Pada hakekatnya, manusia selalu membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan sosialnya. Manusia akan menjalin hubungan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya akan penerimaan, rasa cinta, dan kasih sayang (Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012). Menemukan orang lain sebagai pasangan dan pendamping hidup menjadi pusat dari interaksi sosial yang dilakukan manusia dalam kesehariannya (Atwater, 1983). Untuk menemukan seseorang yang ideal sebagai pasangan, setiap individu melalui proses yang beragam. Dalam proses ini, individu bertemu dan berkenalan dengan ribuan orang lainnya dan hanya akan memilih satu dari ribuan orang tersebut untuk dijadikan sebagai pasangan hidup. Proses ini terjadi melalui berbagai tahapan yang secara umum dilakukan melalui interaksi sosial, menemukan kecocokan dan kesamaan prinsip dengan orang lain, membangun komunikasi yang baik, menunjukkan keterbukaan, menentukan peran dalam hubungan, menetapkan peran yang setara, serta menjalin hubungan intim yang terbuka (Lewis dalam Duvall & Miller, 1985). Kriteria masing-masing individu dalam memilih sosok pasangan yang mereka harapkan memberikan pengaruh besar dalam perbedaan proses pemilihan pasangan yang dijalani individu.
Dalam usaha untuk menemukan pasangan hidup, individu membentuk kriteria-kriteria pasangan ideal yang mereka inginkan. Kriteria ini mencakup daya tarik fisik, kemiripan, kesamaan latar belakang, kedekatan, serta perasaan-perasaan positif yang dikembangkan oleh individu. Kriteria ini menjadi acuan bagi individu dalam memilih pasangan (Atwater, 1983). Dalam memilih pasangan, setiap proses yang dijalani akan mengarahkan individu pada penerapan pola yang berbeda-beda. Pola pemilihan pasangan menurut (Olson & Defrain, 2003) dapat dilakukan melalui proses berkencan, perjodohan, pertemuan dalam one night stand, atau mengikuti proses dalam teori Filter dan Stimulus-Role-Value dengan kriteria pemilihan pasangan secara homogamy atau complementary. Wisnuwardhani &
Mashoedi (2012) mengemukakan beberapa pola pemilihan pasangan yang juga dapat dilakukan oleh individu, yakni pemilihan pasangan yang didasari oleh teori Psikodinamika, teori Kebutuhan, serta teori Exchange.
Proses pemilihan pasangan ini dapat dipengaruhi oleh banyak hal, khususnya orientasi seksual. Orientasi seksual adalah pola yang unik dari dorongan seksual dan romantis, perilaku, dan identitas yang di ekspresikan oleh individu (Lehmiller, 2014). Berdasarkan kontinum Kinsey (dalam Lehmiller, 2014), orientasi seksual dibedakan ke dalam 7 kategori, yaitu heteroseksual (skala 0), heteroseksual dengan kecenderungan homoseksual (skala 1), heteroseksual dengan pengalaman homoseksual (skala 2), heteroseksual sekaligus homoseksual (biseksual yang berada pada skala 3), homoseksual dengan pengalaman heteroseksual (skala 4), homoseksual dengan kecenderungan heteroseksual (skala 5), dan homoseksual (skala 6), dimana peneliti akan melibatkan 3 subjek wanita dengan masing-masing orientasi seksual yang berada pada skala 2, 3, dan 4 pada kontinum Kinsey.
Orientasi seksual menentukan kriteria individu terhadap pasangan ideal mereka sehingga berdampak terhadap proses pemilihan pasangan. Pada heteroseksual, individu secara jelas memiliki kecenderungan untuk tertarik secara seksual kepada lawan jenis yang dianggapnya sebagai kriteria pasangan ideal, homoseksual memiliki ketertarikan seksual terhadap sesama jenis, sedangkan biseksual memiliki ketertarikan seksual terhadap sesama jenis dan lawan jenis (Weinberg, dkk., 1995). Dari hasil penelitian yang dilakukan Lippa (2013), individu dengan orientasi biseksual menampilkan pola ketertarikan ganda terhadap model pria maupun wanita berdasarkan foto-foto dari para model yang telah ditampilkan, sehingga hal ini membedakan pola ketertarikan mereka dengan pola ketertarikan pada partisipan homoseksual dan heteroseksual.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mu’allafah (2012), kecenderungan biseksual muncul dari dinamika kepribadian individu yang didominasi oleh id, yaitu dorongan dan
hasrat dalam diri individu, serta kondisi ego (kesadaran) dan superego (nilai-nilai moral) yang lemah. Kondisi ini memperkuat keinginan individu dalam melakukan aktivitas seksual dengan lawan jenis maupun sesama jenis (Mu’allafah, 2012). Beberapa biseksual dapat memilih apakah mereka akan menjadi homoseksual atau heteroseksual untuk seterusnya. Hal ini dibuktikan dalam penelitian Widiarto (2010) dimana subjek penelitiannya yang merupakan seorang wanita biseksual memutuskan untuk kembali menjadi heteroseksual dengan memulihkan kembali kepercayaan dirinya dengan adanya kondisi locus of control internal yang lebih dominan dibandingkan locus of control eksternal.
