• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pewarnaan Spora Yeast

Dalam dokumen Mikroskop Dan Pewarnaan (Halaman 25-44)

2.2.2 Pewarnaan .1 Preparasi

2.2.2.5 Pewarnaan Spora Yeast

Percobaan ini dilakukan oleh kelompok 7 dan kelompok 8. Pertama-tama yang dilakukan adalah tahap preparasi. Pewarna violet kristal ditambahkan lalu dipanaskan dengan cara

dilewatkan api bunsen selama 3 kali tapi tidak boleh sampai kering. Setelah itu dibilas dengan alkhohol dan dikeringkan terlebih dahulu. Setelah itu, ditambah dengan pewarna safranin (fuksin) lalu didiamkan selama 10 detik dan dibilas lagi dengan aquades lalu dikeringkan. Jika sudah kering, diletakkan pada mikroskop untuk diamati. Gambar yang tampak pada mikroskop digambar pada tabel 2. Pada percobaan ini, kelompok 7 menggunakan mikroorganisme Saccharomyces cereviseae dan kelompok 8 menggunakan Saccharomyces ovarum.

27

Tabel hasil percobaan preparat kapang dapat dilihat pada tabel 1 Tabel 1.Preparat Kapang

Kelompok Kultur Gambar Keterangan

1 Aspergillus niger 1. Vesi 2. Konidiofora 3. Konidia 4. Foot cell 5. Sterigma Perbesaran : 40 x 10 2 Rhizopus oligosporus 1. Sporangium 2. Sporangiospora 3. Kolum 4. Apotitis 5. Sporangiosfor 6. Stolon 7. Noda Perbesaran : 40 x 10 Dari tabel diatas dapat diketahui kultur yang digunakan dalam percobaan preparat kapang ini dan bagian-bagian yang tampak jika dilihat menggunakan mikroskop serta perbedaran yang digunakan. Percobaan ini hanya dilakukan oleh kelompok 1 dan 2. Kelompok 1 menggunakan kultur Aspergillus niger. Bagian-bagian yang tampak antara lain : vesi, konidiofora, konidia, foot cell, dan sterigma. Sementara kelompok 2 menggunakan kultur yang berbeda yaitu Rhizopus oligosporus. Bagian-bagian yang tampak antara lain : sporangium, sporangiospora, kolum, apotitis, sporangiosfor, stolon, dan noda. Perbesaran yang digunakan dalam percobaan ini adalah 40 x 10.

3.2 Pewarnaan

Tabel 2.Pewarnaan Kelompok Jenis

pewarnaan

Jenis

mikroorganisme Gambar Keterangan

1 Sederhana Bacillus subtilis

Bentuk : streptococcus Warna : coklat Perbesaran : 10 x 100 2 Sederhana Streptococcus thermophilus Bentuk : coccus Warna : biru hitam Perbesaran : 10 x 100

3 Gram Escherichia coli

Bentuk : coccus Warna : merah Perbesaran : 10 x 100 4 Gram Lactobacillus bulgaricus Bentuk : - Warna : - Perbesaran : - 5 Spora

bakteri Bacillus subtilis

Bentuk : coccus Warna : merah Perbesaran : 10 x 100 6 Spora bakteri Azotobacter xylinum Bentuk : coccus Warna : merah bata Perbesaran : 10 x 100

