• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

1.2. Perumusan Masalah

Sejak desentralisasi fiskal diimplementasikan, pemerintah daerah kabupaten/kota di Pulau Jawa diharapkan bisa mempertahankan tingkat produksi yang sudah dicapai sebagai penyangga dalam pembiayaan barang publik yang sangat dibutuhkan dalam perekonomian. Kewenangan keuangan yang sebelumnya ditangani oleh pemerintah pusat telah “didaerahkan” kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota. Sektor-sektor ekonomi yang penting di daerah diharapkan akan lebih berkembang sesuai dengan potensinya. Desentralisasi fiskal yang memberi esensi kebebasan kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan anggaran dan pembelanjaan publik diharapkan memberikan pengaruh positif terhadap kinerja pemerataan pendapatan sebagai pencerminan peningkatan kegiatan ekonomi seluruh lapisan masyarakat.

Peranan sektor-sektor ekonomi yang penting di suatu daerah menjadi fokus penting bagi pemerintah daerah karena pengembangannya didasarkan pada keanekaragaman sumber daya yang tersedia. Kajian pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah implementai kebijakan fiskal yaitu level kabupaten/kota perlu menjadi prioritas dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat yang tepat sasaran. Pengembangan kabupaten/kota berfungsi sebagai penentu arah pengembangan fisik ruang dan pengembangan pelayanan publik, terutama dalam pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) dan dalam mendukung peningkatan kualitas masyarakat. Kedudukan kabupaten/kota juga menempati posisi penting dalam upaya pengembangan wilayah yang lebih luas dan konstelasi kota-kota

sekitarnya. Kondisi ekonomi yang bersifat struktural di setiap daerah juga dikaitkan dengan beragamnya faktor endowment yang dimiliki setiap daerah, yang dapat memicu terjadinya ketimpangan antar wilayah.

Peranan pemerintah dalam meningkatkan pemerataan adalah dengan mentransfer dana perimbangan, yang berupa DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus) dan DBH (Dana Bagi Hasil). DAU merupakan transfer yang bersifat umum (block grant) yang diberikan kepada semua kabupaten/kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-pinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak dari pada daerah kaya. Dengan kata lain tujuan alokasi DAU adalah dalam rangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antar daerah di Indonesia. Namun, dengan fakta meningkatnya ketimpangan wilayah-wilayah di Indonesia bahkan sejak adanya DAU, dapat dikatakan bahwa implementasi DAU kurang efektif.

Sumber: BPS, 2007 – 2009 (diolah)

Gambar 6 DAU, DAK, DBH dan Dana Perimbangan di Pulau Jawa (Tidak Termasuk DKI Jakarta), Tahun 2007 – 2009

Gambar 6 menunjukkan bahwa dana perimbangan yang didominasi oleh DAU yang diberikan oleh pemerintah mengalami peningkatan. Fakta ini

10.000.000.000  20.000.000.000  30.000.000.000  40.000.000.000  50.000.000.000  60.000.000.000  70.000.000.000  80.000.000.000  90.000.000.000 

DAU DAK DBH Dana 

Perimbangan

menjelaskan bahwa tujuan pemberian dana perimbangan untuk memeratakan pembangunan wilayah tidak tercapai. Berdasarkan data empiris dengan menggunakan indeks Theil, ketimpangan di Pulau Jawa cenderung mengalami peningkatan, bahkan pada tahun 2009 mencapai angka tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yaitu sebesar 0,4777 (Gambar 7). Ketimpangan wilayah yang terjadi di Pulau Jawa lebih banyak disebabkan oleh ketimpangan antar provinsi dibandingkan ketimpangan dalam provinsi. Indeks Theil yang menunjukkan ketimpangan antar provinsi berada pada kisaran nilai 0,25 sedangkan ketimpangan dalam provinsi berada pada kisaran nilai 0,21.

Kebijakan otonomi daerah menyebabkan kabupaten/kota dan provinsi harus berlomba menunjukkan prestasi yang nyata di tengah persaingan ekonomi yang semakin ketat. Peningkatan kegiatan perekonomian tersebut menimbulkan dominasi ketimpangan antar provinsi terhadap ketimpangan secara keseluruhan. Mobilisasi sumber daya antar kabupaten/kota yang berada di bawah kendali pemerintahan lokal dan provinsi menyebabkan persentase ketimpangan dalam provinsi lebih kecil dibandingkan dengan ketimpangan antar provinsi.

