• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

B. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana

Dengan demikian di dalam Hukum Pidana umum belum dikenal pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung. Indonesia dewasa ini, pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung hanya terdapat dan berlaku dalam terhadap beberapa perUndang-undangan khusus diluar KUHP. Ternyata dalam prospek pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi menganut pula perkembangan yang terjadi di negeri Belanda. Hal ini terlihat dalam Rancangan KUHP Buku I Tahun 2011-2012 Pasal 182 yang berbunyi: “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.

1. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana, dalam istilah asing disebut juga

Torekenbaardheid atau criminal responsibility, yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang

105

terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana itu adalah diteruskannya celaan objektif yang ada pada tindak pidana.106

Terdapat dua pandangan tentang pertanggungjawaban pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Pandangan monistis atau monisme dikemukakan antara lain oleh Simon. Menurut aliran monisme, unsur-unsur

strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat yang lazim dinamakan unsur subjektif. Oleh karena itu, dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya, maka dapat disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi strafbaar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana.107

Penganut pandangan monistis tentang strafbaar feit atau criminal act

berpendapat, bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik meliputi :108

a. Kemampuan bertanggungjawab;

b. Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan; c. Tidak ada alasan pemaaf.

Adapun orang pertama yang menganut pandangan dualistis adalah Herman Kontorowicz, pada tahun 1933 sarjana Hukum Pidana Jerman yang menentang kebenaran pendirian mengenai kesalahan (schuld) yang ketika itu berkuasa yang beliau namakan objective schuld oleh karena kesalahan disitu dipandang sebagai

106

Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hlm. 34 107

Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 63 108

sifat daripada kelakuan (merkmal der handlung). Untuk adanya

Strafvoraussetzungen (syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya strafbare handlung (perbuatan pidana), lalu setelah itu dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif.109

Hubungan kesalahan dengan pemidanaan menurut ajaran dualistis dapat digambarkan sebagai berikut:

Menurut ajaran dualistis, tindak pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana. Kesalahan sebagai penentu utama berat ringannya pidana yang dijatuhkan meliputi dua hal, yakni menunjuk kepada tindakan yang tercela atau actus reus yaitu dilanggarnya standar etis masyarakat yang telah diformulasikan dalam Undang-undang sebagai delik, dan pertanggungjawaban pidana atau mens rea, yaitu sikap bathin atau keadaan psikologis pelaku diukur menurut nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh pelaku, tetapi dilanggar.

110

1. Kesalahan actus reus menentukan batas minimal dan maksimal yang dibolehkan oleh undang-undang;

2. Kesalahan pada mens rea menentukan range pemidanaan;

3. Hal-hal lain yang memberatkan maupun yang meringankan menentukan pemidanaan antara batas range bawah sampai range atas.

109

Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 66 110

Prayitno Imam Santoso, Pertanggungjawaban Pidana Menurut Ajaran Dualistis,

Berdasarkan uraian diatas, bahwa masalah pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan unsur kesalahan, membicarakan unsur kesalahan dalam Huku m Pidana ini berarti mengenai jantungnya. Sejalan dengan itu, menurut Sauer ada tiga pengertian dasar dalam Hukum Pidana, yaitu:111

1. Sifat melawan huku m (unrecht); 2. Kesalahan (schuld);

3. Pidana (strafe).

Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan.Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila memang mumpunyai kesalahan tentulah akan dipidana.112

Berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana, Sudarto menyatakan pendapatnya sebagai berikut:113

111

Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 14-15 112

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 75

113

Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 95

Dipidananya sesorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.Jadi meskipun pembuatnya memenuhi rumusan delik dalam Undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana.Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.

Secara lebih rinci, Sudarto menyatakan bahwa agar seseorang memiliki aspek pertanggungjawaban pidana, dalam arti dipidananya pembuat, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:114

1. Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat; 2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan; 3. Adanya pembuat yang bertanggung jawab;

4. Tidak ada alasan pemaaf.

Dalam Hukum Pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea ini dilandaskan pada konsepsi bahwa suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat.Disini berlaku apa yang disebut asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld atau nullapoena sine culpa). Dalam Hukum Pidana Inggris asas ini dikenal dalam bahasa Latin yang berbunyi “actus non facit reum misi mens sit rea” (an

act does not make a person guilty, unless the mind is guilty).115

Asas tersebut disebut juga dengan asas legalitas dan tercantum secara implisit dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau dalam

Di dalam doktrin ini terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/tindak pidana (actus reus) dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).

