• Tidak ada hasil yang ditemukan

187/Pdt.G/2016/Ms-Lsm.

Kewarisan atau mawaris’ yaitu harta peninggalan yang diwariskan kepada ahli warisnya.69 Fiqh mawaris atau Hukum Kewarisan Islam dapat diartikan sebagai

seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu dan sunnah nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua mahkluk yang beragama Islam.70

Kalau dilihat dari segi perspektif fiqh mawaris mengenai kedudukan anak perempuan tunggal sebagai penghijab saudara perempuan kandung ini sangat banyak menimbulkan kontrovensi, sebagian ulama mengatakan bahwa anak perempuan kedudukan nya tidak sama dengan anak laki-laki sehingga tidak dapat menghijab siapapun, namun ada sebagian yang mengatakan bahwasanya kedudukan anak perempuan itu sederajat dengan anak laki-laki sehingga dapat menjadi penghijab saudara. Maka dari itu mengenai pembahasan tentang kedudukan anak perempuan dalam hukum kewarisan ini banyak terdapat perbedaan pendapat.

Kalau dilihat dari segi apek kebudayaan pada zaman dahulu masyarakat Arab Pra-islam sangat mendeskriminasikan perempuan, saat itu yang berhak mewarisi harta warisan hanya kaum laki-laki dengan syarat laki-laki itu harus dewasa, mampu berkuda dan lainnya. Setelah islam datang islam mengubah keadaan warisan bagi kaum perempuan dari yang tidak berhak mewarisi menjadi berhak warisan dengan perbandingan 2:1. Namun, dikarenakan pada masa itu menganut sistem patrilineal walaupun bagian perempuan telah ditentukan tetap saja masyarakat Arab saat itu lebih mengutamakan pihak laki-laki ditambah lagi saat itu perempuan belum begitu berpengaruh, perempuan hanya sebagai pelengkap di dalam keluarga saja, segala bentuk beban keluarga terutama beban mencari nafkah hanya dipikul oleh pihak laki-laki saja, sehingga wajar saja jika pembagian warisan pada zaman itu lebih mengutamakan laki laki.

Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman semua sistem sudah berubah termasuk dalam sistem keluarga pada zaman sekarang ini hak warisan bagi kaum perempuan menjadi sama dengan kaum laki-laki, zaman sekarang perempuan tidak hanya menjadi pelengkap dalam keluarga bahkan banyak wanita sekarang ini yang lebih berperan mencari nafkah dibanding laki-laki dan bahkan penghasilan wanita saat ini banyak melebihi laki-laki, jadi saat ini sangat tidak adil apabila masih menganut sistem dahulu, saat ini sistem yang sangat adil yaitu sistem 1:1.71

Dalam Al-quran memang sudah dijelaskan dengan pasti mengenai hak hak anak perempuan dalam hal kewarisan, namun tetap saja menimbulkan kontrovensi, terutama dalam memaknai kata Walad atau Aulad, Dalam surat an-nisa ayat 11 dan 12 ulama sunni menafsirkan kata Aulad dalam ayat tersebut sebagai anak laki-laki dan anak perempuan. Dan mengenai permasalahan kewarisan anak perempuan dapat menghijab saudara perempuan kandung tidak terlepas dari dalil Q.s An-Nisa ayat 176 yang menurut ulama sunni memiliki pemahaman yang berbeda lagi dalam menafsirkan kata walad . Untuk lebih jelasnya bunyi Q.s An-Nisa ayat 176 yaitu :

ﺎَﮭَﻠَﻓ ٞﺖ ۡﺧُأ ٓۥُﮫَﻟَو ٞﺪَﻟَو ۥُﮫَﻟ َﺲۡﯿَﻟ َﻚَﻠَھ ْاٌؤُﺮ ۡﻣٱ ِنِإ ِۚﺔَﻠَٰﻠَﻜۡﻟٱ ﻲِﻓ ۡﻢُﻜﯿِﺘۡﻔُﯾ ُ ﱠ ٱ ِﻞُﻗ َﻚَﻧﻮُﺘۡﻔَﺘ ۡﺴَﯾ

