• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Negara

Dalam dokumen T1 312012075 BAB III (Halaman 29-39)

2) Unsur Obyektif (Physical Element)

3.4. Pertanggungjawaban Negara dan Individu Terhadap Kerusakan Lingkungan Hidup Selama Perang

3.4.1. Pertanggungjawaban Negara

Kesadaran masyarakat internasional, bahwa keberlangsungan lingkungan hidup menentukan pula keberlangsungan kehidupan manusia, memunculkan prinsip yang secara universal diakui, bahwa lingkungan hidup harus dilindungi dalam keadaan apapun (baik keadaan damai maupun perang). Isu pertanggungjawaban atas perusakan lingkungan hidup dalam keadaan damai, bahkan sudah muncul lebih dahulu.57 Pertanggungjawaban dalam konteks perang merupakan topik yang relatif baru namun sudah ditetapkan dengan cukup baik. Umumnya, suatu pelanggaran selama perang berlangsung menghasilkan tanggung jawab sebagai konsekuensi yang muncul dari tindakan tersebut.58

Tanggung

jawab yang hendak dibebankan kepada suatu negara, dalam bentuk apapun, harus memiliki dasar jelas, logis, dan mampu diterima secara universal, mengingat bahwa tindakan perusakan lingkungan bukan hanya dianggap mencederai negara tertentu tetapi juga masyarakat internasional secara keseluruhan. Oleh karenanya, sebagai dasar untuk menyimpulkan kenapa dan

57

Michael N. Schmitt, Op.Cit., h. 141. 58

bagaimana negara harus bertanggung jawab atas tindakan perusakan lingkungan hidup, maka penulis menjadikan draft sebagai sumber hukum utama, mengingat kontennya telah diterima sebagai hukum kebiasaan, tanpa harus ratifikasi oleh negara-negara.

a. Kejahatan perang sebagai internationally wrongful act

Pada bagian ini penulis menyimpulkan bahwa kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan selama perang berlangsung, sebagai salah satu bentuk kejahatan perang, merupakan internationally wrongful act suatu negara.

Pertama, HHI sebagai bagian dari hukum pidana internasional, bukan hanya membebankan kewajiban kepada individu, tetapi juga kepada negara (Supra 3.2.1. dan 3.2.2.) untuk senantiasa menjaga dan menghormati ketentuan-ketentuannya, baik tertulis maupun kebiasaan. Berkaitan dengan perlindungan terhadap lingkungan hidup selama perang berlangsung, HHI mewajibkan untuk tidak menggunakan metode atau alat perang yang dimaksudkan atau diperkirakan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang luas, jangka panjang dan dahsyat,59 atau melancarkan serangan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup yang berlebihan jika dibandingkan dengan keuntungan militer yang diperoleh.60 Ketentuan tersebut menjadi kewajiban bagi negara yang terlibat dalam perang, untuk memastikan bahwa individu maupun kelompok individu yang bertindak atas nama negara menjalankan kewajibannya sesuai hukum yang berlaku.

Pasal 8 ayat (2)(b)(iv) Statuta Roma 1998 mengklasifikasikan serangan yang berlebihan (excessive) terhadap lingkungan hidup sebagai salah satu kategori

59

Lihat Pasal 35 Protokol Tambahan I. 60

kejahatan perang. Dalam tulisan Charles Garraway tentang kejahatan perang, ia menggunakan definisi kuno yang menganggap bahwa kejahatan perang sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum perang yang mengakibatkan pertanggungjawaban pidana seorang individu. 61 Pendapat yang hampir serupa dikemukakan oleh Malcolm yang mengatakan bahwa: “war crimes are a discrete part of the principles of international humanitarian law, being those which have become accepted as criminal offences for which there is individual responsibility (in addition to state responsibility). Essentially, war crimes applies to individuals and international humanitarian law to states.62

Pendapat ini memperluas pemahaman tentang kejahatan perang sebagai salah satu tindak pidana internasional, dimana tidak hanya menarik pertanggungjawaban individu tetapi juga negara.

