• Tidak ada hasil yang ditemukan

Izin Usaha Pertambangan Ditinjau dari Peraturan Perundangan di Bidang Pertambangan dan Peraturan Perundangan di Bidang

lanjut mengenai penghentian operasi tersebut, maka di bawah ini akan diuraikan teori mengenai izin usaha pertambangan dikaitkan dengan peraturan perundangan di bidang pertambangan dan peraturan perundangan di bidang kehutanan.

2.4. Izin Usaha Pertambangan Ditinjau dari Peraturan Perundangan di Bidang Pertambangan dan Peraturan Perundangan di Bidang Kehutanan

Kuasa pertambangan merupakan salah satu instrumen hukum yang dapat digunakan oleh pemegang kuasa pertambangan untuk melaksanakan kegiatan usaha di bidang pertambangan. Tanpa adanya kuasa pertambangan, perusahaan

pertambangan belum dapat melakukan kegiatannya.86 Kuasa pertambangan

merupakan izin yang diberikan oleh instansi yang berwenang untuk melakukan usaha pertambangan. Dalam hal ini adalah pemerintah selaku pemegang hak

penguasaan di bidang pertambangan.87 Dalam pasal 2 huruf i Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Pertambangan (untuk selanjutnya disebut UU Pertambangan) disebutkan pengertian kuasa pertambangan yaitu:

“Kuasa pertambangan adalah wewenang yang diberikan kepada badan/perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan”

Kuasa pertambangan dari aspek usahanya merupakan penggolongan kuasa pertambangan dari segi usaha yang akan dilakukan oleh pemegang kuasa pertambangan. Kuasa pertambangan dari aspek usahanya dapat dibagi menjadi

lima macam, yaitu:88

1. Kuasa pertambangan penyelidikan umum

Kuasa pertambangan penyelidikan umum merupakan kuasa untuk melakukan penyelidikan secara geologi umum dengan maksud untuk

  86 Salim H.S., op.cit., hal. 63. 

87

Fahri Aryati, “Aspek Perijinan dalam Pelaksanaan Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara di Indonesia, “ (Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2004), hal. 32. 

membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian pada umumnya.

2. Kuasa pertambangan eksplorasi

Kuasa pertambangan eksplorasi adalah kuasa/wewenang yang diberikan oleh pejabat berwenang untuk melakukan penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti/seksama adanya bahan galian serta sifat letakan bahan galian tersebut.

3. Kuasa pertambangan eksploitasi

Kuasa pertambangan eksploitasi merupakan kuasa pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.

4. Kuasa pertambangan pengolahan dan pemurnian

Kuasa ini adalah kuasa pertambangan untuk mempertinggi mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsuryang terdapat pada bahan galian itu.

5. Kuasa pertambangan pengangkutan dan penjualan

Kuasa ini adalah kuasa pertambangan untuk memindahkan bahan galian dan hasil pengolahan dan pemurnian bahan galian dari daerah eksplorasi atau tempat pengolahan/pemurnian.

Kuasa pertambangan lahir berdasarkan ketentuan mengenai pelaksanaan penguasaan dan pengaturan usaha pertambangan oleh Negara (pasal 4 ayat (1) UU Pertambangan). Namun oleh karena Negara tidak dapat mengusahakan sendiri, maka UU Pertambangan membuka kesempatan bagi berbagai pihak sesuai kewenangannya, yaitu instansi pemerintah, perusahaan Negara, pertambangan rakyat, perorangan, perusahaan daerah, perusahaan swasta dan koperasi sebagai pemegang kuasa pertambangan. Dalam pasal 6 jo. Penjelasan Umum butir 3 UU Pertambangan, maka bahan galian golongan a (bahan galian strategis) dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan perusahaan negara. Dalam pasal 10 ayat (1) UU Pertambangan dikatakan bahwa apabila instansi pemerintah maupun perusahaan Negara tidak dapat melaksanakannya sendiri, maka dapat ditunjuk pihak lain untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak bisa dikerjakan sendiri oleh instansi pemerintah maupun perusahaan Negara tersebut.

