• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM

C. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana

mengenai ketiga unsurnya, yaitu kesalahan, kemampuan bertanggungjawab, serta tiada alasan penghapus pidana, sebagaimana yang telah diterangkan pada bab sebelumnya.

Kesalahan dalam tindak pidana perizinan bank dilakukan dengan cara menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan seperti giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu tanpa izin dari Pimpinan Bank Indonesia, baik karena sengaja maupun lalai, yang apabila terbukti akan dikenakan pasal ini.

127 M. Taufik Basari. http://m.bisnis.com/quick-news/read/20130325/16/5055/qurnia-subur-alam-raya-digugat-pailit-kejari-cibadak. Diakses pada pukul 11.46 WIB., Tanggal 19 Juni 2014.

128 Bambang. http://www.wartaterkini.com/08/01/45/hakim-tolak-eksepsi-raja-bebek-ade-suhidin.htm. Diakses pada pukul 11.46 WIB., Tanggal 19 Juni 2014.

Seseorang harus memiliki kemampuan bertanggungjawab agar dapat dimintai pertanggungjawaban. Dalam Pasal 46 ayat (1) dan (2) sudah jelas dikatakan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas terjadinya tindak pidana bank gelap.

Menurut Abdulkadir Muhammad,129 Pasal 46 ayat (1) dan (2) merupakan jenis ancaman hukuman korporasi. Kejahatan korporasi sebenarnya merupakan kejahatan yang bersifat organisatoris, terjadi dalam konteks hubungan diantara dewan direktur, eksekutif, dan manager di satu pihak dan di antara perusahaan induk, perusahaan cabang dan anak perusahaan di lain pihak. Anatomi kejahatan korporasi sangat kompleks yang bermuara pada motif-motif ekonomis. Kejahatan korporasi pada umumnya diperankan oleh orang-orang yang berstatus sosial tinggi dengan memanfaatkan kesempatan dan jabatan tertentu serta dengan cara kolektif dengan modus operandi yang halus, yang sukar dibandingkan dengan kejahatan yang dilakukan dengan secara individu.130

Millar, dalam bukunya White Collar Crime menyatakan bahwa kejahatan korporasi terbagi dalam 4 kategori, yaitu :131

a. Kejahatan perusahaan, yakni pelakunya adalah kalangan eksekutif dengan melakukan kejahatan untuk kepentingan korporasi dalam mencapai keuntungan;

129 Abdulkadir, Op.Cit. hal. 259.

130 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi (Jakarta:Sofmedia, 2010), hal. 23.

131 Ibid, hal. 24.

b. Kejahatan yang pelakunya adalah pejabat atau birokrat yang melakukan kejahatan untuk kepentingan dan atas persetujuan atau perintah Negara;

c. Kejahatan malpraktek, atau dikategorikan professional occupational crime, pelakunya adalah kalangan professional seperti dokter, psikiater, akuntan, dan adjuster serta berbagai profesi lainnya yang memiliki kode etik profesi;

d. Perilaku yang menyimpang yang dilakukan oleh pengusaha, pemilik modal yang tidak tinggi status sosial ekonominya.

Perkembangan pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana dapat dikualifikasikan berdasarkan tiga sistem pertanggungjawaban, yaitu :132

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat, pengurus yang bertanggungjawab;

b. Korporasi sebagai pembuat, tetapi pengurus yang bertanggungjawab;

c. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab.

Sutan Remy Syahdeini telah menambahkan satu lagi bentuk pertanggungjawaban, yaitu korporasi dan pengurus yang bertanggungjawab.133

Roeslan Saleh yang berpandangan dualistis membedakan dapat dipidananya perbuatan dengan dapat dipidananya orang melakukan perbuatan, atau membedakan tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya. Asas geen straf zonder schuld tidak mutlak berlaku, artinya untuk mempertanggungjawabkan korporasi tidak selalu harus memperhatikan kesalahan pembuat, tetapi cukup mendasarkasn adagium res ipsa loquitur (fakta sudah

