• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanian Berkelanjutan dan Pertanian Organik

II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Pertanian Berkelanjutan dan Pertanian Organik

Menurut Manguiat (1995), ada dua peristiwa penting yang menandai kelahiran paradigma baru sistem pertanian berkelanjutan. Peristiwa pertama adalah laporan dari Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (World

Commission on Environment and Development) pada tahun 1987, yang

mendefinisikan yang berupaya mempromosikan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Peristiwa kedua adalah konferensi Dunia di Rio de Janeiro pada tahun 1992, yang membahas Agenda 21 dengan mempromosikan program Sustainable Agriculture and Rural Development.

Di kalangan para pakar ilmu tanah atau agronomi, istilah pertanian berkelanjutan lebih dikenal dengan istilah LEISA (Low External Input

Sustainable Agriculture) atau LISA (Low Input Sustainable Agriculture), yaitu

sistem pertanian yang berupaya meminimalkan penggunaan input (benih, pupuk kimia, pestisida, dan bahan bakar) dari luar ekosistem, yang dalam jangka panjang dapat membahayakan kelangsungan hidup sistem pertanian (Salikin 2003). Menurut Reijntjes et al. (1992), pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumbar daya alam.

Menurut FAO (1989) seperti yang diacu dalam Salikin (2003), menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan dan konservasi sumber daya alam yang berorientasi pada perubahan teknologi dan kelembagaan yang dapat menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Selanjutnya, Nasution (1995) mengemukakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah kegiatan pertanian yang berupaya untuk memaksimalkan manfaat sosial dari pengelolaan sumber daya biologis dengan syarat memelihara produktivitas dan efisiensi produksi komoditas pertanian, memelihara lingkungan hidup, dan produktivitas sumber daya sepenjang masa.

Dari berbagai definisi di atas, pertanian berkelanjutan berkaitan dengan dimensi waktu dan kapasitas sistem usaha tani untuk mendukung kehidupan dalam jangka waktu tidak terbatas. Keadaan tersebut dapat dicapai berdasarkan dua elemen kunci, yaitu (1) penggunaan bahan kimia terutama pupuk dan

14

pestisida secara minimal, dan (2) sistem usaha tani dipandang sebagai satu kesatuan sehingga pengambilan keputusan harus memperhatikan dampak terhadap sistem yang lain (Baliwati 2001).

Dengan demikian, keterkaitan antara pertanian berkelanjutan dengan ketahanan pangan dapat dilihat pada tujuan dari penerapan sistem pertanian berkelanjutan yang mengarah pada peningkatan kualitas kehidupan. Zamora (1995) merinci tujuan pertanian berkelanjutan sebagai berikut: (1) untuk mewujudkan ketahanan pangan, (2) pengembangan sumber daya manusia, (3) meningkatkan kualitas hidup, dan (4) menjaga kelestarian sumber daya alam.

Untuk menilai keberlanjutan dari suatu sistem usaha tani diperlukan indikator. Indikator pertanian berkelanjutan yang dikembangakan Conway (1987) seperti yang diacu dalam Salikin (2003) meliputi produktivitas, stabilitas, sustainabilitas, dan ekuitabilitas. Produktivitas sistem pertanian merupakan upaya peningkatan produksi per satuan waktu. Stabilitas sistem pertanian menggambarkan fluktuasi produksi hasil panen setiap waktu yang disebabkan oleh perubahan agroekosistem atau serangan hama dan penyakit. Sustainabilitas merupakan gambaran ketahanan sistem budi daya pertanian terhadap perubahan lingkungan atau ekonomi . Perubahan ini dapat bersifat menekan karena memberikan efek yang akumulatif, seperti erosi atau penurunan permintaan atas produk pertanian; atau bersifat mengejutkan karena tak terduga dan memberikan dampak yang sangat berarti, seperti terjadinya krisis ekonomi yang mengakibatkan peningkatan harga input pertanian secara tajam.

