• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perumusan Strategi Pengembangan Usaha tani CLS

Sumbu X setelah Rotasi: Indeks Keberlanjutan

4.5.2. Perumusan Strategi Pengembangan Usaha tani CLS

Berdasarkan hasil analisis fungsi produksi dan fungsi keuntungan usaha tani padi, analisis kelayakan finansial dan ekonomi, analisis peran kelembagaan petani dapat diketahui bahwa usaha tani pola CLS merupakan pola alternatif dalam penerapan pembangunan pertanian secara berkelanjutan. Usaha tani pola CLS mampu meningkatkan produksi dan produktivitas usaha tani, meningkatkan pendapatan dan melestarikan sumber daya alam dan lingkungan. Hal ini sejalan dengan pendapat Salikin K.A. (2003) bahwa sistem pertanian masa depan adalah sistem pertanian berkelanjutan yang diindikasikan dengan tingkat produksi yang terus meningkat dengan biaya yang konstan atau menurun.

Guna merumuskan pengembangan usaha tani pola CLS di masa mendatang, terlebih dahulu dilihat potensi pengembangan CLS di Indonesia. Pulau Jawa dapat dijadikan sebagai contoh gambaran sumberdaya lahan sawah dan ternak sapi yang sangat potensi dikembangkan CLS. Kegiatan pertanian pola CLS dengan mengintegrasikan usaha tani padi dengan penggemukan ternak sapi potong sudah berkembang terutama di Provinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur, sedangkan di Provinsi Jawa Barat belum berkembang, tetapi memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan/diterapkan usaha tani pola CLS. Secara keseluruhan lahan sawah yang berpotensi untuk dikembangkan usaha tani pola CLS di Pulau Jawa cukup tersedia, dimana luas lahan sawah sebanyak 2,87 juta hektar. Luas panen padi sawah di Pulau Jawa pada tahun 2003 seluas 4,70 juta hektar atau 45,24 % dari luas panen padi di Indonesia dengan kontribusi terhadap produksi gabah nasional mencapai 25,46 juta ton gabah atau sebesar 51,56 % (Deptan, 2004). Dilihat dari kontribusi produksi gabah dan luas panen tersebut terlihat bahwa rata-rata produksi gabah di Pulau Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Sedangkan produktivitas gabah di Pulau Jawa rata- rata sebesar 5,23 ton/ha lebih tinggi dibangdingkan dengan rata-rata nasional sebesar 4,25 ton/ha. Bahkan di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur produktivitas gabah mencapai lebih dari 5,35 ton/ha.

Limbah padi yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah dedak, merang dan jerami. Bila diasumsikan produksi dedak kasar dan halus sebesar 6,5 % dari produksi gabah, maka potensi pakan ternak dari dedak di Pulau Jawa sebanyak 1,88 juta ton dan

bila produksi jerami 6 ton/ha/musim diperkirakan produksi jerami sebanyak 34,5 juta ton pertahun, maka bahan baku jerami sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak sapi potong di Pulau Jawa.

Demikian pula apabila dilihat potensi ternak sapi potong, dimana populasi sapi potong di Pulau Jawa pada tahun 2003 sebanyak 4,31 juta ekor. Populasi sapi potong tersebut mencapai 40,3 % dari populasi ternak nasional dan sebagian besar berada di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur (Deptan, 2004). Dari populasi ternak 5 juta ekor akan diperoleh kotoran sekitar 136,9 ribu ton perhari, berat kering pupuk lebih dari 22,8 ribu ton perhari, sehingga produksi pupuk setiap tahunnya diperkirakan 7,9 juta ton. Bila tanaman padi membutuhkan pupuk kandang per hektar sebesar 1,5 ton.musim tanam (2 kali musim tanam pertahun), maka produksi pupuk kandang tersebut mampu mencukupi kebutuhan pupuk seluas 2,63 juta hektar atau sekitar 90 % dari luas lahan sawah di Pulau Jawa.

Potensi sumberdaya pertanian tersebut sampai sekarang belum dikembangkan secara baik, dan apabila dikembangkan secara tepat akan berdampak positif terhadap pendapatan petani, menggerakan perekonomian dan kelestarian lingkungan. Untuk itu diperlukan terobosan melalui gerakan nasional pembangunan pertanian berkelanjutan melalui pemanfaatan sumberdaya lokal dan meminimalisir penggunaan input dari luar.