7 Spora yeast Saccharomyces cereviseae

Bentuk : coccus Warna : merah Perbesaran : 40 x 100

8 Spora yeast Saccharomyces ovarum

Bentuk : staphylococcus Warna : merah Perbesaran : 40 x 100

Dari tabel diatas dapat diketahui bentuk dan warna yang tampak pada mikroskop dari masing-masing mikroorganisme dengan pewarnaan yang berbeda-beda. Kelompok 1 melakukan percobaan pewarnaan sederhana dengan mikroorganisme Bacillus subtilis. Pada mikroskop akan tampak mikroorganisme ini berbentuk streptococcus dan berwarna coklat. Kelompok 2 melakukan percobaan pewarnaan sederhana dengan mikroorganisme Streptococcus thermophilus. Pada mikroskop akan tampak mikroorganisme ini berbentuk coccus dan berwarna biru hitam. Kelompok 3 melakukan percobaan pewarnaan gram dengan mikroorganisme Escherichia coli. Pada mikroskop akan tampak mikroorganisme ini berbentuk coccus dan berwarna merah. Kelompok 4 melakukan percobaan pewarnaan gram dengan mikroorganisme Lactobacillus bulgaricus. Khusus untuk kelompok 4, hasil percobaan pewarnaan tidak tampak pada mikroskop. Kelompok 5 melakukan percobaan pewarnaan spora bakteri dengan mikroorganisme Bacillus subtilis. Pada mikroskop akan tampak mikroorganisme ini berbentuk coccus dan berwarna merah. Kelompok 6 melakukan percobaan pewarnaan spora bakteri dengan mikroorganisme Azotobacter xylinum. Pada mikroskop akan tampak mikroorganisme ini berbentuk coccus dan berwarna merah bata. Kelompok 7 melakukan percobaan pewarnaan spora yeast dengan mikroorganisme Saccharomyces cereviseae. Pada mikroskop akan tampak mikroorganisme ini berbentuk coccus dan berwarna merah. Kelompok 8 melakukan percobaan pewarnaan spora yeast dengan mikroorganisme Saccharomyces ovarum. Pada mikroskop akan tampak mikroorganisme ini berbentuk staphylococcus dan berwarna merah. Perbesaran yang digunakan oleh tiap-tiap kelompok tidak sama. Kelompok 1 sampai kelompok 6

menggunakan perbesaran 10 x 100. Sementara kelompok 7 dan kelompok 8 menggunakan perbesaran 40 x 100.

31

pewarnaan. Kedua jenis percobaan ini dilakukan menggunakan mikroskop. Menurut Volk & Wheeler, mikroskop adalah suatu alat yang berfungsi untuk meneliti atau mengamati terhadap benda-benda yang relatif kecil (yang tidak dapat dilihat oleh mata telanjang), contohnya: untuk melihat bagian-bagian kecil sel, dan mikroorganisme. Menurut Lay (1994), mikroskop adalah alat utama yang mempunyai fungsi penting di laboratorium mikrobiologi. Fungsi dari mikroskop adalah untuk membantu mengamati benda-benda yang berukuran sangat kecil. Menurut Schlegel & Schmidt (1994) di dalam mengungkapkan struktur halus dari suatu sel kita tidak mampu menelusurinya tanpa bantuan alat, yaitu mikroskop. Mikroskop berfungsi untuk mengamati benda – benda yang berukuran sangat kecil yang berasal dari makhluk hidup maupun benda mati seperti preparat awetan. Mikroskop yang digunakan dalam percobaan ini adalah mikroskop majemuk. Sebenarnya, tidak hanya dalam percobaan ini saja, laboratorium memang biasanya menggunakan mikroskop majemuk. Menurut Volk & Wheeler (1993) mikroskop yang disebut sebagai mikroskop majemuk adalah mikroskop yang memiliki dua perangkat lensa. Komponen utama mikroskop majemuk adalah : tabung yang memisahkan lensa objektif dan okuler, cermin untuk memantulkan cahaya, kondensor untuk memusatkan cahaya, diafragma iris untuk mengatur banyak sedikit cahaya yang masuk ke spesimen, penyesuaian halus dan kasar untuk menaikkan dan menurunkan lensa objektif, pentas untuk meletakkan spesimen, kerangka untuk menyangga semua bagian mikroskop (Volk & Wheeler, 1993).

Pada percobaan preparat kapang, mula-mula jarum N dipijarkan di atas bunsen hingga berwarna merah. Setelah jarum berwarna merah, kultur diambil dengan menggunakan jarum N. Pengambilan kultur dilakukan secara aseptis. Menurut Volk & Wheeler (1993) jarum ose harus dipijarkan sampai berwarna merah sesaat sebelum dan sesudah digunakan. Dengan cara ini, bagian jarum dari loop tersebut menjadi steril untuk sementara karena mikrobia yang ada pada permuaakn loop akan mati. Selama pemijaran, jarum ose harus dipegang sedemikian rupa di atas api sehingga seluruh ujung loop hingga bagian dekat tangkai pemegang menyala secara bersamaan.Kemudian kultur diletakkan pada kaca preparat yang sebelumnya sudah dibersihkan dengan alkhohol dan ditambah larutan laktofenol lalu ditutup dengan kaca penutup preparat. Terakhir, kaca preparat diletakkan di mikroskop untuk diamati. Menurut Nasir et al (1993) cara memakai mikroskop adalah dengan cara mengarahkan tubus pada objek, pilih lensa obyektif dengan perbesaran lemah dengan menggunakan revolver,

