• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persyaratan Teknis Geometrik Jalan Bagian-bagian jalan terdiri dari:

a. Jalur lalu-lintas adalah bagian daerah manfaat jalan yang direncanakan khusus untuk lintasan kendaraan bermotor (beroda empat atau lebih) dan biasanya diperkeras.

b. Lajur lalu-lintas adalah bagian dari luar lalu lintas yang memanjang dibatasi oleh marka lajur jalan yang memiliki cukup untuk kendaraan bermotor sesuai rencana (kendaraan rencana).

c. Bahu jalan adalah bagian dari jalan yang terletak pada tepi kiri atau kanan jalan dan berfungsi sebagai: jalur lalu lintas darurat, tempat berhenti sementara, ruang bebas samping, penyangga kestabilan badan jalan, jalur sepeda (bahu diperkeras).

d. Trotoar (bahu jalan) adalah bagian jalan atau bahu jalan yang terletak di tepi kiri/kanan jalan, berfungsi sebagai jalur pejalan kaki.

e. Saluran drainase adalah bagian dari jalan yang terletak di kiri/kanan jalan berfungsi sebagai pengeringan jalur jalan.

f. Sempadan bangunan adalah bagian ruang sepanjang jalan setengah dari bagian jalan yang dikuasai oleh pembina jalan diperuntukkan bagi daerah manfaat jalan (DAMAJA).

g. Daerah Manfaat Jalan (DAMAJA) adalah merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar tinggi dan kedalaman ruang batas tertentu. Ruang tersebut dipertuntukkan bagi median, perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan dan bangunan pelengkap lainnya.

h. Daerah Milik Jalan (DAMIJA) adalah merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang dikuasai oleh Pembina Jalan. DAMIJA ini diperuntukkan bagi daerah manfaat jalan (DAMAJA) dan pelebaran jalan maupun penambahan jalur lalu-lintas dikemudian hari serta kebutuhan ruang untuk pengamanan jalan.

i. Daerah pengawasan jalan (DAWASJA) adalah merupakan ruang sepanjang jalan di luar daerah milik jalan (DAMIJA) yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu, dan di peruntukkan bagi pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan, seperti bagian dari jalan pada (Gambar 2.11).

Gambar 2.11 Bagian–bagian jalan Sumber: Badan Standarisasi Nasional (BSN) Keterangan:

a. Jalur lalu lintas b. lajur lalu lintas c. Bahu jalan d. Jalur pejalan kaki e. Saluran drainase f . Sempadan bangunan

h. Daerah milik jalan (damija)

i . Daerah pengawasan jalan (dawasja) j. Jalur hijau.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor KM 34 Tahun 2006, pasal 44 ayat (1), (2), (3) dan (4) tentang Ruang Pengawasan Jalan sebagai berikut:

1. Ruang pengawasan jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang penggunaannya ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan.

2. Ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan serta pengamanan fungsi jalan.

3. Ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ruang sepanjang jalan diluar ruang milik jalan yang dibatasi oleh lebar oleh lebar dan tinggi tertentu.

4. Dalam hal ruang milik jalan tidak cukup luas, lebar ruang pengawasan jalan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) ditentukan dari tepi badan jalan paling sedikit dengan ukuran sebagai berikut:

a. Jalan arteri primer 15 (limabelas) meter, b. jalan kolektor primer 10 (sepuluh) meter, c. jalan lokal primer 7 (tujuh) meter,

e. jalan arteri sekunder 15 (limabelas) meter, f. jalan kolektor sekunder 5 (lima) meter, g. jalan lokal sekunder 3 (tiga) meter,

h. jalan lingkungan sekunder 2 (dua) meter; dan i. jembatan 100 (seratus) meter kearah hilir dan hulu. 2.11 Analisis Kapasitas Jalan Kota

2.11.1 Arus dan komposisi lalu-lintas

Nilai volume arus lalulintas (Q) mencerminkan komposisi lalulintas, dengan menyatakan arus dalam satuan mobil penumpang (smp). Semua nilai arus lalulintas (per arah dan total) diubah menjadi satuan mobil penumpang (smp) dengan menggunakan ekivalensi mobil penumpang (emp) untuk jenis kenderaan berikut:

1. Kenderaan ringan (Light Vehicle/LV); termasuk mobil penumpang, mini bus, pick up, truk kecil dan jeep.

2. Kenderaan berat (Heavy Vehicle/HV); termasuk truck dan bus. 3. Sepeda motor (Motor cycle/MC).

Situasi lalu lintas untuk tahun yang dianalisa ditentukan menurut Arus jam Rencana, atau lalu lintas Harian Rata-rata Tahunan (LHRT) dengan Faktor yang sesuai untuk konversi dari LHRT menjadi arus per jam (umum untuk perancangan).