Berdasarkan hasil analisis indek dan status keberlanjutan usaha tani pola CLS ada 13 atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen. Selanjutnya atribut-atribut tersebut dijadikan sebagai faktor penting dalam perumusan kebijakan dan strategi pengembangan usaha tani pola CLS pada masa yang akan datang. Atribut–atribut yang menjadi faktor penting dalam perumusan kebijakan dan skenario strategi pengembangan usaha tani pola CLS adalah: (1) Sistem pemeliharaan ternak sapi, (2) Kepadatan ternak sapi, (3) Tingkat penggunaan pupuk dan pestisida, (4) Pemanfaatan jerami untuk pakan ternak sapi, (5) Pemanfaatan limbah ternak sapi, (6) Frekuensi konflik, (7) Kelembagaan/Kelompok tani, (8) Jumlah rumahtangga CLS, (9) Persepsi masyarakat terhadap CLS, (10) frekwensi penyuluhan dan pelatihan, (11) Lembaga keuangan, (12) Kelayakan finansial-ekonomi dan (13) Subsidi.

Selanjutnya faktor-faktor penting tersebut didefinisikan dan dideskripsikan evolusi kemungkinannya di masa depan. Pada Tabel 16 disajikan kondisi faktor-faktor kunci/penentu pengembangan usaha tani pola CLS dengan berbagai keadaan (state) untuk setiap faktor dan program atau tindakan yang perlu dilaksanakan sehingga nilai

indeks keberlanjutan usaha tani pola CLS dapat ditingkatkan lebih tinggi dari kategori sebelumnya, yaitu menjadi kategori “baik” atau “cukup” berkelanjutan.

Tabel 16. Kondisi skor 13 dari 26 atribut yang sensitif berpengaruh terhadap indeks keberlanjutan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen.

Dimensi dan Atribut Kondisi Skor Program/Tindakan

I. Dimensi ekologi

1. Tingkat penggunaan pupuk/ pestisida kimia

Melebihi standar Kurangi penggunaan pupuk/ pestisida kimia

2. Pemanfaatan limbah ternak sapi untuk pupuk kandang

sebagian besar dimanfaatkan Tingkatkan dengan cara meningkatkan jumlah petani ikut menerapkan CLS

3. Pemanfaatan limbah jerami untuk pakan ternak sapi

Sebagian besar dimanfaatkan Tingkatkan dengan cara meningkatkan jumlah petani ikut menerapkan CLS

4. Sistem Pemeliharaan ternak sapi

<10% yang diumbar/liar Terapkan pengelolaan ternak secara intensif

5. Kepadatan ternak (ekor ternak/ 1000 orang)

Sangat padat Pengelolaan dengan intensif dengan sarana yang mendukung

II. Dimensi Ekonomi

6. Kelayakan finansial/ekonomi Untung /layak Pertahakan/tingkatkan kelayakannya 7. Lembaga keuangan

(bank/kredit)

Ada tapi menjangkau sebagian kecil petani.

Tingkkatkan akses petani memperoleh permodalan 8. Besarnya subsidi sedikit Kurangi/hapus subsidi dengan

kompensasi perbaiki infrastruktur dan regulasi

III. Dimensi Sosial-Budaya

9. Jumlah rumah tangga petani CLS

25%-50% dari total jumlah rumah tangga di Sragen

Sosialisasi kepada petani non CLS 10. Frekwensi konflik Tidak ada Pertahankan agar tidak terjadi

konflik 11. Persepsi/peran masyarakat

dalam usaha tani CLS

Positif Pertahankan mendukung pola CLS

12. Frekwensi penyuluhan dan pelatihan

Sekali dalam setahun Tingkatkan penyuluhan dan pelatihan

13. Kelembagaan/Kelompok tani >75% punya/menjadi anggota kelompoktani

Tingkatkan jumlah keanggotaan kelompoktani.

