• Tidak ada hasil yang ditemukan

PESANTREN DAN INKLUSIVISME

Pondok Modern Gontor telah bertekad untuk menjadi milik umat Islam, yang berarti tanggung jawab terhadap kemajuan dan pengembangannya ada di tangan mereka. Badan Wakaf (pengelola) tidak boleh memihak pada golongan tertentu. Lebih tegasnya, anggota Badan Wakaf boleh berafiliasi kepada organisasi seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, atau lainnya, tetapi Pondok

75 Lihat Basuki, “Pesantren, Tasawuf dan Hedonisme Kultural: Studi Kasus di Pondok Modern Gontor,” dalam Kamaruddin Amin dkk. (eds.), Quo Vadis Islamic Studies: Current Trends and

Future Challenges (Makassar: Ditperta dan PPs UIN Makassar, 2006), 229-347. 76 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1988), 208.

Modern Gontor tidak boleh berafiliasi kepada organisasi-organisasi tersebut. Sebab, semboyan pondok ini adalah “Di atas dan untuk semua golongan.”

Konsekuensi dari semboyan itu adalah bahwa santri harus menjadi “perekat umat,” yang juga menjadi semboyan lain Pondok Modern Gontor. Namun, “perekat umat” ini tidak dipahami secara negatif, dalam arti tidak boleh masuk ke atau berafiliasi dengan organisasi kemasyarakatan atau politik. Justru mereka harus masuk ke dalam organisasi massa atau politik, sesuai dengan panggilan hati dan latar belakang masing-masing, agar dapat berbuat sesuatu ‘dari dalam.’ Sebaliknya, jika mereka berada di luar organisasi, maka tujuan sebagai perekat umat akan semakin jauh. Memang, dengan masuk ke dalam organisasi, tidak sedikit tantangan dan ketegangan yang harus dihadapi oleh para alumni. Akan tetapi, selama tujuan sebagai perekat umat dan sarana untuk mencapai tujuannya—masuk ke dalam organisasi—dapat dibedakan, mereka akan lebih berpeluang merealisasikan tujuannya ketimbang di luar pagar organisasi.77

Dengan demikian, sikap netral dan inklusif yang diisyaratkan dalam semboyan di atas tidak menghalangi para alumni untuk terlibat aktif dalam organisasi massa dan politik sebagai suatu realitas empiris dalam masyarakat. Banyaknya organisasi dalam masyarakat malah menjadi tantangan sekaligus peluang bagi mereka untuk berkiprah dan berbakti, dengan semangat penuh persaudaraan (ukhuwwah). Dengan kata lain, di atas dan untuk semua golongan merupakan “transendensi diri,” tanpa lepas dari organisasi yang menjadi pijakan mereka.

Nilai-nilai inklusif juga dapat ditelusuri dalam kurikulum KMI dan metode pengajarannya, khususnya dalam pelajaran agama seperti fiqih, ushul fiqih dan perbandingan mazhab. Jika dicermati, pelajaran tersebut memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi nilai-nilai civic (civic values) yang dapat mengantarkan para santri untuk bersikap terbuka, pluralis dan toleran. Pada tahun-tahun pertama, misalnya, yang diajarkan kepada para santri adalah fiqh, dengan tujuan agar para santri dapat beribadah dengan baik. Ini didukung dengan pelajaran tafsir, hadits dan mahfudzat (falsafah hidup) yang berkaitan dengan akhlak, sebagai pembentukan karakter dan budi pekerti. Pada tahap ini, santri belum diperkenalkan kepada perbedaan pendapat dalam fiqh.

Selanjutnya mereka diperkenalkan dengan ushul fiqih, Mabadi’

Awwaliyyah dan al-Bayan karangan ‘Abd al-Hamid Hakim. Melalui ushul fiqh

mereka diajarkan metode penarikan (istinbath) hukum Islam, yang seringkali menjadi akar perbedaan pendapat dalam hukum Islam. Sementara dalam pelajaran fiqihnya sendiri digunakan Bulûgh al-Marâm, kumpulan hadis tentang

77 Bandingkan dengan Amin Abdullah, ‘Alumni Pondok Modern sebagai Perekat Umat: Peranan dan Tantangan,’ dalam Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: 1995).

hukum Islam atau fiqih, yang disusun oleh Ibn Hajar al-‘Asqalâni. Dengan

Bulugh al-Maram mereka mengetahui langsung sumber hukum Islam, yaitu

hadis-hadis yang menjadi sandaran fiqih. Pada saat yang sama, mereka juga menghadapi keragaman sumber hukum, karena tidak jarang antara hadis-hadis itu tampak berlawanan atau bertentangan satu sama lain dalam suatu masalah fiqih. Di sini ushul fiqih dengan berbagai kaidahnya memainkan peran. Mengingat jumlah kaidah fiqih yang dapat diterapkan beragam, perbedaan hukum pun menjadi sesuatu yang wajar.

