• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Tinjauan Pustaka

5. Pertanggungjawaban Pidana

Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana maka akan selalu mengaitkannya dengan adanya kesalahan yang melanggar larangan pidana dan kemampuan bertanggung jawab, tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (apabila terjadi apa-apa, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana.

Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana : “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea)”. Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi dalam hukum tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia.

      

25

C.S.T Kansil dan Christine S.T.Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cetakan ke-1,

Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal. 15

26

R. Soesilo, Hukum Acara Pidana, Politea, Bogor, 1982, hal. 14-15

27

makalah-hukum-pidana.blogspot.com, diakses pada hari Kamis, 13 Februari 2013

28

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”tanggung jawab” adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Pidana adalah kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, dsb)29. Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana30. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana.

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan

toerekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk lebih memahami tentang pertanggungjawaban dalam hukum pidana maka kita harus mengetahui apa sebenarnya arti kesalahan itu:

“orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela kareananya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu mengetahui makan (jelek) perbuatan tersebut, dengan kata lain perbuatan tersebut memang sengaja dialkukan. Penjelasan arti kesalahan, kemampuan bertanggung jawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal dan sehat.”

Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggungjawab, hanya dijelaskan mengenai kemampuan bertanggungjawab, hanya dijelaskan mengenai kemampuan bertanggung jawab yaitu dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP :

“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung- jawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit, tidak dapat dipidana.”

      

29

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal. 1006

30

Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuaan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak di pidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat.31 Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan yang objektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa.

Dengan demikian nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak pidana.32 Oleh karena itu dikatakan bahwa dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidananya si pembuat adalah asas”tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dapat dikatakan orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia mempunyai kesalahan.

Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat (liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.33 Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai

      

31

Prof.Mr.Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara

Baru, Jakarta, 1983, hal 75

32

Ibid, hal .76

33

Chairul Huda, Hukum Internasional, Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Djambatan,

faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam

common law sistem, berlaku maksim latin yaitu octus non est reus, nisi mens sit rea. Suatu kelakukan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa kehendak jahat, pada satu sisi doktrin ini menyebabkan adanya mens rea

merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi lain, hal ini menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut.

Dengan demikian, mens rea yang dalam hal ini disinonimkan dengan

quilty of mind atau vicious will, merupakan hal yang menenukan

pertanggungjawaban pembuat pidana. Dilihat dari sisi ini, penggunaan dktrin

mens rea dalam common law system, pada hakikatnya sejalan dengan penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam civil law system. Bertitik tolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno mengemukakan suatu pandangan yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis, pada pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana ini hanya menyangkut persoalan “perbuatan” sedangkan masalah apakah orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah persoalan lain.34

Dalam banyak kejadian, tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan terhadapnya. Dengan kata lain, walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak dililiputi kesalahan dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu.35

Untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntu ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan. Dipisahkannya tindak pidana dan       

34

Chairul Huda, Ibid, hal. 5

35

pertanggungjawaban pidana menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur tindak pidana dan ditempatkan sebagai faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana.

Namun demikian, bagaimana konsepsi ini diterapkan dalam praktik hukum perlu pengkajian lebih lanju. Pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena iu, pengkajian mengenai teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawban pidana, pertama-tama dilakukan dengan menelusuri penerapan dan perkembangannya dalam putusan pengadilan. Dengan kata lain, konkretisasi sesungguhnya dari penerapan dari teori tersebut terdapat dalam putusan pengadilan.

Seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karennya, sebab dianggap dapat berbuat lain jika memang tidak ingin berbuat demikian. Dilihat dari segi masyarakat, ini menunjukkan pandangan yang normatif menganai kesalahan. Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang berpandangan psychologisch. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin dari terdakwa, tetapi bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai keadaan batin itu, apakah dinilai ada atau tidak ada kesalahan.

Pompe menyingkat kesalahan ini dengan dapat dicela (verwijbaarheid)

dan dapat dihindari (vermijdbaarheid) perbuatan yang dilakukan36. Pompe mengatakan, menurut akibatnya, hal ini adalah dapat dicela, menurut hakikatnya dia adalah dapat dihindarinya kelakukan melawan hukum itu. Karena kehendak si pembuat itu terlihat pada kelakuan yang bersifat melawan hukum, maka ini dapat dicelakan padanya. Sampai sekian jauh, maka kesalahan menyebabkan atau mempunyai akibat dapat dicela. Celaan ini dimungkinkan karena si pembuat itu bisa berusaha, agar dia tidak berbuat berlawanan dengan hukum oleh karena dia juga dapat berbuat sesuai dengan hukum.

      

36

Pelanggaran atas norma itu bergantung pada kehendaknya, itu dapat dihindari. Berarti kesalahan pada hakikatnya dapat dihindari. Menurut Pompe, kelakuan adalah suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang yang nampak keluar dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum. Simons mengatakan bahwa kesalahan adalah keadaan psychis orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi.37Jadi yang harus diperhatikan adalah :

a. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu.

b. Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan. Kedua hal inilah yang harus diperhatikan, dimana diantara keduanya terjalin erat satu dengan yang lainnya, yang kemudian dinamakan kesalahan. Hal yang merpakan kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan persoalan yang lazim disebut dengan kemampuan bertanggung jawab. Sedangkan mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan, merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alasan pemaaf, sehingga mampu bertanggungjawab, mempunyai kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan.

Ketiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti demikianlah urut-urutannya dan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu. Konkritnya tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau kealpaan, apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu bretanggung jawab dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan.

Selanjutnya tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur       

37

kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka haruslah :

a. Melakukan perbuatan pidana b. Mampu bertanggung jawab

c. Dengan kesengajaan atau kealpaan d. Tidak adanya alasan pemaaf

Telah dikatakan di atas bahwa mengenai keadaan batin dari si terdakwa dalam ilmu hukum pidana merupakan kemampuan bertanggung jawab, apakah yang menyebabkan maka hal ini merupakan suatu masalah ? Dalam hukum positif kita, yaitu dalam Pasal 44 KUHP dinyatakan bahwa : “Apabila yang melakukan perbuatan pidana itu tidak dapat dipertanggungjawabkan disebabkan karena pertumbuhan yang cacat atau adanya gangguan karena penyakit daripada jiwanya maka orang itu tidak dipidana. “

Jadi seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 44 KUHP, maka tidak dapat dipidana. Ketentuan dalam hukum positif ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam teori, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak diinginkan. Demikian yang disebut mengenai oran gyang mampu bertanggungjawab. Orang yang tidak mampu bertanggung jawab tentu saja tidak sepantasnya dianggap dapat berbuat seperti yang diharapkan oleh hukum ataupun pikiran yang sehat.

Prof. Mr. Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu bertanggung-jawab itu harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu : 38

a. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya.

b. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patur dalam pergaulan masyarakat.

c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.

      

38

KUHP memberikan defenisi ketidakmampuan bertanggung jawab ditandai oleh salah satu dari dua hal yaitu jika cacat atau jiwa yang terganggu karena penyakit. Tidak mampu bertanggungjawab adalah ketidaknormalan keadaan batin pembuat karena cacat jiwa atau gangguan penyakit jiwa. Sehingga padanya tidak memenuhi persyaratan untuk diperiksa. Dengan kata lain seseorang dipandang bertanggungjawab jika tidak ditemukan keadaan-keadaan tertentu. Maka dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pertanggung- jawaban yaitu kemampuan seseorang utnuk menerima resiko dari perbuatan yang diperbuatnya sesuai dengan undang-undang.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum. Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan mana yang tidak.

Dokumen terkait