Sependapat dengan pernyataan Malcolm bahwa sekalipun warga negaranya telah bertanggung jawab sebagai seorang individu di bawah HHI, namun tidak menghilangkan peran dan tanggung jawab negara, yang memang tidak diatur secara komprehensif melalui HHI, melainkan hukum internasional secara umum. Hal yang sama pun diatur dalam Pasal 25 ayat (5) Statuta Roma 1998 yang

menegaskan bahwa “no provision in this Statute relating to individual criminal

responsibility shall affect the responsibility of State under international law”. Sehingga keduanya secara positif mendukung anggapan bahwa negara bertanggung jawab atas kejahatan perang yang dilakukan oleh individu yang mengatasnamakan negara. Dapat disimpulkan bahwa ketika terjadi kejahatan

61Charles Garrawey, “War Crimes”, dalam Elizabeth Wilmshurst dan Susan Breau, ed.,

Perspective on the ICRC Study on Customary International Humanitarian Law, Cambridge University Press, New York, 2007,h.377.

62

perang, dalam hal ini perusakan lingkungan hidup maka negara melalui organnya dianggap gagal menjalankan kewajibannya di bawah hukum internasional.

Prinsip umum dalam pertanggungjawaban negara disebutkan oleh Pasal 1

draft bahwa setiap pelanggaran negara terhadap hukum internasional meminta pertanggungjawaban internasional pula. Selanjutnya untuk menentukan apakah pelanggaran kewajiban yang dimaksud sebelumnya adalah bentuk internationally wrongful act, maka acuan yang digunakan kembali lagi kepada unsur-unsur

internationally wrongful act yang dimuat dalam Pasal 2 draft (Supra 3.3.1.). 1) Unsur pertama63 mengharuskan kejahatan perang dilakukan oleh individu

maupun kelompok individu yang bertindak untuk dan atas nama negara atau yang dikenal dengan atributabilitas atau imputabilitas (Supra 3.3.1.a). Pada kasus Nicaragua v. United State of America, Mahkamah Internasional membedakan individu ke dalam 3 kategori, pertama anggota dari pejabat administrasi pemerintah atau angkatan bersenjata; kedua individu yang memperoleh status dari lembaga yang secara langsung mendapatkan kekuasaan dari hukum nasional; dan yang terakhir individu yang termasuk dalam entitas publik dan diberdayakan oleh negara untuk melaksanakan otoritas pemerintahan tertentu.

Dalam konteks perang, berarti individu yang dimaksud adalah mereka berstatus kombatan dari angkatan bersenjata (armed forces) salah satu negara yang bertikai atau individu tersebut merupakan komandan militer maupun pimpinan politik yang berkuasa. Terkait itu, Rules 149 HHI

Kebiasaan menyebutkan bahwa: “a state is responsible for violations of

63

international humanitarian law attributable to it, including violations committed by its organs, including its armed forces.”64

Dalam HHI Kebiasaan ketentuan ini sudah berlangsung cukup lama, serta dinyatakan juga melalui Pasal 3 Konvensi Jenewa IV 1907 dan diulangi dalam Pasal 91 Protokol Tambahan I, yang menyatakan bahwa “a party to the conflict which violates the provisions of the Conventions or of this Protocol shall, if the case demands, be liable to pay compensation. It shall be responsible for all acts committed by persons forming part of its armed forces.