132 Edi Yunara, Op.Cit., hal. 64.

133 Ibid.

berbicara sendiri), karena realitas dalam masyarakat menunjukkan bahwa kerugian dan bahaya yang disebabkan oleh perbuatan-perbuatan korporasi sangat besar, baik kerugian yang bersifat fisik, ekonomi, maupun biaya sosial. Disamping itu. yang menjadi korban bukan orang perorangan, melainkan juga masyarakat dan Negara.134

Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban dari apa yang telah dilakukan oleh agen-agennya, yang dikenal dengan istilah “actus reus”, artinya perbuatan dilakukan harus di dalam ruang lingkup kekuasaanya, yang dengan kata lain menjalankan tugas itu dalam cakupan tugas korporasi. Unsur yang lain ialah bahwa perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja (mens rea) dan perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang cakap jiwa atau mentalnya.

Karyawan pada suatu perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban berdasar hubungan kerja dan hubungan lain. Perusahaan berperan sebagai majikan dan pengurus sebagai karyawan yang wajib mengurus korporasi atau perusahaan tersebut.

135

Dalam jenis tindak pidana perizinan bank, apabila dilakukan oleh badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas, Perserikatan, Yayasan atau Koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya.136

134 Ibid, hal. 77-78.

135 Ibid, hal 79.

136 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 46 ayat (2).

Dalam Penjelasan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menerangkan bahwa orang yang menyuruh melakukan terhadap suatu tindak pidana, pelakunya paling sedikit ada 2 orang, yakni yang menyuruh dan yang disuruh. Jadi bukan pelaku utama itu sendiri yang melakukan tindak pidana, tetapi dengan bantuan orang lain yang hanya merupakan alat saja. Meskipun demikian, ia dianggap dan dihukum sebagai orang yang melakukan tindak pidana, sedang orang yang disuruh tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.137

Perihal orang yang turut melakukan, “turut melakukan” disini diartikan sebagai “melakukan bersama-sama”. Dalam tindak pidana ini pelakunya paling sedikit harus ada dua orang, yakni yang melakukan dan yang turut melakukan. Dan dalam tindakannya, keduanya harus melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi keduanya melakukan anasir tindak pidana tersebut.

138

137 Penjelasan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

138 Ibid.

Dengan adanya beberapa teori dan doktrin dalam pertanggungjawaban pidana maupun pertanggungjawaban pidana korporasi dapat membantu untuk mengetahui siapa-siapa yang tepat untuk dimintai pertanggungjawaban dalam tindak pidana perizinan bank, dengan merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta Anggaran Dasar dan Aturan Internal Perusahaan.

Pengurus dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan teori zweckvermogen dan ihering karena kegagalannya dalam melaksanakan perizinan bank.

Pelanggaran terhadap kewajiban korporasi dapat diterapkan doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut UU atau yang disebut strict responsibility, apalagi jika korporasi tersebut menjalankan usahanya tanpa izin, atau korporasi pemegang izin yang melanggar syarat (kondisi/situasi) yang ditentukan dalam izin itu.139

Menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dengan berpatokan kepada kriteria pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Badan hukum diperlakukan sebagai pelaku, jika terbukti tindakan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan/ atau pencapaian tujuan badan hukum, juga termasuk dalam hal orang (karyawan perusahaan) yang secara faktual melakukan tindakan oleh yang bersangkutan dengan melakukannya atas inisiatif sendiri serta bertentangan dengan instruksi yang diberikan. Namun, dalam hal yang terakhir ini tidak menutup kemungkinan badan hukum mengajukan keberatan atas alasan tiadanya kesalahan dalam dirinya.

140

Terhadap kasus yang terjadi dalam tindak pidana perizinan bank, korporasi yang dalam hal ini adalah bank tidak dapat dimintai pertanggungjawaban sebagaimana doktrin strict responsibility maupun vicarious responsibility, karena bank tidak mendapat keuntungan dari perbuatan yang dilakukan oleh pengurus ataupun pegawai bank, dan bank yang tidak memiliki izin berarti tidak dapat dikatakan sebagai badan hukum. Pengurus bertindak diluar kewenangannya, sehingga

139 Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Jakarta: PT. Sofmedia, 2011), hal 68.

140 Ibid.

mereka patut untuk dimintai pertanggungjawaban sebagaimana doktrin ultra vires.

