• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN KENAIKAN HARGA BBM PADA MASA PEMERINTAHAN SBY-JK PERIODE 2004-2009

A. ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN

2. Perumusan masalah versi beberapa ahli

(Kenaikan minyak dunia) (Peningkatan jumlah subsidi) (Mengurangi jumlah subsidi)

2. Perumusan masalah versi beberapa ahli

Isu Problem Kebijakan

(Kenaikan minyak dunia) (minimnya jumlah produksi) (efisiensi tata kelola migas)

Selanjutnya memang benar bahwa perbedaan dalam merumuskan masalah dari isu yang timbul akan menghasilkan interpretasi alternatif kebijakan yang berbeda pula. Sudah jelas bahwa jika pemerintah memandang masalah rendahnya produksi minyak nasional sebagai respon atas isu kenaikan harga minyak mentah dunia, maka kebijakan yang diambil pasti akan berbeda. Dalam menyikapi rendahnya produksi minyak nasional, maka alternatif kebijakan yang dapat diambil tentunya melalui langkah tata kelola migas yang transparan dan akuntabel. Sudah sering menjadi sorotan bahwa tata kelola migas nasional sangat tidak efisien dan sarat dengan tindakan korupsi. Hal ini ditambah lagi dengan keraguan banyak kalangan terhadap data-data yang dikeluarkan oleh PT Pertamina yang dalam hal ini merupakan perpanjangan tangan pemerintah dalam mengelola potensi migas nasional terkait jumlah produksi minyak nasional, jumlah konsumsi dan sebagainya. Keraguan terhadap data-data yang dikeluarkan tersebut karena ditemukan perbedaan yang signifikan dengan hasil penelitian yang dilakukan. Hal selanjutnya adalah mengenai pengelolaan potensi migas nasional yang justru dominan dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing. Banyak pendapat menyatakan bahwa negara ini sangat dirugikan oleh operasi pengelolaan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Indonesia sangat dirugikan karena perusahaan asing tersebut secara leluasa mengeruk potensi-potensi migas yang ada di tanah air. 32

32 Sistem bagi hasil yang ada hanya memberi keuntungan besar bagi perusahaan asing dan bagian yang sangat kecil bagi Indonesia. Berdasarkan data yang ada, sistem bagi hasil migas pengelolaan minyak oleh perusahaan asing adalah sebesar 85:15 untuk pemerintah dan perusahaan asing,

dengan perusahaan tersebut, hal itu dianggap sangat tidak adil dan hanya merugikan pihak Indonesia. Akhirnya, muncul seruan-seruan agar negara segera meninjau ulang kesepakatan kerjasama dengan perusahaan asing tersebut dan bahkan yang lebih ekstrem, ada juga seruan untuk menasionalisasi seluruh pengelolaan potensi migas tersebut.

Pada bagian ini hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana seharusnya pemerintah dapat merumuskan masalah dengan tepat dan jelas melalui masukan-masukan yang diberikan oleh para ahli. Hal ini sangat penting agar pemerintah tidak lagi mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pada akhirnya tidak produktif dan justru menuai kontroversi.

Sebagaimana sudah dideskripsikan pada bagian sebelumnya mengenai deskripsi proses perumusan kebijakan kenaikan harga BBM pada masa pemerintahan SBY-JK periode 2004-2009, dalam menanggapi isu kenaikan harga minyak mentah dunia pendapat yang cukup mencuat dalam hal penyusunan agenda kebijakan adalah desakan agar dilakukan revisi atau amandemen terhadap beberapa pasal dalam UU No 22 tahun 2001 tentang Migas. Adapun yang menjadi argumentasinya adalah UU tersebut semakin memperparah pengelolaan migas Indonesia. Beberapa pasal dari UU tersebut yang dianggap harus direvisi antara lain:

Tahap kedua; agenda kebijakan

1. Pasal 22 ayat 1 yang menyatakan; Badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi minyak dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

2. Pasal 28 ayat 2 yang menyatakan; Harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.

namun baru dilakukan setelah dipotong ”cost recovery” yang besarnya justru ditetapkan oleh perusahaan asing.

3. Pasal 31 ayat 1 yang menyatakan; Badan usaha atau bentuk usaha tetap yang melaksanakan kegiatan usaha hulu wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak.

Pemberlakuan UU tersebut juga diduga mengakibatkan banyak campurtangan yang tidak profesional, boros anggaran, ”larinya” sebagian besar produksi minyak Indonesia ke pasar internasional dan juga menyebabkan anjloknya produksi minyak nasional. Faktanya, pendapat ini kurang diresponi dan tentunya hal ini terkait perbedaan pandangan dalam menyikapi isu kenaikan harga minyak mentah dunia. Pemerintah yang lebih berfokus pada masalah penanggulangan membengkaknya subsidi BBM sebagai akibat meningkatnya harga minyak mentah dunia lebih memilih melakukan langkah penyesuaian harga eceran dalam negeri atau dengan kata lain melakukan pengurangan subsidi BBM secara bertahap kepada masyarakat.

Pada pembahasan sebelumnya mengenai deskripsi proses perumusan kebijakan, sudah dijelaskan beberapa alternatif kebijakan yang muncul dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Dimulai dari melakukan pinjaman luar negeri, penghematan BBM, pengembangan dan penggunaan bahan bakar alternatif hingga pengurangan subsidi melalui kebijakan penyesuaian harga eceran BBM dalam negeri.