Hasil analisis prospektif pada Gambar 32 menunjukkan terdapat empat faktor kunci yang perlu diperhatikan dalam pengembangan usaha tani Pola CLS, yaitu (1) kelembagaan/kelompok tani, (2) subsidi, (3) tingkat penggunaan pupuk/ pestisida, dan (4) pemanfaatan jerami untuk pakan ternak. Empat faktor tersebut merupakan faktor-faktor yang memiliki pengaruh yang besar terhadap tujuan pengembangan usaha tani Pola CLS dan ketergantungan antar faktor tersebut rendah. Disamping itu ada lima faktor penghubung (stake), dimana faktor tersebut memiliki pengaruh dan ketergantungan yang tinggi adalah: (1) sistem pemeliharaan, (2) lembaga keuangan, (3) frekwensi penyuluhan dan pelatihan, (4) pemanfaatan limbah ternak, dan (5) kelayakan finansial/ekonomi. Faktor-faktor kunci ini perlu mendapat perhatian dalam perumusan kebijakan

pengembangan usaha tani Pola CLS agar keberlanjutannya pada masa yang akan datang dapat terjamin.

Faktor bebas dengan tingkat pengaruh dan ketergantungan yang rendah antara lain jumlah rumah tangga petani-peternak CLS, kepadatan ternak dan frekwensi konflik. Walaupun jumlah anggota rumah tangga peternak berpengaruh terhadap penyediaan tenaga kerja usaha tani CLS dan keberlanjutan usaha tani CLS, namun kondisi rumah tangga yang ada di lapangan menunjukkan kondisi ideal pengelolaan usaha tani CLS skala rumah tangga. Kepadatan ternak di lokasi penelitian termasuk sangat padat dan pengelolaan ternak telah diusahakan secara intensif. Mengingat tidak terjadi konflik di lapangan, sehingga frekwensi konflik menjadi faktor bebas tidak berpengaruh dan ketergantungan dengan faktor yang lain. Persepsi masyarakat akan semakin positif atau sebaliknya terhadap usaha tani pola CLS dengan ketergantungan yang tinggi dengan faktor-faktor lain secara kohesif.

Gambar 32. Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Diuji

Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji

Penggunaan Pupuk/Pestisida Subsidi

Lembaga Keuangan

Pemanfaatan Jerami

Sistem Pemeliharaan

Kelayakan Finansial/ ekonomi pemanfaatan limbah ternak

Frekuensi penyuluhan Kelembagaan/Kelompok Tani Jumlah Rumahtangga CLS persepsi masyarakat Frekwensi konflik Kepadatan ternak - 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 - 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 Ketergantungan P e n g a ru h

Dalam rangka pengembangan pertanian berkelanjutan usaha tani pola CLS, perumusan kebijakan dan strategi yang perlu dilakukan adalah dengan memfokuskan

kepada empat faktor kunci tersebut dan memperhatikan faktor penghubung. Rancangan program dan kebijakan disusun dengan mengemas empat faktor kunci dan faktor penghubung menjadi satu kebijakan yang memadukan faktor tersebut melalui suatu gerakan pembangunan pertanian secara berkelanjutan.

Selanjutnya faktor kunci tersebut didefinisikan dan dideskripsikan evolusi kemungkinannya di masa depan. Pada Tabel 17 disajikan prospektif faktor-faktor kunci/penentu pengembangan usaha tani pola CLS dengan berbagai keadaan (state) untuk setiap faktor. Berdasarkan keadaan (state) setiap faktor, maka dirumuskan berbagai skenario strategi dengan cara memasangkan perubahan yang akan terjadi dan menganalisis implikasinya. Dari hasil tersebut dirumuskan tiga skenario strategi pengembangan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen yaitu: (1) skenario konservatif- pesimistik; (2) skenario moderat-optimistik; dan (3) skenario progresif-optimistik (Tabel 18). Jumlah skenario strategi yang dapat dirumuskan dalam rangka pengembangan usaha tani pola CLS bisa lebih dari tiga skenario, namun keadaan (state) dari masing-masing faktor penentu/kunci kemungkinan yang paling besar diperkirakan akan terjadi di masa yang akan datang adalah ketiga skenario tersebut.

Tabel 17. Prospektif faktor-faktor kunci/penentu pengembangan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen.