Dalam tindak pidana ini, justru bank merupakan korban dari perbuatan pengurus ataupun pegawai.

Sejalan dengan prinsip pertanggungjawaban pengurus menurut kewenangannya berdasarkan anggaran dasar badan hukum tersebut, maka dalam hal ini pertanggungjawaban pidana itu diidentikkan dengan apa yang diatur dalam hukum perdata, khususnya tentang perbuatan “intra vires” dan “ultra vires”. Perbuatan yang secara eksplisit atau secara implisit tercakup dalam kecakapan bertindak (badan hukum) adalah perbuatan “intra vires”, sebaliknya setiap perbuatan yang dilakukan berada di luar lingkup kecakapan bertindak perseroan (di luar maksud dan tujuan badan hukum) adalah perbuatan “ultra vires” yang karenanya tidak sah dan tidak mengikat perseroan. Untuk mengetahui bagaimana rumusan maksud dan tujuan badan hukum, dalam praktek dilihat kepada arti yang lazim/ wajar dan perbuatan tersebut menunjang kegiatan-kegiatan usaha yang disebutkan dalam anggaran dasar.141

Namun apabila melihat kepada peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini adalah Undang-Undang Perbankan, terlihat siapa-siapa saja yang dapat dimintai pertanggungjawaban, yaitu pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana tanpa izin dari pihak yang berwenang serta terhadap mereka yang memberi

141 M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 81.

perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya.

Terhadap pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana perizinan bank berlaku dua bentuk pertanggungjawaban pidana yakni pengurus berbuat pengurus bertanggungjawab serta korporasi berbuat pengurus bertanggungjawab. Seperti dapat dilihat dalam beberapa kasus di atas, yang dibebani pertanggungjawaban pidana adalah Ketua Umum (YKAM); Presiden Direktur dan Eksekutif Adviser (Wijaya Bank); Komisaris Utama dan Direktur Keuangan (PT. Ibist); Direktur Utama, Direktur Keuangan, dan Direktur Operasional (PT. WBG); Pemilik (PT. QSAR);

Direktur Utama (PT. Add Farm).

Ketua Umum YKAM dibebani pertanggungjawaban atas kesalahannya karena telah menyelenggarakan usaha “tabung pinjam gotong royong”. YKAM menawarkan pinjaman sebesar lima juta rupiah kepada para anggota, dengan syarat paket kredit tersebut bisa dinikmati setelah anggota menyetor tabungan Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) per bulan sebanyak tujuh kali dan uang pendaftaran Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah).142

Presiden Direktur dan Eksekutif Adviser Wijaya Bank dibebani pertanggungjawaban atas perbuatannya yang telah menghimpun dana masyarakat melalui Wijaya Bank yang merupakan bank gelap dengan cara menjalankan usaha bank melalui deposito berjangka senilai Rp. 23.750.000,- dengan 8 deposan dan

142 Leden, Loc.Cit.

melalui tabungan bank berhasil menghimpun 12 nasabah dengan dana Rp.

2.752.000,-.143

Komisaris Utama dan Direktur Keuangan PT. Ibist dimintai pertanggungjawaban atas kesalahannya menghimpun dana masyarakat tanpa izin yang kemudian dilarikan oleh Komisaris Utama. Direktur Keuangan juga terlibat dalam kasus ini, ia mempersiapkan sertifikat bagi nasabah yang menanamkan modalnya. Kasus bank gelap Ibist muncul ketika ribuan nasabah akan mencairkan royalti dari dana yang mereka simpan, tetapi Komisaris Utama malah melarikan diri.144

Mengenai tiada alasan penghapus pidana, sudah dijelaskan terlebih dahulu pada bab sebelumnya. Seseorang tidak boleh memiliki alasan penghapus pidana, baik itu alasan pemaaf maupun alasan pembenar agar dapat dijatuhi sanksi sesuai Pasal 46 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

143 Ibid.

144 Erna Mardiana. http//kumpulanberitalama.blogspot.com/2013/05/detikcom-terdakwa-kasus-bank-gelap. html. Diakses pada pukul 10.16 WIB. Tanggal 27 Februari 2014.