Ekivalensi mobil penumpang (emp) untuk masing-masing jenis kenderaan tergantung pada tipe jalan dan arus lalulintas total, yang dinyatakan dalam

Tabel 2.6 Ekivalensi mobil penumpang (emp) untuk jalan perkotaan tak-terbagi Tipe jalan: Arus lalu lintas emp

Jalan tak terbagi total dua arah MC

(Kend./jam) HV Lebar jalur lalu lintas Wc(m) ≤ 6 > 6 Dua-lajur tak terbagi 0 1,3 0,5 0,4 (2/2 UD) ≥ 1800 1,2 0,35 0,25 Empat lajur tak terbagi 0 1,3 0,40

(4/2 UD) ≥ 3700 1,2 0,25 Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997

Tabel 2.7 Ekivalensi mobil penumpang (emp) Untuk Jalan Perkotaan Terbagi dan satu arah.

Tipe jalan: Arus lalu -lntas Emp

Jalan satu arah dan per jalur

HV MC

jalan terbagi (kend./jam)

Dua-lajur satu arah (2/1) 0 1,3 0,40

Dan

Empat-lajur terbagi (4/2 D) ≥ 1050 1,2 0,25

Tiga-lajur satu arah (3/1) 0 1,3 0,40

Dan

Enam-lajur terbagi (6/2 D) ≥ 1100 1,2 0,25

Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997

2.11.2 Kapasitas

Kapasitas didefenisikan sebagai arus maksimum yang melalui suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu, dan dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp). Untuk jalan dua lajur dua arah, kapasitas

ditentukan untuk dua arah (kombinasi dua arah), sedangkan untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan kapasitas ditentukan per-lajur.

Persamaan dasar untuk menentukan kapasitas adalah:

C = Co x FCw x FCsP x FCsF x FCcs ……….……..………..… (2.1) Dimana:

C = kapasitas (smp/jam).

Co = kapasitas dasar (smp/jam), tergantung pada tipe jalan, jumlah lajur dan pemisahan arus, seperti terlihat pada (tabel 2.8).

FCw = faktor penyesuaian kapasitas untuk lebar jalur lau lintas seperti terlihat pada (tabel 2.9).

FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah, hanya untuk jalan tak terbagi, seperti terlihat pada (tabel 2.10).

FCsF = factor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping dan bahu jalan/kerb, seperti terlihat pada (tabel 2.11).

FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota, seperti terlihat pada (tabel 2.12). Tabel 2.8 Kapasitas Dasar Jalan Kota. (Co)

Tipe jalan Kapasitas dasar Catatan

(smp/jam)

Empat-lajur terbagi atau jalan satu arah 1650 Per lajur

Empat-lajur tak-terbagi 1500 Per lajur

Dua-lajur tak-terbagi 2900 Total dua arah

Tabel 2.9 Faktor Penyesuaian Lebar Jalan (FCw)

Tipe jalan Lebar jalur lalu-lintas efektif (Wc) FCw (m)

Empat-lajur terbagi atau Per lajur

jalan satu arah 3,00 0,92

3,25 0,96

3,50 1,00

3,75 1,04

4,00 1,08

Empat-lajur tak - terbagi Per lajur

3,00 0,91

3,25 0,95

3,50 1,00

3,75 1,05

4,00 1,09

Dua-lajur tak - terbagi Per lajur

5 0,56 6 0,87 7 1,00 8 1,14 9 1,25 10 1,29 11 1,34

Sumber: Ditjen Bina Marga 1997

Tabel 2.10 Faktor penyesuaian pemisah arah (FCsP)

Pemisahan arah SP % - % 50 - 50 55 - 45 60 - 40 65- 35 70 - 30 FCsp Dua-lajur 2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88 Empat -lajur 4/2 1,00 0,985 0,97 0,955 0,94 Sumber: Ditjen Bina marga 1997

Tabel 2.11 Faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping (FCsF)

Tipe jalan

Kelas

Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan lebar bahu

hambatan FCsf

samping Lebar bahu efektif Ws

≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0 4/2 D VL 0,96 0,98 1,01 1,03 L 0,94 0,97 1,00 1,02 M 0,92 0,95 0,98 1,00 H 0,88 0,92 0,95 0,98 VH 0,84 0,88 0,92 0,96 4/2 UD VL 0,96 0,99 1,01 1,03 L 0,94 0,97 1,00 1,02 M 0,92 0,95 0,98 1,00 H 0,87 0,91 0,94 0,98 VH 0,80 0,86 0,90 0,95 2/2 UD VL 0,94 0,96 0,99 1,01 Atau jalan L 0,92 0,94 0,97 1,00 satu arah M 0,89 0,92 0,95 0,98 H 0,82 0,86 0,90 0,95 VH 0,73 0,79 0,85 0,91

