• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNA NARKOTIKA A.Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anak Pelaku

Tindak Pidana Pengguna Narkotika

Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan penyalahgunaan narkotika pada akhirnya akan bermuara pada persoalan bagaimana hakim dalam menjatuhkan putusan. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana akan sangat menentukan apakah putusan seorang hakim dianggap adil atau menentukan apakah putusannya dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.44

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dapat digunakan sebagai bahan analisis tentang orientasi yang dimiliki hakim dalam menjatuhkan putusan juga sangat penting untuk melihat bagaimana putusan yang dijatuhkan itu relevan dengan tujuan pemidanaan yang telah ditentukan. Secara umum dapat

44

dikatakan, bahwa putusan hakim yang tidak didasarkan pada orientasi yang benar, dalam arti tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yang telah ditentukan, justru akan berdampak negatif terhadap proses penanggulangan kejahatan itu sendiri dan tidak akan membawa manfaat bagi terpidana.45

Penjatuhan putusan terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak, hakim membuat pertimbangan-pertimbangan. Menurut pengamatan dari 5 (Lima) putusan yang berasal dari Pengadilan Negeri Medan, hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika cenderung menggunakan pertimbangan yang bersifat yudiris dibandingkan yang bersifat non-yudiris.

1. Pertimbangan yuridis

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis di antaranya:46

a. Dakwaan jaksa penuntut umum. b. Tuntutan pidana. c. Keterangan saksi. d. Keterangan terdakwa. e. Barang-barang bukti. 45 Ibid. 46

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/4748/1/09E01948.pdf, diakses Rabu, 12 September 2012.

f. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Narkotika. ad.a. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemerikasaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan dimuka pengadilan.47 Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan (Pasal 143 ayat (1) KUHAP). Dalam menyusun sebuah surat dakwaan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah syarat-syarat formil dan materilnya.48

47

Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 65.

Dakwaan berisi identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP). Perumusan dakwaan didasarkan

48

Syarat Formil telah diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diantaranya terdiri dari:

a. Nama lengkap, tanggal lahir, umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.

b. Uraian secara cermat jelas dan lengkap mengenai Tindak Pidana yang didakwakan dengan waktu dan tempat Tindak Pidana dilakukan.

Sedangkan untuk syarat materil diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang menyebutkan surat dakwaan agar:

a. Disusun secara cermat didasarkan kepada ketentuan pidana terkait, tanpa adanya kekurangan / kekeliruan yang menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum atau dapat dibatalkan / dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). b. Jelas, didasarkan pada uraian yang jelas dan mudah dimengerti dengan cara

menyusun redaksi yang mempertemukan fakta-fakta perbuatan terdakwa dengan unsur tindak pidana yang didakwakan.

c. Disusun secara lengkap, berdasarkan uraian yang bulat dan utuh yang mampu menggambarkan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan, diantaranya:

1. Merumuskan lebih dahulu unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan yang kemudian disusul dengan uraian-uraian fakta-fakta perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana tersebut.

2. Dirumuskan unsur-unsur tindak pidana dan fakta-fakta perbuatan secara langsung dan bertautan satu sama lain sehingga tergambar bahwa semua unsur tindak pidana tersebut terpenuhi oleh fakta perbuatan terdakwa.

dari hasil pemeriksaan pendahuluan yang dapat disusun tunggal, kumulatif, alternatif maupun subsidair.49 Dakwaan disusun secara tunggal apabila seseorang atau lebih mungkin melakukan satu perbuatan saja, misalnya hanya sebagai pemakai. Namun, kalau lebih dari satu perbuatan misalnya ketika tertangkap memakai narkotika ditemukan pula senjata api dalam hal ini dakwaan disusun secara kumulatif. Oleh karena itu dalam penyusunan dakwaan ini disusun sebagai dakwaan kesatu, kedua, ketiga dan seterusnya. Selanjutnya dakwaan alternatif disusun apabila penuntut umum ragu untuk menentukan peraturan hukum pidana yang akan diterapkan atas suatu perbuatan yang menurut pertimbangannya telah terbukti, surat dakwaan yang tindak pidananya masing-masing dirumuskan secara saling mengecualikan dan memberikan pilihan kepada pengadilan untuk menentukan dakwaan mana yang paling tepat untuk dipertanggungjawabkan oleh terdakwa sehubungan dengan tindak pidana. Biasanya dalam surat dakwaan ada kata “atau”.50

49

Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 125.