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA RAHASIA BANK

A. Rahasia Bank

Dalam perekonomian suatu Negara terdapat sistem keuangan, salah satunya adalah industri perbankan yang berfungsi sebagai penunjang perekonomian Negara serta penduduk dari Negara tersebut. Fungsi industri perbankan sebagai penunjang perekonomian dapat berbentuk penghimpunan dan penyaluran dana, dan dapat pula dalam bentuk memperlancar pembayaran transaksi perdagangan domestik maupun internasional.145

Hal yang harus dijaga agar industri perbankan tetap eksis adalah menciptakan landasan utama hubungan antara bank dan masyarakat berdasarkan pada prinsip kepercayaan fiduciary relationship. Prinsip tersebut diperlukan dalam hubungan timbal balik. Pada saat bank memberikan kredit atau yang dipersamakan dengan kredit, maka bank harus percaya bahwa dananya akan kembali dan menguntungkan.

Demikian juga pada saat masyarakat menyimpan dananya atau meminta layanan jasa-jasa perbankan harus percaya bahwa dana yang disimpan pada bank tidak hilang atau

145 Zulkarnain, Perlindungan Dana Nasabah Bank (Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia) (Jakarta: Program Pascasarjana FH Univ. Indonesia, 2002), hal. 23.

pemanfaatan jasa-jasa perbankan oleh masyarakat dapat terlaksana dengan baik dan menguntungkan.146

Satu hal yang menarik bagi siapapun berhubungan dengan bank adalah terjaminnya jati diri nasabah. Hal ini dapat dimaklumi, sebab bisnis perbankan adalah bisnis kepercayaan. Dengan kata lain nasabah berhubungan dengan bank, sebab nasabah percaya bank akan tetap memegang teguh norma-norma dalam dunia usaha perbankan. Satu di antara norma yang dimaksud adalah rahasia bank.

147

Sebagai suatu badan usaha yang dipercaya oleh masyarakat untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, sudah sewajarnya bank memberikan jaminan perlindungan kepada nasabah yang berkenaan dengan “keadaan keuangan nasabah” yang lazimnya dinamakan “Kerahasiaan Bank”. Asas kerahasiaan (konfidensialitas) dalam soal-soal keuangan perbankan sudah dikenal sejak lama.

Pada zaman pertengahan, ketentuan semacam ini telah diatur pada peraturan perundang-undangan. Kerajaan Jerman misalnya, saat itu asas kerahasiaan telah diatur dalam KUHPerdata.

148

Menjelang pertengahan abad ke-19, boleh dikata semua pemerintah di Eropa Barat telah mensahkan asas kerahasiaan bank perbankan dan sejak itu undang-undang serupa telah diberlakukan di setiap Negara yang menghendaki sistem perbankan yang tertib.

149

146 Try Widiyono, Op.Cit., hal. 13.

147 Sentosa, Op.Cit., hal. 30.

148 Rachmadi, Op.Cit, hal. 153.

149 Ibid.

Pengaturan tentang rahasia bank dalam Undang-Undang Perbankan dijabarkan dalam Pasal 1 angka (28) yang menyatakan bahwa rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa secara normatif dalam Undang-Undang Perbankan tidak hanya diatur tentang subjek atau identitas nasabah penyimpan yang dilindungi, akan tetapi segala yang terkait dengan simpanan nasabah.150

Hanya saja dalam Undang-Undang Perbankan tidak dijabarkan lebih lanjut, apa yang dimaksud dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Perbankan hanya disebutkan, bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, 41A, 42, 43, 44, dan 44A Undang-Undang Perbankan.151

Adanya ketentuan mengenai rahasia bank menimbulkan kesan bagi masyarakat, bahwa bank sengaja untuk menyembunyikan keadaan keuangan yang tidak sehat dari nasabah debitur, baik orang perseorangan maupun perusahaan yang sedang menjadi sorotan masyarakat. Selama ini timbul kesan bahwa dunia perbankan bersembunyi di balik ketentuan rahasia bank untuk melindungi kepentingan nasabahnya yang belum tentu benar. Akan tetapi, apabila bank sungguh-sungguh

150 Sentosa, Op.Cit., hal. 32.

151 Ibid.

melindungi kepentingan nasabahnya yang jujur dan bersih, maka hal itu merupakan suatu keharusan dan kepatutan.152