Sumber: Ditjen Bina Marga 1997

Tabel 2.12 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCcs)

Ukuran kota (juta penduduk) Faktor penyesuaian untuk ukuran kota

< 0,1 0,90

0,1 - 0,5 0,93

0,5 - 1,0 0,95

1,0 - 3,0 1,00

> 3 1,03

Jika kondisi sesungguhnya sama dengan kondisi dasar (ideal) yang ditentukan sebelumnya, maka semua faktor penyesuaian menjadi 1,0 dan kapasitas menjadi sama dengan kapasitas dasar.

2.11.3 Kecepatan arus bebas

Kecepatan arus bebas (FV) didefenisikan sebagai kecepatan pada tingkat arus bebas (free flow speed), yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai kenderaan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kenderaan lain di jalan. Persamaan untuk penentuan arus bebas memiliki bentuk umum:

FV = (FVo + FVw) x FFVsF x FFVcs ……….…..……… (2.2) Dimana:

FV = kecepatan arus bebas kenderaan ringan pada kondisi lapangan (km/jam).

FVo = kecepatan arus bebas dasar kenderaan ringan pada jalan yang diamati seperti pada (tabel 2.13).

FVw = penyesuaian kecepatan untuk lebar jalan, seperti pada (tabel 2.14). FFVsF= faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan lebar bahu atau jarak kerb penghalang.seperti pada (tabel 2.15).

FFVcs= faktor penyesuaian kecepatan untuk ukuran kota, seperti pada (tabel 2.16).

Tabel 2.13 Kecepatan Arus Bebas Dasar (FVo) Kecepatan arus bebas dasar (Fvo) (Km/jam)

Kendaraan Kendaraan Sepeda Semua Tipe jalan ringan berat motor kendaraan (LV) (HC) (MC) Rata-rata

Tabel 2.13 (lanjutan)

(6/2 D) – (3/1) 61 52 48 57

(4/2 D) – (2/1) 57 50 47 55

(4/2 UD) 53 46 43 51

(2/2 UD) 44 40 40 42 Sumber: Ditjen Bina marga 1997

Tabel 2.14 Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Untuk Lebar Jalur Lalu-lintas (FVw) Tipe jalan Lebar jalur lalu-lintas efektif (Wc) FVw

(m) Empat-lajur terbagi atau Per lajur

jalan satu arah 3,00 -4

3,25 -2

3,50 0

3,75 2

4,00 4

Empat-lajur tak - terbagi Per lajur

3,00 -4

3,25 -2

3,50 0

3,75 2

4,00 4

Dua-lajur tak - terbagi Per lajur

5 -95 6 -3 7 0 8 3 9 4 10 6 11 7

Tabel 2.15 Faktor Penyesuaian Kecepatan untuk Hambatan Samping dan lebar Bahu (FFVsf)

Tipe jalan

Kelas

hambatan Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan samping Lebar bahu

(SFC) Lebar bahu efektif rata-rata Ws (m)

≤ 0,5 1,0 1,5 ≥ 2,0

Empat lajur terbagi Sangat rendah 1,02 1,03 1,03 1,04

4/2 D Rendah 0,98 1,00 1,02 1,03

Sedang 0,94 0,97 1,00 1,02

Tinggi 0,89 0,93 0,96 0,99

Sangat tinggi 0,84 0,88 0,92 0,96 Empat lajur tak terbagi Sangat rendah 1,02 1,03 1,03 1,04

4/2 UD Rendah 0,98 1,00 1,02 1,03

Sedang 0,93 0,96 0,99 1,02

Tinggi 0,87 0,91 0,94 0,98

Sangat tinggi 0,80 0,86 0,90 0,95 Dua lajur tak terbagi Sangat rendah 1,00 1,01 1,01 1,01

2/2 UD atau Rendah 0,96 0,98 0,99 1,00

jalan satu arah Sedang 0,91 0,93 0,96 0,99

Tinggi 0,82 0,86 0,90 0,95

Sangat tinggi 0,73 0,79 0,85 0,91

Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997

Tabel 2.16 Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus BebasUntuk Ukuran Kota (FFVcs)

Ukuran kota (juta penduduk) Faktor penyesuaian untuk ukuran kota

< 0,1 0,90

0,1 - 0,5 0,93

0,5 - 1,0 0,95

1,0 - 3,0 1,00

> 3 1,03

2.11.4 Derajat Kejenuhan

Derajat kejenuhan (Degree of Saturation/DS) didefenisikan sebagai rasio volume (Q) terhadap kapasitas (C) dan digunakan sebagai faktor kunci utama dalam penentuan perilaku lalu lintas pada suatu kinerja ruas jalan. Nilai derajat kejenuhan menunjukkan apakah ruas jalan akan mempunyai masalah kapasitas atau tidak.

