan dengan promoter heatshock. Pada promoter heatshock, tingkat ekspresi yang memiliki ekspresi GFP level 3 mungkin akan meningkat bila diberi rangsangan lingkungan, misalnya peningkatan suhu air inkubasi embrio. Kondisi ini dipengaruhi oleh sifat internal dari promoter heatshock yang merupakan inducible promoter, yang aktivitasnya akan berjalan optimal apabila ada pengaruh rangsangan dari lingkungan (Ojima, 2007). Selain itu, lemahnya ekspresi GFP pada telur yang diinjeksi menggunakan promoter heatshock dibandingkan dengan promoter keratin diduga karena elemen

cis-acting yang dimiliki oleh promoter keratin lebih dikenali oleh elemen trans-acting ikan nila, dibandingkan dengan elemen cis-trans-acting yang dimiliki oleh promoter heatshock. Kurang sesuainya elemen cis-acting pada promoter heatshock dengan trans-acting pada ikan nila, dapat berakibat pada terhambatnya mekanisme transkripsi sehingga tidak menghasilkan ekspresi yang optimal. Hal tersebut senada dengan penjelasan Iyengar et al. (1996) dan Alimuddin (2003) yang menyebutkan bahwa efektivitas suatu promoter dalam mengendalikan gen untuk terekspresi sangat terkait erat dengan kesesuaian antara elemen cis-acting pada promoter dengan elemen trans-acting pada inang target.

Dari ekspresi gen GFP yang terjadi pada embrio ikan nila, menunjukkan bahwa promoter keratin maupun heatshock dapat digunakan dalam pembuatan transgenik ikan nila. Karena memiliki efektivitas yang baik serta sifatnya yang dapat aktif setiap saat pada semua jaringan, untuk transgenik ikan nila sebaiknya digunakan promoter keratin. Pengembangan transgenik ikan nila dilakukan dengan cara mengganti gen GFP dengan gen target tertentu yang menjadi tujuan dari pembuatan ikan transgenik seperti: gen pertumbuhan (Growth Hormone/GH), ataupun gen yang terkait dengan imunitas (lysozyme).

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait