• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Nasr Hamid Abu Zayd tentang Keadilan Gender

B. Hukum Waris Adil Gender Perspektif Nasr Hamid Abu Zaid 1 Biografi dan Karya Intelektual

2. Perspektif Nasr Hamid Abu Zayd tentang Keadilan Gender

Dalam pandangan Nasr Hamid Abu Zaid, perempuan adalah setara dengan laki-laki dalam kapasistas satu entitas sebagai manusia dan sebagai hamba Allah SWT.Terbukanya ruang yang bagi manusia baik laki-laki dan perempuan dalam berbagai sector kehidupan menjadikan ruang kompetisi tidak lagi berdasarkan jenis kelamin, tetapi kualifikasi akademik dan professional seseorang. Realitas social masih mempersepsikan perempuan pada posisi subodinatif sehingga perempuan dibatasi peran-peran publiknya dan seorang perempuan dituntut untuk bisa menyesuaikan dengan tuntutan social yang kurang adil terhadap dirinya karena kuatnya idiologi patriarkhis dan tafsir teks keagamaan yang bias gender.23

Sebelum masuk pembahasan, perlu dijelaskan lebih dahulu bahwa yang dimaksud dengan istilah dekonstruksi gender ini bukanlah meninjau kembali apakah gender dalam Islam diperlukan atau tidak. Akan tetapi, ia lebih diarahkan kepada penyorotan benang kusut posisi dan peran perempuan, baik dalam ranah domestik maupun publik, dengan mengajukan sebuah kerangka gagasan dari nilai-nilai humanisme. Tentunya dalam hal ini, tidak bisa lepas dari pembacaan kembali (re-reading) terhadap Al-Qur’an sebagai kitab suci dengan semangat pembebasan.

Makna-makna patriarkis dan misoginis yang diklaim berasal dari AlQur’an merupakan hasil dari siapa, bagaimana, dan dalam konteks apa orang

22

Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan., hal. 23-25.

23

Nasr Hamid Abu Zaid, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam (SAMHA-PSW IAIN SUKA: Yogyakarta, 2003), hal. 159-160

membaca dan menyimpulkannya. Makna-makna itu juga terkait erat dengan peran masyarakat penafsir dan negara dalam membentuk pengetahuan dan otoritas keagamaan yang memungkinkan diterapkannya model pembacaan yang patriarkis dan misoginis. Maka tidak menutup kemungkinan bahwa praktek kebudayaan Muslim yang selama ini bercorak patriarkis dan misoginis pada dasarnya bukan bersumber dari teks kitab suci melainkan dari penafsirannya. Kritik Nasr Hamid atas wacana perempuan dalam Islam merupakan bagian dari upaya dekonstruksi gender-nya yang dapat dijumpai dalam master piece-nya Dawair al-Khauf: Qira’ah fi Khitab al-Mar’ah,

Upaya dekonstruksi gender oleh NasrHamid Abu Zayd meliputi issu penting dalam wacana feminisme Muslim. Diawali dengan prolog yang meninjau kembali kisah Adam dan Hawa yang berkembang dalam masyarakat, dengan melakukan kritik terhadap penafsiran at-Tabari terhadap kisah itu yang dianggapnya banyak bersumber dari Bibel. Hal ini menghantarkan dekonstruksi gender-nya yang terbagi dalam dua bagian, yakni pertama: perempuan dalam wacana krisis. Bagian kedua; kekuasaan dan hak: idealitas teks dan krisis realitas. Yang masing-masing terdiri dari beberapa bab. Menurutnya, di dalam penekanan wacana “ekualitas” (al-musawah) dan “kemitraan” (al-musyarakah) adanya rasa superior, yakni wacana tentang sentralitas laki-laki. Ketika perempuan dikatakan mempunyai posisi sejajar maka yang dimaksud adalah kesejajaran yang diukur dengan ukuran laki-laki. Ketika perempuan dibolehkan bekerjasama maka yang dimaksud adalah bahwa ia mengabdi kepada laki-laki.

Kritik Nasr Hamid terhadap wacana perempuan dalam Islam dilakukan melalui ijtihadnya mengenai pemahaman, interpretasi dan tafsir aqidah berangkat dari kesadaran yang tidak mungkin diingkari oleh kaum muslimin, baik historis, sosiologis, politis, intelektual, dan kultural. Dengan mempublikasikan kajian- kajian mengenai metodologi tafsir dan takwil di dalam budaya Arab-Islam pada satu sisi dan Barat-Kristen pada sisi yang lain. Nasr Hamid melontarkan kritik sebagai implementasi dari ijtihadnya itu dengan bahasa yang terang-terangan tanpa ditutup-tutupi sebagaimana pengakuannya dalam pengantar buku. Di dalam keterusterangannya ia berpijak pada dua titik tolak utama. Pertama, kepercayaan