Ketimpangan wilayah dapat dilihat dari sisi positif karena dapat mendorong wilayah lain yang kurang maju untuk dapat bersaing dan meningkatkan pertumbuhannya guna meningkatkan kesejahteraannya. Namun ketimpangan yang ekstrim dapat menimbulkan inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta ketidakadilan. Inefisiensi ekonomi terjadi karena dengan ketimpangan yang tinggi, tingkat tabungan secara keseluruhan di dalam perekonomian cenderung rendah. Hal ini disebabkan tingkat tabungan yang tinggi biasanya ditemukan pada kelas menengah ke atas. Meskipun orang kaya dapat menabung dalam jumlah yang lebih besar, mereka biasanya menabung dalam bagian yang lebih kecil dari pendapatan mereka, dan tentunya menabung dengan bagian yang lebih kecil lagi dari pendapatan marjinal mereka (Todaro dan Smith, 2006). Dampak negatif inilah yang menyebabkan ketimpangan yang tinggi menjadi salah satu masalah dalam pembangunan dalam menciptakan kesejahteraan di suatu wilayah.

Sumber: BPS, 2001 – 2009 (diolah)

Gambar 7 Indeks Theil Pulau Jawa Menurut Dekomposisi, Tahun 2001 – 2009 Ketimpangan pendapatan antar wilayah menjadi fenomena penting yang masih terus perlu dikaji dan dianalisis karena sangat menentukan kebijakan yang dapat diambil pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini tidak hanya berusaha mengkaji masalah ketimpangan dari besaran ketimpangannya, namun juga bagaimana wilayah-wilayah saling mendukung dalam mengurangi ketimpangan yang terjadi, sehingga perekonomian menuju kepada tingkat tertentu (konvergen). Kekuatan yang dimiliki suatu wilayah tidak hanya dapat meningkatkan perekonomian wilayah sekitarnya, tetapi juga bisa sebaliknya. Adanya pusat pertumbuhan dapat menjadi rangsangan pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya, namun dapat juga menjadi penyebab pengurasan sumber daya ekonomi terutama tenaga kerja.

Analisis dinamika pendapatan antar wilayah selama ini dilakukan dengan menggunakan data PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) yang mencerminkan seluruh produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Angka ini menunjukkan potensi daerah dalam proses produksi, namun kurang dapat merepresentasikan kemampuan masyarakatnya dalam mencapai kesejahteraan karena data PDRB mencakup kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan luar yang berada di wilayah tersebut. Kegiatan produksi dengan menggunakan modal yang dimiliki oleh penduduk dari luar daerah juga dihitung

0,0000 0,1000 0,2000 0,3000 0,4000 0,5000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Ketimpangan dalam provinsi Ketimpangan antar provinsi Ketimpangan total (Indeks Theil)

sebagai produksi bruto daerah tersebut sehingga penggunaan data PDRB untuk analisis kesejahteraan masyarakat kemungkinan menyebabkan bias dan pola yang berbeda (Gambar 8). Oleh karena itu analisis konvergensi wilayah berdasarkan data tersebut perlu dibandingkan dengan melihat pendapatan masyarakat. Mengingat sulitnya data tersebut, penghitungan pendapatan masyarakat dilakukan dengan menggunakan pendekatan pengeluaran rumah tangga.

Sumber: BPS (diolah)

Gambar 8 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku, PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dan Pengeluaran Rumah Tangga Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 (Milyar Rupiah)

Permasalahan utama yang ingin dibahas di dalam penelitian ini adalah bagaimana konvergensi wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah terjadi perbedaan kecepatan pertumbuhan ekonomi antar wilayah di Pulau Jawa?

2. Apakah pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Pulau Jawa dapat saling mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya?

0 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 1.400.000 1.600.000 1.800.000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Pengeluaran Rumah Tangga

3. Bagaimanakah konvergensi wilayah kabupaten/kota dikaji dari pendekatan pendapatan regional dan pendekatan pengeluaran rumah tangga?

4. Faktor-faktor apa yang memengaruhi terjadinya perbedaan kecepatan pertumbuhan antar wilayah di Pulau Jawa?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini pada intinya bertujuan untuk:

1. Menggambarkan dinamika ketimpangan wilayah di Pulau Jawa.

2. Menguji konvergensi wilayah kabupaten/kota dan membandingkan fenomena konvergensi antar provinsi di Pulau Jawa dikaji dari pendekatan pendapatan regional dan pendekatan pengeluaran rumah tangga.

3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah di Pulau Jawa.

Dokumen terkait