ﺎَﻣ ُﻒ ۡﺼِﻧ

َﻤُﮭَﻠَﻓ ِﻦۡﯿَﺘَﻨۡﺛٱ ﺎَﺘَﻧﺎَﻛ نِﺈَﻓ ۚٞﺪَﻟَو ﺎَﮭﱠﻟ ﻦُﻜَﯾ ۡﻢﱠﻟ نِإ ٓﺎَﮭُﺛِﺮَﯾ َﻮُھَو َۚكَﺮَﺗ

ْآﻮُﻧﺎَﻛ نِإَو َۚكَﺮَﺗ ﺎﱠﻤِﻣ ِنﺎَﺜُﻠﱡﺜﻟٱ ﺎ

ِﺑ ُ ﱠ ٱَو ْۗاﻮﱡﻠِﻀَﺗ نَأ ۡﻢُﻜَﻟ ُ ﱠ ٱ ُﻦﱢﯿَﺒُﯾ ِۗﻦۡﯿَﯿَﺜﻧُ ۡﻷٱ ﱢﻆَﺣ ُﻞۡﺜِﻣ ِﺮَﻛﱠﺬﻠِﻠَﻓ ٗءٓﺎَﺴِﻧَو ٗﻻﺎَﺟﱢر ٗةَﻮ ۡﺧِإ

ُۢﻢﯿِﻠَﻋ ٍء ۡﻲَﺷ ﱢﻞُﻜ

Artinya : “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) Katakanlah: "Allah

memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang 71

Hamka Haq, “Hak waris bagi kaum perempuan” Diakses melalui https://islam-rahmah.com/tag/kewarisan/tanggal 7 Agustus 2018

saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.72

Dalam bukunya M. Anshary, MK mengatakan bahwa ayat di atas menjelaskan jika pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah, maka saudara seibu berhak mewarisi. Dari teks ayat tersebut harus dipahami dengan menggunakan penafsiran secara a

contrario (mafhum muhkalafah)73, bahwa jika pewaris ada meningalkan anak dan

ayah, maka saudara seibu tidak berhak mewarisi (mahjub hirman).74

Dalam ayat tersebut ditegaskan lagi tentang kalalah, yaitu seseorang mati, tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan saudara, maka yang mewarisi harta pewaris adalah saudara itu. Maka dari itu M. Anshary, MK menggunakan penafsiran secara a

contrario. Dari cara penafsiran ini, makna ayat tersebut harus dipahami bahwa jika

seseorang mati sedangkan dia mempunyai anak dan saudara, maka yag berhak mewarisi adalah anaknya, sedangkan saudara terhalang mewarisi dengan hijab hirman (terhalang total).

Kata walad yang terdapat dalam ayat tersebut terdapat beberapa perbedaan menurut ulama sunni menafsirkan kata Walad hanya sebagai anak laki-laki saja, namun tidak untuk anak perempuan sehingga anak perempuan tidak dapat menghijab saudara baik itu laki-laki maupun perempuan, namun ulama Syiah Imamiyah, kata

walad mencakup anak laki-laki dan anak perempuan, sehingga anak perempuan juga

dapat menghijab saudara baik laki-laki maupun perempuan. Para mujtahidin lainnya banyak juga yang tidak sependapat dengan jumhur ulama, terutama Ibnu Abbas, dalam menafsirkan kata walad tersebut Ibnu Abbas menafsirkan bahwasanya kata walad itu

72Departemen Agama R.I., Alquran dan Terjemahannya,…Hlm. 107

73Mahkum Mukhalafah adalah pemahaman terbalik. 74

M. Anshary, MK, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional,(Bandung: Mandar Maju, 2014), Hlm. 35.

tidak hanya anak laki-laki saja namun juga anak perempuan, ayat 176 ini membahas mengenai pembahasan kalalah yang mana nantinya akan berujung kepada kedudukan anak perempuan dalam menghijab saudara.

Pada dasarnya ulama ahlussunnah wal jama’ah (Sunni) corak pemikirannya berdasarkan pola kehidupan masyarakat Arab yang Patrilineal sehingga hasil ijtihad mereka cenderung Patrilineal, begitu juga dengan permasalahan ini pemaknaan kata

walad sebagai anak laki laki saat itu sudah menjadi ‘urf dikalangan orang Arab, sehingga jika ada yang mengatakan walad maka maksudnya adalah anak laki-laki. Menurut Amir Syarifuddin mengenai hal ini terdapat dua alasan yang menyebabkan Ulama Suni mengartikan walad dengan anak laki-laki saja, yaitu:

1. Penggunaan secara urf dari kata walad. Dalam adat berbahasa Arab, walad diartikan dengan anak laki-laki saja. Mereka terpengaruh oleh adat jahiliyah dalam penggunaan kata sehingga terdorong untuk mengartikan kata walad tidak menurut umumnya.