Tahap ketiga; pemilihan alternatif kebijakan dalam memecahkan masalah

33

33 Beberapa masalah yang ditemukan dalam penerapan program tersebut diduga karena kurangnya dukungan dari pemeritah. Kalangan industri tekstil misalnya masih merasa takut menggunakan bahan bakar batubara karena tidak ada aturan yang jelas mengenai batas ambang pencemaran libkungan yang ditimbulkan penggunaan bahan bakar batubara. Demikian pula yang terjadi pada pengembangan biofuel dari kelapa sawit yang tiba-tiba menghilang begitu saja pada saat harga CPO dunia melonjak tinggi. Sedangkan pengembangan BBA dari pohon jarak masih belum efisien karena harganya masih lebih mahal jika dibandingkan dengan BBM. Fahmy Radhi. 2008.

Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat; Antara Komitmen dan Jargon. Jakarta. Republika. Hal 128

Namun sebagaimana diketahui, program-program tersebut khususnya penghematan BBM (bahan bakar minyak) dan pengembangan BBA (bahan bakar alternatif) tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Yang sering menjadi masalah adalah kurangnya sosialisasi pemerintah mengenai program yang diajukan sehingga terkesan terlalu dipaksakan dan terburu-buru. Akibatnya, program yang direncanakan tidak dapat berjalan secara optimal karena

ketidaksiapan dari pihak masyarakat maupun dari pemerintah sendiri. Salah satu contoh ketidaksiapan pemerintah adalah ketika pemerintah mencanangkan program konversi minyak tanah ke elpiji. Langkah ini meskipun pada awalnya kurang diresponi masyarakat karena kurangnya sosialisasi sehingga pemahaman masyarakat masih sangat minim, namun pada akhirnya banyak masyarakat yang menyambut secara positif dan mulai beralih menggunakan elpiji. Namun yang menjadi kendala kemudian, pasokan elpiji di pasaran justru menjadi sangat langka dan sulit ditemukan. Harga elpiji di pasaran pun mulai merangkak naik.

Berdasarkan sedikit paparan di atas, penulis berpendapat bahwa tidak optimalnya alternatif kebijakan yang diajukan oleh pemerintah menunjukkan bahwa paradigma kebijakan yang dianut oleh pemerintah masih bersifat responsif, parsial, dan jangka pendek. Sehingga hasilnya bisa dilihat bahwa pelaksanaan program yang direncanakan tidak dapat berjalan secara maksimal dan tidak memberi hasil yang signifikan dalam mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi. Seharusnya paradigma kebijakan pemerintah lebih bersifat antisipatif, komprehensif, dan juga jangka panjang. Tujuan hal ini sudah sangat jelas, agar pemerintah tidak perlu terlalu khawatir ketika terjadi lagi isu-isu kontemporer dan kemudian mengeluarkan program-program yang sifatnya terburu-buru dan mendesak yang hasilnya tidak akan optimal.

Adapun tahap keempat dalam proses perumusan kebijakan yakni penetapan kebijakan kenaikan harga eceran BBM dalam negeri juga sudah dideskripsikan pada bab sebelumnya. Berdasarkan hasil deskripsi tersebut dapat dilihat bahwa penetapan kebijakan kenaikan harga eceran BBM dalam negeri masih meninggalkan kontroversi tersendiri. Meskipun kebijakan tersebut sudah berhasil ditetapkan, namun masih cukup banyak kalangan yang mempertanyakan kebijakan tersebut. Kalangan yang mempertanyakan tersebut juga berasal dari mayoritas anggota DPR (legislatif) di Senayan. Mereka mempermasalahkan sikap pemerintah yang dinilai mengambil keputusan secara sepihak dan kurang melakukan konsultasi dengan pihak legislatif. Artinya, mereka menganggap keputusan pemerintah tersebut sudah melanggar konstitusi (inkonstitusional).

Selain itu, keputusan yang diambil pemerintah pun dinilai terlalu dipaksakan dan kurang memperhatikan nasib rakyat miskin yang akan terkena dampak kebijakan tersebut sehingga dapat mengakibatkan gejala sosial yang berkepanjangan.

Akhirnya di tubuh parlemen itu sendiri timbul dua kubu antara yang pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintah. Pihak yang pro menyatakan dapat memaklumi kebijakan pemerintah karena dianggap merupakan langkah terakhir dalam menyelamatkan perekonomian nasional. Sementara pihak yang kontra tetap mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang bahkan jika perlu harus mencabut kebijakan tersebut. Yang paling ekstrem tentunya usulan salah satu fraksi agar DPR (legislatif) melakukan langkah pemakzulan (pemberhentian) presiden dari jabatannya karena dinilai tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.

Berdasarkan deskripsi tersebut, penulis melihat ketidakharmonisan hubungan antara lembaga eksekutif dan juga legislatif. Padahal sebagaimana sudah disinggung pada bagian sebelumya dalam tulisan ini, kedua lembaga tersebut (legislatif dan eksekutif) seharusnya melakukan fungsi check and balance yang terkoordinasi terutama dalam mengeluarkan suatu kebijakan. Sangat disayangkan jika akhirnya terjadi suatu kondisi dimana salah satu dari lembaga tersebut melakukan kewenangan secara tersendiri tanpa melakukan fungsi koordinasi dengan lembaga yang lain. Prinsip koordinasi dalam menetapkan kebijakan yang harus dilakukan oleh lembaga legislatif dan eksekutif juga secara eksplisit sudah diatur dalam konstitusi Indonesia yakni pada UUD 1945. Secara spesifik prinsip koordinasi tersebut juga diatur dalam UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Dokumen terkait