• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNSUR PEMIDANAAN DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN TERHADAP UNSUR KESENGAJAAN

A. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pengemudi Lalai Berkendara

Strict liability adalah sebuah aturan kelalaian mengizinkan alasan bahwa kecelakaan terjadi meskipun faktanya bahwa si penyebab kecelakaan memenuhi semua standar kehati-hatian.165

165

Menurut Roeslan Saleh, menyatakan bahwa : “Strict liability adalah pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan dimana pembuat sudah dapat dipidana apabila telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap bathinnya. Asas ini sering diartikan secara singkat dengan istilah pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability

without faulty).

Di bawah aturan kelalaian, pengambil keputusan

…dalam praktik pertanggungjawaban pidana menjadi lenyap jika ada satu keadaan-keadaan yang memaafkan. Praktek juga melahirkan aneka macam tingkatan keadaan-keadaan mental yang dapat menjadi syarat ditiadakannya pengenaan pidana, sehingga dalam perkembangannya lahir kelompok kejahatan yang untuk pengenaan pidananya cukup dengan strict liability, yang dimaksud dengan ini adalah kejahatan yang dalam hal terjadinya suatu keadaan mental terdakwa tidak mengetahui dan sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan perbuatan pidana. Sekalipun demikian dia tetap dipandang bertanggungjawab atas kejadiannya perbuatan yang terlarang itu, walaupun ia tidak bermaksud sama sekali untuk melakukan suatu perbuatan yang ternyata adalah kejahatan. Biasanya ini untuk kejahatan-kejahatan kecil atau pelanggaran. Perbuatan pidana ini tidak dipandang sebagai perbuatan pidana dalam arti sebenarnya. Ia telah harus dipertanggungjawabkan hanya karena dipenuhinya unsur-unsur delik oleh perbuatannya, tanpa memeriksa keadaan mentalnya sebagai keadaan yang dapat meniadakan pengenaan pidana”.

yang melakukan antisipasi kehati-hatian sebesar atau lebih besar dari standar resmi terlepas dari tanggung jawab atas kerusakan orang lain secara tidak sengaja. Mereka yang mengambil tindakan kehati-hatian di bawah standar resmi mungkin harus membayar ganti rugi atas kerugian orang lain secara tidak sengaja.

Dalam aturan pertanggungjawaban, bukti kelalaian merupakan syarat yang diperlukan untuk pertanggungjawaban. Sebaliknya dalam aturan pertanggung- jawaban seksama, bukti sebab adalah syarat yang diperlukan untuk pertanggung- jawaban dan bukti kelalaian tidak diperlukan lagi. Sebagian pakar mendeteksi sebuah pola pergerakan antara dua aturan ini terhadap sejarah hukum pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban seksama merupakan aturan yang biasa diantara beberapa marga dalam kehidupan suku. Untuk melihat pertanggungjawaban pengemudi kendaraan yang lalai berkendara yang digugat dapat dilihat pada contoh kasus di bawah ini : Sebagai contoh :

“Seorang pemuda sedang berjalan di trotoar kemudian dari arah yang sama pengemudi yang sedang mengantuk mengendarai mobilnya dengan sangat kencang, kemudian ada kucing lewat, pengemudi langsung membanting stir kemudi ke arah pemuda tersebut berjalan, dan menyerempet pemuda tersebut dan menyebabkan pemuda tersebut cacat di bagian tangannya. Tangannya tidak dapat digerakkan dan tulangnya hancur akibat tabrakan tersebut”.

Isu hukum yang dapat ditarik dalam contoh di atas, yaitu :

1. Apakah ada hubungan yang koheren antar pengemudi dengan pejalan kaki tersebut?

Dari uraian tersebut dapat ditegaskan, bahwa dalam perbuatan pidana yang bersifat strict

liability tidak dipersoalkan adanya mens rea, sehingga dengan demikian tidak perlu adanya unsur

kesengajaan atau kelalaian. Unsur pokok dalam strict liability crime adalah perbuatan (actus reus). Sumber : Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hal. 21.

2. Bagaimana implementasi ganti kerugian yang maksimal terhadap korban tersebut?

Adapun analisis hukum dari contoh kasus di atas, adalah harus dilihat dari unsur-unsur linear dalam hukum pelanggaran. Unsur pertama yaitu kerugian dalam kasus di atas, pejalan kaki menderita kerugian yang sangat besar atas kecacatan yang dideritanya setelah terjadinya kecelakaan tersebut, karena sebelum kecelakaan pejalan kaki tersebut belum cacat maka unsur kerugian terpenuhi.

Unsur kedua adalah tergugat (dalam hal hukum perdata) merupakan penyebab dari kerugian tersebut dan jelas bahwa pengemudi mengendarai mobilnya dan banting kemudi karena menghindari kucing di jalan dan menabrak pejalan kaki tersebut, unsur kedua terpenuhi.

Unsur ketiga adalah tergugat (dalam hal hukum perdata) harus memiliki suatu pelanggaran yang menyebabkan kerugian tersebut. Disini pelanggaran yang pengemudi sebabkan adalah mengendarai mobil melewati batas kemampuannya mengendalikan kendaraan tersebut sehingga tidak sempat memberhentikan mobil pada saat ada kucing lewat sehingga ia banting kemudi dan akhirnya menabrak pejalan kaki tersebut. Disini dapat dilihat bahwa pengemudi telah lalai dalam berkendara sehingga terjadi pelanggaran dan menyebabkan kerugian terhadap pejalan kaki.

