• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Zat Pewarna Buatan

Penelitian tentang pewarna buatan pada saus cabai yang digunakan untuk bakso bakar dilakukan mengingat banyaknya pewarna buatan yang digunakan produsen sebagai bahan tambahan pangan termasuk pada saus cabai dan tidak semua zat pewarna tersebut diizinkan untuk digunakan pada makanan berdasarkan PERMENKES RI No.033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahana Pangan.

Dampak negatif dari penggunaan zat pewarna buatan dapat terjadi apabila bahan pewarna tersebut dikonsumsi berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama. Daya tahan tubuh sesseorang berbeda-beda tergantung umur, jenis kelamin, berat badan, mutu makanan dan keadaan fisik. Sehingga dampak yang terjadi juga akan berbeda antar individu (Cahyadi, 2009).

Berdasarkan hasil pemeriksaan pewarna buatan pada saus cabai bakso bakar secara kualitatif dengan metode perubahan warna dapat diketahui bahwa dari kelima saus cabai yang diperiksa yang terdiri dari merek Tradisional, Dua Ikan, Captain, Selera Kita dan Sasa semuanya mengandung pewarna buatan yang masih diizinkan menurut PERMENKES RI No. 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan. Namun, berdasarkan hasil pemeriksaan secara kuantitatif dengan metode kromatografi kertas dapat diketahui bahwa dari 5 saus cabai yang diperiksa terdapat 4 saus cabai yang mengandung kadar zat pewarna buatan yang melebihi kadar yang diizinkan, yaitu saus cabai merek Tradisional, Captain, Selera Kita dan Sasa.

Hal ini dapat diketahui dengan menghitung nilai Rf pada setiap saus cabai yang diperiksa. Kadar saus cabai dikatakan diizinkan jika nilai Rf saus cabai tidak melebihi 0,2. Zat pewarna yang terdapat pada saus cabai yang kadarnya melebihi batas maksimum ialah Ponceau 4R dan Eritrosin. Menurut SNI 1995, batas maksimum penggunaan Ponceau 4R dan Eritrosin adalah 200 mg/kg, tunggal ataupun campuran dengan pewarna lain.

Saus cabai Tradisional, Captain dan Sasa menggunakan pewarna buatan jenis Ponceau 4R. Ponceau 4R adalah pewarna merah hati yang digunakan dalam berbagai produk termasuk selai, kue, agar-agar dan saus. Kadar Ponceau 4R yang digunakan pada saus cabai Tradisional ialah 343 mg/kg, kadar Ponceau 4R pada saus cabai Captain ialah 675 mg/kg dan kadar Ponceau 4R pada saus cabai Sasa ialah 312 mg/kg. Kadar ini jelas telah melebihi batas maksimum jika dibandingkan dengan SNI 1995. Ponceau 4R dianggap dapat memicu hiperaktivitas pada anak di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Norwegia dan Finlandia (Salma, 2010). Namun korelasi ini masih diperdebatkan selama lebih dari 30 tahun oleh para pakar (Barret, 2007). Korelasi ini bermula pada tahun 1973 ketika di depan American Medical Association, Benjamin Feingold mengklaim telah melakukan penelitian pada 1200 orang dan mendapatkan hasil bahwa hampir 40-50% anak hiperaktif sensitif terhadap pewarna, penambah rasa, dan pengawet sintesis. Oleh karena itu Feingold menyarankan diet Feingold, yaitu diet 300 pewarna makanan untuk menanggulangi hiperaktivitas. Pada tahun 1975, Feingold menunjukkan peningkatan H-LD (hiperkinetics and learning

konsumsi soft drink dan flavouring agent sintetik sejak Perang Dunia II (Whitaker, 1996).

Studi penelitian ini dilakukan di Universitas Southampton, Inggris yang melibatkan 153 anak berusia tiga tahun dan 144 anak berusia delapan hingga sembilan tahun. Anak-anak dibagi menjadi dua kelompok yaitu yang mengkonsumsi minuman yang mengandung natrium benzoat dan salah satu dari campuran AFCA (Artificial Food Colour Additive) dan yang mengkonsumsi minuman dengan plasebo (tanpa natrium benzoat dan AFCA).

Campuran AFCA yang digunakan terdiri dari dua macam, yaitu: campuran pertama terdiri dari natrium benzoat, Sunset Yellow, carmoisine, tartrazine, dan ponceau 4R sementara campuran kedua terdiri dari natrium benzoat, Sunset

Yellow, carmoisine, Quinolone Yellow, dan Allura Red AC. Perilaku anak-anak

diamati selama 6 minggu berdasarkan kuesioner GHA atau global hyperactivity

aggregate, yaitu berdasarkan rating orang tua dan guru dan dilanjutkan

dengan attention test terkomputerisasi (Nordqvist, 2007). Selama 6 minggu, anak-anak tersebut mengkonsumsi minuman yang mengandung plasebo atau campuran AFCA (Barret, 2007).

Peningkatan GHA yang kecil namun signifikan terjadi pada campuran pertama untuk kedua kelompok usia, namun kelompok usia tiga tahun menunjukkan efek lebih besar. Sementara campuran kedua memiliki efek signifikan yang kecil pada kelompok usia delapan dan sembilan tahun tetapi tidak pada kelompok usia tiga tahun yang memiliki respon individual yang lebar.