membuka diafragma sampai maksimum, melihat ke dalam okuler, mengamati preparat dengan menggunakan secara bergantian Pada percobaan ini, kelompok 1 menggunakan kultur Aspergillus niger dan kelompok 2 menggunakan kultur Rhizopus oligosporus. Percobaan ini hanya dilakukan oleh kelompok 1 dan kelompok 2.

Setelah diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40 x 10, kelompok 1 yang menggunakan kultur Aspergillus niger, bagian-bagian yang tampak antara lain : vesi, konidiofora, konidia, foot cell, dan sterigma. Sementara kelompok 2 menggunakan kultur yang berbeda yaitu Rhizopus oligosporus. Bagian-bagian yang tampak antara lain : sporangium, sporangiospora, kolum, apotitis, sporangiosfor, stolon, dan noda. Hal ini sesuai dengan teori Fardiaz (1992) yang mengatakan bahwa Aspergillus memiliki konidiofora (septat atau non septat yang meuncul dari foot cell), koloni kompak, konidia yang membentuk rantai, sterigma. Untuk lebih lanjutnya, dapat dilihat pada tabel 1.

Percobaan yang kedua adalah pewarnaan. Pewarnaan ini dibagi lagi menjadi lima bagian yaitu preparasi, pewarnaan sederhana, pewarnaan gram, pewarnaan spora bakteri, dan pewarnaan spora yeast. Pewarnaan spora bakteri dan yeast termasuk pewarnaan struktural. Hal ini sesuai dengan teori Fardiaz (1992) yang mengatakan bahwa Pewarnaan bakteri dapat dibedakan atas beberapa golongan, yang meliputi : pewarnaan sederhana, pewarnaan diferensial (pewarnaan gram dan pewarnaan asam cepat), pewarnaan struktural (pewarnaan inti sel (Feulgen) yaitu pewarnaan inti sel bakteri, pewarnaan endospora yaitu pewarnaan spora bakteri, pewarnaan dinding sel yaitu pewarnaan dinding sel dari bakteri, pewarnaan kapsul yaitu pewarnaan kapsul yang dibentuk oleh bakteri, pewarnaan flagella yaitu pewarnaan flagel / alat gerak bakteri), dan pewarnaan untuk menguji komponen dalam sel seperti Glikogen, Lipida. Menurut Hadioetomo (1993) pewarnaan ini mutlak diperlukan karena sel mikroorganisme yang tidak diwarnai umumnya tampak hampir tembus pandang (transparan) bila diamati dengan mikroskop cahaya biasa sehingga sukar dilihat karena sitoplasma selnya mempunyai indeks bias yang hampir sama dengan indeks bias lingkungannya yang bersifat cair. Kontras antara sel dan latar belakangnya dapat dipertajam dengan mewarnai sel-sel tersebut dengan sel warna. Oleh karena itu, penggunaan zat warna terhadap bakteri yang dilakukan pada percobaan bertujuan supaya zat warna dapat mengadsorbsi atau membiaskan cahaya sehingga dapat meningkatkan kontras dengan sekelilingnya dan struktur sel bakteri dapat diamati. Menurut Volk & Wheeler (1993)

mikroorganisme yang akan diamati telah diberi zat pewarna kimia supaya lebih mudah dilihat dan dipelajari. Menurut Lay (1994) pengecatan bertujuan agar kontras antara sel dan latar belakang dapat dipertajam. Selain itu juga bertujuan untuk mempermudah pengamatan sel-sel bakteri. Penggunaan zat warna memungkinkan pengamatan struktur sel seperti spora, flagela, dan bahan inklusi yang mengandung zat pati dan granula fosfat.