Surat dakwaan subsideritas ialah surat dakwaan yang terdiri atas atau beberapa pasal dakwaan atau berjenjang-jenjang berurutan mulai dari ancaman hukuman terberat sampai kepada tindak pidana yang paling ringan. Subsidair disini dimaksudkan sebagai susunan dakwaan pengganti (Whit the alternative of) dengan maksud dakwaan subsidair menggantikan yang primair itu tidak terbukti dipersidangan pengadilan. Jadi, jika dalam suatu

2012.

dakwaan terdapat hanya 2 (dua) saja pasal yang didakwakan, maka yang pertama disebut primair dan kedua disebut subsidair.51

Lima Putusan Pengadilan Negeri Medan yang diteliti dalam penulisan tesis ini, semuanya menyebutkan bahwa dakwaan penuntut umum sebagai bahan pertimbangan pengadilan dalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika .

Ad.b. Tuntutan pidana.

Tuntutan pidana biasanya menyebutkan jenis-jenis dan beratnya pidana atau jenis-jenis tindakan yang dituntut oleh jaksa penuntut umum untuk dijatuhkan oleh pengadilan kepada terdakwa, dengan menjelaskan karena telah terbukti melakukan tindak pidana yang mana, jaksa penuntut umum telah mengajukan tuntutan pidana tersebut di atas.52

Penyusunan surat tuntutan oleh jaksa penuntut umum disesuaikan dengan dakwaan jaksa penuntut umum dengan melihat proses pembuktian dalam persidangan, yang disesuaikan pula dengan bentuk dakwaan yang digunakan oleh jaksa penuntut umum.53

51

Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, (Ghalia, Jakarta,2009), hal. 142.

sebelum sampai pada tuntutannya didalam requisitoir itu biasanya penuntut umum menjelaskan satu demi satu tentang unsur-unsur tindak

52

Tambah Sembiring, Proses Pemeriksaan Perkara Pidana Di Pengadilan Negeri, (Medan: USU Press, 1993), hlm. 59.

53

pidana yang ia dakwakan kepada terdakwa, dengan memberikan alasan tentang anggapannya tersebut.54

ad.c. Keterangan Saksi

keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang merupakan keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.55 Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf a. Sepanjang keterangan itu mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri ia lihat sendiri dan alami sendiri, dan harus disampaikan dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah de auditu testimonium.56

54

Tambah sembiring, Op. Cit., hlm. 60.

Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di persidangan. Oleh karena itu hakim harus cermat jangan sampai kesaksian demikian itu menjadi pertimbangan dalam putusannya. Untuk itu sedini mungkin harus diambil langkah-langkah pencegahan. Yakni dengan bertanya langsung kepada saksi bahwa apakah yang dia terangkan itu merupakan suatu peristiwa pidana yang dia dengar, dia lihat dan dia alami sendiri. Apabila ternyata yang diterangkan itu

55

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik, Dan Permasalahannya, (Bandung: PT. Alumni, 2007), hlm. 169.

56

SM. Amin,

suatu peristiwa pidana yang tidak dia lihat, tidak dia dengar, dan tidak di alaminya sendiri sebaiknya hakim membatalkan status kesaksiannya dan keterangannya tidak perlu lagi didengar untuk menghindarkan kesaksian de auditu.

Keterangan saksi tampaknya menjadi pertimbangan utama dan selalu dipertimbangkan hakim dalam putusannya. Dari lima putusan hakim yang diteliti pada penulisan tesis ini semuanya mempertimbangkan keterangan saksi.

