• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data pengamatan persentase mortalitas imago O. rhinoceros akibat inokulasi tungau parasit dari hasil analisis sidik ragam, dapat dilihat bahwa perlakuan inokulasi tungau parasit spesies A (Macrocheles), B (Proctolaelaps) dan C (Pneumolaelaps) pada pengamatan 5-26 hari setelah inokulasi berpengaruh nyata terhadap mortalitas imago O. rhinoceros L.. Untuk mengetahui perlakuan yang berbeda nyata dapat dilihat pada tabel 1:

Tabel 1. Beda uji rataan pengaruh inokulasi tungau parasit spesies A((Macrocheles), B (Proctolaelaps) dan C (Pneumolaelaps)) terhadap mortalitas imago O.rhinoceros L. (%) pada pengamatan 17-26 hsi:

Perlakuan

Mortalitas (%) O. rhinoceros L.

17 hsi 22 hsi 23 hsi 24 hsi 26 hsi

A0 0,00c 0,00c 0,00c 0,00c 0,00c

A1 25,00b 37,50b 50,00b 62,50b 87,50a A2 75,00a 75,00a 75,00a 100,00a 100,00a A3 75,00a 75,00a 75,00a 75,00ab 75,00ab

Keterangan: Angka yang diikuti notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan taraf 5 %.

Hsi : hari setelah inokulasi.

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada pengamatan 17 hari setelah inokulasi mortalitas imago O. rhinoceros L. tertinggi terdapat pada perlakuan A2 (diinokulasikan 40 ekor tungau spesies B (Proctolaelaps)) dan A3 (diinokulasikan 40 ekor tungau spesies C (Pneumolaelaps)) yaitu sebesar 75,00% dibanding perlakuan A1 (diinokulasikan 40 ekor

tungau spesies A (Macrocheles)) yaitu sebesar 25,00% sedangkan pada pengamatan 26 hari setelah inokulasi, mortalitas imago O. rhinoceros L. terlihat jelas adanya perbedaan yakni mortalitas tertinggi terdapat pada perlakuan A2 (diinokulasikan 40 ekor tungau spesies B (Proctolaelaps)) sebanyak 100,00% dan terendah pada perlakuan A3 (diinokulasi 40 ekor tungau spesies C (Pneumolaelaps) sebanyak 75,00% hal ini menunjukkan bahwa tungau parasit spesies B (Proctolaelaps) lebih efektif di gunakan untuk mengendalikan imago O. rhinoceros L. dari pada tungau parasit spesies A (Macrocheles) dan spesies C (Pneumolaelaps) di karenakan tungau parasit juga memiliki spesifik inang, jika ia sesuai

dengan inang sasarannya tungau parasit tersebut akan lebih efektif dalam mematikan hama. Treat dan Niederman (1967) menyatakan bahwa sekitar 100 spesies Proctolaelaps (yang

merupakan spesies B) telah digambarkan dari berbagai habitat dan asosiasi yakni beberapa spesies Proctolaelaps biasanya dibawa oleh Coleoptera, Lepidoptera dan Hymenoptera.

Dari tabel 1 diketahui bahwa ketiga tungau parasit spesies A (Macrocheles), B (Proctolaelaps) dan C (Pneumolaelaps) mampu mengendalikan mortalitas imago O. rhinoceros L.. Hal ini dapat dilihat pada pengamatan 26 hari setelah inokulasi pada perlakuan A2 (diinokulasikan 40 ekor tungau spesies B (Proctolaelaps)) sebesar 100,00%, A1 (diinokulasikan 40 ekor tungau spesies A (Macrocheles)) sebesar 87,50% dan A3 (diinokulasikan 40 ekor tungau spesies C (Pneumolaelaps)) sebesar 75,00% dari hasil inilah ketiga tungau parasit ini mampu mengendalikan imago O. rhinoceros L. walaupun tingkat efektivitas mematikan imago O. rhinoceros L. berbeda, namun ketiga tungau parasit ini mampu mematikan imago O. rhinoceros L. Greene (2001) menyatakan bahwa parasit tungau berada dimana-mana, di lingkungan dan mempengaruhi banyak organisme di beberapa tahap kehidupan. Parasit didefinisikan sebagai organisme yang hidup secara ektoparasit dan

untuk gizi mereka sendiri, umur panjang, dan reproduksi. Selama interaksi mereka dengan inang, parasit dapat menurunkan kebugaran inang. Polak (2010) menyatakan bahwa selama infeksi, parasit menyerap nutrisi inang. Sehingga inang tersebut mengalami gangguan dalam hal makan dan proses asimilasi. Kemudian parasit ini juga mampu mengganggu secara fisiologi, tubuh menjadi kurus serta kematian yang tinggi.