Mahkamah Banding ICTY dalam kasus Prosecutor v. Tadic menegaskan kembali kedua norma di atas sebagai lex specialis tentang pertanggungjawaban negara. Bahkan, Makhamah Banding ICTY menilai bahwa sekalipun seorang individu bertindak dalam kapasitasnya sebagai pribadi, namun sepanjang individu tersebut adalah bagian dari angkatan bersenjata suatu negara, maka prinsip atributabilitas juga berlaku atasnya.65 Mahkamah juga menyatakan bahwa prinsip yang demikian secara otoritatif sudah dianut oleh beberapa anggota dari ILC, salah satunya Professor Reuter yang menuturkan bahwa: “[i]t was now a principle of codified international law that State were responsible for all acts of their armed forces.”66

Dengan kata lain, prinsip atributabilitas secara jelas berlaku pula dalam keadaan perang, ketika individu melakukan tindakan perusakan

64

Jean-MarieHenckaerts dan Louise Doswald-Beck, Op.Cit., h. 530. 65

Putusan Mahkamah Banding (the Appeal Chamber) ICTY, Prosecutor v. DU [KO TADI] Nomor IT-94-1-A, 15 Juli 1994, para. 98.

66

Appeals Chamber Prosecutor v. Tadic, dikutip dari Yearbook of the International Law Commission, 1975,vol.I, para.5.

lingkungan hidup yang notabene bertentangan dengan prinsip dan norma HHI.

2) Unsur yang kedua mengharuskan perbuatan merupakan sebuah pelanggaran terhadap kewajiban dalam hukum internasional yang mengikat negara pada saat perbuatan tersebut dilakukan.67 Dalam kaitannya dengan kejahatan perang, telah jelas bahwa unsur kedua dapat dengan mudah terpenuhi apabila unsur-unsur bentuk kejahatan perang secara materiil telah terpenuhi, baik dilakukan dengan tindakan, pengabaian maupun gabungan dari keduanya.

Dengan demikian, apabila tindakan perusakan lingkungan hidup sebagai bentuk kejahatan perang dapat memenuhi unsur-unsur internationally wrongful act, maka negara berkewajiban untuk turut bertanggung jawab dan melakukan kewajiban perbaikan (duty of reparation).

b. Bentuk-bentuk Pertanggungjawaban Negara

Konsekuensi hukum (legal consequences) merupakan sarana pertanggungjawaban negara atas pelanggaran kewajiban internasional.68Namun, konsekuensi hukum yang harus dijalani tidak mempengaruhi kewajiban internasional yang harus dilakukan oleh negara. Dengan kata lain, bahwa sekalipun telah terjadi pelanggaran dan negara diwajibkan untuk menjalani konskuensi hukum sebagai akibatnya, negara tetap diwajibkan untuk menjalankan

67

Lihat Pasal 13 draft “an act of a State does not constitute a breach of an international

obligation unless the State is bound by the obligation in question at the time the act occurs.”

68

Lihat Pasal 28 draft “legal consequences of an international wrongful act: the international responsibility of a State which is entailed by an internationally wrongful act in accordance with the provisions of Part One involves legal consequences as set out in this Part.

kewajiban yang mengikatnya di bawah hukum internasional.69 Negara harus tetap tunduk pada norma dan prinsip HHI, dimana salah satu bentuknya adalah dengan menghentikan (to cease) setiap tindakan atau pengabaian yang membahayakan lingkungan hidup. Selain menghentikan tindakannya yang melawan hukum internasional, negara harus meyakinkan dan menjamin bahwa tindakan yang sama tidak akan terulang (non-repitition), jika keadaan yang sama terjadi lagi.70

Bagian sebelumnya sudah menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pada hakekatnya adalah kewajiban untuk melakukan perbaikan (duty of reparation). Reparasi menimbulkan hubungan hukum baru antara negara yang melakukan

pelanggaran dengan negara “korban” dalam skema internasional.71

Reparasi bersumber dari sebuah prinsip yang telah diakui dalam hukum internasional, bahwa negara yang melakukan internationally wrongful act bertanggung jawab untuk melakukan reparasi sebagai konsekuensi hukum atas pelanggaran yang dilakukannya.72 Hal ini juga ditegaskan oleh Mahkamah Internasional, melalui putusannya dalam kasus Chorzów Factory, yang menyatakan bahwa:73

the essential principle contained in the actual notion of an illegal act – a principle which seems to be established by international practice and in particular by the decisions of arbitral tribunals – is that reparation must, as far as possible, wipe out all the consequences of the illegal act and re-establish the situation which would, in all probability have existed if that act had not been committed. Restitution in kind, or, if this is not possible, payment of a sum corresponding to the value which a restitution in kind would bear; the award, if need be, of damage