Ad.d. Keterangan Terdakwa

Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e. keterangan terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang dia lakukan atau yang dia ketahui sendiri atau yang dia alami sendiri, ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP.57 Dalam praktek keterangan terdakwa sering dinyatakan dalam bentuk pengakuan dan penolakan, baik sebagian maupun keseluruhan terhadap dakwaan penuntut umum dan keterangan yang disampaikan oleh para saksi. Keterangan terdakwa juga merupakan jawaban atas pertanyaan baik yang diajukan oleh penuntut umum, hakim maupun penasehat hukum. Keterangan terdakwa dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya. Dengan demikian, keterangan terdakwa yang dinyatakan dalam bentuk penolakan atau penyangkalan sebagaimana sering dijumpai dalam praktek persidangan, boleh juga dinilai sebagai alat bukti.58

57

Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM Press, 2008), hlm. 25. 58

Ad.e. Barang-barang Bukti

Barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana.59 barang-barang ini disita oleh penyidik untuk dijadikan sebagai bukti dalam sidang pengadilan. Barang yang digunakan sebagai bukti yang diajukan dalam sidang pengadilan bertujuan untuk menguatkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa.60

Barang-barang bukti yang dibicarakan di sini adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan yang diajukan oleh penuntut umum di persidangan yang meliputi:61

1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga atau diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.

2. Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana.

3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana. 4. Benda khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.

5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.

Barang-barang bukti yang dimaksud di atas tidak termasuk dalam alat bukti karena menurut KUHAP menetapkan hanya lima macam alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Walaupun barang bukti bukan sebagai alat bukti namun penuntut umum menyebutkan barang bukti itu didalam surat dakwaannya yang kemudian mengajukannya kepada hakim dalam pemeriksaan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi bahkan bila perlu hakim

59

Ansori Sabuan, dkk, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Angkasa, 1990), hlm. 182. 60

Jur Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 20. 61

membuktikannya dengan membacakannya atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu.62

Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan sudah barang tentu hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa maupun para saksi.

Ad.f. Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Narkotika

Hal yang sering terungkap di persidangan adalah pasal-pasal yang dikenakan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Pasal-pasal ini bermula dan terlihat dalam surat dakwaan yang diformulasikan oleh penuntut umum sebagai ketentuan hukum narkotika yang dilanggar oleh terdakwa. Dalam persidangan, pasal-pasal dalam undang-undang narkotika itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa.63Penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal undang-undang tentang narkotika. Apabila ternyata perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar, berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa melakukan perbuatan seperti dalam pasal yang didakwakan kepadanya.64

62

Lihat Pasal 181 ayat (13) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. 63

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/4748/1/09E01948.pdf, diakses Rabu, 12 September 2012.

64 Ibid.

Menurut Pasal 197 huruf e KUHAP salah satu yang harus dimuat dalam surat putusan pemidanaan adalah pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan. Pasal-pasal yang didakwakan oleh penuntut umum menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Keseluruhan putusan hakim yang diteliti dalam penulisan tesis ini, memuat pertimbangan tentang pasal-pasal dalam undang-undang narkotika yang dilanggar oleh terdakwa. Tidak ada satu putusanpun yang mengabaikannya. Hal ini dikarenakan pada setiap dakwaan penuntut umum, pasti menyebutkan pasal-pasal yang dilanggar oleh terdakwa, yang berarti fakta tersebut terungkap di persidangan menjadi fakta hukum.

2. Pertimbangan non yuridis

Di samping pertimbangan yang bersifat yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai keadilan dalam pemidanaan anak dibawah umur, tanpa ditopang dengan pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis dan filosofis.65

65

Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, (Bandung: PT. Alumni, 2009), hlm. 93.