Beda rataan mortalitas imago O. rhinioceros L. akibat inokulasi tungau parasit pada setiap waktu pengamatan dapat dilihat pada diagram garis 1.

Gambar 15: Diagram garis pengaruh inokulasi tungau parasit terhadap mortalitas imago O. rhinoceros L. pada setiap waktu pengamatan.

Waktu Kematian Imago O rhinoceros L.

Hasil pengamatan rata-rata dan analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan dengan ketiga jenis tungau parasit memberi pengaruh nyata terhadap O. rhinoceros L. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Persentase waktu kematian imago betina O. rhinoceros L. pada pengamatan 1-62 hsi.

Perlakuan Rataan (hari)

A0 54,75a

A1 18,00b

A2 12,25b

A3 7,25b

Tabel 2. Rataan waktu kematian imago betina O. rhinoceros L. terhadap inokulasi tungau parasit spesies A, B dan C pada pengamatan 1-62 hsi (hari setelah inokulasi).

Tabel 3. Persentase waktu kematian imago jantan O. rhinoceros L. pada pengamatan 1-62 hsi.

Perlakuan Rataan (hari)

A0 66,00a

A1 31,00b

A2 21,50b

A3 23,50b

Tabel 3. Rataan waktu kematian imago jantan O. rhinoceros L. terhadap inokulasi tungau parasit spesies A, B dan C pada pengamatan 1-62 hsi (hari setelah inokulasi).

Dari tabel 2 dan 3 diketahui bahwa perlakuan A0 (kontrol) berbeda nyata pada perlakuan lainnya yaitu pada perlakuan A1 (diinokulasikan 40 ekor tungau spesies A (Macrocheles)), A2 (diinokulasi 40 ekor tungau spesies B (Proctolaelaps)) dan A3 (diinokulasi 40 ekor tungau spesies C (Pneumolaelaps)). Sedangkan pada perlakuan A1 (diinokulasi 40 ekor tungau spesies A (Macrocheles)), A2 (diinokulasi 40 ekor tungau spesies B (Proctolaelaps)) dan A3 (40 ekor tungau spesies C (Pneumolaelaps)) berbeda nyata hal ini

menunjukkan bahwa tungau memiliki efektivitas terhadap waktu kematian imago O. rhinoceros L. terhadap perlakuan kontrol yang tidak diberi perlakuan. Hal ini berarti ketiga

tungau parasit ini mengambil nutrisi inangnya sehingga menyebabkan kematian yang cepat dibanding imago yang tidak diberi perlakuan Polak (2010) menyatakan bahwa selama infeksi, parasit menyerap nutrisi inang. Sehingga parasit rsebut mengalami gangguan dalam hal makan dan proses asimilasi. Kemudian parasit ini juga mampu mengganggu secara

Dari tabel 2 dan 3 diketahui bahwa perlakuan A1 (diinokulasikan 40 ekor tungau spesies A (Macrocheles)), A2 (diinokulasi 40 ekor tungau spesies B (Proctolaelaps)) dan A3 (diinokulasikan 40 ekor tungau spesies C (Pneumolaelaps)) tidak berbeda nyata. Pada perlakuan A1 (diinokulasi 40 ekor tungau spesies A (Macrocheles)) sebesar 18,00% (imago betina) dan 31,00% (imago jantan), A2 (diinokulasi 40 ekor tungau spesies B (Proctolaelaps)) sebesar 12,75% (imago betina) dan 21,50% (imago jantan) dan A3 (diinokulasi 40 ekor tungau spesies C (Pneumolaelaps)) sebesar 7,25% (imago betina) dan 23,50% (imago jantan) hal ini disebabkan ketiga spesies tungau tersebut sama-sama bersifat phoretic yaitu memanfaatkan serangga lain untuk penyebarannya dan selama belum menemukan habitatnya yang baru tungau parasit akan mengambil cairan hemolif kumbang tersebut dan ketiga tungau parasit tersebut memiliki ordo yang sama sehingga waktu kematiannya tidak berbeda nyata. Hal ini sesuai dengan Rodrigueiro dan Angelo Pires (2004) menyatakan bahwa phoresy (phoretic) adalah sebuah fenomena dimana hewan secara aktif mencari dan menempel pada permukaan hewan lain dan memasuki ketenangan dari hewan tersebut. Hal ini dilakukan tungau untuk melakukan penyebaran sampai menemukan habitat yang baru yang memiliki sumber makanan yang banyak.