2. Terpengaruh oleh Hadis Nabi yang disampaikan oleh Ibn Mas’ûd tentang pembagian waris untuk kasus anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan.75

Adat jahiliyah di maksud adalah pengakuan garis kerabat itu hanya dari pihak laki-lai atau patrilineal , Amir syarifuddin mengatakn demikian berdasarkan sebuah syair Arab yang berbunyi :

ُﺪِﻋَﺎﺑَﻻا ِلَﺎﺟﱢﺮﻟا َﺄﻨْﺑَأ ﱠﻦُھْﻮُﻨْﺑَو َﺎﻨِﺗَﺎﻨَﺑ َو َﺎﻨِﺋَﺎﻨْﺑَا ْﻮُﻨْﺑ َﺎﻧْﻮُﻨَﺑ

75

“Anak laki-laki itu adalah anak-anak dari anak laki-laki kita dan anak perempuan

kita; sedangkan anak-anak dari anak perempuan kita adalah anak dari laki-laki pihak

jauh”

Menurut paham mereka yang menganut sistem Patrilini anak dari anak perempuan itu adalah anak orang lain yang sudah berada di luar lingkaran kerabat sedangkan anak-anak dari anak perempuan bukan lagi berada dalam lingkaran kerabat maka dia tidak mendapat warisan.76

Sedangkan Pemikiran ulama Syi’ah saat itu pada umumnya memang lebih condong menyamakan kedudukan antara perempuan dan laki-laki, kecuali apabila ada nash Al-Quran yang secara terperinci menjelaskannya. Dan selain itu ibnu Abbas juga berpendapat demikian bahwa menurut beliau kata walad dalam Q.s An-nisa ayat 176 adalah anak laki-laki dan anak perempuan, kemudian mengenai hadits yang diterima oleh Ibnu Mas’ud , Ibnu Abbas menolak karena menurut beliau hadits tersebut bertentangan dengan Q.s An-nisa ayat 176. Maka dari itu Ibnu Abbas menolak hak ‘ashabah ma’al ghairih saudara perempuan.

Sistem keluarga saat ini banyak ragamnya tidak seperti dahulu yang hanya menganut sistem Patrilineal yang mana sistem kekeluargaan yang hanya menarik dari garis keturunan ayah saja sehingga hak waris hanya diberikan kepada anggota kerabat laki-laki, bagi masyarakat patrilineal laki-laki mendapat penghormatan yang lebih tinggi dari kaum wanita.77 saat ini sistem dalam keluarga ada yang menganut Patrilineal78, Matrilineal79, dan Bilateral yaitu sistem kekeluargaan yang ditarik dari

76Ibid. Hlm.68

77Teti Sutardi, Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya I, (Jakarta: Setia Purna, 2009), Hlm. 43.

78 Sistem keturunan yang dibangun dengan menelusuri silsilah keluarga secara eksklusif melalui keluarga laki-laki.

garis keturunan ayah dan ibu secara bersama-sama, seorang anak otomatis menjadi anggota keluarga dari pihak ayah dan pihak ibu.80 Keluarga yang dimaksud saat ini yaitu keluarga inti yang menurut Duval, 1985 ( Dalam mega, 2006) keluarga inti atau

Nuclear Family terdiri dari orang tua dan anak.

Sehingga jika dikaitkan dengan permasalahan warisan wajar saja jikalau anak perempuan dapat menjadi pewaris tunggal dan dapat menjadi penghijab bagi seluruh saudara, hal ini sesuai dengan apa yang dimuat di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 174 yang menyatakan bahwa jika semua ahli waris ada maka yang berhak mendapatkan warisan itu hanya ayah, ibu, duda atau janda, dan anak, dan ini juga sesuai dengan apa yang diterapkan di dalam Yurispudensi Mahkamah Agung No. 86 K/AG/1994 dan No. 184K/AG/1995 yang menyatakan bahwa apabila golongan pada garis pertama masih ada maka golongan pada garis pertama lebih berhak mendapatkan warisan daripada golongan pada garis kedua , golongan garis pertama yang dimaksud disini yaitu Ayah, ibu, duda atau janda, dan anak.

