• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pidana Denda Dalam Sistem Pemidanaan Pelanggaran Lalu Lintas

BAB II PANDANGAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENERAPAN PIDANA

C. Pidana Denda Dalam Sistem Pemidanaan Pelanggaran Lalu Lintas

L.H.C. Hullsman mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanction and punishment).36

Aturan perundang-undangan (the statutory rules) dibatasi pada hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan. Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) di bidang hukum pidana substantif tersebut terdiri dari aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam KUHP (Buku I),dan aturan khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan

35

Andi Hamzah, Op.cit, hal.53.

36

Buku III, maupun dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP. Aturan khusus tersebut pada umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum.37

Secara garis besar, sistem pemidanaaan di Indonesia mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok, yaitu Jenis pidana (strafsoort), lamanya ancaman pidana (strafmaat), dan pelaksanaan pidana (strafmodus).38

a. Jenis pidana (strafsoort)

Jenis pidana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 KUHP yang terdiri dari : 1) Pidana pokok berupa :

a. Pidana mati ; b. Pidana penjara ; c. Pidana kurungan ; d. Pidana denda ; e. Pidana tutupan. 2) Pidana tambahan berupa :

a. Pencabutan beberapa hak tertentu ; b. Perampasan barang-barang tertentu ; c. Pengumuman putusan hakim.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, Indonesia hanya mengenal pidana pokok dan pidana tambahan.

37

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal.136.

38

b. Lamanya Ancaman Pidana (strafmaat)

Ada beberapa pidana pokok yang seringkali secara alternatif diancamkan pada perbuatan pidana yang sama. Hakim hanya dapat menjatuhkan satu diantara pidana yang diancamkan itu. Hal ini mempunyai arti, bahwa hakim bebas dalam memilih ancaman pidana. Sedangkan mengenai lamanya atau jumlah ancaman, yang ditentukan hanya maksimum dan minimum ancaman. Dalam batas-batas maksimum dan minimum inilah hakim bebas bergerak untuk menentukan pidana yang tepat untuk suatu perkara. Akan tetapi kebebasan hakim ini tidaklah dimaksudkan untuk membiarkan hakim bertindak sewenang-wenang dalam menentukan pidana dengan sifat yang subyektif.39

Kemudian berkaitan dengan tujuan diadakannya batas maksimum dan minimum adalah untuk memberikan kemungkinan pada hakim dalam memperhitungkan bagaimana latar belakang dari kejadian, yaitu dengan berat ringannya delik dan cara delik itu dilakukan, pribadi si pelaku delik, umur, dan keadaan-keadaan serta suasana waktu delik itu dilakukan, disamping tingkat intelektual atau kecerdasannya. KUHP di Indonesia hanya mengenal maksimum umum dan maksimum khusus serta minimum umum. Ketentuan maksimum bagi penjara adalah 15 (lima belas) tahun berturut-turut, bagi pidana kurungan 1 (satu) tahun, dan maksimum khusus dicantumkan dalam tiap-tiap rumusan delik, sedangkan pidana denda tidak ada ketentuan maksimum umumnya tetapi yang ada hanya minimum umum dan maksimal khusus. Adapun pidana penjara dan pidana kurungan, ketentuan minimumnya adalah satu hari. Undang-undang juga diatur

39

mengenai keadaan-keadaan yang dapat menambah dan mengurangi pidana. Keadan yang dapat mengurangi pidana adalah percobaan dan pembantuan, dan terhadap dua hal ini, pidana yang diancamkan adalah maksimum pidana atas perbuatan pidana pokoknya dikurangi sepertiga, seperti ketentuan dalam Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 57 KUHP. Pasal 53 ayat (2) KUHP berbunyi “Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dalam hal percobaan dikurangi sepertiga”. Sedangkan Pasal 57 ayat (1) KUHP berbunyi “Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga”. Disamping ketentuan yang meringankan juga diatur tentang keadaan-keadaan yang dapat menambah atau memperberat pidana, yaitu perbarengan, recidive serta pegawai negeri. Dalam hal pidana penjara dapat ditambah menjadi maksimum 20 tahun, pidana kurungan menjadi maksimum 1 tahun 4 bulan dan pidana kurungan pengganti menjadi 8 bulan.40