Keadaan (State)

No. Faktor

1A

1B

1C

1. kelembagaan/kelompok tani Keanggoatan rendah dan kelompoktani kurang berperan terhadap pengembangan CLS. Berperan menerapkan konsep pembangunan berlanjutan secara bertahap Berperan dominan menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan

2A

2B

2C

2. subsidi

Tetap Dikurangi secara bertahap

Tidak ada subsidi sama sekali

3A

3B

3C

3. tingkat penggunaan pupuk/

pestisida kimia Tetap Berkurang

Berkurang mengacu standar teknis kebutuhan hara

setempat

4A

4B

4C

4. Pemanfaatan jerami untuk

pakan ternak Tetap Meningkat Meningkat/lestari

5A

5B

5C

5. Sistem pemeliharaan ternak Tetap Tetap Meningkat

6A

6B

6C

6. Lembaga keuangan Tersedia dan sedikit

menjangkau Semakin menjangkau Mudah

7. Frekwensi penyuluhan dan

pelatihan Tetap Meningkat Meningkat/intensif

8A

8B

8C

8. Pemanfaatan limbah ternak

untuk pupuk Tetap Meningkat Meningkat/lestari

9A

9B

9C

9. Kelayakan finansial dan

ekonomi Tetap Meningkat

Meningkat/sangat layak

Sumber: Hasil Analisis 2005.

Tabel 18 Hasil analisis skenario strategi pengembangan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen.

No. Skenario Strategi Urutan Faktor

1. Konservatif-pesimistik 1A; 2A; 3A; 4A;5A;6A;7A;8A;9A 2. Moderat-optimistik 1B; 2B; 3B; 4B; 5A;6A;7A;8A;9A 3. Progresif-optimistik 1C; 2C; 3C; 4C; 5A;6A;7A;8A;9A Sumber: Hasil Analisis 2005.

Skenario Konservatif- Pesimistik

Skenario konservatif-pesimistik dibangun atas dasar kondisi saat ini (existing condition) dari usahatai pola CLS di wilayah Kabupaten Sragen dan tidak ada perubahan dan tidak memiliki prospek di masa mendatang. Skenario konservatif-pesimistik dibangun berdasarkan keadaan (state) dari faktor kunci/penentu dengan kondisi: yaitu (1) tidak ada perkembangan jumlah kelompoktani dan anggotanya yang menerapkan pola CLS, kelompoktani yang menerapkan pola CLS sangat pasif/statis, (2) subsidi yang diberikan pemerintah tidak fokus sesuai kebutuhan setempat, tidak ada kredit program untuk modal petani, bahkan tidak ada yang menjembatani petani mengakses permodalan, (3) tingkat penggunaan pupuk/ pestisida masih melebihi standar teknis yang ada, (4) pemanfaatan jerami untuk pakan ternak belum optimal dan sebagian petani belum mengolah jerami untuk pakan ternak, (5) sistem pemeliharaan tetap, (6) lembaga keuangan sedikit menjangkau masyarakat, (7) frekwensi penyuluhan dan pelatihan tetap, (8) pemanfaatan limbah ternak untuk pupuk tetap/ tidak ada peningkatan, dan (9) tidak ada peningkatan kelayakan finansial/ekonomi.

Penerapan skenario koservatif-pesimistik ini akan memberikan implikasi berupa: (1) usaha tani pola CLS tidak berkembang, (2) tidak ada lagi peningkatan produktivitas padi, ternak rendah, (3) petani kesulitan memperoleh kemudahan dan akses ke permodalan, (4) limbah jerami tidak dimanfaatkan, sehingga mengganggu kebersihan dan

keindahan lingkungan, (5) penyerapan tenaga kerja rendah, (6) produksi dan pendapatan petani rendah.

Skenario Moderat-Optimistik

Skenario moderat-optimistik mengandung pengertian bahwa keadaan masa depan yang mungkin terjadi diperhitungkan dengan penuh pertimbangan sesuai dengan keadaan dan kemampuan sumberdaya yang dimiliki serta berkeyakinan pengembangan yang dapat dilakukan. Skenario ini dibangun berdasarkan keadaan (state) dari faktor kunci/penentu dengan kondisi sebagai berikut: (1) terdapat peningkatan peran kelompoktani dan jumlah anggotanya dalam menerapkan pola CLS, (2) subsidi yang diberikan pemerintah dikurangi secara bertahap dan digantikan dengan pendampingan petani mengakses permodalan, (3) tingkat penggunaan pupuk/pestisida sesuai standar teknis dan mulai memanfaatkan pupuk organik, (4) pemanfaatan jerami untuk pakan ternak ditingkatkan, (5) sistem pemeliharaan tetap, (6) lembaga keuangan semakin menjangkau masyarakat, (7) frekwensi penyuluhan dan pelatihan meningkat, (8) meningkatnya pemanfaatan limbah ternak untuk pupuk, dan (9) meningkatnya kelayakan finansial/ekonomi.