Pertimbangan non-yuridis oleh hakim dibutuhkan oleh karena itu, masalah tanggung jawab hukum yang dilakukan oleh anak dibawah umur tidaklah cukup kalau hanya didasarkan pada segi normatif, visi kerugiannya saja, tetapi faktor intern dan ekstern anak yang melatarbelakangi anak dalam melakukan kenakalan atau kejahatan juga harus ikut dipertimbangkan secara arif oleh hakim yang mengadili anak. Aspek sosiologis berguna untuk mengkaji latar

belakang social mengapa seorang anak melakukan suatu tindak pidana, aspek psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis anak pada saat anak melakukan suatu tindak pidana dan setelah menjalani pidana sedangkan aspek kriminologi diperlukan untuk mengkaji sebab-sebab seorang anak melakukan tindak pidana dan bagaimana sikap serta prilaku anak yang melakukan tindak pidana, dengan demikian hakim diharapkan dapat memberikan putusan yang adil sesuai dengan kebutuhan anak.66

Masalah perilaku, kejiwaan dan kondisi sosial seseorang sangatlah sulit diukur secara eksak dan diselesaikan secara zakelijk. Untuk itu, sebagai profil hukum pidana anak yang arif harus mampu mengadakan pendekatan sosial (sosiological approach) yang sesuai terhadap anak yang telah melakukan tindak pidana untuk mengetahui kondisi anak yang sebenarnya, misalnya: kelabilan jiwanya, tingkat pendidikan, sosial ekonominya, sosial budayanya di rumah, di sekolah, dan di masyarakat. Langkah ini perlu diambil agar hakim dapat membuat keputusan yang sesuai, tidak merugikan perkembangan jiwa dan masa depan anak.67 Jika hakim dalam putusannya hanya mendasarkan pada pertimbangan yuridis saja dapat menyebabkan kerugian terhadap kehidupan anak,68

tetapi juga tindakan hakim itu

67

Bunadi Hidayat, Op.Cit., hlm. 94.

68

Hakim dalam memberikan pertimbangan terhadap anak, berupa pertimbangan yuridis saja berarti hakim hanya memandang dari segi normatif saja. Satjipto Rahardjo dalam sebuah diskusi mengemukakan bahwa, hakim tidak boleh hanya berlindung di belakang undang-undang, ia harus tampil dalam totalitas termasuk dengan nurani. Hukum, undang-undang hanya kertas dengan tulisan umum dan abstrak. Di tangan para hakim, ia menjadi keadilan yang hidup. Pemidanaan terhadap anak

dapat disebut sebagai stigmatic maker's decision for children (pembuat stigma keputusan untuk anak-anak).69

Sejak adanya sangkaan atau diadakan penyidikan sampai diputuskan pidananya dan menjalani putusan tersebut, anak harus didampingi oleh petugas sosial yang membuat Case Study tentang anak dalam sidang. Pembuatan laporan sosial yang dilakukan oleh sosial worker ini merupakan yang terpenting dalam sidang anak, yang sudah berjalan ialah pembuatan Case Study oleh petugas Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak.70

Peran BAPAS yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarkatan (PK) juga dapat ditemukan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Bab IV Pasal 34 ayat 1 yang menyatakan bahwa Pembimbing Kemasyarakatan bertugas:

a. Membantu memperlancar tugas penyidik, penuntut umum dan Hakim dalam perkara anak nakal, baik didalam maupun di luar siding anak dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan (LITMAS).

b. Membimbing, membantu dan mengurus anak nakal berdasarkan putusan pengadilan yang menjatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda diserahkan kepada Negara dan harus mengikuti latihan kerja atau yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan.

tidak cukup didasarkan pada pertimbangan yuridis, tetapi lebih bijaksana apabila didasarkan pada pertimbangan non yuridis, seperti pertumbuhan fisik, mental dan spiritual anak.

69 Op.Cit. 70

Adapun yang tercantum dalam case study ialah gambaran keadaan si anak, berupa:71

a. Masalah sosialnya; b. Kepribadiannya;

c. Latar belakang kehidupannya, misalnya: 1) Riwayat sejak kecil;

2) Pergaulannya diluar dan di dalam rumah; 3) Keadaan rumah tangga si anak;

4) Hubungan antara bapak, ibu dan si anak;

5) Latar belakang saat dilakukannya tindak pidana tersebut.

