• Tidak ada hasil yang ditemukan

THEORY OF POVERTY

LIBERAL AND NEO LIBERAL

5.6. Determinan Kemiskinan

5.6.2. Pertumbuhan Ekonomi (PDRB Per Kapita) dan Kemiskinan

Hasil analisis variabel pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini adalah PDRB per kapita menunjukkan bahwa peningkatan 1 satuan PDRB per kapita

159 berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0.0046 persen per tahun, ceteris paribus. Hasil ini mengindikasikan bahwa peningkatan rata-rata pendapatan (PDRB per kapita) di Kabupaten Barru mencerminkan adanya peningkatan pendapatan masyarakat yang dibarengi dengan pemeraataan hasil-hasil pembangunan (growth with equity). Namun demikian, pengaruh PDRB per kapita tersebut terhadap penurunan jumlah penduduk miskin masih relatif kecil. Hal ini terjadi lebih dikarenakan oleh faktor-faktor produksi yang tidak terdistribusi dengan baik, seperti lahan atau asset produktif lain yang dimiliki. Sebagaimana diketahui bahwa distribusi pendapatan dapat melalui semakin baiknya distribusi faktor-faktor produksi, yaitu upah bagi pekerja, sewa lahan bagi pemiliki lahan, dan keuntungan bagi entrepreneur.

Berdasarkan hasil survei ditemukan bahwa ketiga faktor produksi tersebut tidak terdistribusi dengan baik, seperti lapangan pekerjaan formal tidak dapat diakses oleh keluarga miskin karena kualitas sumberdaya manusia rumah tangga miskin sangat rendah, yaitu rata-rata lama sekolah di bawah 7 tahun atau maksimum tamatan SD. Dengan pendidikan yang rendah, maka produktivitasnya pun rendah sehingga imbalan berupa upah yang diterima tidak cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum atau kebutuhan dasarnya. Akibatnya, rumah tangga miskin akan menghasilkan keluarga-keluarga miskin pula pada generasi berikutnya (Kartasasmita 1996).

Demikian halnya dengan faktor produksi berupa lahan, dimana hasil survei menunjukkan bahwa hampir 90 persen rumah tangga miskin hanya memiliki lahan dibawah 0,5 ha per rumah tangga. Di samping itu, sebagian besar penduduk miskin bekerja sebagai petani dan nelayan, yang semakin hari memiliki nilai tawar yang semakin menurun. Hal tersebut dipengaruhi oleh semakin menurunnya produksi dan produktivitas di sektor pertanian, ditambah lagi semakin meningkatnya harga sarana produksi, yang pada akhirnya berdampak pada semakin menurunnya tingkat pendapatan masyarakat.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan hasil temuan yang sama. Temuan Adelman dan Morris (1973), menunjukkan bahwa disatu sisi pertumbuhan ekonomi memang memberikan dampak peningkatan

160 pendapatan per kapita, tetapi di sisi lain ternyata meninggalkan masalah yang lain, seperti kemiskinan. Di samping itu, pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai oleh suatu negara atau wilayah menyembunyikan adanya sekelompok masyarakat yang menjadi bertambah buruk (worse off) dalam hal kondisi sosial ekonomi secara relatif dibandingkan dengan kelompok yang lain, dan bahwa terdapat perbedaan pendapatan yang semakin melebar antar kelompok atau antar golongan masyarakat (Tambunan 2003; Todaro dan Smith 2009).

Bank Dunia (2006), mencatat bahwa di Indonesia telah memiliki sukses luar biasa dalam pengentasan kemiskinan sejak tahun 1970-an. Periode dari akhir tahun 1970-an hingga pertengahan tahun 1990-an dianggap sebagai periode pertumbuhan yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor growth) terbesar dalam sejarah perekonomian negara manapun, dengan keberhasilan Indonesia dalam mengurangi angka kemiskinan lebih dari separuhnya. Di Era 1970-an sampai dengan akhir tahun 1990-an, pertumbuhan ekonomi berjalan pesat dan telah menjangkau masyarakat miskin, setiap point persentase rata-rata menghasilkan penurunan 0,3 persen angka kemiskinan. Beberapa penelitian lain yang mendukung bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang hati-hati (prudential) berdampak pada penurunan jumlah rumah tangga miskin, namun magnitudnya berbeda antar suatu lokasi dan waktu (Siregar dan Wahyuniati 2007; Balisacan et al. 2003; Suryahadi et al. 2006; dan Suryadarma dan Suryahadi (2007).