Untuk menunjukkan perbedaan pendapat itu, para santri diperkenalkan dengan fiqih perbandingan melalui Bidayat al-Mujtahid karya Abu al-Walid Muhammad ibn Rusyd, seorang faqih dan filosof besar Islam dari Andalusia (Spanyol). Buku ini adalah kitab fiqih yang berisi pendapat-pendapat para imam mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Hanbali dan Syafi‘i) plus Daud al-Zhahiri, imam Mazhab Zhahiriyyah, tentang berbagai masalah fiqih. Di sini, para santri tidak sekadar harus menguasai materi kitab tersebut, tetapi yang lebih penting lagi adalah mereka dirangsang untuk mengemukakan pendapat pribadinya dengan berbagai pertimbangan, sesuai dengan arti yang diisyaratkan oleh judul kitab itu, “Permulaan [Menjadi] Seorang Mujtahid.” Karena itu, pertanyaan yang ditekankan dalam ujian bukan ma ra’yu al-imam (bagaimana pendapat imam), tetapi ma ra’yuka (bagaimana pendapatmu). Pertanyaan pertama menuntut penguasaan materi, sedangkan yang kedua lebih menuntut santri untuk mengajukan pendapat pribadinya, ketimbang pendapat para imam. Tentu, tidak hanya berhenti sampai di situ, tetapi dasar dan pertimbangan yang memperkuat pendapat pribadinya itu juga dikejar dan ditanyakan. Pendeknya, melalui Bidayat

al-Mujtahid santri tidak diajar untuk menguasai hukum fiqh semata, mereka juga

dilatih untuk “berijtihad.”

Melalui pengajaran fiqih dan ushul fiqih sesungguhnya telah ditanamkan pada diri santri kesadaran akan perbedaan pendapat dalam hukum Islam, yang dengan begitu masalah khilafiyah (perbedaan pendapt) dapat dipandang sebagai suatu kewajaran. Apalagi masalah khilafiyah itu terjadi hanya dalam bidang furu‘ atau cabang agama, bukan dalam masalah ushul atau dasar-dasar agama. Lebih jauh, masalah perbedaan ini telah ada sejak masa Nabi dan sahabat, yang mustahil dihapuskan sama sekali, dan membesar-besarkannya merupakan suatu kebodohan.

Jika perbedaan di kalangan umat Islam itu sendiri terjadi, khususnya dalam bidang fiqih, perbedaan antarumat manusia lebih besar dalam kepercayaan dan keyakinannya. Untuk itu, para santri, yang diasumsikan telah memiliki akidah yang kuat, diperkenalkan dengan perbandingan agama melalui kitab Al-Adyân karya Mahmud Yunus. Dalam buku ini diuraikan agama-agama besar dunia baik Barat, seperti Yahudi dan Kristen, maupun Timur, seperti Hindu, Budha, Taoisme dan lain sebagainya, sehingga para santri mengenal dan

mengetahui ajaran-ajaran dasar agama-agama itu. Meskipun untuk tujuan memperteguh akidah para santri, pelajaran itu disampaikan tidak dengan penilaian yang menjelek-jelekkan agama lain.78

Seperti halnya melalui pelajaran fiqih, melalui pelajaran ini para santri dan alumninya tidak kaku dalam berhubungan dengan non-muslim, tetapi bisa membedakan secara tegas mana wilayah akidah dan mana yang masuk dalam bidang mu‘amalah (hubungan sosial). Sebab, dalam wilayah pertama mereka dibatasi dengan ayat lakum dinukum waliyadin (bagimu agamamu, dan bagiku agamaku), sedangkan dalam wilayah kedua mereka dibolehkan untuk bekerjasama, seperti ditunjukkan dalam perilaku Nabi terhadap kaum Yahudi dan Nasrani.

Dengan demikian, Pondok Modern Gontor sesungguhnya telah menanamkan kepada para santrinya nilai-nilai inklusif, sikap berlapang dada dan toleransi, tidak saja terhadap sesama umat Islam yang berbeda faham keagamaannya, tetapi juga terhadap penganut agama lain.

Secara teoritis suatu paham disebut inklusif bila paham itu tidak didasarkan atas doktrin keagamaan yang tertutup. Dengan kata lain, paham keagamaan inklusif adalah paham keagamaan yang tetap membuka diri terhadap pembaharuan, selama pembaharuan itu tidak menghilangkan esensinya. Inklusif juga berarti paham keagamaan yang toleran terhadap perbedaan.

Pendidikan keagamaan yang diajarkan oleh Gontor lebih menekankan pada pendidikan akhlak atau tasawuf bukan pada aspek fiqih atau syariat. Oleh karena itu wajar bila K.H. Imam Zarkasyi, amat menekankan sikap “lapang dada, bermurah hati dan ber-tasamuh sesama umat Islam.” Ini dipertegas dalam nasihatnya kepada santri, “Orang yang sudah mau sembahyang, lalu sembahyangnya itu belum sama benar dengan sembahyang kita, tidak usah kita musuhi, tidak usah kita marahi, tidak usah kita ejek.”79.

Ajaran toleran yang diajarkan di Gontor bukan hanya sebatas toleran terhadap sesama muslim tapi juga toleran terhadap orang yang tidak beragama Islam. Untuk itu pondok ini juga mengajarkan perbandingan agama melalui kitab

Al-Adyan karya Prof. Mahmud Yunus yang menguraikan tentang agama-agama

besar dunia baik Barat, seperti Yahudi dan Kristen, maupun Timur seperti Hindu, Budha, Taoisme dan lain sebagainya, sehingga santri mengetahui berbagai ajaran dasar agama-agama tersebut.

Karena itu istilah ukhuwwah diniyyah yang digunakan oleh Gontor untuk menunjukkan perlunya menjalin persaudaraan antar umat beragama dimaksudkan bukan hanya untuk ukhuwah Islamiyyah saja yang penting tapi juga ukhuwah

78 Bandingkan Din Wahid, “Pendidikan Islam di Jawa Timur: Kecenderungan dan Variasi,” dalam Jajat Burhanuddin dan Dina Afrianty (eds.), Mencetak Muslim Modern: Peta Pendidikan Islam

Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), 79. 79 K.H. Imam Zarkasyi dari Gontor, Op. Cit., hal. 454.

diniyyah. Kiranya memang bisa disimpulkan bahwa paham keagamaan Gontor memang inklusif dan non sektarian.