• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peserta Katekisasi Sidi GMIT Jemaat Kaisarea

Dalam dokumen T2 752014019 BAB III (Halaman 30-35)

Dari hasil analisa dokumen dan observasi lapangan, Penulis menemukan bahwa peserta katekisasi sidi Jemaat GMIT Kaisarea BTN Kolhua pada tahun ajaran 2015-2016 berasal dari berbagai latar belakang. Katekumen-katekumen ini memiliki latar belakang budaya, ekonomi, usia, maupun tingkat pendidikan yang berbeda. Walaupun sebagian besar katekumen berada dalam tingkat pendidikan menengah keatas, ternyata terdapat juga beberapa katekumen lulusan SD, SMP dan kuliah. Dengan berbagai macam latar belakang dari katekumen, pengajar seharusnya mampu untuk menciptakan kurikulum katekisasi sidi dengan sebaik mungkin sehingga pengajaran yang diberikan mampu diterima dengan baik oleh semua katekumen.

Katekumen umumnya adalah anak-anak remaja usia 16 tahun ke atas. Usia ini adalah masa terpenting dalam perkembangan manusia di mana mereka belajar untuk mengenal diri mereka sendiri, orang lain dan apa yang menjadi pilihan hidup mereka. Ketika berada dalam usia remaja, seseorang berada dalam tahap kepercayaan sintetis-konvensional. 44 Menurut Fowler, dalam tahap ini terjadi perombakan baru dalam struktur pengertian remaja. Kemampuan berpikir remaja yang sedang berkembang ini membuat mereka mulai mengkritisi berbagai hal yang mereka alami. Muncul berbagai macam pertanyaan dalam diri remaja. Hal ini pula yang membuat seseorang dalam usia remaja mulai mencari jati diri. Pencarian ini tidak hanya melibatkan pengalaman pribadi mereka tetapi juga berhubungan erat dengan orang-orang lain di sekelilingnya.

44

Perkembangan remaja ini pula yang memengaruhi mereka dalam proses pendidikan. Remaja tidak lagi percaya pada apa yang dikatakan atau diajarkan sebelum mereka mendapatkan kepastian bahwa nilai-nilai serta kepercayaan tadi mempunyai validitas bagi kehidupan mereka yang mulai memasuki kedewasaan.45 Dengan demikian, kisah-kisah alkitab yang dulu diterima begitu saja di sekolah minggu, dalam usia remaja mulai dikritisi oleh mereka. Dalam usia ini terjadi berbagai gejolak dalam diri mereka. Hal-hal yang ketika kanak-kanak mereka terima sebagai suatu kebenaran, dalam usia ini mulai dipertanyakan. Mereka berusaha mencari kebenaran dari sesuatu yang dikatakan maupun diajarkan. Keputusan-keputusan yang mereka ambil tidak didasarkan oleh pertimbangan yang matang. Oleh sebab itu, di dalam usia ini, seringkali remaja salah dalam melangkah dan mengambil keputusan yang memengaruhi masa depan mereka.

Oleh sebab itu, Pendidikan terhadap remaja tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Peserta didik dalam hal ini katekumen merupakan bagian penting dari gereja. Remaja adalah generasi-generasi muda yang akan meneruskan misi gereja di kemudian hari. Jika sejak dini mereka tidak dituntun untuk menjadi kritis, di kemudian hari mereka akan terbentuk menjadi orang-orang dewasa yang apatis terhadap persoalan-persoalan di sekitarnya karena kehilangan kesadaran kritis mereka. Untuk itu, pengajar sebaiknya memahami apa dan bagaimana kebutuhan remaja. Pendidikan bukan persoalan bagaimana guru memberi tetapi bagaimana murid dapat menerima pengajaran tersebut.