Kalau kita bandingkan pendapat jumhur ulama di satu pihak dengan pendapat Mahkamah Agung dan Kompilasi Hukum Islam mengenai hadits Mas’ud tersebut maka terdapat perbedaan yang sangat signifikan, seperti berikut ini :

Menurut Jumhur Ulama

Seorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris :  Seorang anak perempuan : ½ bagian

 Seorang cucu perempuan dari anak laki-laki : 1/6 bagian.  Seorang saudara Perempuan : mendapat sisa/ ashabah

79 Sistem keturunan yang dibangun dengan menelusuri silsilah keluarga secara eksklusif melalui keluarga perempuan.

80

Menurut Kompilasi Hukum Islam

Seorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris :  Seorang anak perempuan : ½ bagian

 Seorang cucu perempuan dari anak laki-laki : ½ bagian.  Seorang saudara perempuan : mahjub/terhalang secara total.

Dari contoh diatas dapat kita lihat bahwa sangat terdapat perbedaan antara pendapat jumhur ulama dan yang tertera di dalam Kompilasi hukum islam dan Mahkamah Agung, bahwa Mahkamah Agung dan Kompilasi Hukum Islam tidak setuju dengan hadits tersebut, bahkan Ibnu Abbas juga sangat tidak setuju dengan hadits tersebut seperti yang telah saya paparkan dalam penjelasan sebelumnya, Ibnu Abbas sangat menolak kewarisan secara Ashabah Ma’al Ghairi antara anak perempuan kandung dan saudara perempuan kandung.

Al Yasa Abu Bakar didalam bukunya mengatakan bahwa kelihatannya ada dua kemungkinan alasan yang menyebabkan penolakan keras Ibnu Abbas terhadap Hadits Ibnu Mas’ud , diantaranya :

1. Ibnu Abbas yakin bahwa Hadits Ibnu Mas’ud telah dimansukh dengan ayat 176 tersebut. Hadis yang menyatakan ayat 176 sebagai ayat yang terakhir turun dapat menguatkan kemungkinan ini.

2. Ibnu Abbas menganggap Hadis Ibnu Mas’ud merupakan kasus khusus, sehingga tidak dapat digunakan untuk men-takhsis ‘am-kan Quran. Kemungkinan ini didukung oleh ucapan Ibnu Mas’ud sendiri, bahwa yang dia ikuti adalah qada’ (keputusan, perbuatan) Nabi yang sering menunjuk kepada kasus khusus.81

81

Dengan demikian mengenai penjelasan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa sebenarnya Al-Quran menghendaki bahwa mengenai permasalahan kewarisan ini sesuai pembagiannya antara anak laki-laki dan anak perempuan kecuali ada nash yang menjelaskan secara terperinci, dan mengenai anak perempuan yang dapat menghijab saudara perempuan kandung itu tidak dijelaskan secara terperinci di dalam Al-Quran sehingga wajar terjadi apabila timbul perbedaan-perbedaan pendapat di antara beberapa kalangan, dan sebenarnya mengenai hal ini bukanlah merupakan sesuatu yang baru karena Al-Quran ketika menjelaskan kata waris menggunakan kata anak secara umum (walad), dan oleh karena itu sebagian ulama menganggap bahwa hak waris anak perempuan sama seperti anak laki-laki dalam hal menghijab saudara, dan apabila terjadi perbedaan itu merupakan hal yang wajar apalagi jikalau disesuaikan dengan keadaan dan tempat yang ada karena pada umumnya Al-Quran bersifat umum dan berlaku untuk semua tempat.

Berdasarkan analisis diatas dapat disimpulkan bahwasa pendapat ulama sunni yang mengatakan anak perempuan tidak dapat menghijab saudara di karenakan makna dari kata walad hanyalah anak laki-laki saja, tidak dapat dijadikan alasan yang tepat. Maka dari itu menurut analisis dari penulis sendiri putusan Mahkamah Syari’ah Lhokseumawe no. 187/Pdt.G/2016/Ms-lsm sudah sesuai dengan aturan Hukum Islam dan pertimbangan yang hakim gunakan dalam putusan tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan pemahaman hukum waris yang telah diatur di dalam Hukum Islam.

71

PENUTUP

Dokumen terkait