• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB X ANGKUTAN UDARA

Paragraf 14 Persyaratan Khusus

Pasal 186

(1) Pengangkut dilarang membuat perjanjian atau persyaratan khusus yang meniadakan tanggung jawab pengangkut atau menentukan batas yang lebih rendah dari batas ganti kerugian yang diatur dalam undang-undang ini.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab pengangkut diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kesembilan Angkutan Multimoda

Pasal 187

(1) Angkutan udara dapat merupakan bagian angkutan multimoda yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan multimoda.

(2) Kegiatan angkutan udara dalam angkutan multimoda dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat antara badan usaha angkutan udara dan badan usaha angkutan multimoda, dan/atau badan usaha moda lainnya.

Pasal 188

Angkutan multimoda dilakukan oleh badan usaha yang telah mendapat izin untuk melakukan angkutan multimoda dari Menteri.

Pasal 189

(1) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 bertanggung jawab (liability) terhadap barang kiriman sejak diterima sampai diserahkan kepada penerima barang.

(2) Tanggung jawab angkutan multimoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang serta keterlambatan penyerahan barang.

(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan dalam hal badan usaha angkutan multimoda atau agennya dapat membuktikan telah dilaksanakannya segala prosedur untuk mencegah terjadinya kehilangan, kerusakan barang, serta keterlambatan penyerahan barang. (4) Tanggung jawab badan usaha angkutan multimoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat

terbatas.

Pasal 190

Badan usaha angkutan multimoda wajib mengasuransikan tanggung jawabnya.

Pasal 191

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI

KEBANDARUDARAAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 192

Bandar udara terdiri atas:

a. bandar udara umum, yang selanjutnya disebut bandar udara; dan b. bandar udara khusus.

Bagian Kedua

Tatanan Kebandarudaraan Nasional

Pasal 193

(1) Tatanan kebandarudaraan nasional diwujudkan dalam rangka penyelenggaraan bandar udara yang andal, terpadu, efisien, serta mempunyai daya saing global untuk menunjang pembangunan nasional dan daerah yang berwawasan Nusantara.

(2) Tatanan kebandarudaraan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem

perencanaan kebandarudaraan nasional yang menggambarkan interdependensi, interrelasi, dan sinergi antar-unsur yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, geografis, potensi ekonomi, dan pertahanan keamanan dalam rangka mencapai tujuan nasional.

(3) Tatanan kebandarudaraan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. peran, fungsi, penggunaan, hierarki, dan klasifikasi bandar udara; serta b. rencana induk nasional bandar udara.

Pasal 194

Bandar udara memiliki peran sebagai:

a. simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hierarkinya; b. pintu gerbang kegiatan perekonomian;

c. tempat kegiatan alih moda transportasi;

d. pendorong dan penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan;

e. pembuka isolasi daerah, pengembangan daerah perbatasan, dan penanganan bencana; serta f. prasarana memperkukuh Wawasan Nusantara dan kedaulatan negara.

Pasal 195

Bandar udara berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan: a. pemerintahan; dan/atau

b. pengusahaan.

Pasal 196

Pasal 197

(1) Hierarki bandar udara terdiri atas bandar udara pengumpul (hub) dan Bandar udara pengumpan (spoke). (2) Bandar udara pengumpul sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas bandar udara pengumpul

dengan skala pelayanan primer, sekunder, dan tersier.

(3) Bandar udara pengumpan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bandar udara tujuan atau penunjang dari bandar udara pengumpul dan merupakan salah satu prasarana penunjang pelayanan kegiatan lokal.

Pasal 198

Klasifikasi bandar udara terdiri atas beberapa kelas bandar udara yang ditetapkan berdasarkan kapasitas pelayanan dan kegiatan operasional bandar udara.

Pasal 199

(1) Rencana induk nasional bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (3) huruf b merupakan pedoman dalam penetapan lokasi, penyusunan rencana induk, pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan bandar udara.