Selain mengenal latar belakang dan kebutuhan katekumen, Pengajar sebaiknya menghindari pandangan bahwa pengajar adalah satu-satunya “sumber pengetahuan”. Model pengajaran yang bersifat satu arah dengan pengajar sebagai pusatnya menjadikan katekumen sebagai objek-objek “patuh” yang menerima pengajaran “tanpa bantahan”. Pendidikan seperti ini yang dikatakan oleh Freire sebagai pendidikan yang menindas. Melalui pendidikan seperti

45

ini, anak-anak telah dibentuk untuk memiliki mental-mental “patuh” yang terjebak dalam kesadaran magis maupun kesadaran naif mereka. Katekumen mungkin saja pada akhirnya mampu menghafal semua cerita alkitab, jumlah kitab dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, bunyi hukum yang pertama dan terutama tetapi katekumen tidak mampu mencapai kesadaran tertinggi (konsientisasi) akan makna dan tujuan pengajaran tersebut bagi hidupnya.

3.4.4 Evaluasi Katekisasi Sidi GMIT Jemaat Kaisarea

Jemaat GMIT Kaisarea menggunakan model evaluasi dengan bentuk ujian/tes (measurment

model). Ujian yang dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada pertengahan dan akhir

pembelajaran. Katekumen akan diberikan pertanyaan-pertanyaan tertulis seputar isi pengajaran yang telah diberikan. Selain ujian, jumlah kehadiran, keaktifan dalam paduan suara, keikutsertaan dalam praktek memimpin ibadah juga menjadi syarat bagi katekumen untuk diteguhkan menjadi anggota sidi. Tetapi, ujian menjadi penilaian tunggal pengajar terhadap keberhasilan pengajaran yang diberikan.

Evaluasi pendidikan pada dasarnya merupakan pengukuran terhadap berbagai aspek dengan tujuan untuk melihat perbedaan-perbedaan individual atau kelompok. Evaluasi yang dilakukan mencakup baik aspek kognitif maupun afektif para siswa.46 Evaluasi sendiri merupakan salah satu aspek penting dalam suatu pelaksanaan pendidikan. Evaluasi tidak hanya dapat dilakukan di akhir atau penutup dari suatu proses pendidikan tertentu tapi juga dapat dilakukan pada awal, maupun pada saat pelaksanaan pendidakan/pembelajaran. Ada berbagai macam model evaluasi yang bisa dijumpai dalam dunia pendidikan, mulai dari model yang paling paling tua yang fokus pengukurannya dilakukan secara kuantitatif seperti

measurment model hingga model yang menggunakan pendekatan kualitatif seperti

illuminative model.47

46

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP –UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (IMTIMA: 2007), 107.

Penulis melihat bahwa dengan diberlakukannya ujian sebagai model evaluasi pengajaran, katekumen secara tidak langsung dituntut untuk mampu mengingat materi-materi pengajaran yang diberikan agar dapat memperoleh hasil yang maksimal dalam ujian. Model evaluasi ini cenderung “memaksa” katekumen untuk menghafal isi pengajaran yang diberikan agar mereka dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan.

Model evaluasi pendidikan yang dipakai dalam katekisasi Jemaat Kaisarea semakin menegaskan bentuk pendidikan gaya bank yang diterapkan dalam proses pengajaran katekisasi. Katekumen “dipaksa” untuk menerima apa yang diberikan oleh pengajar lalu menyimpannya sebanyak mungkin. Pengetahuan-pengetahuan yang diberikan tersebut kemudian akan keluarkan kembali dalam ujian. Model evaluasi dalam bentuk ujian seperti ini seringkali dijadikan indikator keberhasilan pengajaran. Semakin banyak katekumen menjawab dengan benar, semakin baik pula proses pengajaran tersebut.

Model evaluasi ini secara tidak langsung telah mengabaikan tujuan dari pendidikan yang dikemukakan oleh Freire yaitu menuntun manusia untuk sampai pada pengenalan realitas dirinya hingga sampai pada penyadaran (konsientisasi) yang merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Pengajar hanya mengukur keberhasilan pengajaran dari kemampuan katekumen mengulang kembali apa yang disampaikan oleh pengajar. Pada saat dipertimbangkannya evaluasi dalam bentuk ujian, maka timbul kecenderungan untuk menjadikan bahan ujian sebagai tujuan kurikulum. Hal ini yang menyebabkan proses belajar mengajar cenderung mengutamakan latihan dan hafalan. Yang harus disadari ketika menyelenggaran pendidikan agama Kristen adalah, kualitas iman seseorang tidak dapat diukur secara kuantitas. Di dalam pendidikan agama Kristen, hal utama yang harus diingat

ialah bahwa tujuan pendidikan Agama Kristen adalah agar manusia mengalami hidupnya sebagai respon terhadap kerajaan Allah di dalam Yesus Kristus.48