Mengenai pidana denda oleh pembuat undang-undang tidak ditentukan suatu batas maksimum yang umum. Tiap pasal dalam KUHP yang bersangkutan ditentukan batas maksimum (yang khusus) pidana denda yang dapat ditetapkan oleh Hakim. Jumlah pidana denda baik dalam KUHP maupun dalam ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, tidak sesuai lagi dengan sifat tindak pidana yang dilakukan, berhubung ancaman pidana denda itu sekarang menjadi terlalu ringan jika dibandingkan dengan nilai mata uang pada waktu kini, sehingga jumlah itu perlu diperbesar/dipertinggi. Menurut

40

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1960, yang dalam Pasal 1 ayat (1) nya menentukan bahwa :

"Tiap jumlah pidana denda yang diancamkan, baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagaimana beberapa kali telah ditambah dan diubah dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 1), maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sebagaimana telah diubah sebelum hari berlakunya Peraturan Pengganti Undang undang ini harus dibaca dengan mata uang rupiah dan dilipatgandakan menjadi lima belas kali".

Perubahan menurut Undang-undang No. 18 Tahun 1960 dilipatgandakan menjadi 15 kali, sehingga menjadi Rp 3,75 (tiga rupiah tujuh puluh lima sen). Maksimum khususnya bermacam-macam yaitu sebagai berikut:41

a. Untuk “kejahatan”

- Maksimum berkisar anatara Rp 900,- (dulu 60 gulden) dan Rp 150.000,- (dulu 10.000 gulden); namun ancaman pidana denda yang sering diancamkan ialah sebesar Rp 4.500,- (dulu 500 gulden)

b. Untuk “pelanggaran”

- Denda maksimum berkisar antara Rp 225,- (dulu 15 gulden) dan Rp 75.000,- (dulu 5.000 gulden); namun yang terbanyak hanya diancam dengan denda sebesar Rp 375, (dulu 25 gulden) Rp 4.500,- (dulu 300 gulden).

Pola diatas terlihat bahwa menurut pola KUHP ( WvS) maksimum khusus pidana denda yang paling tinggi untuk “kejahatan” ialah Rp 150.000,- (10.000 gulden), dan untuk “pelanggaran” paling banyak Rp 75.000,- (5.000 gulden). Jadi maksimum khusus pidana denda yang paling tinggi untuk “kejahatan” adalah “dua kali lipat” yang diancamkan untuk “pelanggaran”.42

Di Indonesia dewasa ini sedang dilakukan proses pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang baru yang tentunya di

41

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 , hal.177-178.

dalamnya juga berkaitan dengan pembaharuan bentuk-bentuk pidananya serta konsep lamanya maksimum dan minimum pidana, khususnya untuk pidana denda.43

Rancangan KUHP tahun 2008 mengenai “minimum umum”, “minimum khusus” dan “maksimum khusus” pidana denda. Minimum umumnya sebesar Rp 15.000,-. Ancaman maksimum khusus dibagai kategori, yaitu:44

a. Kategori I : Maksimum Rp 1.500.000,00 b. Kategori II : Maksimum Rp 7.500.000,00 c. Kategori III : Maksimum Rp 30.000.000,00 d. Kategori IV : Maksimum Rp 75.000.000,00 e. Kategori V : Maksimum Rp 300.000.000,00 f. Kategori VI : Maksimum Rp . 3.000.000.000,00

Konsep tersebut masih hanya sebagai rancangan dan belum diberlakukan sehingga perlu diketahui bahwa ketentuan denda dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) saat ini sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman. Nilai denda tersebut terakhir kali diubah melalui Perpu No. 18 Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana dan dalam Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus 1945.