Penerapan skenario moderat-optimistik ini akan memberikan implikasi berupa: (1) usaha tani pola CLS menjadi berkembang, (2) produktivitas padi dan ternak meningkat, (3) ketergantungan petani terhadap subsidi berkurang (4) limbah pertanian dimanfaatkan meningkat walaupun belum penuh/lestari, (5) terjadi penyerapan tenaga kerja, (6) produksi dan pendapatan petani meningkat.

Skenario Progresif-Optimistik

Skenario progresif-optimistik mengandung pengertian bahwa keadaan masa depan yang mungkin terjadi mendapat dukungan secara maksimal dari setiap faktor kunci/penentu, mempunyai pemikiran yang sangat maju dan optimisme bahwa usaha tani pola CLS merupakan solusi pengembangan pertanian di masa mendatang.

Skenario progresif-optimistik dibangun berdasarkan keadaan (state) dari faktor kunci/penentu dengan kondisi: (1) peran kelompoktani dan anggotanya sangat dominan dalam menerapkan pola CLS, (2) tidak ada subsidi dari pemerintah karena petani secara mandiri mampu mengakses permodalan, (3) tingkat penggunaan pupuk/pestisida sesuai standar teknis dan memanfaatkan pupuk organik secara penuh/lestari, (4) limbah jerami

dimanfaatkan secara penuh/lestari, (5) sistem pemeliharaan sangat intensif, (6) lembaga keuangan banyak menjangkau masyarakat, (7) meningkatnya frekwensi penyuluhan dan pelatihan, (8) peningkatan pemanfaatan limbah ternak untuk pupuk secara lestrai, dan (9) meningkatnya kelayakan finansial/ekonomi (sangat layak).

Penerapan skenario progresif-optimistik ini akan memberikan implikasi berupa: (1) usaha tani pola CLS sudah berkembang, (2) produktivitas padi dan ternak meningkat, (3) kemandirian petani terhadap permodalan dan modal mudah diperoleh, (4) tidak ada lagi limbah yang tidak dimanfaatkan, pengelolaan lingkungan secara lestari, (5) terjadi penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan petani.

Berdasarkan hasil analisis prospektif, strategi yang dapat digunakan untuk pengembangan usaha tani pola CLS di Kabupaten Sragen adalah strategi moderat- optimistik. Adapun faktor penentu/kunci untuk mengimplementasikan strategi tersebut ada empat faktor kunci yang memiliki pengaruh yang tinggi dan ketergantungan yang rendah adalah: (1) peran kelompoktani dan anggotanya dalam menerapkan pola CLS, (2) subsidi pemerintah dan pendampingan petani mengakses permodalan, (3) tingkat penggunaan pupuk/pestisida dan pemanfaatan pupuk organik, dan (4) pemanfaatan jerami untuk pakan ternak. Sedangkan faktor kunci yang memiliki pengaruh dan ketergantungan yang tinggi adalah: (1) sistem pemeliharaan, (2) lembaga keuangan, (3) frekwensi penyuluhan dan pelatihan, (4) pemanfaatan limbah ternak, dan (5) kelayakan finansial/ekonomi.

Guna mempercepat gerakan pembangunan pertanian berkelanjutan perlu dilakukan melalui pendekatan kelembagaan. Rekayasa kelembagaan dikembangkan tidak harus membentuk organisasi yang baru dan menghilangkan kesan yang bersifat arahan top down melainkan gerakan yang dimulai dari kesadaran bersama dengan memanfaatkan kelembagaan yang ada. Kelembagaan petani berupa kelompoktani ditingkatkan perannya menjadi wadah seluruh aktivitas anggota sehingga terjadi proses pembelajaran diantara anggota. Kelompoktani-kelompoktani atas kesadaran bersama dapat membentuk gabungan kelompoktani atau asosiasi kelompoktani guna mempermudah membangun jaringan (networking) dengan pihak luar.