114

Ibid. 115

peraturan lain, akan tetapi berlakunya asas tersebut tidak diragukan lagi. Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi:116

Terdapat beberapa pengertian dari kesalahan menurut para sarjana, antara lain :

“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”Dari bunyi pasal tersebut jelas unsur kesalahan sangat penting bagi penentuan akibat dari perbuatan yang dilakukan seseorang yaitu berupa penjatuhan pidana.

117

1. Mazger mengatakan: “Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana.

2. Simons mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “social-ethisch”, dan mengatakan antara lain: “sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana ia berupa keadaan psikis (jiwa) dari si pembuat, dan hubungannya terhadap perbuatannya dan di dalam arti bahwa berdasarkan psikis (jiwa) itu perbuatannya dicelakan kepada si pembuat.

3. Van Hamel mengatakan bahwa “kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psikologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah

116

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076)

117

pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de verantwoor-delijkheidrechtens)”.

4. Pompe mengatakan antara lain : “pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum adalah perbuatannya. Segi dalamnya yang bertalian dengan kehendak si pembuat adalah kesalahan. Kesalahan ini dapat dilihat dari dua sudutmenurut akibatnya ia adalah hal yang dapat dicelakan (verwijtbaarheid) dan menurut hakikatnya ia adalah hal yang dapat dihindarkannya (vermijdbaarheid) perbuatan melawan hukum”.

Dari pendapat-pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana.Pencelaan disini bukan pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sudarto bahwa untuk adanya kesalahan maka harus ada pencelaan ethics, betapa pun kecilnya.118

Sudarto membedakan pengertian kesalahan psikologis dan pengertian kesalahan normatif.Pengertian kesalahan psikologis yaitu bahwa kesalahan hanya dipandang sebagai hukum psikologis (batin) antara sipembuat dan perbuatannya.Hubungan batin tersebut dapat berupa keengajaan atau kealpaan.Pada kesengajaan hubungan batin itu berupa menghendaki perbuatan (beserta akibatnya) dan pada kealpaan tidak ada kehendak demikian.Sehingga

118

hanya menggambarkan keadaan batin sipembuat, sedangkan yang menjadi ukurannya adalah sikap batin yang berupa kehendak terhadap perbuatan atau akibat perbuatan.119

Adapun pengertian kesalahan normatif, menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasarkan sikap batin atau hubungan batin antara pembuat dan perbuatannya, tetapi disamping itu harus ada unsur penilaian atau unsur normatif perbuatannya. Penilaian dari luar ini merupakan pencelaan dengan memakai ukuran yang terdapat dalam masyarakat, ialah apa yang seharusnya diperbuat oleh si pembuat. Dalam pengertian ini, sikap batin si pembuat adalah merupakan kesengajaan dan kealpaan tetap diperhatikan, namun hanya merupakan unsur dari kesalahan atau unsur lain yaitu penilaian mengenai keadaan jiwa si pembuat, ialah kemampuan bertanggungjawab dan tidak hanya penghapus kesalahan.120

Berdasarkan uraian mengenai pengertian kesalahan di atas, dapat dikatakan bahwa kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban pidana.Kesalahan merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya.Adanya kesalahan pada seseorang maka orang tersebut dapat dicela. Mengenai keadaan jiwa seseorang yang melakukan perbuatan merupakan apa yang lazim disebut sebagai kemampuan bertanggung jawab, sedangkan hubungna batin antara si pembuat dan perbuatannya itu merupakan kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf. Dengan demikian, untuk

119

Ibid., hlm. 90 120

menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa unsur antara lain :121

1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat;

2. Hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang merupakan kesengajaan (dolus) datau kealpaan (culpa) ini disebut bentuk kesalahan; 3. Tidak adanya alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.

Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Yang satu bergantung kepada yang lain, yang disebutkan kemudian bergantung kepada yang disebutkan terlebih dahulu, artinya ketiganya berhubungan satu dengan yang lainnya. Konkretnya tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan ataupun kealpaan, apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab.Begitupula tidak dapat dipikirkan tentang alasan pemaaf apabila orang tidak mampu bertanggung jawab dan tidak pula adanya kesengajaan atau kealpaan.Selanjutnya karena tidak ada gunanya mempertanggungjawabkan terdakwa yang melakukan perbuatan apabila perbuatannya tidaklah bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut sekarang dapat pula dinyatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan. Sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah: (a) melakukan

121

perbuatan pidana, (b) mampu bertanggung jawab; (c) dengan kesengajaan atau kealpaan; (d) tidak adanya alasan pembenar dan pemaaf.122

Mengenai rumusan bertanggung jawab KUHP tidak memberikan perumusan, hanya terdapat dalam Memorie van Toelichting (memori penjelasan) secara negatif menyebutkan mengenai pengertian kemampuan bertanggung jawab itu, yaitu tidak adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat:123

a. Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memiliki antara berbuat dan tidak berbuat apa yang oleh undang-undang dilarang atau diperintahkan, dengan kata lain dalam hal perbuatan dipaksa.

b. Dalam hal pembuat ada dalam suatu keadaan tertentu sehingga ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan tidak mengerti akibat perbuatannya itu (nafsu patologis, gila dan sebagainya).