Selain itu, Ravallion (2001) menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan pendapatan rata-rata dan kemiskinan dengan koefisien elastisitas sebesar -2,5. Sedangkan Adams (2004) dengan mengamati 50 negara sedang berkembang menemukan bahwa koefisien elastisitas dengan menggunakan pendapatan rata-rata US$ 1/hari per kapita terhadap kemiskinan adalah -5,75 pada Negara-negara Asia Tengah dan Eropa Timur, tapi berbeda elastisitasnya tanpa Negara-negara Asia Tengah dan Eropa Timur, yaitu -2,5. Demikian halnya yang ditemukan oleh Squire (1993) bahwa jika terjadi kenaikan 1 persen dalam pertumbuhan ekonomi akan mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 0,24 persen per tahun. Para ekonomi meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan pendapatan rata-rata berpengaruh secara signifikan terhadap

161 penurunan jumlah penduduk miskin, apabila ketimpangan awalnya rendah. Sejalan dengan itu, Dollar dan Kray (2002); Bigsten dan Levin (2000) menyebutkan bahwa pertumbuhan akan memberikan manfaat yang besar bagi penduduk miskin jika pertumbuhan tersebut disertai dengan kebijakan penegakan hukum, disiplin fiskal, dan adanya kebijakan dukungan dan lingkungan kelembagaan (institutional environment) yang tepat.

Hal ini mengindikasikan bahwa, untuk menurunkan jumlah orang miskin di Kabupaten Barru, harus dilakukan dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan dinikmati oleh sebagian besar masyarakat melalui intervensi kebijakan yang memberi peluang kepada sebagian besar masyarakat untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan ekonomi tersebut. Todaro dan Smith (2009), menyebutkan bahwa intervensi kebijakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah, yaitu (i) Mengubah distribusi fungsional, tingkat hasil yang diterima dari faktor-faktor produksi tenaga kerja, tanah dan modal yang sangat dipengaruhi oleh harga masing-masing faktor produksi tersebut, tingkat pendayagunaannya, dan bagian atau persentase dari pendapatan nasional yang diperoleh para pemilik masing-masing faktor tersebut; (ii) Memeratakan distribusi ukuran, distribusi pendapatan fungsional dari suatu perekonomian yang dinyatakan sebagai distribusi ukuran, yang didasarkan pada kepemilikan dan penguasaan atas asset produktif serta keterampilan sumberdaya manusia yang terpusat dan tersebar ke segenap lapisan masyarakat. Distribusi kepemilikan asset dan keterampilan tersebut pada akhirnya akan menentukan merata atau tidaknya distribusi pendapatan secara perorangan; dan (iii) Meratakan (meningkatkan) distribusi ukuran golongan penduduk berpenghasilan rendah, melalui pengeluaran publik yang dananya bersumber dari pajak untuk meningkatkan pendapatan kaum miskin secara langsung (misalnya,

melalui “pembayaran transfer” atau disebut pula money transfer) atau tidak langsung (misalnya, melalui penciptaan lapangan kerja dan penyediaan pelayanan publik yang pro-poor).

Sedangkan Siregar dan Wahyuniarti (2007) menyebutkan bahwa agar pertumbuhan ekonomi berdampak langsung dalam mereduksi kemiskinan, maka pertumbuhan ekonomi perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana orang

162 miskin bekerja (pertanian dan sektor-sektor yang padat tenaga kerja). Selanjutnya, secara tidak langsung diperlukan pemerintah yang cukup efektif meredistribusi manfaat pertumbuhan yang boleh jadi diperoleh dari sektor modern seperti jasa dan manufaktur yang padat modal ke golongan penduduk miskin.