Peran kelompoktani diharapkan dapat ditingkatkan menjadi lembaga ekonomi yang berorientasi bisnis. Di dalam program CLS sangat berpeluang untuk dibentuk unit-unit usaha bisnis. Melalui manajemen yang baik dengan mengembangkan unit pengolahan dan pengadaan pakan lengkap (Complete feed), unit pengolahan pupuk organik dan unit pengadaan pemasaran hasil dapat dijadikan peluang bisnis yang menguntungkan. Secara

bertahap kegiatan kelembagaan petani dikembangkan sejalan dengan semakin besarnya skala usaha tani CLS. Untuk memperkuat posisi tawar petani maka kegiatan usaha tani dan kelembagaan harus menunjukkan tingkat efisiensi secara finansial, kontinuitas dan kualitas produk yang dihasilkan dapat dijamin. Dengan demikian, dalam jangka panjang kelembagaan petani diarahkan dalam rangka peningkatan partisipasi dan kemandirian petani serta meningkatkan berfungsinya kelembagaan agribisnis di perdesaan yang lebih dinamis dan mandiri.

Usaha tani CLS ini merupakan pola transisi menuju padi organik atau biasa disebut pertanian semi organik. Sehingga perlu dilakukan gerakan penggunaan pupuk alami yang diperoleh dari limbah atau sumberdaya alam yang ada di sekitarnya serta mengurangi penggunaan pupuk/pestisida kimia. Penggunaan pakan konsentrat untuk ternak sapi dapat dikurangi dan digantikan dengan penggunaan jerami atau limbah apapun yang ada di sekitar diolah untuk pakan ternak. Pada prinsipnya pertanian berkelanjutan adalah memanfaatkan sumberdaya lokal sebagai input usaha tani dengan biaya yang relatif minimum dan mengurangi penggunaan input kimia dari luar sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan menjaga kelestarian lingkungan dalam jangka panjang. Hal ini sejalan dengan pendapat Salikin K.A (2003) yang menyatakan manajemen baru sistem pertanian berkelanjutan adalah berorientasi bukan pada produk dan bersifat jangka pendek melainkan berorientasi pada ekonomi dan lingkungan serta bersifat jangka panjang.

Pengembangan usaha tani pola CLS ini sangat spesifik lokasi, masing-masing wilayah memiliki keunikan sendiri-sendiri. Jenis integrasi komoditas, sumberdaya yang ada dan teknik pengelolaannya bervariasi bervariasi antar daerah, dengan demikian operasionalisasi usaha tani pola CLS sesuai dikembangkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setempat. Namun demikian, mengingat pembangunan pertanian dengan pola- pola sejenis CLS mencakup aspek yang multi dimensi dan terbukti mampu menjawab permasalahan pembangunan pertanian secara berkelanjutan, maka diperlukan kebijakan nasional yang mampu memberikan iklim kondusif bagi pengembangan usaha tani pola- pola integrasi baik secara vertikal maupun horisontal. Kebijakan tersebut dalam dilakukan dalam kerangka regulasi maupun kerangka anggaran. Regulasi diperlukan untuk penentuan standar, norma dan pedoman pengembangan pertanian berkelanjutan, sedangkan kerangka anggaran diperlukan untuk inovasi teknologi dan diseminasi ke masyarakat petani, anggaran untuk penyediaan sarana publik dan lainnya guna menstimulasi investasi swasta dan masyarakat dalam usaha tani ini.

Guna mempercepat proses sosialisasi pola-pola integrasi, pemerintah secara bersama-sama masyarakat pertanian perlu melakukan gerakan nasional dalam rangka pembangunan pertanian secara berkelanjutan. Kegiatan penyuluhan dan pembinaan perlu dilakukan guna mendorong peran aktif swasta di bidang pertanian dan masyarakat petani untuk mengembangkan pola-pola sejenis CLS maupun pola-pola integrasi usaha pertanian secara vertikal maupun horisontal yang spesifik lokasi.

V. SIMPULAN DAN REKOMENDASI