Ekuitabilitas atau kesamarataan menggambarkan bahwa produksi pertanain dapat dapat memberikan keuntungan yang merata atau sebaliknya. Ekuitabilitas usaha tani yang tinggi akan membuat sebagian besar orang orang dapat menikmati keuntungan dari produk pertanian.

Sistem pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan menggunakan beberapa macam model sistem. Salah satunya adalah sistem pertanian organik. Pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah (no-tillage) yang merupakan salah bentuk penerapan pertanian berkelanjutan, jika dikombinasikan dengan sistem pertanian organik akan memberikan hasil yang memuaskan. Hasil penelitian Teasdale et al (2007) yang dilakukan selama 9 tahun menunjukkan

15

bahwa produksi jagung yang diperoleh dari lahan no-tillage dengan kombinasi pertanian organik memberikan hasil 18% lebih besar daripada lahan no-tillage

dengan sistem pertanian non organik.

Pengertian sistem pertanian organik menurut IFOAM (2004) adalah sistem pertanian yang mengedepankan daur ulang unsur hara dan proses alami dalam pemeliharaan kesuburan tanah dan keberhasilan produksi. Di Indonesia, pengertian sistem pertanian organik lebih dirinci oleh Badan Standardisasi Nasional yang dituangkan dalam SNI (2002) tentang Sistem Pangan Organik, yaitu sebagai sistem pertanian yang menerapkan praktek-praktek manajemen yang bertujuan untuk memelihara ekosistem untuk mencapai produktivitas yang berkelanjutan, dan didasarkan pada penggunaan masukan eksternal yang minimum, serta menghindari penggunaan pupuk dan pestisida sintetis. Kesuburan tanah dijaga dan ditingkatkan melalui suatu sistem yang mengoptimalkan aktivitas biologis tanah dan keadaan fisik dan mineral tanah yang bertujuan untuk menyediakan suplai nutrisi yang seimbang bagi kehidupan tumbuhan dan ternak serta menjaga sumberdaya tanah. Manajemen hama dan penyakit dilakukan dengan merangsang adanya hubungan seimbang antara inang/predator, peningkatan populasi serangga yang menguntungkan, pengendalian biologis serta pembuangan secara mekanis hama maupun bagian tumbuhan yang terinfeksi.

Lebih jauh menurut SNI (2002), sistem pertanian organik merupakan suatu sistem produksi pangan organik yang dirancang untuk: (1) mengembangkan keanekaragaman hayati dalam sistem secara keseluruhan; (2) meningkatkan aktivitas biologis tanah; (3) menjaga kesuburan tanah dalam jangka panjang; (4) mendaur ulang limbah yang berasal dari tumbuhan dan hewan untuk mengembalikan nutrisi ke lahan sehingga meminimalkan penggunaan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui; (5) mengandalkan sumberdaya yang dapat diperbaharui pada sistem pertanian yang dikelola secara lokal; (6) mempromosikan penggunaan tanah, air dan udara secara sehat, serta meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan oleh praktek-praktek pertanian; (7) menangani produk pertanian dengan penekanan pada cara pengolahan yang hati-hati untuk menjaga integritas organik dan mutu produk pada seluruh tahapan; dan (8) bisa diterapkan pada seluruh lahan pertanian yang ada

16

melalui suatu periode konversi, dimana lama waktunya ditentukan oleh faktor spesifik lokasi seperti sejarah lahan serta jenis tanaman dan hewan yang akan diproduksi.