Ketentuan mengenai rahasia bank merupakan suatu hal yang sangat penting bagi nasabah penyimpan dan simpanannya maupun bagi kepentingan dari bank itu sendiri, sebab apabila nasabah penyimpan ini tidak mempercayai bank di mana ia menyimpan simpanannya tentu ia tidak akan mau menjadi nasabahnya. Oleh karena itu, sebagai suatu lembaga keuangan yang berfungsi menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, sudah sepatutnya bank menerapkan ketentuan rahasia bank tersebut secara konsisten dan bertanggungjawab sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melindungi kepentingan nasabahnya.

153

Penafsiran dan batasan tentang rahasia bank penting bagi semua pihak, baik bagi nasabah maupun bagi pihak perbankan sendiri. Hal ini perlu, pertama, untuk tidak menurunkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga keuangan; kedua, untuk memudahkan institusi yang berwenang seperti Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaksanakan deteksi dini terhadap lalu lintas perbankan (giral).

Di lain pihak, bagi para penegak hukum akan membantu agar dapat lebih jelas

152 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia (Ditinjau Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, serta Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan) (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2013), hal. 131.

153 Ibid, hal. 132.

menerapkan ketentuan dalam Pasal 40 sampai Pasal 45 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.154

Menurut Penjelasan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Perbankan bahwa :

155

Artinya, jika nasabah itu hanya berstatus sebagai nasabah debitor, keterangan tentang nasabah debitor dan utangnya tidak wajib dirahasiakan oleh bank/ pihak terafiliasi. Dengan demikian, lingkup rahasia bank hanya meliputi keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Keterangan tersebut wajib dirahasiakan oleh bank/ pihak terafiliasi. Keterangan lain daripada itu bukan rahasia bank.

“Apabila nasabah bank adalah nasabah penyimpan yang sekaligus juga sebagai nasabah debitor, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan”.

156

Pasal 1 butir (17) Undang-Undang Perbankan menentukan bahwa :

157

Sedangkan menurut Pasal 1 butir (5) Undang-Undang Perbankan bahwa :

“Nasabah Penyimpan adalah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan”.

158

154 Marwan Efffendy, Tipologi Kejahatan Perbankan Dari Perspektif Hukum Pidana (Jakarta:

CV. Sumber Ilmu Jaya, 2005), hal. 176-177.

155 Penjelasan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

156 Abdulkadir, Op.Cit., hal 263.

157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 1 butir (17).

158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 1 butir (5).

“Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu”.

Dalam hal definisi “keterangan tentang nasabah penyimpan dan simpanannya”, “keterangan” meliputi semua data dan informasi mengenai diri dan keuangan nasabah penyimpan yang diketahui oleh dan tercatat pada bank serta wajib dirahasiakannya. Kerahasiaan ini untuk kepentingan bank sendiri yang memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan dananya di bank. Masyarakat hanya akan mempercayakan dananya disimpan di bank atau memanfaatkan jasa bank apabila ada jaminan terhadap nasabah bahwa bank akan merahasiakan keterangan tentang nasabah penyimpan dan simpanannya, tentu saja sepanjang tidak dikecualikan oleh undang-undang.159

Ruang lingkup rahasia bank dipersempit atau dibatasi, yakni menyangkut :160 a. Keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Ini tidak

termasuk keterangan mengenai nasabah debitor dan pinjamannya;

b. Kewajiban pihak bank dan pihak terafiliasi untuk merahasiakan keterangan tersebut, kecuali hal itu tidak dilarang oleh undang-undang;

c. Situasi tertentu dimana informasi mengenai nasabah penyimpan dan simpanan boleh saja dibeberkan oleh pihak yang terkena larangan jika informasi tersebut tergolong pada informasi yang dikecualikan atau informasi nasabah penyimpan dan simpanan yang tidak termasuk dalam kualifikasi rahasia bank.