Luasnya kriteria pasangan ideal bagi biseksual dapat menimbulkan dilema bagi para biseksual dalam memilih pasangan hidup. Dilema yang dialami biseksual ini juga dapat mengarah pada berbagai konflik, seperti konflik komitmen, perselingkuhan, serta konflik sosial budaya sehingga menumbuhkan kondisi psikologis khusus pada biseksual, seperti yang dikatakan Herma (2013) dalam penelitiannya terkait kondisi psikologis pada biseksual. Dalam penelitian ini, subjek menunjukkan kecemasan yang diakibatkan kebimbangan dalam menampilkan perilaku umum dan perilaku seksualnya serta kurangnya penerimaan sosial dari masyarakat (Herma, 2013). Kondisi ini didukung oleh penelitian Vitasandy & Zulkaida (2006) yang dalam hasil penelitiannya memberikan kesimpulan bahwa konsep diri seorang biseksual dipengaruhi oleh konflik-konflik terkait orientasinya, dimana konflik yang dialami akan mengarahkan individu biseksual pada konsep diri negatif, dan jika tidak terjadi konflik, maka individu akan memiliki konsep diri yang positif.
Konflik komitmen, menurut Bigner dan Wetchler (2012) adalah hal yang paling sering terjadi pada pasangan dengan salah satu individunya yang berorientasi biseksual. Seringkali, ketika pasangan heteroseksual telah menjalani hubungan monogami dalam jangka waktu yang lama, masalah muncul secara tiba-tiba ketika salah satu pasangan mengakui dirinya adalah biseksual. Hal itu diperparah karena pengakuan salah satu pasangan tersebut didasari
oleh perselingkuhannya dengan sesama jenis yang belakangan baru diketahui oleh pasangannya (Armstrong & Reissing, 2014). Konflik komitmen dan perselingkuhan ini cukup sering ditemui dan seringkali merugikan kedua belah pihak, baik individu heteroseksual atau homoseksual yang terlibat hubungan dengan individu biseksual maupun individu biseksual itu sendiri. Konflik ini dapat menyebabkan trauma atas rasa percaya terhadap pasangan, trauma dalam membangun hubungan, rasa bersalah, kecewa, serta sakit hati yang berkepanjangan. Penelitian yang dilakukan Armstrong & Reissing (2014) juga menghasilkan kesimpulan bahwa sebagian besar pria tidak menginginkan untuk berada dalam hubungan romantis dan berkomitmen dengan wanita biseksual dan akan lebih memilih untuk membangun hubungan berkomitmen dengan wanita heteroseksual.
Tidak hanya dipandang negatif dalam hubungan romantis, biseksual juga seringkali dilihat sebagai orang yang tidak patut dipercaya dalam hal pertemanan (Gustavson, 2009; Israel & Mohr, 2004; Kleese, 2005; McLean, 2004; Mohr & Rochlen, 1999; Spalding & Peplau, 1997 dalam Armstrong & Reissing, 2014). Kualitas hubungan yang dibangun oleh biseksual dipandang rendah dan pasangan mereka cenderung berpikir bahwa mereka akan berselingkuh dan menyebarkan penyakit menular seksual pada pasangan romantisnya. Pandangan negatif terhadap biseksual ini disebut dengan binegativity atau biphobia, yakni setiap prasangka yang diarahkan kepada individu dengan orientasi biseksual (Yost & Thomas dalam Armstrong & Reissing, 2014).
Konflik sosial budaya dapat terjadi ketika individu mengungkapan identitasnya sebagai biseksual terhadap pasangan, keluarga, maupun masyarakat. Sebagian besar masyarakat belum sepenuhnya mampu menerima identitas biseksual sebagai orientasi yang wajar, sehingga masyarakat cenderung menolak orientasi biseksual termasuk orang-orang yang menyandang identitas tersebut (UNDP & USAID, 2014). Hasil penelitian yang dilakukan McAllum (2014) menyatakan bahwa diskriminasi terhadap wanita biseksual tidak
hanya terjadi di lingkungan masyarakat, tetapi juga di lingkungan sekolah. Perlakuan diskriminatif yang dialami wanita biseksual di lingkungan sekolah dalam penelitian McAllum (2014) tidak hanya datang dari sesama siswa, tetapi juga dari para guru. Tindak diskriminatif yang dilakukan para siswa umumnya mencakup kekerasan secara verbal seperti hinaan, ejekan, dan bahasa kasar, serta kekerasan non-verbal, seperti menjambak rambut dan memukul, sedangkan tindak diskriminatif yang dilakukan para guru berupa tindakan mempermalukan diri subjek di depan seluruh siswa. Penelitian yang dilakukan Herma (2013) menghasilkan kesimpulan bahwa ketiga subjek dalam penelitian mengalami kecemasan terkait keharusan untuk menunjukkan perilaku umum dan keinginan untuk menampilkan perilaku seksual serta reaksi masyarakat yang belum sepenuhnya menerima identitas dirinya. Reaksi dari masyarakat dan orang-orang di sekitarnya memunculkan keraguan tersendiri bagi individu dalam menerima identitas dirinya (Herma, 2013).