Laporan hasil penelitian kemasyarakatan tersebut sebagai salah satu bahan pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara anak. Dalam Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan.

Bunyi Pasal 52 ayat (2), yaitu:

“Putusan sebagaiman yang dimaksud dengan ayat (1) wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan”

Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan tersebut karena dalam menetukan sanksi yang akan dijatuhkan kepada anak nakal, hakim mempunyai pilihan antara lain menjatuhkan sanksi (Pasal 23) atau mengambil tindakan (Pasal 24).Secara teoritis pilihan-pilihan sanksi yang dapat dijatuhakan kepada anak adalah untuk mengambil keputusan yang terbaik untuk anak. Anak yang berkonflik dengan hukum secara sosiologis tidak dapat dinyatakan salah sendiri

71

karena ia belum menyadari akibat dari tindakannya dan belum dapat memilih mana tindakan yang baik dan mana tindakan yang tidak baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.72

Pelanggaran pidana oleh anak lebih merupakan kegagalan proses sosialisasi dan lemahnya pengendalian sosial terhadap anak. Oleh karena itu keputusan hakim dalam perkara anak harus mempertimbangkan keadaan anak yang sesungguhnya atau realitas sosial anak tersebut, bukan hanya melihat aspek pidananya saja.73

Meskipun Hakim wajib mempertimbangkan Laporan Penelitian Kemasyarakatan, namun dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tidak menjelaskan alasan Laporan pembimbing Kemasyarakatan ini diwajibkan untuk dipertimbangkan Hakim dalam mengambil keputusannya. Hakim tidak terikat penuh pada laporan penelitian tersebut, hanya merupakan bahan pertimbangan bagi Hakim untuk mengetahui latar belakang anak melakukan kenakalan. Hakim pengadilan dalam mengambil keputusan lebih terfokus pada hasil pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Akan tetapi, pada Pasal 60 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menggantikan Udang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak menjelaskan bahwa hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan apabila laporan penelitian

Sabtu, 11 Agustus 2012. 73 Ibid.

kemasyarakatan tidak dipertimbangan dalam putusan hakim, putusan batal demi hukum.74

Hakim yang menangani perkara pidana anak sedapat mungkin mengambil tindakan yang tidak memisahkan anak dari orangtuanya, atas pertimbangan bahwa rumah yang jelek lebih baik dari Lembaga Pemasyarakatan Anak yang baik (a bad home is better than a good institution/prison). Hakim seyogianya benar-benar teliti dan mengetahui segala latar belakang anak sebelum sidang dilakukan. Dalam mengambil putusan, hakim harus benar-benar memperhatikan kedewasaan emosional, mental, dan intelektual anak. Dihindarkan putusan hakim yang mengakibatkan penderitaan batin seumur hidup atau dendam pada anak, atas kesadaran bahwa putusan hakim bermotif perlindungan.75

3. Pertimbangan yang memberatkan dan meringankan

Penjatuhan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika di Pengadilan Negeri Medan yang dilakukan oleh hakim memuat hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hal ini memang sudah ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan putusan pemidanaan memuat keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.

a. Hal-hal yang Memberatkan Pidana dalam KUHP

74

Lihat Pasal 60 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

75

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm.120.

KUHP hanya mengatur hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan pidana, yaitu sedang memangku suatu jabatan (Pasal 52 KUHP), recidive atau pengulangan, dan Gabungan atau samenloop (Titel 6 Buku 1 KUHP).

1) Jabatan

Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusannya sebagai berikut: “ bilamana seseorang pejabat karena melakukan tindakan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiganya.”

Dasar pemberatan pidana tersebut dalam Pasal 52 KUHP adalah terletak pada keadaan jabatan dari kualitas si pembuat (pejabat atau pegawai negeri) mengenai 4 (empat) hal, ialah:76

a) Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya.

Dalam hal ini yang dilanggar oleh pegawai negeri dalam melakukan tindak

Dokumen terkait