(2) Rencana induk nasional bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan:

a. rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;

b. potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah; c. potensi sumber daya alam;

d. perkembangan lingkungan strategis, baik nasional maupun internasional; e. sistem transportasi nasional;

f. keterpaduan intermoda dan multimoda; serta g. peran bandar udara.

(3) Rencana induk nasional bandar udara memuat: a. kebijakan nasional bandar udara; dan

b. rencana lokasi bandar udara beserta penggunaan, hierarki, dan klasifikasi bandar udara.

Pasal 200

(1) Menteri menetapkan tatanan kebandarudaraan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.

(2) Tatanan kebandarudaraan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

(3) Dalam hal terjadi perubahan kondisi lingkungan strategis, tatanan kebandarudaraan nasional dapat ditinjau lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga

Penetapan Lokasi Bandar Udara

Pasal 201

(1) Lokasi bandar udara ditetapkan oleh Menteri.

(2) Penetapan lokasi bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. titik koordinat bandar udara; dan

b. rencana induk bandar udara.

(3) Penetapan lokasi bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan: a. rencana induk nasional bandar udara;

b. keselamatan dan keamanan penerbangan;

c. keserasian dan keseimbangan dengan budaya setempat dan kegiatan lain terkait di lokasi bandar udara;

d. kelayakan ekonomis, finansial, sosial, pengembangan wilayah, teknis pembangunan, dan pengoperasian; serta

e. kelayakan lingkungan.

Pasal 202

Rencana induk bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (2) huruf b paling sedikit memuat: a. prakiraan permintaan kebutuhan pelayanan penumpang dan kargo;

b. kebutuhan fasilitas; c. tata letak fasilitas;

d. tahapan pelaksanaan pembangunan; e. kebutuhan dan pemanfaatan lahan; f. daerah lingkungan kerja; g. daerah lingkungan kepentingan;

h. kawasan keselamatan operasi penerbangan; dan i. batas kawasan kebisingan.

Pasal 203

(1) Daerah lingkungan kerja bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf f merupakan daerah yang dikuasai badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara, yang digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas bandar udara.

(2) Pada daerah lingkungan kerja bandar udara yang telah ditetapkan, dapat diberikan hak pengelolaan atas tanah dan/atau pemanfaatan perairan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 204

(1) Dalam pelayanan kegiatan angkutan udara dapat ditetapkan tempat pelaporan keberangkatan (city check in counter) di luar daerah lingkungan kerja bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri.

(2) Tempat pelaporan keberangkatan (city check in counter) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daerah lingkungan kerja bandar udara dan harus memperhatikan aspek keamanan penerbangan.

Pasal 205

(1) Daerah lingkungan kepentingan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf g

merupakan daerah di luar lingkungan kerja bandar udara yang digunakan untuk menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan, serta kelancaran aksesibilitas penumpang dan kargo.

(2) Pemanfaatan daerah lingkungan kepentingan bandar udara harus mendapatkan persetujuan dari Menteri.

Pasal 206

Kawasan keselamatan operasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf h terdiri atas: a. kawasan ancangan pendaratan dan lepas landas;

b. kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan; c. kawasan di bawah permukaan transisi;

d. kawasan di bawah permukaan horizontal-dalam; e. kawasan di bawah permukaan kerucut; dan f. kawasan di bawah permukaan horizontal-luar.

Pasal 207

Batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf i merupakan kawasan tertentu di sekitar bandar udara yang terpengaruh gelombang suara mesin pesawat udara yang terdiri atas:

a. kebisingan tingkat I; b. kebisingan tingkat II; dan c. kebisingan tingkat III.

Pasal 208

(1) Untuk mendirikan, mengubah, atau melestarikan bangunan, serta menanam atau memelihara pepohonan di dalam kawasan keselamatan operasi penerbangan tidak boleh melebihi batas ketinggian kawasan keselamatan operasi penerbangan.