Menurut Stevenson, respon yang berbeda ini dapat disebabkan oleh genetik. (Barret, 2007).

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pewarna sintesis atau pengawet natrium benzoat menyebabkan hiperaktivitas pada kedua kelompok usia tersebut bila dibandingkan dengan kelompok yang mengkonsumsi plasebo. Berdasarkan penelitian ini maka British Food Standard Agency menarik enam pewarna sintesis yang digunakan dalam percobaan ini, yaitu tartrazine, quinoline

yellow, sunset yellow, carmoisine, ponceau, dan allura red pada akhir 2009

(Eufic, 2008).

Saus cabai Selera Kita menggunakan pewarna buatan jenis erythrosine (eritrosin). Kadar eritrosin pada saus cabai Selera Kita adalah 443 mg/kg. Kadar ini telah melebihi batas maksimum beradasarkan SNI 1995. Eritrosin adalah sebuah senyawa iodo-anorganik terutama turunan dari fluor. Zat pewarna ini merupakan senyawa sintetis warna cherry-pink. Biasanya digunakan sebagai pewarna makanan. Eritrosin biasanya digunakan dalam manisan seperti gula-gula dan es loli, dan bahkan lebih banyak digunakan dalam menghias kue gel. Selain digunakan sebagai pewarna makanan, eritrosin juga digunakan sebagai tinta cetak, sebagai penanda biologis, zat penyingkap plak gigi dan media radiopak. Senyawa ini juga digunakan sebagai sensitizer untuk film fotografi ortokromatis ( Putra, 2013 ).

Eritrosin umum digunakan di banyak negara di dunia, namun kurang umum digunakan di Amerika Serikat. Pada tahun 1990 FDA-AS telah menerapkan larangan parsial pada eritrosin berdasarkan hasil penelitian bahwa

pada dosis tinggi eritrosin dapat menyebabkan kanker pada tikus. Namun pada bulan Juni 2008, Pusat Ilmu Pengetahuan untuk Kepentingan Umum (CSPI) mengajukan petisi kepada FDA untuk larangan lengkap tentang eritrosin di Amerika Serikat. Serangkaian uji toksikologi dikombinasikan dengan studi tinjauan dan laporan lain menyimpulkan bahwa eritrosin non–mutagenik. Sehingga eritrosin dapat digunakan sebagai pewarna makanan di Amerika Serikat tanpa batasan apapun (Wawasan Ilmu Kimia, 2014). Namun, menurut Arin Sehat (2008) penggunaan eritrosin akan menyebabkan reaksi alergi pada pernapasan dan gangguan pada otak dan perilaku.

Saus cabai Dua Ikan menggunakan pewarna buatan jenis Brown HT (Coklat HT). Kadar zat pewarna pada saus cabai Dua Ikan adalah 168 mg/kg. Kadar ini masih di bawah batas maksimum yang diizinkan menurut SNI 1995. Pewarna ini umum digunakan sebagai pewarna dalam makanan berbasis coklat yang banyak disukai anak-anak, sehingga risiko konsumsi pewarna tersebut melebihi nilai ADI (acceptable daily intake) menjadi lebih besar.

Penelitian Karunia (2013) tentang kajian penggunaan zat adiktif makanan (pemanis dan pewarna) pada kudapan bahan pangan lokal di pasar Kota Semarang menunjukkan bahwa beberapa kudapan masih menggunakan pewarna buatan seperti Tartrazine, Brilliant Blue, Carmoisine, Erythrosine dan ponceau 4R, namun jenis pewarna ini masih diizinkan berdasarkan PERMENKES RI No. 033 Tahun 2012.

Hal ini sejalan dengan penelitian Elmatris (2008) tentang analisis kualitatif dan kuantitatif zat pewarna pada keripik balado yang beredar di Bukittinggi yang menyatakan bahwa dari 20 keripik balado yang dianalisis terdapat 75% sampel menggunakan zat pewarna sintetis berupa ponceau 4R dan erythrosine. Begitu juga dengan hasil penelitian Purba (2009) tentang analisis zat pewarna pada minuman sirup yang dijual di SD Kelurahan Lubuk Pakam III Kecamatan Lubuk Pakam dapat diketahui bahwa dari 20 minuman sirup yang diperiksa terdapat 18 minuman yang menggunakan zat pewarna yang diizinkan berupa Sunset Yellow,

Tartrazine dan ponceau 4R serta 2 minuman sirup yang menggunakan zat

pewarna tidak diizinkan berupa Ponceau 3R.

Penggunaan zat pewarna buatan disenangi oleh produsen karena mempunyai variasi warna yang beragam dan lebih cemerlang serta pemakaiannya lebih praktis dan tahan lama disamping harganya lebih murah. Apabila dibandingkan dengan zat pewarna alami, kurang digemari produsen karena variasi warnanya sedikit, keseragaman serta stabilitas warna kurang. Namun, penggunaan zat pewarna buatan ini tetap harus dibatasi dan diawasi agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan (Napitupulu, 2006).

Dokumen terkait