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa waktu kematian imago betina lebih cepat waktu kematianya dibanding imago jantan. Dari tabel 2 dan tabel 3 diketahui bahwa waktu kematian lebih cepat terjadi pada imago betina dibanding imago jantan hal ini dipengaruhi oleh tungau parasit. Tungau parasit mempengaruhi imago betina pada awal seksualnya yakni pada saat kawin sesuai dengan pernyataan Polak (2002) tungau parasit memiliki efek negatif terhadap inangnya yakni dapat mempengaruhi kebugaran inang, kelangsungan hidup inang, reproduksi dan keberhasilan kawin atau pada saat seksual pernyataan ini senada dengan Abbot dan Larry (2001) menyatakan bahwa pada saat tungau parasit memarasit tubuh

kumbang, kumbang mengalami kesulitan dalam reproduksi. Oleh karena itu dalam upaya peningkatan reproduksinya kumbang akan mengganti hasilnya atau mengkompensasi nutrisinya sehingga kebugaran kumbang berkurang.

Beda rataan waktu kematian imago betina dan jantan O. rhinoceros L. terhadap inokulasi tungau parasit pada pada pengamatan 1-62 hsi dapat dilihat pada gambar:

Gambar 16. Diagram batang beda rataan waktu kematian imago betina O. rhinoceros L. terhadap inokulasi tunagu parasit pada pada pengamatan 1-62 hsi.

gejala Serangan Imago O. rhinoceros L. Yang Terparasit Tungau

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, tungau spesies A (Macrocheles) menyebabkan imago O. rhionoceros L. mati dan terparasit. Gejala serangan berupa tubuh imago O. rhinoceros yang mati ini mengeras, tegang kemudian setelah ≥ 10 hari bagian tubuh imago yang terparasit mulai ada putih-putih seperti jamur yang dimulai dari bagian caput (kepala) kemudian setelah beberapa hari setelah itu putih-putih seperti jamur mengenai seluruh bagian tubuh serangga yang telah mati. Munculnya jamur pada gejala serangan tungau

sehingga terjadi interaksi antara serangga, jamur dan tungau. Hal ini sesuai dengan pernyataan Klepzig, dkk (2001) menyatakan bahwa interaksi antara kumbang, jamur dan tungau adalah contoh kompleks cara simbiosis perubahan dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh organisme lain. Jenis interaksi antara organisme (mutualisme, antagonisme, parasitisme, phoresy, dll) sebagai variabel kisaran organisme yang terlibat (tumbuhan, jamur, serangga, tungau, dll). Karena interaksi bersifat phoresy (phoretic) tungau spesies A (Macrocheles) yang memiliki spirothecae yakni struktur khusus berupa pouch (kantung) untuk membawa jamur yang berasal dari integumennya sehingga terjadi interaksi antara kumbang, jamur dan serbuk kayu sebagai medianya.

Gambar 18: Gejala Serangan Spesies A Sumber: Foto Langsung

Pada penelitian yang telah dilakukan terhadap imago O. rhinoceros L. yang telah terparasit tungau spesies B (Proctolaelaps) memiliki gejala serangan yakni kumbang mati secara lemas, tubuhnya terasa lembek dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Kemudian setelah ≥ 10 hari caput (kepala) putus dari abdomen. Hal ini disebabkan oleh tungau spesies B (Proctolaelaps) memiliki fixed digit chelicera dengan gigi banyak hal ini sesuai dengan

hasil analisis laboratorium (terlampir) yang merupakan ciri-ciri khusus tungau Proctolaelaps. Chelicera merupakan bagian anterior pelengkap gnathosoma yang digunakan untuk menembus bagian integumen kumbang. Dengan menggunakan chelicera yang memiliki banyak gigi, tungau Proctolaelaps dapat menembus bagian integumen kumbang sehingga menimbulkan luka pada daerah bermembran hemolimf keluar begitu juga air dan senyawa larut pada integumen yang dihasilkan kumbang sehingga tubuh kumbang menjadi lembek dan mengeluarkan bau.