Dan jika pejalan kaki ingin pertanggungjawaban maksimal dari pengemudi, maka pejalan kaki tersebut dapat mengajukan gugatan ganti rugi ke pengadilan sesuai dengan apa yang pejalan kaki inginkan dari kerugian tersebut yang ia terima

tentu pengadilan akan mempertimbangkan dan melihat hubungan kausalitas dari cacat yang diderita dengan tabrakan tersebut sehingga terjadi ganti kerugian yang maksimal sesuai kehendak yang dimintakan.

Uraian tersebut di atas adalah untuk melihat bahwa kecelakaan lalu lintas yang memenuhi unsur kelalaian juga dapat diajukan gugatan di pengadilan. Selain itu juga, pengendara dapat dikenakan sanksi pidana. Sanksi pidana yang dapat diterapkan ada terdapat pada Pasal 273 sampai dengan Pasal 317 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun, untuk kelalaian, pengemudi dapat dikenakan sanksi Pasal 310. Sedangkan, sengaja menyebabkan matinya orang lain dikenakan Pasal 311.

Pasal 310, menyebutkan bahwa :

(1) “Setiap orang yang mengemudian Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah);

(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah);

(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);

(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.

Pasal 311, menyebutkan bahwa :

(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah);

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah);

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 8.000.000,00 (delapan juta rupiah);

(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah);

(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)”.

Sanksi tersebut diatas, dibuat agar para pengendara berhati-hati di jalan raya. Apakah itu roda dua atau empat. Keselamatan lalu lintas harus menjadi prioritas karena tidak ada yang menginginkan terjadi kecelakaan di jalan raya apalagi menimpa dirinya. Faktor dominan dalam terjadinya kasus-kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi adalah kelalaian atau kekuranghati-hatian pengemudi, hal ini bisa

disebabkan karena dugaan mengemudi dalam keadaan mengantuk, sampai kepada pengemudi di bawah pengaruh narkoba dan alkohol.

Dalam setiap kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi di jalan raya, tentunya mempunyai konsekwensi hukum bagi pengemudi kendaraan tersebut. Ketentuan hukum yang mengatur terkait kecelakaan maut yang mengakibatkan luka-luka ataupun meninggalnya seseorang, secara umum adalah KUHP dan secara khusus adalah diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Hal ini diatur pula dalam asas hukum lex specialis derogat lex generalis yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum.166

Seringkali masyarakat memandang bahwa kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan luka-luka dan kematian, mutlak kesalahannya selalu pada pengemudi kendaraan yang bersangkutan. Sedangkan menurut teori hukum yang berlaku bahwa kesalahan seseorang dilihat dari faktor kejadian yang sebenarnya, faktor apa yang menyebabkan kecelakaan laliu lintas tersebut. Hal ini dapat diungkapkan dari kronologis kejadian, kesaksian-kesaksian termasuk saksi mata yang melihat terjadinya kecelakaan.

Dalam KUHP, ketentuan hukum yang dapat menjerat pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas adalah Pasal

166

Menurut Bagir Manan, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex

specialis derogat legi generalis, yaitu : 1) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum

umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut; 2) Ketentuan- ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang); dan 3) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Contoh : KUHD dan KUH.Perdata adalah sama-sama termasuk dalam lingkungan hukum perdata. Sumber : Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia : Suatu

359 KUHP, yang berbunyi : “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”. Kemudian terdapat peraturan perundang-undangan yang lebih khusus mengatur lebih rinci dan tegas tentang berlalu-lintas di jalan raya maupun di jalan tol dan kecelakaan lalu lintas, termasuk mengatur tentang kelalaian/kealpaan di dalam mengemudikan kendaraan hingga menyebabkan luka-luka dan kematian, yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Dalam Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, unsur-unsur pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan tersebut, antara lain :

1) Setiap orang;

2) Mengemudikan kendaraan bermotor; 3) Karena lalai; dan

4) Mengakibatkan orang lain meninggal dunia.

Atas ke-empat unsur dalam Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut, umumnya unsur “karena lalai” yang lebih memerlukan waktu agar dapat terbukti. Melalui penyidikan, aparat penegak hukum, dalam hal ini pihak Kepolisian hendaklah harus membuktikan adanya unsur kelalaian tersebut.

Atas kedua aturan tersebut, apabila dalam kasus kecelakaan tersebut mengakibatkan kematian bagi seseorang. Maka menurut hukum, ketentuan yang

harus dikenakan bagi pengemudi kendaraan tersebut adalah jeratan pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam hal ini, sesuai dengan ketentuan yang mengacu pada Pasal 63 ayat (2) KUHP, menyebutkan bahwa : “Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan”.

Acuan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut, karena kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian telah diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai peraturan yang bersifat khusus, maka Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya dan Majelis Hakim dalam mengadili harus dengan menerapkan ketentuan Pasal 310 ayat (4) dengan ancaman pidana maksimum 6 (enam) tahun, dan bukan Pasal 359 KUHP.

B. Unsur Kesengajaan Dalam Kecelakaan Lalu Lintas Yang

Dokumen terkait