• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Mahkamah

[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945;

[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109, selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara;

Dengan demikian, para Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:

a. kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;

b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a;

[3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon sebagai berikut:

1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu terhadap Pasal 6A ayat (1), Pasal 7 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Pasal 169 huruf n UU Pemilu:

“Persyaratan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden adalah: (n) belum pernah menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”

Pasal 227 huruf i UU Pemilu:

“Pendaftaran bakal Pasangan Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 dilengkapi persyaratan sebagai berikut: (i) surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”

Pasal 6A ayat (1) UUD 1945:

“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”

Pasal 7 UUD 1945:

“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”

2. Bahwa para Pemohon kemudian menjelaskan mengenai kualifikasinya, sebagai berikut:

a. Pemohon I adalah perseorangan warga negara Indonesia (bukti P-3), yang menggunakan hak memilih dan dipilih pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dan Tahun 2014 serta sebagai peserta Pemilu Calon Anggota DPD Provinsi Jawa Barat Tahun 2014. Selain itu, Pemohon I memiliki hak untuk dipilih sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu yang akan datang sesuai dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 mewakili pekerja ataupun pengusaha karena Pemohon I seringkali beraktivitas dalam praktik hubungan industrial;

b. Pemohon II adalah perkumpulan yang berbentuk Federasi Serikat Pekerja bernama Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa dan telah dicatatkan pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang dengan nomor pencatatan 568/5236/HI-S/X/2013 (bukti P-5 dan bukti P-6), yang memiliki fungsi sebagai wakil pekerja dalam mendorong Pemerintah untuk

memberikan jaminan bagi setiap orang untuk mendapatkan pekerjaan, tercapainya upah serta perlakuan yang adil serta layak dalam hubungan kerja (bukti P-7);

c. Pemohon III adalah badan hukum privat berbentuk perkumpulan bernama Perkumpulan Rakyat Proletar Untuk Konstitusi yang didirikan berdasarkan Akta Notaris Nomor 29 tanggal 24 Maret 2018 dan disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0005130.AH.01.07.Tahun 2018 tanggal 16 April 2018 (bukti P-8 dan bukti P-9), berfungsi sebagai fasilitator dan dinamisator dalam mendorong pemenuhan lapangan kerja yang layak, berkeadilan dan berkelanjutan melalui penguatan peran masyarakat (bukti P-8);

3. Bahwa para Pemohon menganggap Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (1), Pasal 7 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan alasan yang pada pokoknya para Pemohon merasa dirugikan karena ketidakpastian hukum terkait dengan pembatasan masa jabatan tersebut berlaku untuk satu pasangan dengan periode masa jabatan yang sama atau tidak. Hal tersebut dikarenakan Program Nawa Cita dengan salah satu programnya adalah “kerja layak melalui pemenuhan lapangan kerja yang layak dan berkeadilan” yang diusung oleh Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Periode 2014-2019 tidak akan dapat dilanjutkan apabila Joko Widodo tidak berpasangan dengan Jusuf Kalla yang sebelumnya telah menjabat sebagai Wakil Presiden pada periode 2004-2009;

[3.6] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempelajari dengan saksama permohonan para Pemohon, terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan yang terdapat dalam kedua norma Pasal a quo merugikan hak konstitusional para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan mengenai apakah para Pemohon mampu menerangkan dan membuktikan

“adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945” dan “hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian” ke Mahkamah Konstitusi. Penekanan atas hal dimaksud

terutama disebabkan bangunan dalil para Pemohon yang menyatakan, yaitu (1) diberikan hak konstitusional oleh UUD 1945; (2) potensial akan dirugikan oleh berlakunya norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu; (3) kerugian konstitusional tersebut mempunyai causal verband dengan norma pengujian Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu; dan (4) apabila permohonan dikabulkan, potensi kerugian konstitusional para Pemohon tidak akan terjadi.

[3.7] Menimbang bahwa terhadap keempat dalil yang menjelaskan ihwal kedudukan hukum (legal standing) untuk dapat mengajukan permohonan a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.7.1] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon “diberikan hak konstitusional para Pemohon yang menjadi dasar argumentasi yaitu Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”; dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. Hal mendasar yang harus dijelaskan oleh para Pemohon adalah:

apakah benar dengan berlakunya norma dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu telah merugikan hak konstitusional para Pemohon. Secara konstitusional, UUD 1945 memberikan hak kepada semua warga negara, yang telah memenuhi persyaratan, untuk menggunakan hak pilih mereka dalam pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Berkenaan dengan model/cara pemilihan dimaksud, Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan konstruksi konstitusional yang demikian, warga negara yang memiliki hak pilih baru dapat dinilai menjadi kehilangan hak konstitusionalnya bilamana terdapat pasal atau pasal-pasal atau bagian tertentu dalam UU Pemilu (termasuk Penjelasannya) atau undang-undang lain yang menghilangkan hak konstitusional warga negara untuk menggunakan hak pilih mereka. Dalam hal ini, keberadaan norma dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu sama sekali tidak menghilangkan hak para Pemohon untuk menggunakan hak pilih mereka sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. Artinya, hak konstitusional para Pemohon tidak menjadi hilang atau dirugikan dengan

berlakunya norma dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu.

