• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM POKOK PERKARA

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa permasalahan utama permohonan Pemohon adalah keberatan atas Surat Komisi Pemilihan Umum Kota Kupang Nomor 90/KPU-Kota.018.434078/II/2012, tertanggal 23 Februari 2012 tentang Penyampaian Hasil Penelitian Berkas Pencalonan Komisi Pemilihan Umum Kota Kupang (vide bukti P-2) yang pada pokoknya surat a quo menyatakan Pemohon tidak memenuhi syarat dan harus menyampaikan perbaikan pada tanggal 24 Februari 2012 sampai dengan tanggal 1 Maret 2012, karena terdapat permasalahan pada persyaratan partai politik pendukung Pemohon, sehingga tidak diperhitungkan perolehan kursinya, yaitu Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dengan alasan kepengurusan partai bersifat ganda, dan Partai Indonesia Sejahtera (PIS) dengan alasan dukungan partai bersifat ganda;

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah), terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal berikut:

1. Kewenangan Mahkamah mengadili permohonan a quo;

2. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo;

3. Tenggang waktu pengajuan permohonan.

Terhadap ketiga hal dimaksud, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah

[3.3] Menimbang bahwa terhadap kewenangan Mahkamah untuk mengadili perkara a quo, Termohon dan Pihak Terkait mengajukan eksepsi yang pada pokoknya, menyatakan bahwa objek yang dimohonkan Pemohon bukanlah objek perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah, karena objek permohonan (objectum litis) yang diajukan oleh Pemohon adalah Surat KPU Kota Kupang

Nomor 90/KPU-Kota.018.434078/II/2012 perihal Surat Penyampaian Hasil Penelitian Berkas Pencalonan, tertanggal 23 Februari 2012, yang merupakan hasil verifikasi tahap I yang dilakukan oleh Termohon, sehingga Mahkamah tidak berwenang untuk memeriksa perkara a quo;

[3.4] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), junctis Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844, selanjutnya disebut UU Pemda), Pasal 29 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;

Semula, berdasarkan ketentuan Pasal 106 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 4437, selanjutnya disebut UU 32/2004), keberatan berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon diajukan ke Mahkamah Agung.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4721, selanjutnya disebut UU Penyelenggara Pemilu) yang dimaksud dengan pemilihan umum termasuk Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Wewenang mengadili terhadap perselisihan hasil Pemilukada berdasarkan Pasal 236C UU Pemda dialihkan dari

Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Pada tanggal 29 Oktober 2008, Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi bersama-sama telah menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili, sebagai pelaksanaan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 di atas.

[3.5] Menimbang bahwa memang benar Mahkamah pernah memeriksa Perkara Nomor 108/PHPU.D-IX/2011 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Aceh (selanjutnya disebut perkara Pemilukada Aceh), yang diajukan sebelum pemungutan suara dilaksanakan, sehingga terdapat kemiripan antara perkara Pemilukada Aceh dengan permohonan Pemohon, yaitu diajukan oleh bakal pasangan calon dan objek permohonannya bukan mengenai penetapan hasil penghitungan suara Pemilihan Umum Kepala Daerah. Namun demikian, substansi permohonan dalam perkara Pemilukada Aceh adalah menyangkut konstitusionalitas kedudukan dan hubungan antara Pemerintahan Aceh, DPRA, dan KIP Aceh, serta hak politik rakyat Aceh dalam kaitan dengan penyelenggaraan Pemilukada yang menyangkut hak konstitusionalitas warga negara untuk memilih dan dipilih serta pelaksanaan prinsip-prinsip konstitusionalitas dalam penyelenggaraan pemilihan umum;

[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak sama dengan permohonan perkara Pemilukada Aceh, karena permohonan Pemohon tidak terkait dengan sengketa mengenai konstitusionalitas kedudukan hubungan antara instansi yang berwenang, yang potensial dapat menimbulkan ketidakpastian hukum baik proses maupun hasil akhir Pemilukada. Selain itu, substansi permohonan Pemohon adalah keputusan pejabat tata usaha negara yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menurut Mahkamah merupakan kewenangan pengadilan lain;

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas Mahkamah berpendapat, permohonan Pemohon secara formil belum memenuhi syarat sengketa pemilihan kepala daerah yang menjadi kewenangan Mahkamah karena belum menyangkut hasil pemilihan kepala daerah, sehingga permohonan Pemohon salah objek (error in objecto). Dengan demikian eksepsi Termohon dan Pihak Terkait mengenai kewenangan Mahkamah beralasan menurut hukum, dan oleh karenanya eksepsi Termohon selain dan selebihnya, begitu juga tentang kedudukan hukum, tenggang waktu, dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan.

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Eksepsi Termohon dan Pihak Terkait mengenai kewenangan Mahkamah beralasan menurut hukum;

[4.2] Permohonan Pemohon salah mengenai objeknya (error in objecto); [4.3] Kedudukan hukum, tenggang waktu dan pokok permohonan para

Pemohon tidak dipertimbangkan.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844), serta Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

Dokumen terkait