Belum disesuaikannya kembali nilai denda tersebut tentunya mengakibatkan tidak efektifnya pidana denda sebagai salah satu bentuk ancaman pidana yang diatur dalam KUHP itu sendiri. Hal ini mengakibatkan pilihan bentuk pemidanaan menjadi hanya seputar pemidanaan dalam bentuk pidana mati,

43

http://novijournal.blogspot.com/2011/06/aspek-pidana-dan-pemidanaan-dalam.html. Diakses tanggal 5 Oktober 2012.

44

penjara atau kurungan, yang pada akhirnya berkontribusi pada semakin tingginya angka narapidana di lembaga-lembaga pemasyarakatan.

Selain itu, telah diketahui pula dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ada perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak pidana ringan sebagaimana disebut dalam pasal 364 (pencurian ringan) pasal 373 (penggelapan ringan), pasal 379 (penipuan ringan), pasal 384 (penipuan ringan oleh penjual), pasal 407 ayat (1) (perusakan ringan) dan pasal 482 (pemudahan ringan) saat ini menjadi tidak efektif lagi mengingat ukuran nilai barang atau uang yang menjadi ukuran tindak pidana tersebut masih sebesar Rp. 250 , sehingga diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP yang hanya memuat 5 pasal.45

Perma ini memerintahkan bahwa kata-kata “dua ratus lima puluh rupiah” dalam Pasal 364,373,379,384,407 dan 482 KUHP dibaca menjadi Rp.2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah).46 Hal ini tentu disebabkan karena nilai Rp.250 tidak sesuai lagi dan hampir tidak ada barang yang nilainya dibawah Rp.250.

Perma ini intinya adalah bahwa seluruh uang yang ada di KUHP, baik yang diatur dalam pasal-pasal pidana ringan (364, 373, 379 dst) maupun dalam pasal-pasal yang memuat hukuman denda nilainya dilipatgandakan menjadi 10.000 kali dengan pengecualian terhadap Pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 303 bis ayat 1 dan ayat 2.

45

Penjelasan Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP

46

Perhitungan 10.000 kali lipat ini diperoleh dari penyesuaian harga emas dari tahun 1959 yang nilainya Rp 50,51 /gram dengan harga emas per 3 februari 2012 yang harganya telah mencapai Rp 509.000 / gram. Jika dihitung maka telah terjadi penurunan nilai rupiah sebanyak 10.077 kali. Untuk memudahkan penghitungan Mahkamah Agung kemudian membulatkan angka tersebut menjadi 10.000 kali .47

c. Pelaksanaan Pidana (strafmodus)

KUHP yang berlaku di Indonesia pada saat ini belum mengenal hal yang dinamakan pedoman pemidanaan. Oleh karena itu, hakim dalam memutus suatu perkara diberi kebebasan memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan sistem alternatif dalam pengancaman di dalam undang-undang. Selanjutnya hakim juga dapat memilih berat ringannya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh undang-undang hanya maksimum dan minimum pidana.48

Pelanggaran lalu lintas adalah pelanggaraan terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009. Undang-undang ini menggantikan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-undang lalu lintas terbaru tersebut menerapkan sanksi pidana yang lebih berat bagi si pelanggar.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR RI pada tanggal 26 Mei 2009

47

Penjelasan Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP

48

http://eprints.undip.ac.id/18231/1/Slamet_Siswanta.pdf. diakses tanggal 8 September 2012.

yang kemudian disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 22 Juni 2009.49 Undang-undang ini adalah kelanjuta dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992, terlihat bahwa kelanjutannya adalah merupakan pengembangan yang signifikan dilihat dari jumlah clausul yang diaturnya, yakni yang tadinya 16 bab dan 74 pasal, menjadi 22 bab dan 326 pasal. Perbandingannya dapat dilihat pada tabel 2 berikut:

Tabel 2

Perbandingan Isi UU Nomor 14 Tahun 1992 dengan UU Nomor 22 Tahun 2009

UU Nomor 14 Tahun 1992 UU Nomor 22 Tahun 2009

Bab I Ketentuan Umum Bab I Ketentuan Umum Bab II Asas dan Tujuan Bab II Asas dan Tujuan