(2) Pengecualian terhadap ketentuan mendirikan, mengubah, atau melestarikan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan Menteri, dan memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. merupakan fasilitas yang mutlak diperlukan untuk operasi penerbangan;

c. sesuai dengan ketentuan teknis keselamatan operasi penerbangan.

(3) Bangunan yang melebihi batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diinformasikan melalui pelayanan informasi aeronautika (aeronautical information service).

Pasal 209

Batas daerah lingkungan kerja, daerah lingkungan kepentingan, kawasan keselamatan operasi penerbangan, dan batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i ditetapkan dengan koordinat geografis.

Pasal 210

Setiap orang dilarang berada di daerah tertentu di bandar udara, membuat halangan (obstacle), dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan, kecuali memperoleh izin dari otoritas bandar udara.

Pasal 211

(1) Untuk menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan serta pengembangan bandar udara, pemerintah daerah wajib mengendalikan daerah lingkungan kepentingan bandar udara.

(2) Untuk mengendalikan daerah lingkungan kepentingan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah wajib menetapkan rencana rinci tata ruang kawasan di sekitar bandar udara dengan memperhatikan rencana induk bandar udara dan rencana induk nasional bandar udara.

Pasal 212

Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menjamin tersedianya aksesibilitas dan utilitas untuk menunjang pelayanan bandar udara.

Pasal 213

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan lokasi bandar udara dan tempat pelayanan penunjang di luar daerah lingkungan kerja diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat Pembangunan Bandar Udara

Pasal 214

Bandar udara sebagai bangunan gedung dengan fungsi khusus, pembangunannya wajib memperhatikan ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, mutu pelayanan jasa kebandarudaraan, kelestarian lingkungan, serta keterpaduan intermoda dan multimoda.

Pasal 215

pemerintah daerah.

(2) Izin mendirikan bangunan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan setelah memenuhi persyaratan:

a. bukti kepemilikan dan/atau penguasaan lahan;

b. rekomendasi yang diberikan oleh instansi terkait terhadap utilitas dan aksesibilitas dalam penyelenggaraan bandar udara;

c. bukti penetapan lokasi bandar udara;

d. rancangan teknik terinci fasilitas pokok bandar udara; dan e. kelestarian lingkungan.

Pasal 216

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan bandar udara diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima

Pengoperasian Bandar Udara

Paragraf 1

Sertifikasi Operasi Bandar Udara

Pasal 217

(1) Setiap bandar udara yang dioperasikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, serta ketentuan pelayanan jasa bandar udara.

(2) Bandar udara yang telah memenuhi ketentuan keselamatan penerbangan, Menteri memberikan:

a. sertifikat bandar udara, untuk bandar udara yang melayani pesawat udara dengan kapasitas lebih dari 30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat maksimum tinggal landas lebih dari 5.700 (lima ribu tujuh ratus) kilogram; atau

b. register bandar udara, untuk bandar udara yang melayani pesawat udara dengan kapasitas maksimum 30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat maksimum tinggal landas sampai dengan 5.700 (lima ribu tujuh ratus) kilogram.

(3) Sertifikat bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, diberikan setelah bandar udara memiliki buku pedoman pengoperasian bandar udara (aerodrome manual) yang memenuhi persyaratan teknis tentang:

a. personel; b. fasilitas;

c. prosedur operasi bandar udara; dan

d. sistem manajemen keselamatan operasi bandar udara.

(4) Register bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan setelah bandar udara memiliki buku pedoman pengoperasian bandar udara yang memenuhi persyaratan teknis tentang:

a. personel; b. fasilitas; dan

c. prosedur operasi bandar udara.

(5) Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara tidak memenuhi ketentuan pelayanan jasa bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

a. peringatan;

b. penurunan tarif jasa bandar udara; dan/atau c. pencabutan sertifikat.

Pasal 218

Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan penerbangan, pelayanan jasa bandar udara, serta tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau register bandar udara dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 2

Dokumen terkait