Mengenai sifat rahasia bank, ada dua teori yang dapat dikemukakan, yaitu :161 a. Teori Mutlak (absolute theory)

Menurut teori ini, rahasia bank bersifat mutlak, tidak boleh diungkapkan kepada siapa pun dengan alasan apa pun. Semua keterangan mengenai nasabah dan keuangannya yang tercatat di bank wajib dirahasiakan tanpa pengecualian dan

159 Abdulkadir, Op.Cit., hal. 264.

160 Rachmadi, Op.Cit., hal. 154-155.

161 Abdulkadir, Op.Cit., hal. 264-266.

pembatasan. Kerahasiaan mengenai nasabah dan keuangannya tidak boleh dibuka/

diungkapkan. Apabila terjadi pelanggaran terhadap kerahasiaan tersebut, bank yang bersangkutan harus bertanggungjawab atas segala akibat yang ditimbulkannya.

Keberatan terhadap teori mutlak adalah terlalu individualistis, artinya hanya mementingkan hak individu (perseorangan). Di samping itu, teori mutlak juga bertentangan dengan kepentingan umum, artinya kepentingan Negara atau masyarakat dikesampingkan oleh kepentingan individu yang merugikan Negara atau masyarakat banyak. Teori mutlak ini terutama dianut di Negara Swiss sejak tahun 1934. Sifat mutlak rahasia bank tidak dapat diterobos dengan alasan apa pun. Dengan demikian para koruptor atau pedagang narkoba kelas kakap di dunia merasa aman menyimpan uang hasil kejahatannya pada bank-bank di Swiss.

Karena begitu ketatnya rahasia bank dilaksanakan di Swiss, beberapa Negara tidak dapat menjangkau uang hasil kejahatan warga negaranya yang merugikan Negara atau masyarakat banyak, yang disimpan di bank-bank Swiss. Oleh karena itu, teori mutlak yang dianut oleh Negara Swiss mendapat reaksi keras dari beberapa Negara yang kepentingannya dirugikan. Sebagai contoh, kasus gugatan pemerintah Amerika Serikat melalui Stock Exchange Commission (SEC) kepada sejumlah bank di Swiss karena menampung dana hasil insider trading yang disimpan di beberapa bank di Swiss, agar bank-bank yang bersangkutan membuka rahasia keuangan nasabahnya.

Ternyata rahasia bank yang bersifat mutlak itu dapat dikompromikan. Sifat mutlak ini mulai ditinggalkan oleh bank-bank di Swiss sejak Tahun 1991 dengan

menghapus nama samaran dan kode rekening nasabah, dan harus diganti dengan nama aslinya melalui pendaftaran ulang. Jika para nasabah yang bersangkutan tidak mendaftar ulang, maka para nasabah harus menutup rekeningnya. Negara Swiss bersedia menerima kompromi untuk meninggalkan teori mutlak yang dianutnya karena kepentingan Negara dan rakyat Swiss sendiri perlu dilindungi dari pemboikotan/ embargo beberapa Negara besar dan kuat di dunia.

b. Teori Relatif (relative theory)

Menurut teori ini, rahasia bank bersifat relatif (terbatas). Semua keterangan mengenai nasabah dan keuangannya yang tercatat di bank wajib di rahasiakan.

Namun, jika ada alasan yang dapat dibenarkan oleh undang-undang, rahasia bank mengenai keuangan nasabah yang bersangkutan boleh dibuka/ diungkapkan kepada pejabat yang berwenang, misalnya, pejabat perpajakan atau pejabat penyidik tindak pidana (korupsi, narkoba, dan pencucian uang).

Keberatan terhadap teori relatif adalah rahasia bank masih dapat dijadikan perlindungan bagi pemilik dana yang tidak halal, yang tidak terjangkau oleh aparat penegak hukum karena tidak terkena penyidikan, dengan demikian dananya tetap aman. Akan tetapi, teori relatif sudah sesuai dengan rasa keadilan, artinya kepentingan Negara atau kepentingan masyarakat banyak tidak dikesampingkan

Keberatan terhadap teori relatif adalah rahasia bank masih dapat dijadikan perlindungan bagi pemilik dana yang tidak halal, yang tidak terjangkau oleh aparat penegak hukum karena tidak terkena penyidikan, dengan demikian dananya tetap aman. Akan tetapi, teori relatif sudah sesuai dengan rasa keadilan, artinya kepentingan Negara atau kepentingan masyarakat banyak tidak dikesampingkan

Dokumen terkait