       

Di samping penunjukkan pasal 10 UU Pertambangan tersebut, izin melakukan usaha tambang, khususnya tambang batubara, diberikan penegasan lebih rinci dalam Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996 yang mengatur

mengenai perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B).89

Perbedaan mendasar antara kuasa pertambangan dan PKP2B adalah bahwa PKP2B terbuka bagi penanaman modal asing sedangkan kuasa pertambangan

harus dimiliki oleh perusahaan Indonesia yang dikelola oleh WNI.90

Pengertian PKP2B dapat dilihat dalam pasal 1 Keputusan Presiden

tersebut di atas. Dalam Keputusan Presiden tersebut dikatakan bahwa: 91

”Perjanjian karya adalah perjanjian antara pemerintah dengan perusahaan kontraktor swasta untuk melaksanakan pengusahaan pertambangan bahan galian batu bara”

Para pihak yang terkait dalam perjanjian tersebut adalah:

1. Pemerintah sebagai principal (yang diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral)

2. Kontraktor (perusahaan asing atau perusahaan patungan asing dan

nasional atau perusahaan nasional).

Semua hak dan kewajiban pemerintah sebagai principal dan perusahaan

sebagai kontraktor tertuang secara rinci di PKP2B.92

Dalam melaksnakan kegiatannya berdasarkan kontrak PKP2B, kontraktor swasta akan melaksanakan kegiatan yang terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut:

1. Tahap penyelidikan umum

Tahap ini merupakan awal dalam usaha pertambangan, yaitu mengumpulkan data sebanyak-banyaknya tentang indikasi endapan bahan galian di suatu daerah. Diadakan peninjauan lapangan untuk menyakinkan

  89 Fahri Aryati, op.cit., hal. 33-34. 

90 Prospektus P.T. Bayan Resources, Tbk., op.cit., hal. 229. 

91 Salim HS, op.cit. , hal 199-200. 

92

Fahri Aryati, op.cit., hal. 43.  

kebenaran data yang ada. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini terdiri atas penyelidikan secara geologi umum, geofisik, geokimia, baik di daratan maupun di perairan serta pemetaan dari udara.

2. Tahap eksplorasi

Tahap ini merupakan pekerjaan lanjutan dalam pencarian endapan batubara yang bertujuan untuk mendapatkan kepastian tentang ukuran, bentuk, kedudukan, besar cadangan, sifat, jenis, penelaahan ekonomi dan pemasarannya.

3. Tahap studi kelayakan

Setelah kegiatan eksplorasi dianggap selesai dan semua data telah diperoleh, tiba saatnya untuk mengadakan evaluasi dan perhitungan yang didasarkan pada pertimbangan ekonomi, keselamatan kerja dan kelestarian lingkungan menuju suatu keputusan dapat atau tidaknya suatu proyek pertambangan batubara tersebut dilakukan serta dibenarkan. Tahap ini merupakan puncak dari serangkaian kegiatan sebelum usaha pertambangan dilakukan.

4. Tahap kontruksi

Setelah hasil studi kelayakan menentukan proyek pertambangan batubara layak untuk diteruskan, perusahaan sampai pada penyiapan produksi dengan membuat uji coba produksi dan mendirikan fasilitas-fasilitas seperti jalan/akses untuk transportasi dan komunikasi, membuat pelabuhan, tongkang, menyiapkan peralatan pertambangan, peralatan peningkatan mutu batubara dan fasilitas lain yang menunjang produksi dan penjualan.

5. Tahap eksploitasi/produksi

Dalam PKP2B, tahap kegiatan ini adalah tahap terakhir. Kegiatan ini terdiri daripenggalian batubara yang dapat dilakukan dengan cara pengupasan tanah atas terlebih dahulu atau penggalian secar alngsung ataupun membuat terowongan di bawah tanah, pembongkaran, pemuatan dan pengangkutan, pengolahan dan pemurnian serta penjualan.

       

Sebelum melakukan tahapan kegiatan tersebut, kontraktor wajib memohon ijin kepada Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral. Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral akan memberikan surat izin berupa surat keputusan mengenai permulaan tahap kegiatan yang ditandatangani Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral atas nama Menteri Energi dan

Sumber Daya Mineral (ESDM).93

Mengenai berakhirnya kuasa pertambangan, dalam pasal 20 UU Pertambangan, dikatakan bahwa kuasa pertambangan berakhir karena dikembalikan, dibatalkan atau karena habis waktunya. Selanjutnya dalam pasal 21 ayat (3) dan pasal 22 ayat (2) dikatakan bahwa penegembalian kuasa pertambangan maupun pembatalan kuasa pertambangan harus mendapat persetujuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pembatalan kuasa pertambangan dilakukan Menteri ESDM untuk kepentingan negara. Dalam hal kuasa pertambangan berakhir karena habis jangka waktu dan tidak diperpanjang, maka kuasa pertambangan tersebut berakhir demi hukum.