Menurut Andoko (2004), yang dimaksud dengan beras organik adalah beras yang berasal dari padi yang dibudidayakan secara organik; artinya padi tersebut ditumbuhkembangkan dengan mengikuti prinsip-prinsip pertanian organik. Beras organik memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan beras non organik. Andoko (2004) mengungkapkan bahwa nasi dari beras organik lebih empuk dan pulen, memiliki kenampakan lebih putih, serta memiliki daya tahan hingga 24 jam sementara nasi dari beras non organik hanya 12 jam. Dari alasan keamanan pangan, konsumen merasa tidak terancam kesehatannya dengan memilih padi organik karena tiadanya pemakaian pestisida dalam budidayanya. Alasan kesehatan ini juga diungkapkan oleh Pranasari (8 Nov 2004), yang menulis bahwa pemilihan pangan organik antara lain disebabkan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan.

Persepsi positif terhadap beras organik ditambah dengan masih terbatasnya pasokannya merupakan penyebab utama harga jual beras organik lebih mahal daripada beras non organik. Dalam tulisannya Andoko (2004) menyebutkan ketika harga beras non organik varietas pandan wangi sekitar Rp 3.300/kg, harga beras organik dapat mencapai Rp 3.600/kg untuk varietas yang sama. Selisih tersebut memang tidak banyak, namun tetap berada di atas harga beras non organik. Hal inilah yang membuat nilai ekonomis beras organik lebih tinggi dibanding beras non organik.

Melihat kenyataan tersebut, wajar apabila sebagian petani bersedia beralih dari penghasil beras non organik ke organik. Apalagi jika dilihat dari biaya operasional pembudidayaan padi organik yang lebih rendah daripada non organik. Dengan asumsi sama-sama tidak ada gangguan alam atau serangan hama penyakit, Andoko (2004) menyebutkan untuk padi organik, petani hanya membutuhkan biaya operasional pembudidayaan sebesar Rp 3.375.000,- per ha padahal untuk padi non organik petani harus mengeluarkan uang sebesar Rp 4.677.500,- untuk luasan lahan yang sama. Rincian biaya operasional pembudidayaan padi organik dan non organik disajikan pada Tabel 1.

17

Pendapatan petani dari beras organik tersebut dapat lebih ditingkatkan lagi jika kondisi petani memungkinkan untuk menerapkan sistem usahatani yang memadukan komponen tanaman dan ternak. Sayangnya, sistem usahatani ini mensyaratkan kepemilikan ternak dalam jumlah yang memadai dan tersedia lahan dengan luasan yang mampu menopang sistem pertanian terpadu tersebut. Namun jika persayaratan tersebut dapat terpenuhi, maka salah satu pertimbangan dalam mengembangkan pertanian organik, yaitu memanfaatkan sumberdaya terbarukan

(renewable resources) yang berasal dari sistem usaha tani itu sendiri, akan dapat

dipenuhi (IFOAM 1990, diacu dalam Sutanto 2002).

Tabel 1. Perbandingan biaya operasional per ha pembudidayaan padi organik dan non oganik (Andoko 2004)

Uraian Biaya Budidaya (Rp)

Organik Non organik

Benih 150.000 150.000 Pupuk dasar 750.000 - Pupuk susulan: - Organik 200.000 - - Non organik - 1.532.500 Pestisida: - Organik 50.000 - - Non organik - 750.000 Tenaga kerja 2.225.000 2.225.000 Jumlah 3.375.000 4.677.500

Shivashankara dan Hedge (1996) dalam Sutanto (2002) mengungkapkan walaupan sistem usahatani yang memadukan komponen tanaman dan ternak ini memiliki karakteristik membutuhkan tenaga kerja labih banyak sepanjang tahun, namun produk pertanian yang diperoleh menjadi beragam yaitu berupa produk hewani dan nabati. Sistem usahatani ini menuntut penggantian biomassa dalam jumlah banyak melalui pengembalian sisa tanaman dan kotoran ternak ke dalam tanah, maka terjadi peningkatan proses daur ulang, kesehatan tanah diperbaiki, produksi meningkat, dan lingkup pertanian organik terpenuhi. Secara ringkas, hubungan sistem usahatani tersebut dengan karakteristiknya disajikan pada Gambar 3.

18

Dokumen terkait