Bab III Pembinaan Bab III Ruang Lingkup Keberlakuan Undang-Undang

Bab IV Prasarana Bab IV Pembinaan Bab V Kendaraan Bab V Penyelenggaraan

Bab VI Pengemudi Bab VI Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Bab VII Lalu Lintas Bab VII Kendaraan Bab VIII Angkutan Bab VIII Pengemudi

Bab IX Lalu Lintas dan Angkutan Bab IX Lalu Lintas bagi Penderita Cacat

Bab X Dampak Lingkungan Bab X Angkutan Bab XI Penyerahan Urusan Bab XI Keamanan dan

Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Bab XII Penyidikan Bab XII Dampak Lingkungan

Bab XIII Ketentuan Pidana Bab XIII Pengembangan Industri dan Teknologi Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Bab XIV Ketentuan Lain-Lain Bab XIV Kecelakaan Lalu Lintas Bab XV Ketentuan Peralihan Bab XV Perlakuan Khusus bagi

Penyandang Cacat, Manusia Usia Lanjut, Anak-Anak, Wanita Hamil, dan Orang Sakit

Bab XVI Ketentuan Penutup Bab XVI Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Bab XVII Sumber Daya Manusia Bab XVIII Peran Serta Masyarakat Bab XIX Penyidikan dan

Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Bab XX Ketentuan Pidana Bab XXI Ketentuan Peralihan Bab XXII Ketentuan Penutup

Berikut beberapa sanksi pidana denda dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan:

1. Mengemudikan Kendaraan Sambil Menelepon

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 melarang pengendara kendaraan bermotor berkendara sambil melakukan aktivitas sampingan yang bisa merusak konsentrasi. Aturannya terdapat dalam Pasal 106 ayat (1) menyatakan bahwa setiap pengendara wajib berkendara dengan penuh konsentrasi dan secara wajar. Saksinya terdapat dalam Pasal 283 UU No. 22 Tahun 2009 yang berbunyi “ Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 750.000,00 (Tujuh Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah).

Di Indonesia disiplin berlalulintas masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari jumlah kendaraan yang sering berbelok tanpa menghidupkan lampu sein terlebih dahulu. Tentu saja tindakan memotong jalur atau berbelok tanpa memberi tanda sangat berbahaya dan sangat mungkin menyebabkan kecelakaan. Undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan Nomor 22 Tahun 2009 pasal 294 dengan tegas mengatur bahwa setiap orang yang akan berbelok atau berbalik arah wajib menyalakan lampu sein, sanksinya dikenai sanksi kurungan 1 (satu) bulan atau denda sebesar Rp 250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

3. Mengemudikan Kendaraan Melawan Arah

Tindakan mengemudi lawan arah melanggar UU No. 22 Tahun 2009 pasal 106 ayat 4, disana dijelaskan bahwa saja ada ganjaran bagi pelanggar tersebut, yakni kurungan paling lama dua bulan dan denda paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sesuai pasal 287 ayat 2.

4. Menabrak Kendaraan Yang Tidak Menyalakan Lampu Di Malam Hari Kejadian ini sering ditemui, bukan hanya dikota kecil melainkan juga di kota-kota besar. Para pengendara itu beranggapan bahwa selama dirinya bisa melihat di malam hari, menyalakan lampu menjadi tidak penting. Padahal selain untuk menerangi jalan bagi diri si pengendara lain sehingga terhindar dari tabrakan. Menurut pasal 48 ayat satu (1) dan ayat tiga (3) juncto pasal 107 ayat satu (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, setiap kendaraan yang beroperasi di jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan kelayakan jalan khususnya

