• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Tata Guna Lahan

2.3.2. Perubahan Penggunaan Lahan

guna lahan suatu lingkungan pada masa yang akan datang (Roberts dalam Catanese, 1988). Suatu rencana tata guna lahan merupakan unsur fungsional dari suatu proses menyeluruh (Catanese, 1988). Munculnya perumahan berkepadatan rendah, urban sprawl, dan arus urbanisasi, mendorong perpecahan struktur ekonomi, degradasi lingkungan, habisnya sawah dan hutan, erosi benda-benda heritage (Leccese et al, 2000). Dimana saat ini penggunaan lahan kota umumnya menunjukkan pola yang tidak efisien, sehingga hal ini menjadi perhatian utama dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan (Leccese et al, 2000; Silberstein and Maser, 2000; Ward et al, 2003; Williams et al, 2000). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tata guna lahan ini termasuk ke dalam aspek lingkungan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

2.3.2. Perubahan Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan atau pemanfaatan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Vink, 1975). Menurut Wahyunto et al (2001) perubahan penggunaan lahan didefinisikan sebagai bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda. Perubahan guna lahan atau konversi guna lahan adalah perubahan penggunaan lahan tertentu menjadi penggunaan lahan lainnya dimana karena luas lahan yang tidak berubah, maka penambahan guna lahan tertentu akan berakibat pada berkurangnya guna lahan yang lain (Sanggono, 1993). Alih guna, alih fungsi atau konversi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya alam dari satu penggunaan ke penggunaan yang lain (Kustiwan, 1997).

Perubahan pada suatu lahan dapat dibedakan atas perubahan lahan pada kawasan komunitas yang berbeda yaitu kawasan pusat kota (central bussiness district), kawasan transisi, dan kawasan pinggiran, dimana jenis

28

perubahan pemanfataan lahan yang terjadi pada masing-masing komunitas tersebut adalah: (Hanik, 2000 dalam Noorwahyuni, 2006)

1) Kawasan pusat kota (central bussiness district)

a) Dari tanah kosong menjadi: rumah atau tempat tinggal, tempat usaha, tempat tinggal dan tempat usaha.

b) Dari fungsi rumah atau tempat tinggal menjadi: tempat tinggal dan tempat usaha, tempat usaha.

c) Dari gudang menjadi: tempat usaha. 2) Kawasan transisi

a) Dari tanah kosong menjadi: rumah atau tempat tinggal, tempat usaha, tempat tinggal dan tempat usaha.

b) Dari tempat tinggal menjadi: tempat usaha, tempat tinggal dan tempat usaha.

c) Dari gudang menjadi: tempat usaha, tempat tinggal. d) Dari sawah menjadi: tempat tinggal.

3) Kawasan pinggiran

a) Dari tanah kosong menjadi: tempat tinggal, tempat usaha, tempat tinggal dan tempat usaha.

b) Dari tempat tinggal menjadi: tempat usaha, tempat tinggal dan tempat usaha.

c) Dari sawah menjadi: tempat tinggal dan tempat usaha.

Pendekatan teori neoklasik tentang ekonomi dan perubahan lokasi yang dikembangkan oleh Von Thunen (1826), Web (1929) dan Cristaller (1933), mengemukakan bahwa secara normatif masyarakat akan memaksimalkan keuntungan yang dapat diperoleh dari lahan atau kegiatan yang dilakukan dalam pemilihan lokasinya. Menurut E.J dan S.F Weiss dalam Pontoh dan Sudrajat (2005) secara konsepsional proses perubahan guna lahan di pinggir kota dipengaruhi oleh:

a. Urban interest, yaitu meningkatnya kebutuhan lahan kota, sehingga kawasan pinggir kota menjadi potensial dan guna lahan yang ada mulai bergeser.

29

b. Secara aktif kota menjadi bahan pertimbangan bagi pengusaha untuk dibeli dan dikembangkan.

c. Mulai diprogram untuk pembangunan, dibangun dan dihuni oleh penduduk.