69

Lihat Pasal 29 draft “the legal consequences of an internationally wrongful act under this Part do not affect the continued duty of the responsible State to perform the obligation breached.”

70

Lihat Pasal 30 draft “The State responsible for the internationally wrongful act is under an obligation: (a) to cease that act, if it is continuing; (b) to offer appropriate assurances and guarantees of non-repitition, if circumstances so require.

71

Afriansyah Arie,Op.Cit., h. 108. 72

Philippe Sands, Principles of Interntional of Environmental Law, Edisi Kedua, Cambridge University Press, New York, 2003, h. 882.

73

for loss sustained which would not be covered by restitution in kind or payment in place of it – such are the principles which should serve to determine the amount of compensation due for an act contrary to international law.”

Pasal 31 draft menegaskan dua hal penting terkait dengan reparasi atau perbaikan; pertama pertanggungjawaban negara adalah sebuah kewajiban untuk melakukan perbaikan sepenuhnya (make full of reparation) terhadap luka (injury) yang ditimbulkan karena internationally wrongful act, dan yang kedua luka (injury) yang dimaksud disini, termasuk juga kerusakan dalam bentuk apapun, entah secara materi maupun moral, yang diakibatkan internationally wrongful act oleh suatu negara.74 Kewajiban untuk melakukan perbaikan sepenuhnya (full reparation) telah ditegaskan pula oleh Mahkamah Internasional dalam kasus

Chorzów Factory:75

It is a principle of international law that the breach of an engagement involves an obligation to make reparation in an adequate form. Reparation therefore is the indispensable complement of a failure to apply a convention and there is no necessity for this to be stated in the convention itself. Differences relating to reparations, which may be due by reason of failure to apply a convention, are consequently differences relating to its application.

Draft memuat tiga bentuk reparasi penuh yang bisa dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab negara atas internationally wrongful act, dalam hal ini perusakan lingkungan hidup, diantaranya adalah restitution, compensation, dan satisfication. Ketiga bentuk reparasi ini dapat dilakukan secara tunggal maupun dengan kombinasi dua atau ketiganya.

74

Bagian Commentary Draft menjelaskan bahwa material damage yang dimaksud disini adalah damage to property or other interests of the State and its nationals which is assessable in financial terms. Sedangkan moral damage merujuk pada such items as individual pain and

suffering, loss of loved ones or personal affront associated with an instrusion on one’s home or

private life.

75

Lihat catatan kaki draft no. 34, dikutip dari Chrozów Factory, Jurisdiction, Judgement no. 8, 1927, P.C.I.J., Series A, No.9, para. 2.

(1) Restitution

Berdasarkan konsep, tidak ada kesepahaman yang universal dalam mendefinisikan restitution. Pada satu sisi, restitution didefinisikan sebagai tindakan untuk membangun kembali the status quo ante, yaitu situasi yang ada sebelum terjadinya pelanggaran. Namun di sisi lain, restitution berarti membangun atau membangun kembali keadaan yang akan ada apabila pelanggaran tidak dilakukan. Konsep restitution yang diadopsi draft, merupakan konsep dengan arti sempit. Negara yang bertanggung jawab atas internationally wrongful act, berkewajiban untuk melakukan

restitution dengan cara membangun kembali situasi yang ada sebelum pelanggaran dilakukan, sejauh tindakan tersebut secara material bukanlah hal yang tidak mungkin untuk diwujudkan, dan tidak membebani negara pelanggar untuk melaksanakan sesuatu yang bukan menjadi manfaat