memiliki lampu utama yang wajib dinyalakan pada saat berkendaraan malam hari. Seandainya ada kendaraan yang tidak dilengkapi lampu depan maka kendaraan tersebut bisa dikategorikan sebagai kendaraan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan kelayakan jalan. Pasal 285 ayat (1) dan ayat dua (2) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan bahwa kendaraan yang tidak layak jalan, tapi dipaksakan beroperasi akan dikenakan hukuman penjara selama satu bulan atau denda sebanyak Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Hukumannya semakin berat jika kendaraan itu terlibat kecelakaan dan menimbulkan kerusakan kendaraan lain. Pemilik kendaraan yang tidak layak tersebut dikenakan ketentuan pasal 310 ayat satu (1) dengan ancaman pidana kurungan maksimal enam (6) bulan atau denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Seandainya ada korban yang luka ringan, hukumannya menjadi pidana penjara selama satu tahun atau denda sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah), sesuai pasal 310 ayat dua (2) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Jika menimbulkan luka berat atau menyebabkan meninggal dunia. Hukumannya adalah penjara selama lima tahun dan enam tahun serta dikenakan denda sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah), menurut ketentuan pasal 310 ayat tiga (3) dan ayat empat (4).

5. Kendaraan Tidak Memiliki STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan)

Salah satu dokumen yang harus dimiliki seorang pemilik kendaraan adalah STNK. STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) merupakan salah satu surat

penting yang menunjukkan kepemilikan kendaraan secara sah. Meskipun demikian, pada kenyataannya banyak kendaraan yang tidak memiliki STNK, fakta ini diketahui dari razia pihak kepolisian terhadap pengendara kendaraan bermotor. Tanpa STNK akan terancam hukuman kurungan hingga dua bulan atau denda hingga Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sesuai pasal 288 ayat 1. Bahkan, bukan tidak mungkin kita dituduh sebagai pencuri kendaraan bermotor.

6. Kewajiban Menyalakan Lampu pada Siang Hari

Kewajiban ini diberlakukan untuk kendaraan roda dua dimana para pengendara sepeda motor wajib menyalakan lampu utama di siang hari yang diatur dalam pasal 107 ayat 2, namun sering kali para pengendara sepeda motor tersebut melanggar ketentuan tersebut. Pengendara sepeda motor ini yang melanggar ketentuan ini dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 hari atau denda paling banyak Rp 100.000,- sesuai dengan ketentuan pidana dalam pasal 293 ayat 2.

7. Tidak dapat menunjukkan SIM (Surat Izin Mengemudi) yang sah.

Bagi pengendara bermotor yang tidak memiliki SIM, akan dipidana dengan pidana kurungan empat bulan atau denda paling banyak Rp.1.000.000 (Pasal 281), sedangkan dalam Pasal 288 Ayat (2) mengatur, bagi setiap orang yang mengemudi kendaraan bermotor yang tidak dapat menunjukkan SIM yang sah, akan dikenai pidana dengan pidana kurungan paling lama satu bulan dan/atau denda paling banyak Rp.250.000.

Pada setiap daerah mempunyai ukuran sendiri mengenai jumlah maksimum dan minimum denda yang akan diterapkan. Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1993 yang menyebutkan:

“Dalam hal menentukan maksimum uang titipan untuk pelanggaran yang bersifat ringan, sedang, dan berat, Ketua Pengadilan Negeri agar memperharikan secara teliti keadan sosial dan ekonomi di wilayah hukumnya masing-masing.”

Sesuai dengan Surat Edaran diatas, dapat dipahami bahwa penjatuhan atau pemberian pidana denda bagi pelanggar digantungkan pada keadaaan dan kemampuan pada masyarakat setempat. Surat edaran tersebut tidak mengikat, namun ketentuan yang ada didalamnya secara umum dipatuhi oleh Pengadilan Negeri, dengan alasan untuk mengurangi keanekaragaman (disparitas) pemidanaan denda.50

50

BAB III

PENERAPAN PIDANA DENDA DALAM PELANGGARAN

LALU LINTAS DI MEDAN

A. Faktor Penyebab Terjadinya Pelanggaran Lalu Lintas Di Kota

Medan

Peraturan pada dasarnya dibuat dengan tujuan untuk mempermudah kehidupan manusia, namun nyatanya tidak ada jaminan bahwa peraturan tersebut akan dipatuhi. Seperti kondisi berkendara di Indonesia terutama di Kota Medan. Rambu-rambu lalulintas seakan hanya menjadi hiasan yang tidak memiliki makna apa-apa. Praktis hanya lampu lalulintas saja yang di patuhi, itu pun pada ruas jalan tertentu saja. Perilaku yang tidak tertib ini di perparah dengan pertambahan jumlah kendaraan yang sulit dibendung sementara jumlah pertambahan ruas jalan tidak mampu mengimbanginya.