yang mendalam akan solidaritas Islam dan kekuatannya dalam jiwa manusia jika didasarkan atas akal dan kekuatan argumen dan lemah serta kacaunya Islam. Kedua, dengan adanya iman pada diri seseorang tidak menjauhi pemahaman, penjelasan dan interpretasi karena kepastian-kepastian iman keagamaan adalah aqidah dan ibadah. Adapun pengujian dan hipotesis dilakukan melalui dua pendekatan: pertama, membaca apa yang ditulis ulama terdahulu. Kedua, memperbincangkan pendapat-pendapat mereka dalam perspektif kontemporer.

Dengan demikian, kajian gender tentang perempuan dalam Islam mutlak dilakukan pembacaan ulang. Bahwa selama ini kajian gender yang terkodifikasi hanya sekedar kutipan dan ringkasan dari apa yang sudah dilakukan ulama terdahulu, semisal dari an-Nawawi dalam kitabnya, Uqudul Lujain fi Bayani Huquqi Zaujain, tanpa mau melihat setting sosialnya, di mana tantangan kultural dan sosiologis masa sekarang sangat berbeda jauh dari tantangan yang pernah dihadapi pada masa silam ketika tersusunnya karya tersebut.

Realitas adanya perubahan kondisi sosial dan membaiknya kedudukan perempuan dalam masyarakat, maka tidak menutup kemungkinan untuk membaca teks-teks keagamaan dalam makna historisnya dengan maksud menemukan esensi dan mengungkapkan yang tetap (immutable), ketentuan- ketentuan yang tidak bisa berubah (unchangeable dictates) yang tersembunyi di balik kesementaraan dan perubahan. Konteks sosio-kultural mempunyai andil besar dalam menafsirkan sebuah kitab ( Al-Qur’an). Ketika “teks” harus dipaksa untuk berpisah dengan kondisi obyektif-historisnya ke dalam wilayah politik untuk melindungi dari kehancuran dan kemusnahan. Sehingga dalam kondisi seperti ini, Al-Qur’an akhirnya hanya menjadi mushaf yang kering dan terpisahkan antara teks dan realitas. Al-Qur’an itu sebenarnya historis meski di dalamnya ada kehendak Tuhan yang suprahistoris. Al-Qur’an itu sendiri historis karena diturunkan di tanah Arab dengan menggunakan bahasa Arab yang digunakan saat itu.

Dimensi sejarah yang dimaksud oleh Nasr Hamid berkaitan dengan historisitas konsep-konsep yang dilontarkan teks melalui aspek tersuratnya.

Historisitas bahasa, terletak pada sosiologitasnya. Dengan membaca konsep historisitas bahasa Nasr Hamid, dapat dipahami bahwa dimensi sosial sangat berpengaruh terhadap karakter teks, dan apabila dimensi sosial ini diabaikan maka makna teks juga akan terabaikan. Ia juga memberi catatan bahwa berpegang teguh pada historisitas teks bukan berarti menunjukkan ketidakmampuan teks untuk memproduksi makna, atau tidak mampu untuk berbicara pada masa berikutnya atau kepada masyarakat lain. Hal ini disebabkan dalam melakukan pembacaan teks didasarkan pada dua mekanisme yang integral, yakni: menyembunyikan (al- ikhfa’) dan menyingkap (al-kasyaf).33 Dalam artian menyembunyikan sesuatu yang tidak substansial dan menyingkap sesuatu yang substansial.

Seperti halnya pendapat ulama-ulama Islam klasik maupun modern, Nasr Hamid apabila dilihat dari corak pemikirannya tidak berbeda dengan Barlas yang tetap berpendapat bahwa Al-Qur’an sebagai wacana suci pada dasarnya adalah wacana yang tidak bisa ditiru, diganggu dan diperdebatkan, namun pemahaman (tafsir) terhadap kitab suci tersebut bisa diperdebatkan. Pandangan demikian mengingatkan pada pandangan seorang tokoh – sebagaimana deskripsi Syafiq Hasyim– dalam sebuah pengantar mengutip pendapat Abdul Karim Soroush yang memisahkan antara agama (religion) dan pengetahuan agama (religious knowledge). Kalau agama adalah kebenarannya tidak bisa diganggu gugat, sedangkan pengetahuan akan agama adalah bentuk penafsiran seseorang terhadap agama tersebut, yang kebenarannya sangat relatif dan bisa diperdebatkan. Menurut Nasr Hamid, kedudukan tidak setara antara laki-laki dan perempuan yang terdapat dalam Al-Qur’an lebih didasarkan atas hubungan- hubungan patriarkhal kesukuan.