Pada percobaan ini, sebelum melakukan pewarnaan mula-mula yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah tahap preparasi. Pada tahap preparasi mula-mula kaca preparat dibersihkan dengan menggunakan alkhohol dan dilap sampai kering menggunakan tissue. Kemudian kaca preparat diberi 1 tetes aquades. Setelah itu, di atas aquades ditambahkan biakan. Penambahan biakan dilakukan menggunakan jarum ose dan dikeringkan di depan kipas angin sampai kering. Setelah kering, kaca preparat difiksasi (dilewatkan api bunsen sebanyak 3 kali) dan dilakukan pewarnaan. Menurut Lay (1994) proses fiksasi ini dilakukan dengan cara melewatkan gelas benda pada nyala api spirius beberapa kali selama 1-2 detik. Proses ini bertujuan untuk lebih melekatkan bakteri pada gelas benda dan mematikan bakteri, karena sebenarnya bakteri yang hidup tidak dapat diamati, karena pada bakteri hidup, selnya tidak mengandung pigmen atau transparan, karena indeks bias sitoplasmanya hampir sama dengan indeks bias lingkungannya yang bersifat cair. Menurut Hadioetomo (1993) proses fiksasi dilakukan dengan cara melewatkan preparat di atas api, tetapi pemanasan yang digunakan tidak boleh berlebihan karena dapat menyebabkan pecahnya dinding sel.

Setelah melakukan preparasi, maka dapat dilakukan pewarnaan. Pada pewarnaan sederhana, setelah melakukan preparasi, ditambah dengan metylen blue dan ditutup dengan kaca penutup preparat. Lalu kaca preparat dibilas dengan aquades dan dikeringkan di depan kipas angin hingga kering. Setelah itu, diamati menggunakan mikroskop. Pada percobaan ini, kelompok 1 menggunakan mikroorganisme Bacillus subtilis dan kelompok 2 menggunakan mikroorganisme Streptococcus thermophilus. Pada pewarnaan gram, setelah melakukan preparasi, ditambah dengan pewarna violet kristal lalu warnanya dihilangkan menggunakan alkhohol dan dibilas dengan aquades. Kemudian ditetesi dengan lugol dan didiamkan sebentar. Setelah itu, warnanya dihilangkan lagi menggunakan alkhohol. Didiamkan 1 menit kemudian ditambah fuksin (pewarna safranin). Lalu warnanya dihilangkan lagi menggunakan alkhohol dan dibilas lagi dengan aquades. Dikeringkan hingga kering kemudian diletakkan pada mikroskop untuk diamati. Pada percobaan ini kelompok 3 menggunakan mikroorganisme Escherichia coli dan kelompok 4 menggunakan mikroorganisme

Lactobacillus bulgaricus. Pada pewarnaan spora bakteri, setelah melakukan tahap preparasi pewarna hijau malasit ditambahkan lalu dipanaskan dengan cara dilewatkan api bunsen selama 3 kali tapi tidak boleh sampai kering. Setelah itu dibilas dengan aquades. Setelah dibilas, ditambah dengan pewarna safranin (fuksin) lalu didiamkan selama 10 detik dan dibilas lagi dengan aquades. Setelah itu dikeringkan. Jika sudah kering, diletakkan pada mikroskop untuk diamati. Pada percobaan ini, kelompok 5 menggunakan mikroorganisme Bacillus subtilis dan kelompok 6 menggunakan Azotobacter xylinum. Percobaan spora yeast hampir sama dengan spora bakter, hanya bedanya pada spora yeast yang ditambahkan adalah pewarna violet kristal. Pada percobaan ini, kelompok 7 menggunakan mikroorganisme Saccharomyces cereviseae dan kelompok 8 menggunakan Saccharomyces ovarum. Hal ini sesuai dengan teori Atlas (1984) yang membahas cara melakukan percobaan pewarnaan. Dia mengatakan bahwa tahap awal pengecatan yaitu meletakkan kultur bakteri yang akan diamati secara aseptis di atas kaca preparat yang telah dibersihkan dengan menggunakan alkohol. Pembersihan segala sesuatu dengan menggunakan alkohol dilakukan agar bakteri yang akan diamati tidak terkontaminasi dengan mikroorganisme lain. Setelah kering, kemudian dibakar agar pada tahap pencucian bakteri tetap tinggal dalam preparat. Tahap terakhir adalah pewarnaan. Pewarnaan sederhana mikroorganisme akan bernilai positif bila pewarna diserap oleh sel mikrobia sehingga sel menjadi lebih gelap dari lingkungan di sekitarnya atau bernilai negatif bila mikroorganisme lebih terang daripada lingkungannya.