Gambar 19: Gejala Serangan Spesies B Sumber: Foto Langsung

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, tungau spesies C (Pneumolaelaps) yang memarasit imago O. rhinoceros L. mati dan memiliki gejala serangan berupa imago O. rhinoceros L. yang mati akan memutuskan caput (kepala) dari lehernya. Leher serangga merupakan daerah bermembran yang disebut cervix. Pada bagian cervix terdapat sepasang cervical sklerit. Sepasang cervical sklerit ini berfungsi sebagai engsel yang menghubungkan antara caput (kepala) dengan thorax (dada). Gejala ini terlihat pada ≥ 3 hari setelah kematian.

merupakan bulu-bulu tungau bawaan dari tungkainya (kaki) yang terdiri dari trochanter, femur, genu, tibia, tarsus dan apotele serta memiliki sclerotized yang berukuran besar hal ini sesuai dengan pernyataan Halliday (1998). Sclerotized merupakan bagian dari integumen tungau yang mengeras sebagai perisai (pelindung) dari bagian tubuh tungau Pneumolaelaps. Pada bagian inilah tungau dapat memutus caput dari lehernya kumbang karena bagian ini merupakan bagian yang bermembran yang dapat di putus tungau Pneumolaelaps dengan mengunakan setae dan sclerotizednya.

Gambar 20: Gejala Serangan Spesies C Sumber: Foto Langsung.

4. Identifikasi Tungau

Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan di Laboratorium Taksonomi Hewan PS. Biologi FMIPA USU di dapat hasil (Terlampir):

1. Genus Macrocheles (spesies A)

Adapun sistematika dari tungau spesies A sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda Class : Arachnida Ordo : parasitiformes Family : Macrochelidae Genus : Macrocheles

Gambar 21: Tungau spesies A (Macrocheles) Sumber: Foto Langsung.

Ciri-ciri khusus tungau spesies A (Macrocheles) ialah memiliki perisai punggung oval, posterior lemah, permukaan dengan selang dan punctation, berbulu jl distal: j4, z2, z4, r2-4, j5 dan s5 berbulu distal j2, j3 dan s2 simle: sternum perisai dihiasi dengan garis dan punctations: linea angulatan (lang), media linca transversa (1.Mt), dan linea miring posteriors (memangkas) dengan tanda baca pembedaan: 1.mt lengkap, pusat setengah bagian belakang perisai dengan tanda a kecil: dengan dan bantalan perisai ventrianal 9-13 setae; vertikal setae (j1) sessile pada perisai punggung anterior; ventrianal perisai dengan 3 pasang setae ventral (+3 circumanals); sternal perisai dihiasi beragam, tapi tanpa kuat mengangkat melapisi

dengan gambaran yang mirip kisi-kisi ornamentasi dan tidak kuat melingkupi perisai kelamin (terlampir).

Genus ini kosmopolitan termasuk spesies yang berada di berbagai habitat: tanah, humus, sampah hutan, lumut, kotoran, jerami, galeri kumbang kulit kayu, sarang tikus, burung, mamalia, dan lebah. Tungau sering phoretic pada serangga dari Diptera Sternal pelindung dihiasi beragam, tapi tidak kuat diangkat melapis seperti gambaran kisi-kisi ornamentasi dan tidak kuat disertai dengan pelindung kelamin (Richards dan Richards, 1977).

2. Genus Proctolaelaps (spesies B)

Adapun sistematika dari tungau spesies B sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Class : Arachnida Ordo : parasitiformes Family : Ascidae Genus : Proctolaelaps

Gambar 21: Tungau spesies B ( Proctolaelps) Sumber: Foto Langsung

Ciri-ciri khusus tungau spesies B (Proctolaelaps) ialah memiliki fixed digit chelicera dengan gigi banyak. Anus besar tinggi, melebihi dari tibia IV. Posterior tepi anus ditempatkan di setengah bagian belakang perisal anal. Anterior setae hypostomal jeles lebih besar dari setae hypostamal lainnya. Anal perisai dan epigynial benar terpisah corniculi hampir sejajar satu sama lain (terlampir).