Kegiatan usaha pertambangan umum (migas dan batubara) sering mengalami hambatan akibat adanya disharmonisasi dengan kebijakan di sektor-sektor lain seperti kehutanan, otonomi daerah, maupun lingkungan hidup. Berbagai hambatan ini disebabkan oleh karakteristik industri pertambangan yang mempunyai ciri khas beresiko tinggi, jangka panjang, dan lokasi definitif. Disharmonisasi dalam bidang kehutanan dikarenakan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (untuk selanjutnya disebut UU Kehutanan) isinya tumpang tindih dengan UU Pertambangan. Selain itu masalah lain yang juga sering timbul adalah ketidakharmonisan antara pusat dan daerah. Paradigma Kepala Daerah adalah bahwa sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah, maka segala urusan pengelolaan sumber daya di bidang pertambangan umum (migas dan batubara) menjadi kewenangan daerah secara mutlak. Bila dikaji maka dapat dilihat dari pasal 13 dan pasal 14 UU tersebut bahwa kewenangan bidang pertambangan bukanlah kewenangan

  93 Fahri Aryati, op.cit., hal 44-48. 

       

yang wajib haru dilakukan oleh pemerintah provinsi atau oleh pemerintah

kabupaten/kota.94

Dikaitkan dengan UU Kehutanan, salah satu pasal dalam UU tersebut yang berkaitan dengan pertambangan yaitu pasal 38 UU Kehutanan berikut penjelasannya. Dalam ketentuan tersebut dikatakan bahwa penambangan hanya boleh dilakukan di kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi. Namun, penambangan dengan pola penambangan terbuka tidak boleh dilakukan di kawasan hutan lindung. Dalam pasal tersebut juga menyatakan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri Kehutanan. Filosofis pinjam pakai kawasan hutan dimaksudkan agar setiap pengguna kawasan hutan di luar sektor kehutanan tidak menyebabkan enclave, luas kawasan hutan tidak terkurangi, dan agar pemerintah cq. Departemen Kehutanan masih tetap dapat mengelola kawasan

yang dipinjam pakai sehingga memudahkan monitoring dan evaluasi.95

Pasal 50 ayat (3) butir g UU Kehutanan melarang dilakukannya kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri Kehutanan. Atas pelanggaran pasal ini maka dikenai sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda

paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (pasal 78 ayat (6) UU Kehutanan). Pada ayat

16 pasal yang sama disebutkan bahwa dalam hal tindakan tersebut dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan sepertiga dari pidana yang dijatuhkan.

Mengenai sanksi administratif, maka dalam UU Kehutanan (pasal 80 UU Kehutanan) hanya mengatur sanksi administratif atas pelanggaran di luar ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 78 UU Kehutanan. Sanksi administratif

  94

Ainur Rasyid ,”Aspek Yuridis Perusahaan Pertambangan Umum Pasca Otonomi Daerah, “ (Tesis Magister Universitas Indonesia, Depok, 2007), hal.129-130. 

95

Budi Riyanto, “Kebijakan Pengelolaan Kawasan Hutan dan Kegiatan Pertambangan,” Jurnal Hukum Bisnis (2007): 26.  

       

ini dibebankan kepada pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan atau izin pemungutan hasil hutan.

Sebagai tambahan, dalam perkembangan yang terbaru, pada tanggal 16 Desember 2008, DPR telah mengesahkan UU Mineral dan Batubara. Dalam UU yang baru tersebut, sistem kontrak karya yang semula dianut dalam UU Nomor 11 Tahun 1967 diubah menjadi sistem pemberian izin oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga posisi negara tetap lebih tinggi daripada perusahaan yang melakukan pertambangan. Namun dengan diundangkannya UU baru ini, menimbulkan kebingungan berbagai dari berbagai pihak. Hal ini dikarenakan adanya ketidakjelasan dalam pengaturan ketentuan perlihannya. Dalam pasal 169 bagian a menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,maka kontrak karya dan Perjanjian Parya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian, sedangkan pasal 169 b menyebutkan bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan Perjanjian Parya Pengusahaan Pertambangan Batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat lambatnya satu tahun sejak

undang-undang ini diundang-undangkan, kecuali mengenai penerimaan Negara.96

  96

________________, “Era Kontrak Karya Berakhir,” Kompas, (17 Desember 2008) : hal 1 

Dokumen terkait