Dalam percobaan ini, mikroorganisme berkali-kali dibilas menggunakan aquades. Hal ini tidak akan menghilangkan bakteri maupun zat pewarna yang akan diamati karena menurut Timotius (1982) reaksi kimia biasanya terjadi antara pewarna dan komponen-komponen dalam sel sehingga warna tetap tertinggal meskipun sel dicuci dengan air. Selain itu, menurut Schlegel & Schmidt (1994) tidak hilangnya zat pewarna setelah dicuci dengan menggunakan air karena spora akan menyerap warna dan tidak akan melepaskannya lagi meskipun diberi etanol, sedangkan ruang sel selebihnya akan kehilangan warnanya Pada pewarnaan spora bakteri, ditambahkan pewarna hijau malasit lalu setelah itu dilakukan pemanasan. Menurut Lay (1994) pemanasan ini bertujuan untuk mengembangkan lapisan luar spora yang bersifat tahan terhadap perubahan faktor luar, yang dalam hal ini adalah penambahan bahan kimia berupa larutan pewarna malachite green, sehingga zat warna malachite green dapat masuk ke dalam spora. Setelah didinginkan, warna hijau tersebut terperangkap dalam spora, sehingga struktur endospora dapat diamati. Menurut Fardiaz (1992) tujuan dilakukannya pemanasan pada percobaan ini supaya endospora dalam bakteri menjadi aktif, karena endospora dalam

bakteri akan aktif jika pada saat lingkungan ekstrim dan kandungan airnya rendah saja Selain itu, menurut Tortora et al (1995) pemanasan akan mempercepat pengecatan, di mana pemanasan membantu zat warna menembus dinding endospora. Sehingga meskipun dilakukan pencucian dengan air mengalir, semua zat warna bagian sel akan luntur kecuali zat warna pada endospora tetap tertinggal. Pada pewarnaan spora bakteri dan spora yeast, setelah pewarna juga ditambahkan pewarna safranin. Menurut Lay (1994) penambahan safranin yang merupakan zat warna basa akan mengikat muatan negatif yang terdapat pada permukaan sel sehingga sel vegetatif berwarna merah muda kekuningan. Dalam hal ini safranin tidak masuk ke dalam spora. Bakteri yang dioleskan pada preparat tidak boleh terlalu tebal karena jika terlalu tebal maka tidak dapat dilihat menggunakan mikroskop.

Dalam percobaan ini harus diperhatikan bahwa bakteri yang dioleskan pada preparat tidak boleh terlalu tebal atau terlalu tipis karena dapat menyebabkan gambar yang tampak pada mikroskop menjadi tidak jelas dan mengganggu proses pengamatan. Hal ini sesuai dengan teori Hadioetomo (1993) yang mengatakan bahwa hal yang penting yang mempengaruhi keberhasilan pada pengecatan bakteri adalah penyiapan preparat yang baik yakni tidak terlalu tebal atau tidak terlalu tipis, biakan dapat tetap melekat pada gelas preparat selama pencucian berulang-ulang, sel-selnya tidak berubah bentuk setelah fiksasi dan pengecatan. Selain penyiapan preparat, pengolesan bakteri pada gelas benda tidak boleh terlalu tebal ataupun terlalu tipis. Sebab jika olesannya terlalu tebal, maka sel-sel bakteri akan bertumpang tindih, sehingga ketika bagian selnya tidak bisa teramati dengan jelas bila dilihat di bawah mikroskop, dan juga akan menylitkan dalam pewarnaan. Apabila terlalu tipis, hal yang dikhawatirkan adalah akan banyak sel yang hilang saat pencucian sehingga bisa saja semua bakteri akan hilang akibat pencucian selain itu mengingat kecilnya sel bakteri, sehingga akan menyulitkan dalam pengamatan. Hal ini didukung oleh teori Trihendrokesworo (1989) yang mengatakan bahwa ada pula faktor lain yang dapat mempengaruhi sifat gram negatif dan gram positif, yaitu penyiapan preparat yang terlalu tebal menyebabkan pelarutan kurang baik, konsentrasi dan kesegaran bahan untuk pewarna, waktu pelarutan yang terlalu lama menyebabkan warna pada sel bakteri gram positif ikut terlarut, pencucian dan pengeringan yang mempengaruhi keberadaan iodin, serta umur bakteri yang mempengaruhi keutuhan bakteri.