Proctolaelaps mencakup hampir 90 spesies. Tungau ini biasanya berhubungan dengan kumbang kulit kayu, lebah, di sarang burung, mamalia, dan dalam berbagai zat organik yang membusuk. Dewasa spesies lainnya phoretic pada serangga. Banyak spesies yang kosmopolitan. Lima spesies yang dicatat dalam hubungannya dengan sarang lebah atau phoretic pada serangga dewasa di Eropa, Siberia, dan Kepulauan Kuril. Proctolaelaps memilii digit chelicera dengan dentilis pilus membran. Peritrematal perisai pada tingkat stigma biasanya kurang dari dua kali selebar diameter stigma. Pada opisthosoma perut, biasanya hanya perisai dubur dengan 3 hadir setae circumanal. Pada betina memiliki pelindung epigynial biasanya bulat posterior. Dewasa dengan 1-4 pasang setae marginal posterior (R) pada kutikula ventro-lateral lembut, pelindung yang lain ada pada punggungnya. Betina dengan 18-22 pasang setae di wilayah opisthonotal pada pelindung punggungnya, betina biasanya dengan metasternal piring (Halliday dkk, 1998.).

3. Genus Pneumolaelaps (spesies C)

Adapun sistematika dari tungau spesies A sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda Class : Arachnida

Family : Laelapidae Genus : Pneumolaelaps

Gambar 22: Tungau spesies C ( Pneumolaelaps) Sumber: Foto Langsung.

Ciri-ciri khusus Sternal dan metasternal bebas atau menyatu dengan perisai; perisai sternum tanpa daerah porose pada tingkat III coxae ; femora III-IV tanpa punggung cuticular memacu; anal perisai dengan setae yang biasanya tidak jelas gemuk dari setae perut lainnya tiga pasang setae hypostomal; lebar setae idiosomal tidak jelas berbeda, spatulate setae tidak ada, jika ada, seragam semua. Anal perisai variabel pada beberapa baris paling alur hypognathal dengan lebih dari satu denticle. Anal perisai perisai ventroanal betina dan jantan tanpa memacu cuticular. Sternal perisai memotong, cembung atau sedikit cekung (kurang dari setengah dari panjang perisai) belakang 2-3 baris belakang alur hypognathal dengan lebih dari satu denticle. Anal perisai biasanya lebih sempit dari pinggiran belakang perisai ventrogenital; sternal perisai antara coxae I-II tidak melebar, jika melebar maka margin menunjuk. Sternal setae st1 lsms dari setengah dari jarak st1-st2. Setae st4 terletak di perisai metasternal atau kutikula lunak. Chelicera tanpa proses. Holodorsal perisai punggung mencakup semua; subcapitulum ditempatkan terlihat bagian punggung. Digit tetap dan bergerak dari chelicera betina dentate, memanjang.Bagian terminal digit bergerak dan tetap chelicera pendek, tidak

menonjol sebaliknya digit. Genu IV dengan 9-10 setae; sirip punggung setae sederhana atau berbulu, tidak pernah nyata rata; Genu IV dengan 10 setae, 2 ventral setae. Peritremes biasanya luas opisthogaster biasanya hypertrichous (terlampir).

Spesies dari genus Pneumolaelaps merupakan penghuni umum dari sarang lebah. Mereka juga ada dalam sarang, bawah tanah dan mamalia kecil (Bregetova, dkk, 1977). Tungau dapat ditemukan dalam jumlah besar di koloni lebah aktif, bergerak cepat. Tungau betina menjadi phoretik pada ratu lebah di sarang tua dan menahan musim dingin dengan ratu di lokasi terlindung. Genus ini dikenal dari Holarctic, Oriental dan daerah Neotropical (Krantz, 1989).

Pada saat ini tidak ada definisi yang komprehensif dari genus ini. Banyak penulis menganggapnya sebagai subgenus dari genus Hypoaspis (Bregetova, dkk, 1977) sementara yang lain menganggapnya sebagai genus yang berbeda. Takson ini memiliki karakter berikut apomorphic: stimata yang besar dan peritremes luas, opistogaster biasanya hypetrichous, dan ada dua setae ventral pada lutut IV. Karg (1982) mendefinisikan itu berdasarkan karakter berikut: yang filiform setae idiosomal, tanpa perbedaan ekstrim dalam panjang, tidak berpasangan setae sering hadir pada bagian belakang perisai punggung; tectum halus, baris dari alur hypognathal biasanya dengan 2 sampai 6 dentik, sedangkan perisai epigynial dengan sepasang setae, 1-2 pasang setae antara perisai epigynial dan dubur.

Dokumen terkait