Selain itu, pemberlakuan kedua norma dalam UU Pemilu tersebut tidaklah dapat dinilai telah menghilangkan hak setiap orang untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Sementara itu, terkait dengan Pemohon I yang mendalilkan memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan (legal standing) dengan alasan karena memiliki hak untuk dipilih sebagai calon presiden atau calon wakil presiden yang didasarkan pada Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Berkenaan dengan dalil tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa hak tersebut hanya dapat dipenuhi bilamana seorang warga negara diajukan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden oleh partai politik peserta pemilihan umum sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, pemberlakuan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu sama sekali tidak menghalangi hak Pemohon I untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden sepanjang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.

Dengan demikian, tidak terdapat relevansinya Pemohon I mengaitkan dalil tersebut untuk menjelaskan bahwa yang bersangkutan memiliki kerugian konstitusional sebagai akibat dari diberlakukannya norma dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu.

[3.7.2] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon “potensial akan dirugikan oleh berlakunya norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu”. Tidak jauh berbeda dengan alasan yang dikemukakan Mahkamah pada Sub-Paragraf [3.7.1] di atas, dengan berlakunya norma dalam ketentuan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu, para Pemohon sama sekali tidak menjadi kehilangan hak konstitusionalnya untuk “memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan” dan “hak setiap orang untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. Selama dan sepanjang masih terdapat pasangan calon presiden dan wakil presiden, para Pemohon sama sekali tidak kehilangan hak pilihnya untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. Dalam logika sistem ketatanegaraan Indonesia, siapapun pasangan calon yang terpilih menjadi presiden dan wakil presiden tentunya memiliki tanggung jawab memenuhi janji yang disampaikan

dalam visi dan misi yang diajukan ketika mendaftar sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden. Tidak hanya sekadar memenuhi janji dalam visi dan misi, presiden dan wakil presiden yang dipilih oleh rakyat memiliki tanggung jawab mewujudkan tujuan bernegara seperti yang tertuang dalam Tujuan Bernegara dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945.

[3.7.3] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon “kerugian konstitusional tersebut mempunyai causal verband dengan norma pengujian Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu”. Ihwal dalil causal verband, para Pemohon harus dapat menjelaskan adanya hubungan sebab dan akibat bahwa berlakunya kedua norma dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu telah menimbulkan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Dengan logika demikian, dalam batas penalaran yang wajar pula, setelah membaca konstruksi Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu hanya mungkin dapat dinilai telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi seseorang yang pernah atau sedang menjadi presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama tetapi tidak secara berturut-turut dan memiliki keinginan untuk mengajukan diri kembali sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Bahkan jika hendak dimaknai dengan lebih longgar, kerugian atau potensi kerugian yang di dalamnya dapat menunjukkan adanya causal verband, pihak yang mungkin dapat dinilai mengalami kerugian konstitusional dengan berlakunya norma a quo adalah partai politik yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Bahkan, mengikuti sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) partai politik dalam pengujian undang-undang, kesempatan hanya dimungkinkan bagi partai politik peserta pemilihan umum yang tidak ikut dalam membahas UU Pemilu di DPR. Dengan terbatasnya kemungkinan pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk menjadi Pemohon dalam pengujian substansi norma a quo, sulit diterima oleh penalaran yang wajar untuk menjelaskan adanya causal verband antara kerugian hak konstitusional para Pemohon dengan berlakunya Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu.

[3.7.4] Bahwa berkenaan dalil para Pemohon “apabila permohonan dikabulkan, potensi kerugian konstitusional para Pemohon tidak akan terjadi”. Terkait dengan

dalil tersebut, para Pemohon mengaitkan dengan program Nawacita Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla. Dalam hal ini, para Pemohon manyatakan bahwa Program Nawacita dengan salah satu programnya adalah

“kerja layak melalui pemenuhan lapangan kerja yang layak dan berkeadilan” yang diusung oleh Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Periode 2014-2019 tidak akan dapat dilanjutkan apabila Joko Widodo tidak berpasangan dengan Jusuf Kalla yang sebelumnya telah menjabat sebagai Wakil Presiden pada Periode 2004-2009. Terhadap argumentasi tersebut, menurut Mahkamah, adalah kekhawatiran yang sama sekali tidak relevan dikaitkan dengan kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan permohonan a quo. Lagi pula, sepanjang program-program pemerintahan sebelumnya dinilai baik dan dapat mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana termaktub di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, siapa saja dapat menjadikan bagian dari tawaran visi dan misi pasangan calon presiden dan wakil presiden.

[3.7.5] Bahwa menelaah substansi norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu dalam pemohonan a quo telah menjadi terang bagi Mahkamah bahwa para Pemohon tidak mampu menjelaskan dalilnya yang terkait dengan kedudukan hukum yang pada pokoknya harus memenuhi hal-hal sebagai berikut: (1) diberikan hak konstitusional oleh UUD 1945; (2) potensial akan dirugikan oleh berlakunya norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu; (3) kerugian konstitusional tersebut mempunyai causal verband dengan norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu yang dimohonkan pengujian; dan (4) apabila permohonan dikabulkan, potensi kerugian konstitusional para Pemohon tidak akan terjadi. Ketika persyaratan pengujian dalam menjelaskan kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan tidak dapat dijelaskan secara meyakinkan maka tidak ada keraguan sama sekali bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa berlakunya norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu sama sekali tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon.

Berdasarkan pertimbangan di atas Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam perkara a quo.

[3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon, maka pokok permohonan tidak dipertimbangkan.

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[4.2] Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;

[4.3] Pokok permohonan tidak dipertimbangkan.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN

Dokumen terkait