Kehidupan sehari-hari, transportasi merupakan sarana yang digunakan masyarakat untuk melakukan aktifitasnya seperti ke pasar, ke kantor, ke sekolah dan lain sebagainya. Selain itu tansportasi juga memiliki peran yang sangat penting dan strategis sebagai sarana untuk memperlancar roda perekonomian. Transportasi harus digunakan sesuai dengan peruntukannya dan pengoperasiannya harus sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan, namun dalam kenyataannya masih sering ditemui masyarakat yang menggunakan transportasi tidak berdasarkan pada aturan perundang- undangan yang berlaku. Para pengguna transportasi khususnya remaja masih banyak melalaikan pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan baik yang terdapat dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) maupun yang ada pada UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pelanggaran-pelanggaran itu dilakukan

secara sengaja atau tidak sengaja dan oleh orang dewasa maupun oleh para remaja.

Manusia memang individu yang kompleks sehingga perilakunya juga tidak sederhana.Perilaku manusia tidak sekedar memperhitungkan untung dan rugi saja. Bisa jadi perilaku yang tampak merugikan dimata seseorang akan dianggap menguntungkan bagi orang lain.

Pakar Sosiolog Kota Medan,Muhammad Iqbal, berpendapat bahwa gejala itu terjadi diakibatkan tiga faktor yakni, perilaku manusia (personal) itu sendiri, situasi sosial (lingkungan) dan sikap adaptif terhadap penyimpangan/pelanggaran atas perilaku tersebut. Pelanggaran bisa dilakukan oleh siapa saja (masyarakat), karena di dalam diri seseorang memiliki perilaku untuk melakukan penyimpangan.51

Perilaku berkendaraan di jalan raya cukup sederhana. Misalkan seorang pengendara berada dipersimpangan jalan yang sepi (kondisi lingkungan) kemudian ia memutuskan untuk melanggar lampu lalu lintas (perilaku), atau tidak ingin mengantri di lampu merah lantas melintasi trotoar jalan. Konsekuensi dari perilaku ini adalah perjalanan yang lebih cepat. Selain itu pengendaratersebut juga tidak ditangkap petugas karena memang tidak ada petugas di persimpangan jalan tersebut. Perilaku pelanggaran seperti ini akan cenderung diulangi karena mendapat penguatan positif atau hadiah yaitu proses perjalanan yang lebih cepat dan tidak tertangkap oleh petugas. Selama ini memang sangat sulit untuk mengubah sikap mental pengendara kendaraan bermotor menjadi pengguna jalan yang tertib. Apalagi ditambah dengan kondisi rambu-rambu di Kota Medan yang juga semrawut. Kegiatan semacam kampanye tertib lalu lintas seperti razia (untuk mengubah sikap mental) walaupun dilakukan

51

http://www.scribd.com/doc/97889873/Pelanggaran-Lalu-Lintas-Di-Kota-Medan . Diakses tanggal 7 November 2012.

dengan gencar, namun jika kondisi lingkungandan konsekuensi dari perilaku tersebut belum konsisten maka kegiatan semacam itu akan selalu menemui dinding tebal yang tidak bisa ditembus. Ini pula menjadikan sikap perilaku pengendara di Medan tidak berubah-ubah sehingga sudah dikategorikan masuk ke dalam tahap kronis.

Lebih lanjut, menurut Benny, SH., Polantas Medan, menyatakan bahwa hal yang harus diperhatikan oleh pengguna jalan raya adalah keselamatan diri dan keselamatan sekitarnya. Tindakan kepolisian untuk melakukan razia bukan semata-mata agar masyarakat menggunakan helm, menyalakan lampu untuk kepentingan polisi, akan tetapi untuk menjamin keselamatan masyarakat dalam berkendara. Apabila sipelanggar tidak mematuhi peraturan lalu lintas bukan hanya

Dokumen terkait