Penolakan terhadap biseksual, khususnya pada biseksual wanita, tidak hanya ditemukan berasal dari kalangan heteroseksual ataupun masyarakat umum, tetapi juga dari kalangan homoseksual wanita (lesbian). Dari hasil penelitian yang dilakukan Hutchins & Ka’ahumanu dan Weise (dalam Rust, 1995), biseksual mengaku bahwa mereka sering menjadi objek hinaan dan pengabaian oleh lesbian. Demikian pula pengakuan dari seorang lesbian yang juga menulis dalam bukunya bahwa dirinya sempat melihat biseksual sebagai ancaman bagi masa depan kelompok lesbian (Stone dalam Caldwell, 2010).
Dalam kelompok akademik yang membahas tentang pernikahan sesama jenis sekalipun, biseksualitas sangat dimarginalkan, dikutuk, dan dianggap seolah-olah tidak nyata (Galupo, 2009). Di kalangan penelitian, sebagian besar kelompok ilmiah mengelompokkan orientasi seksual hanya ke dalam dua kelompok, yakni heteroseksual dan homoseksual, sehingga orientasi biseksual itu sendiri dianggap tidak benar-benar ada (Sears, 2014). Sebagian masyarakat yang melakukan tindak diskriminatif berupa kekerasan verbal
juga cenderung mengelompokkan biseksual ke dalam kelompok gay atau lesbian, dan mengesampingkan identitasnya sebagai biseksual (McAllum, 2014).
Penolakan dari berbagai kelompok masyarakat akan menanamkan rasa malu, rasa bersalah, serta dilema pada diri individu biseksual. Hal tersebut menjadi hipotesis dalam penelitian ini, sehingga penelitian ini difokuskan untuk meneliti bagaimana hal tersebut berpengaruh terhadap proses pemilihan pasangan yang diterapkan oleh para biseksual.
Penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan karena studi terkait biseksual sangat jarang dilakukan dan jarang ditemui sehingga orientasi biseksual menjadi orientasi yang paling sulit dipahami, sulit dimengerti, dan selalu terpinggirkan (Brannon, 2011). Sejauh ini telah terdapat beberapa studi penelitian mengenai biseksual, namun mencakup jumlah yang sangat sedikit dibandingkan dengan studi terkait perilaku heteroseksual dan homoseksual (Himawan, 2007).
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan membandingkan proses pemilihan pasangan pada wanita biseksual dalam skala 3 di Kontinum Kinsey (dalam Lehmiller, 2014) dengan proses yang dilalui oleh wanita dengan taraf biseksualitas pada skala 2, yaitu wanita heteroseksual dengan pengalaman homoseksual serta wanita dengan taraf biseksualitas pada skala 4, yaitu wanita homoseksual dengan pengalaman heteroseksual. Penelitian ini juga melibatkan subjek wanita yang berperan sebagai femme dalam hubungan dengan orientasi biseksual. Pemilihan subjek yang didasari oleh kategori dalam kontinum Kinsey dilakukan berdasarkan asumsi peneliti bahwa adanya perbedaan taraf biseksualitas pada individu akan mengarahkan individu pada proses pemilihan pasangan yang berbeda. Hal ini didukung pula oleh pernyataan Kinsey (dalam Lehmiller, 2014) bahwa perbedaan taraf biseksualitas ini memungkinkan masing-masing individu pada tiap kontinum untuk memiliki pola ketertarikan, perilaku, dan identitas yang berbeda dan dapat berubah seiring waktu.
Pemilihan subjek dengan taraf biseksualitas pada skala 3 dilakukan karena individu pada skala ini menyukai pria dan wanita dengan tingkat ketertarikan yang sama sehingga mereka seringkali dikaitkan dengan dilema dalam memilih pasangan. Pemilihan subjek dengan taraf biseksualitas pada skala 2 dan 4 dilakukan karena individu pada taraf ini mendekati taraf biseksualitas pada skala 3 sehingga turut diasumsikan mengalami kesulitan dan dilema yang sama dalam proses pemilihan pasangan. Pemilihan ketiga subjek ini dilakukan untuk memperdalam data terkait proses pemilihan pasangan yang dialami masing-masing subjek melalui perbandingan di antara ketiganya.
Skema hubungan antara proses pemilihan pasangan dengan orientasi seksual ganda akan dipersingkat melalui gambar berikut ini.
Gambar 7. Hubungan Proses Pemilihan Pasangan dengan Orientasi Biseksual
D. Pertanyaan Utama Penelitian