DS = Q/C ………..…..……… (2.3) Dimana:

Q = arus lalulintas (smp/jam). C = kapasitas (smp/jam).

Derajat kejenuhan dihitung dengan menggunakan volume dan kapsitas yang dinyatakan dalam smp/jam.

2.11.5 Kecepatan

Kecepatan kenderaan didefenisikan sebagai kecepatan rata-rata ruang dari kenderaan ringan (LV) sepanjang segmen jalan. Kecepatan kenderaan merupakan ukuran utama kinerja segmen jalan karena mudah dimengerti dan diukur, serta merupakan masukan yang penting bagi biaya pemakai jalan dalam analisa ekonomi. Kecepatan rata-rata ruang didapat dari perbandingan jarak tempuh dan waktu tempuh terhadap jarak, seperti pada persamaan berikut;

V = L/TT ………..……….. (2.4) Dimana:

V = kecepatan rata-rata ruang LV (km/jam). L = panjang segmen jalan (km).

TT = waktu tempuh rata-rata LV sepanjang segmen (jam).

Data kecepatan sesungguhnya dengan menggunakan grafik hubungan antara derajat kejenuhan (DS) dan kecepatan arus bebas (FV) dapat ditunjukkan untuk jalan yang menggunakan banyak lajur satu-arah seperti pada (Gambar 2.12).

Gambar 2.12 Kecepatan sebagai fungsi dari DS untuk jalan banyak lajur dan satu-arah Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997

2.11.6 Hambatan Samping

Hambatan samping didefenisikan sebagai dampak terhadap kinerja lalu lintas dari aktivitas samping segmen jalan, banyaknya kegiatan samping jalan sering

menimbulkan konflik dengan arus lalu lintas, diantaranya menyebabkan kemacetan bahkan sampai terjadinya kecelakaan lalu lintas. Hambatan samping juga terbukti sangat berpengaruh pada kapasitas dan kinerja jalan, seperti:

1. pejalan kaki yang berjalan atau menyeberang sepanjang segmen jalan, 2. angkutan umum dan kenderaan lain yang berhenti dan parkir,

3. kenderaan motor yang keluar masuk dari/ke lahan samping/sisi jalan, 4. arus kenderaan yang bergerak lambat.

Yang ditujukan dengan faktor jumlah berbobot kejadian, yaitu frekwensi kejadian sebenarnya dikalikan dengan faktor berbobot kenderaan. Faktor berbobot tersebut seperti pejalan kaki (bobot=0,5), kenderaan berhenti (bobot=1,00, kenderaan masuk/keluar sisi jalan (bobot=0,7), dan kenderaan lambat (bobot=0,4).

Frekwensi tiap kejadian hambatan samping dicacah dalam rentang 200 meter kekiri dan kanan potongan melintang yang diamati kapasitasnya lalu dikalikan dengan bobot masing-masing. Frekwensi kejadian terbobot menentukan kelas hambatan samping, dapat dilihat pada (table 2.17).

Tabel 2.17 Faktor berbobot untuk hambatan samping

Tipe kejadian hambatan samping Simbol Faktor bobot

Pejalan kaki PED 0,5

Kenderaan berhenti PSV 1,0

Kenderaan masuk dan keluar EEV 0,7

Kenderaan lambat SMV 0,4

Tabel 2.18 Kelas hambatan samping untuk jalan perkotaan Kelas Hambatan Samping (SFC) Kode Jumlah berbobot kejadian Kondisi Khusus per 200 m per

jam (dua sisi)

Sangat rendah VL < 100 Daerah pemukiman: dengan jalan samping

Rendah L 100 - 299 Daerah pemukiman: bebrapa kenderaan umum

Sedang M 300 - 499 Daerah industry: beberapa toko disisi jalan

Tinggi H 500 - 899 Daerah komersial: aktifitas sisi jalan

Sangat tinggi VH > 900 Daerah komersial: aktifitas disisi jalan

Sumber: Ditjen Bina Marga, 1997

2.12 Hubungan Dasar Antar variable

Dokumen terkait