Pemilihan ujian sebagai cara evaluasi menurut penulis adalah hal yang kurang tepat. Pengajar sepatutnya menyadari bahwa pengajaran katekisasi bukan semata-mata sebagai wadah mewariskan kisah-kisah Alkitab, dogma-dogma maupun aturan gereja semata. Lebih daripada itu, gereja secara umum dan pengajar secara khusus selayaknya menyadari bahwa setiap anak memiliki pengalaman masing-masing akan kehadiran Allah dalam hidupnya. Gereja patut untuk melihat kembali perannya sebagai setting Pendidikan Agama Kristen. Pendidikan berbeda dengan pewartaan (penyampaian firman) di mana pemimpin/Pendeta menjadi pusat dari pewartaan. Di dalam pendidikan terjadi komunikasi dua arah. Pendidik dan peserta didik adalah dua subjek hidup yang sama-sama memiliki pengetahuan dan pengalaman hidup. Untuk itu, gereja melalui tugas pendidikan dan pengajarannya dituntut untuk mampu membimbing jemaatnya menjadi lebih kritis dalam merespon panggilan Allah di dalam dunia. Gereja tidak dapat membentuk jemaat, tetapi gereja dapat menuntun jemaat untuk membentuk dirinya sendiri.

Freire memadukan sejarah dan teologi untuk membuat dasar teoritis bagi sistem pendidikan radikal yang mencakup tumbuhnya harapan, refleksi kritis dan perjuangan bersama.49 Kesadaran kritis terhadap realitas akan membawa manusia masuk ke dalam proses kesadaran, bukan proses menghafal semata. Menghafal hanya akan menjadikan manusia mampu menyatakan pengetahuannya tanpa memahami atau menyadari makna yang sesungguhnya. Untuk itu, yang perlu diingat dalam melaksanakan pendidikan agama Kristen ialah pendidikan agama Kristen lebih merupakan kegiatan refleksi daripada pembuktian empiris.50

48

Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: Ditjen Bimas Kristen Protestan dan Universitas Terbuka, 1992), 27.

49

Freire, Politik pendidikan, 13-14.

50

Katekisasi sidi seharusnya menjadi sebuah proses untuk menuntun jemaat menjadi manusia yang seutuhnya. Katekisasi sidi yang membebaskan dapat tercapai jika gereja, terutama pengajar membawa jemaat mencapai fase-fase kesadaran dalam dirinya (kesadaran magis, nai, hingga akhirnya mencapai kesadaran kritis). Katekisasi sidi tidak bisa lagi menyajikan jawaban-jawaban yang harus diterima “tanpa bantahan” oleh katekumen untuk tetapi membawa jemaat merefleksikan pertanyaan-pertanyaan eksistensial mengenai apa masalah-masalah yang dijumpai melalui pengajaran tersebut? (penamaan); apa penyebab dan konsekuensi dari masalah-masalah tersebut? (berpikir); dan apa yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut? (aksi).51

Jika Katekisasi Sidi Jemaat Kaisarea dilakukan dengan cara demikian maka jemaat akan sampai pada titik akhir dari proses pendidikan yaitu kesadaran tertinggi. Pada titik ini jemaat tidak hanya sadar akan keberadaan dan tugasnya sebagai orang Kristen, tetapi mampu merealisasikan imannya ke dalam hidup bermasyarakat. Proses penyadaran merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Freire mengatakan bahwa dunia kesadaran seseorang tidak boleh berhenti, ia senantiasa harus terus berproses, berkembang dan meluas dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingat “kesadaran naif” sampai ke tingkat “kesadaran kritis”, sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni “kesadaran-nya kesadaran” (the consice of the consciousness).

51

Dalam dokumen T2 752014019 BAB III (Halaman 30-35)

Dokumen terkait