Mengenai kesengajaan atau kealpaan/kelalaian Dalam Criminal wetboek

tahun 1809 di cantumkan: “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang di larang atau di perintahkan oleh Undang-undang.” Dalam Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan

Criminal Wetboek tahun 1881 (yang menjadi kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia 1915), di jelaskan: “sengaja“ diartikan: “dengan sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu”.

Undang-undang tidak memberi definisi apakah kelalain itu. Hanya memorie penjelasan (Memori van Toelichting) mengatakan bahwa kelalaian

122

Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 76 123

(culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimanapun juga culpa itu di pandang lebih ringan di banding dengan sengaja. Oleh karena itu Hazewinkel-suringa mengatakan bahwa delik culpa itu merupakan delik semu (quasidelict) sehingga di adakan pengurangan pidana. Bahwa culpa itu terletak antara sengaja dan kebetulan kata Hazewinkel-suringa di kenal pula di Negara-negara anglo-saxon yang di sebut per infortunium the killing occurred accidently.

Mengenai tidak adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf, apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang sesuai dengan rumusan delik disebabkan karena hal-hal yang mengakibatkan tidak adanya sifat melawan hukunya perbuatan, maka dikatakanlah hal-hal tersebut sebagai alasan-alasan pembenar. Didalam KUHP hal ini diatur pada:124

a. Pasal 48, mengenai keadaan terpaksa;

b. Pasal 49 ayat (1), mengenai pembelaan darurat;

c. Pasal 50, mengenai menjalankan peraturan perundang-undangan; d. Pasal 51 ayat (1), mengenai melaksanakan perintah jabatan yang sah.

Sebaliknya apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang sesuai dengan rumusan delik disebabkan karena tidak sepantasnya orang itu dicela, tidak sepatutnya ia disalahkan, maka hal-hal yang menyebabkan ia tak patut dicela disebut sebagai alasan pemaaf. Di dalam KUHP hal ini diatur dalam:125

a. Pasal 44, mengenai tidak mampu bertanggung jawab;

124

Ibid., hlm. 51 125

b. Pasal 49 ayat (2), melakukan pembelaan yang melampaui batas;

c. Pasal 51 ayat (2), melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah, tetapi dipandang sebagai perintah yang sah.

Dengan demikian pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.126

Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh Hukum Pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atau ‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu.127

2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Sehubungan dengan kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai pelaku tindak pidana, timbul pertanyaan kriteria apa yang digunakan untuk

126

Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm. 75 127

menentukan kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai subjek Hukum Pidana mengingat bahwa korporasi tidak mempunyai sifat kejiawaan sebagaimana halnya dengan manusia alamiah.

Menurut Rolling, sebagaimana yang dikutip oleh Mahmud Mulyadi, badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana, bilamana perbuatan yang terlarang yang pertanggungjawabannya dibebankan kepada badan hukum (korporasi) dilakukan dalam rangka tugas dan pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Menurutnya kriteria ini didasarkan pada delik fungsional. Sehubungan dengan hal tersebut, yang dimaksud dengan delik fungsional adalah delik-delik yang berasal dari ruang lingkup atau suasana sosial ekonomi dimana dicantumkan syarat-syarat bagaimana aktivitas sosial atau ekonomi tertentu harus dilaksanakan dan terarah atau ditujukan pada kelompok-kelompok fungsionaris tertentu.128

Mencermati ajaran atau konsep pelaku fungsional, yakni perbuatan fisik seseorang yang sebenarnya telah menghasilkan perbuatan fungsional lainnya, maka kemampuan bertanggung jawab masih berlaku dalam mempertanggungjawabkan korporasi dalam Hukum Pidana. Korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan korporasi tersebut selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Dengan demikian kemampuan bertanggung jawab oleh orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi dapat dialihkan menjadi kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai subjek

128

tindak pidana. Diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana oleh beberapa peraturan perUndang-undangan diluar KUHP termasuk didalam Rancangan KUHP menunjukkan bahwa terjadi perluasan mengenai siapa yang dikatakan sebagai pelaku tindak pidana, dimana suatu badan hukum (korporasi) apabila dituntut telah melakukan tindak pidana baik dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan.129

Membicarakan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, Mardjono Reksodiputro, sebagaimna yang dikutip Mahmud Mulyadi, menyatakan bahwa cara berpikir dalam hukum perdata dapat diambil alih ke dalam hukum pidana. Sebelumnya dalam hukum perdata terdapat perbedaan pendapat apakah suatu badan hukum dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Namun melalui asas kepatutan dan keadilan sebagai dasar utama, maka Ilmu Hukum Perdata menerima suatu badan hukum dapat dianggap bersalah yang merupakan perbuatan yang melawan hukum, lebih-lebih dalam lalu lintas perekonomian.