restitution melainkan compensation.76

Tindakan reparasi yang diminta dalam konsep restitution kerap kali bergantung pada konten kewajiban utama yang telah dilanggar. Oleh karena itu, dalam konteks rusaknya lingkungan hidup selama perang berlangsung sangat sulit untuk menerapkan bentuk reparasi berupa

restitution. Afriansyah Arie menyebutkan bahwa pada faktanya untuk mengembalikan lingkungan hidup pada keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran sangatlah sulit, meskipun bukan tidak mungkin.77Maka dari itu, apabila terjadi perusakan lingkungan hidup selama perang, dan negara yang melakukan pelanggaran dimintai

76

Lihat Pasal 35 draft. 77

pertanggungjawaban, compensation adalah bentuk opsi reparasi yang paling masuk akal untuk diterapkan.

(2) Compensation

Kewajiban untuk melakukan compensation muncul ketika restitution

hampir tidak mungkin untuk memenuhi upaya reparasi terhadap suatu pelanggaran, dan bentuk ini mencakup kerusakan yang dapat dinilai secara finansial.78 Compensation yang dimuat dalam Pasal 36 draft menegaskan dua poin penting, yakni: (1) negara yang bertanggung jawab atas

internationally wrongful act berkewajiban untuk mengimbangi kerusakan yang disebabkan olehnya, sejauh mana kerusakan tersebut tidak bisa diatasi melalui restitution; (2) compensation harus meliputi kerusakan yang dapat dinilai secara finansial, termasuk juga hilangnya keuntungan (profits) sepanjang itu ditetapkan.

Compensation bertujuan untuk mengatasi kerugian aktual yang terjadi sebagai akibat dari internationally wrongful act. Dalam hal kerusakan lingkungan hidup selama perang, kompensasi finansial digunakan untuk membiayai sumber daya manusia dan teknologi yang diperlukan untuk mengurangi kerusakan dan memulihkan lingkungan, atau setidaknya untuk mempertahankan kondisi sewajarnya yang dibutuhkan agar lingkungan dapat bertahan.79 Meskipun demikian, compensation dirasa tidak cukup apabila negara yang melakukan pelanggaran meneruskan tindakan yang sama yang sebelumnya telah merusak lingkungan hidup. Oleh karenanya, perlu adanya penetapan kewajiban untuk menghentikan segala tindakan

78

Afriansyah Arie, Op.Cit., h. 109. 79

yang dapat mencederai lingkungan hidup serta menjamin tidak akan ada tindakan pengulangan yang sama pentingnya untuk menjaga lingkungan hidup di masa yang akan datang.80

(3) Satisfication

Satisfication adalah bentuk ketiga dari reparasi yang mungkin dilakukan oleh negara yang bertanggung jawab sebagai akibat dari internationally wrongful act. Satisfaction bukanlah bentuk standar dari reparasi, dalam artian untuk kasus-kasus tertentu kerusakan yang diderita akibat pelanggaran dapat diperbaiki hanya melalui resitution dan/atau

compensation. Dalam hubungannya dengan prinsip to make full reparation, pengecualian ditekankan melalui frasa “it cannot be made good by restitution or compensation”. Satisfaction erat hubungannya

dengan kondisi emosional, baik bagi negara yang menjadi “korban”

pelanggaran, maupun negara yang melakukan pelanggaran. Oleh karenanya, satisfaction dapat diwujudkan dengan cara-cara seperti pernyataan resmi untuk mengakui pelanggaran, pengakuan atas penyesalan, permintaan maaf resmi maupun bentuk lainnya yang sesuai. Meskipun demikian, satisfaction tidak boleh keluar dalam bentuk untuk melukai atau mempermalukan negara yang bertanggungjawab.

Dalam dokumen T1 312012075 BAB III (Halaman 29-39)

Dokumen terkait