Setelah diamati menggunakan mikroskop, maka akan tampak gambar yang berbeda untuk setiap jenis mikroorganisme. Hal-hal yang dapat diamati dengan menggunakan mikroskop

antara lain warna dan bentuk koloni nya. Menurut Volk & Wheeler (1993) pada umumnya, olesan bakteri terwarnai dapat mengungkapkan ukuran, bentuk, susunan dan ada atau tidaknya struktur internal seperti spora dan butiran. Menurut Hadioetomo (1993) pengecatan sederhana yang dilakukan memungkinkan dibedakannya bakteri dengan bermacam - macam tipe morfologi (coccus, basilus, vibrio, sprilum, dan sebagainya) dari bahan-bahan lainnya yang ada pada olesan yang diwarnai. Timotius (1982) juga mengatakan bahwa Bentuk dan ukuran mikrobia merupakan karakteristik yang penting untuk identifikasi. Adapun 3 bentuk dasar sel bakteri : batang (baccil), bulat (coccus), dan lengkung (koma, vibrion, dan spiral). Bentuk bakteri yang paling dikenal ada 2 macam, yaitu batang dan bulat. Untuk melihat hasil lengkapnya, dapat dilihat pada tabel 2.

Pada pewarnaan sederhana, zat pewarna yang digunakan adalah methylen blue yang bertujuan untuk mengetahui sel tersebut hidup / mati. Ini sebabnya pewarnaan jenis ini merupakan pewarnaan yang paling sederhana dan sering dilakukan. Hal ini sesuai dengan teori Timotius (1982) yang mengatakan bahwa dalam pengecatan sederhana, digunakan larutan biru metilen Leoffer (bersifat basa) sebagai zat pewarna. Hal ini dikarenakan sitoplasma bakteri bersifat basofilik, sehingga pewarna tersebut dapat masuk ke dalam sel dan mengadakan reaksi kimia dengan komponen sel, sehingga warna biru metilen Leoffer tetap tertinggal di dalam sel, dan dapat dilakukan pengamatan dengan mikroskop. Pengecatan sederhana bertujuan untuk mengetahui bentuk mikroba dengan bantuan mikroskop. Selain itu, Pelczar & Reid (1958) juga mengatakan bahwa pewarna metilen biru tidak dapat digunakan secara maksimal untuk meneliti komponen sel secara lebih detail. Ini dikarenakan, pewarna metilen biru hanya dapat membedakan sel-sel mati dan sel-sel hidup. Dimana sel mati berwarna biru karena mengalami pemecahan dinding sel, sehingga pewarna metilen biru dapat masuk ke dalam sitoplasma sel. Sedangkan sel yang masih hidup akan tetap berwarna transparan, karena dinding sel yang hidup masih utuh, dan belum mengalami lisis atau pemecahan. Hal ini didukung juga oleh Bibiana (1994) yang mengatakan bahwa pewarnaan sederhana hanya bisa untuk melihat bentuk dan susunan sel (Bibiana, 1994).