Berdasarkan pembahasan tersebut diatas terkait perubahan penggunaan lahan, didapatkan kesimpulan bahwa segala bentuk perubahan pada pola guna lahan eksisting berpotensi untuk mempengaruhi keadaan sekarang maupun yang akan datang. Masyarakat khususnya yang berada pada kondisi perekonomian menengah ke bawah akan cenderung mengikuti perkembangan perkotaan yang masuk ke lingkungannya, sehingga akan sangat sulit mempertahankan penggunaan lahan yang bagi masyarakat tersebut dianggap semakin tidak produktif. Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari, karena secara umum hal tersebut dapat diindikasikan karena adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin lama semakin meningkat jumlahnya dan karena semakin meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Sama halnya seperti yang dijelaskan oleh E.J dan S.F Weiss dalam Pontoh dan Sudrajat (2005) bahwa perubahan penggunaan lahan yang seringkali terjadi pada kawasan pinggiran kota ada akibat adanya kebutuhan lahan perkotaan yang semakin meningkat sehingga mulai menyentuh lahan-lahan pinggiran kota seperti halnya yang dijelaskan oleh Hanik (2000) dalam Noorwahyuni (2006) yang menyebutkan bahwa untuk kawasan pinggiran terutama pada kawasan pertaniannya yang dalam hal ini masuk ke dalam lahan budidaya untuk sub sektor perikanan seringkali mengalami perubahan guna lahan menjadi lahan untuk tempat tinggal dan tempat usaha. Disamping itu E.J dan S.F Weiss dalam Pontoh dan Sudrajat (2005) juga menambahkan bahwa perubahan penggunaan lahan yang saat ini juga seringkali terjadi di sekitar kita adalah karena adanya kepentingan-kepentingan pihak swasta/pengusaha yang bertujuan mendapatkan keuntungan atau profit, serta adanya kebijakan/program pembangunan yang ditujukan sebagai wilayah terbangun. Segala bentuk perubahan penggunaan lahan tersebut tentunya

30

akan memberikan suatu dampak tertentu, baik dampak positif maupun negatif terhadap 3 aspek yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu aspek sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Sehingga berdasarkan hal tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan kawasan minapolitan berpotensi untuk tergeser oleh kegiatan-kegiatan baru yang berujung pada alih fungsi lahan kawasan minapolitan. Maka dalam penelitian ini berdasarkan hal tersebut didapatkan indikator penggunaan lahan kawasan minapolitan yang termasuk ke dalam aspek lingkungan.

Disamping itu Warpani dalam Noorwahyuni (2006) menyebutkan bahwa harga lahan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan karena harga lahan cenderung mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan pada kawasan yang harga lahannya masih rendah. Sarah K. dalam Sanggono (1993) juga menambahkan bahwa perubahan guna lahan berkaitan erat dengan perubahan nilai lahan karena ada korelasi positif antara penggunaan lahan dan nilai lahan. Penyediaan lahan yang sangat terbatas untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan dari pihak masyarakat, pemerintah maupun swasta cenderung mengakibatkan kenaikan harga lahan yang selanjutnya mendorong meluasnya spekulasi tanah sehingga menyebabkan pola penggunaan lahan yang kurang efisien di perkotaan. Didukung pula dengan kondisi masyarakatnya yang apabila dalam kondisi perekonomian yang cukup rendah dan fungsi lahan semula yang semakin tidak produktif, cenderung rentan terhadap berbagai tawaran terhadap harga lahan yang bernilai tinggi sehingga mengakibatkan kegiatan alih fungsi lahan akan terus meningkat. Berdasarkan hal tersebut, maka harga lahan menjadi salah satu pertimbangan yang juga berpengaruh terhadap eksistensi kawasan minapolitan, sehingga dalam penelitian ini didapatkan variabel nilai lahan kawasan minapolitan.

Selain itu faktor-faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan adalah politik, ekonomi, dan demografi (McNeill et al, 1998). Menurut Warpani dalam Noorwahyuni (2006) salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan dalam perkembangannya adalah jumlah penduduk, dimana perkembangan jumlah penduduk akan

31

berpotensi meningkatkan kebutuhan lahan. Lambin dkk (2001) dalam Wijaksono (2012) juga menyebutkan bahwa salah satu aspek yang mempengaruhi terjadi perubahan penggunaan lahan atau konversi lahan adalah demografi, dimana perubahan demografi memiliki dampak besar pada konversi lahan bukan hanya berdasarkan pertumbuhan kelahiran atau kematian saja, melainkan juga perubahan struktur rumah tangga dan terutama urbanisasi serta migrasi.

Berdasarkan pendapat Warpani dan Lambin dkk (2001) diatas, didapatkan bahwa jumlah penduduk yang selalu mengalami perubahan mengakibatkan kebutuhan ruang sebagai wadah kegiatan perkotaan juga akan mengalami perubahan secara terus menerus. Ruang dalam hal ini adalah lahan, keberadaannya tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan kehidupan manusia, karena lahan merupakan wadah tempat berlangsungnya berbagai aktivitas untuk menjamin kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, dinamika kehidupan sejumlah penduduk di suatu daerah akan tercermin hubungan interaksi aktivitas penduduk dengan lingkungannya. Sehingga jumlah penduduk yang semakin meningkat menjadi salah satu hal yang harus dipertimbangkan dalam pengaruhnya terhadap perubahan penggunaan lahan di perkotaan. Maka dalam penelitian ini didapatkan salah satu indikator terkait pertimbangan jumlah penduduk yang semakin meningkat di dalam kawasan minapolitan adalah berupa indikator pertumbuhan penduduk, yang dapat dilihat dari variabel tingkat pertumbuhan penduduk.