Berkaitan dengan kesengajaan dan kealpaan korporasi timbul pertanyaan apakah badan hukum (korporasi) yang tidak memiliki jiwa kemanusiaan dan unsur-unsur psikis dapat memenuhi unsur kesalahan atau dengan kata lain apakah asas kesalahan berlaku untuk dasar pemidanaan korporasi sebab asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) adalah merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana.

130 129 Ibid., hlm. 47 130 Ibid., hlm. 48

Ajaran ini mendasarkan pada pemikiran bahwa apa yang dilakukan oleh pengurus harus dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum, karena pengurus dalam bertindak tidak melakukannya atas hak atau kewenanngannya sendiri, tetapi melainkan atas hak atau kewenangan badan hukum yang bersangkutan. Dengan demikian bahwa badan hukum juga tidak dpat melepaskan diri dari kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang dilakukan oleh pengurusnya. Cara berfikir dalam Hukum Perdata ini dapat diambil alih ke dalam Hukum Pidana.131

Mengenai alasan penghapusan pidana korporasi, timbul pertanyaan apakah alasan-alasan penghapusan pidana yang umumnya berlaku kepada seseorang (manusia) juga dapat diberlakukan bagi badan hukum (korporasi). Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu, bahwa alasan penghapusan pidana yang dikenal dalam KUHP adalah alasan pembenar dan alasan pemaaf. Dari kedua alasan ini terlihat bahwa alasan penghapusan pidana itu bersifat kejiwaan pada manusia pribadi, yang tidak mungkin dimiliki badan hukum. Dengan demikian alasan yang seperti ini, tidak dapat diberlakukan/digunakan oleh badan hukum. Alasan yang dapat digunakan badan hukum adalah dengan cara kembali kepada peraturan Undang-undang yang mengaturatau yang menyatakan bahwa suatu badan hukum itu dapat dituntut atau dijatuhi sanksi pidana, atau kembali kepada ajaran atau teori yang mengatur tentang hal tersebut. Dari ajaran/teori inilah dicari alasan-alasan yang dapat digunakan oleh badan hukum.132

131

Ibid. 132

Kedudukan korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan Hukum Pidana, terdiri dari beberapa hal yakni:133

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab secara pidana.

Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan.Mengenai pengurus korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab, maka terhadap pengurus diberikan kewajiban-kewajiban yang sebenarnya adalah kewajiban korporasi.Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana.Adapun yang menjadi dasar pemikirannya adalah bahwa korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, tetapi selalu penguruslah yang melakukan delik itu.Dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.

Sistem ini dinilai, tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan KUHP yang menganut bahwa subjek tindak pidana adalah orang (naturalijk persoon) dengan dilatarbelakangi pengaruh asas “societas delinguere non potest” yaitu badan hukum tidak mungkin melakukan tindak pidana. Ketentuan yang mengatur hal ini terdapat dalam KUHP, seperti pasal 169 KUHP, Pasal 398 KUHP dan 399 KUHP.

Menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi dengan menggunakan sistem ini dapat ditentukan beberapa ilustrasi, yaitu:134

133

1) Berkaitan dengan fungsi, yakni: perbuatan yang dilakukan atau diperintahkan oleh pelaku tindak pidana, akan tetapi perbuatan tersebut tidak ada kaitannya dengan tugas dan pekerjaan pengurus, maka tidak berwenang mengambil keputusan yang mengikat untuk korporasi dalam melakukan tindak pidana. 2) Pengurus atau pegawai korporasi yang tidak ada kaitannya dengan tugas dan

pekerjaan pengurus tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan yang mengikat korporasi dalam melakukan atau tidak melakukan perbuatan itu agar dilakukan oleh orang lain, merupakan yang tidak sesuai dengan tujuan dan maksud korporasi sebagaimana yang ditentukan dalam anggaran dasarnya maka korporasi tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana. b. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi yang

bertanggung jawab secara pidana.

Dalam sistem ini korporasi sebagai pembuat, penguruslah yang ditunjuk untuk bertanggung jawab. Sistem ini ditandai dengan adanya pengakuan yang timbul bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan

Dokumen terkait