Pewarnaan gram adalah bagian dari pewarnaan diferensial, dimana pewarnaan diferensial terbagi menjadi dua yaitu pewarnaan gram dan pewarnaan asam cepat. Pewarnaan ini berfungsi untuk mengelompokkan bakteri. Zat pewarna yang digunakan dalam pewarnaan gram ini adalah violet kristal. Hal ini sesuai dengan teori Trihendrokesworo (1989) yang mengatakan bahwa pengecatan deferensial merupakan pengecatan yang memiliki keunggulan

dalam mengelompokkan bakteri, karena dengan pengecatan ini bakteri bisa digolongkan menjadi bakteri gram positif dan gram negatif. Dimana hal yang membedakannya adalah lapisan membran selnya. Gaman & Sherrington (1994) mengatakan bahwa Pengecatan gram dapat digunakan untuk membedakan bakteri dalam dua kelompok besar, yaitu : Bakteri yang dapat menahan pewarna primer yaitu ungu kristal, iodium, sampai pada akhir prosedur (sel-sel tampak biru gelap atau ungu) disebut gram positif dan bakteri yang kehilangan kompleks warna ungu kristal pada waktu pembilasan dengan alkohol namun kemudian terwarnai oleh pewarna tandingan atau cat penutup safranin (sel-sel nampak merah muda) disebut gram negatif. Lay (1994) juga mengatakan hal yang serupa, bahwa pengecatan gram merupakan pewarnaan diferensial yang sangat berguna dan paling banyak digunakan dalam laboratorium. Selain itu pengecatan gram merupakan tahap penting dalam pencirian dan identifikasi bakteri. Pengecatan gram ini dapat digunakan untuk memilah bakteri menjadi kelompok gram negatif atau gram positif. Cappucino & Sherman (1983) mengatakan bahwa pewarnaan gram ini memilahkan bakteri menjadi kelompok bakteri gram positif dan gram negatif. Bakteri gram positif berwarna ungu disebabkan kompleks zat warna kristal violet-yodium tetap dipertahankan meskipun diberi larutan pemucat sedangkan bakteri gram negatif berwarna merah karena kompleks tersebut larut sewaktu pemberian larutan pemucat dan kemudian mengambil zat warna yang kedua yaitu Safranin yang menyebabkan sel menjadi berwarna merah. Fungsi zat warna kedua hanyalah sebagai pembeda (kontras) terhadap zat warna kristal violet.

Dalam pewarnaan gram, zat pewarna yang umumnya digunakan adalah violet kristal. Hal ini sesuai dengan teori Lay (1994) yang mengatakan bahwa dalam pengecatan gram pada bakteri, digunakan zat warna primer (violet kristal), larutan mordan (iodin), bahan peluntur (alkohol), dan zat warna penutup (safranin). Larutan mordan berfungsi untuk meningkatkan afinitas pengikatan zat warna oleh bakteri, sehingga pengikatan zat warna oleh bakteri menjadi lebih kuat, memperjelas zat warna, mempersulit pelarutan zat warna, dan menyebabkan terbentuknya persenyawaan kompleks kristal violet-yodium. Sedangkan etanol, berfungsi untuk melunturkan zat warna primer dengan daya kerja lambat, sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya pemucatan yang berlebihan. Fungsi penambahan zat warna penutup adalah sebagai pembeda (kontras) terhadap zat warna primer, dan juga untuk mewarnai kembali sel-sel yang telah kehilangan zat warna primernya (Lay, 1994).

Pewarnaan struktural merupakan pewarnaan yang paling jarang dilakukan, karena tidak semua bakteri memiliki endospora. Endospora biasanya hanya dapat dilihat pada bakteri yang berbentuk batang. Dalam pewarnaan ini digunakan zat pewarna hijau malasit. Hal ini sesuai dengan teori Fardiaz (1992) yang mengatakan bahwa pengecatan struktur merupakan pengecatan yang jarang dilakukan karena biasanya untuk melakukan pewarnaan pada flagela, endospora, ataupun kapsula, di mana tidak semua bakteri memilikinya. Namun pengecatan ini juga dapat dipakai untuk klasifikasi bakteri, karena dengan pengecatan ini dapat diketahui keberadaan endospora, dan kemudian bakteri yang mengandung endospora dikelompokkan ke dalam genus tertentu. Namun ada kelemahan dalam klasifikasi ini, yaitu bila ada bakteri yang tidak tampak endosporanya setelah pengecatan maka belum tentu bisa dimasukkan ke

Dalam dokumen Mikroskop Dan Pewarnaan (Halaman 25-44)

Dokumen terkait