• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. 1. Istilah Terduga Teroris Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Istilah terduga teroris terdapat dalam Bab VII Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tidak Pidana Pendanaan Terorisme, namun Undang-undang tersebut tidak memberikan defenisi mengenai apa yang dimaksud dengan terduga terorisme. Istilah terduga jika diartikan sebagai permulaan pelaksanaan dari niat atau permulaan pelaksanaan dari kejahatan, maka dianggap sebagai seseorang yang akan melakukan kejahatan. Terhadap percobaan, Moeljatno memberikan penjelasan yaitu :

1. Batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum itu terdapat diantara apa yang disebut voerberidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) dengan apa yang disebut uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan).

2. Yang dimaksud dengan Voerberidingshandelingan dan Uitvoeringshandelingan itu adalah tindakan-tindakan yang berhubungan langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai pelaksanaannya.

Pembentuk Undang-undang tidak bermaksud untuk menjelaskan lebih

lanjut tentang batas-batas tindakan-tindakan pelaksanaan (Uitvoeringshandelingen).85 Mengenai permulaan pelaksanaan, Van

Hammel mengemukakan pendapat berdasarkan teori percobaan yang bersifat subyektif materiil yakni telah terbentuk sikap batin yang jahat dari si pembuat.

Menurut pendapat Simons berdasarkan teori obyektif materiil (bahwa pada delik materiil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai atau dilaksanakan/dilakukan perbuatan yang menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh Undang-undang tanpa memerlukan perbuatan lain. Duynstee berpendapat mengenai teori obyektif formil, bahwa perbuatan pelaksanaan, jika apa yang dilakukan termasuk dalam salah satu kelakuan yang merupakan rangkaian kelakuan seperti yang dilarang dalam rumusan delik.

Dalam menentukan adanya perbuatan permulaan pelaksanaan pada delik percobaan, Moeljatno berpendapat bahwa terdapat 2 (dua) faktor yang harus diperhatikan, yaitu sifat atau inti dari delik percobaan dan sifat atau inti dari delik pada umumnya. Dengan demikian perbuatan pelaksanaan harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu :

a. Secara obyektif, apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada kejahatan yang dituju;

85http://www.tanyahukum.com/pidana/189/permulaan-pelaksanaan-dalam-delik-percobaan/, diakses 13 Juli 2015

b. Secara subyektif, tidak ada keragu-raguan lagi delik mana yang dituju; dan

c. Apa yang dilakukan terdakwa itu merupakan perbuatan yang melawan hukum.

Untuk menentukan terjadinya suatu tindak pidana, maka faktor-faktor esensial dari kejahatan dan faktor batin adalah hal yang utama atau yang lebih dikenal dengan istilah Actus Reus dan Mens Rea. Actus Reus atau Criminal Act, yaitu perbuatan kriminal, merupakan salah satu bagian essensial dari asas hukum actus non facit reum nisi mens sit rea (suatu tindakan tidak membuat seseorang bersalah, kecuali maksud tujuan untuk bertindaknya juga bersalah)

. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan uraian Clark dan Marshall

sebagai berikut :

“Actus non facit reum nisi sit rea is the product of an effort to capture a theory criminal responsibility reting upon and requiring concurrence of a wrongful intent and wrongful act in a maxim”.86 (Terjemahan bebas: Actus non facit reum nisi sit rea

adalah produk dari sebuah teori penilian tanggung jawab kriminal atas dan menuntut persetujuan dari sebuah tujuan yang benar- benar salah dan undang-undang yang salah).

Mens rea menyangkut dengan unsur-unsur pembuat delik, yaitu sikap batin, yang oleh pandangan monitistis tentang delik disebut unsur subyektif suatu delik atau keadaan psikis pembuat.87 Atau dapat dikatakan bahwa

mens rea adalah unsur esensial dari kejahatan.

86 Mr. H.A Zainal Abidin Farid, Ibid, hal. 47 87 Mr. H.A Zainal Abidin Farid, Ibid, hal. 51

Perbuatan pidana (Strafbaar feit) merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatau yang sebenarnya dialarang oleh hukum) juga perbuatan yang pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum).88

Merumuskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana, karena asas legalitas, mewajibkan kepada pembuat undang-undang untuk menentukan terlebih dahulu dalam undang-undang, dan apa yang dimaksud dengan tindak pidana harus dirumuskan secara jelas. Karenanya pula rumusan tersebut mempunyai peranan yang menentukan mengenai apa yang dilarang atau apa yang harus dilakukan orang.89

Asas nullum delictum noela poena sini prevea lege poenale yang bermakna suatu perbuatan tidak dapat dihukum apabila belum ada hukum yang mengaturnya. Hal ini merupakan wujud dari penegakan hak asasi manusia khususnya asas praduga tak bersalah. Maka untuk menyimpulkan seseorang telah melakukan sebuah kejahatan, maka kejahatan tersebut telah diatur dalam perundang-undangan atau belum. Apabila sudah ada, maka tahapan selanjutnya untuk menentukan seseorang telah melakukan suatu kejahatan adalah terpenuhinya unsur-unsur kejahatan yang dilakukan.

Terjadinya suatu tindak pidana, harus memenuhi beberapa syarat yaitu : a. Harus ada suatu perbuatan;

88Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta, Raja Grafindo, 2012, hal. 155

89Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia studi kasus tentang penerapan dan perkembangannya dalam yurisprudensi alumni, bandung, 2002, hal. 23

b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang ditentukan dalam ketentuan hukum;

c. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan;

d. Harus berlawanan dengan hukum; e. Harus terdapat ancaman hukumannya.

Pompe mengatakan bahwa untuk dapat dipidananya seseorang yang telah dituduh melakukan tindak pidana, ada ketentuan di dalam hukum acara:

1. Tindakan yang dituduhkan atau didakwakan itu harus dibuktikan; 2. Tindak pidana itu hanya dikatakan terbukti jika memenuhi semua

unsur yang terdapat di dalam rumusannya.

Setelah ada kesimpulan bahwa seseorang tersebut melakukan sebuah kejahatan, maka tahapan selanjutnya adalah menentukan mengenai sifat dan substansi perbuatannya itu. Di sinilah terdapat dasar hukum untuk memberi atau menjatuhkan hukuman pada seseorang. Paham sifat melawan hukum ada 2 (dua) yaitu :

1. Perbuatan melawan hukum formil, yaitu suatu perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut sudah diatur dalam undang- undang. Jadi sandarannya adalah hukum yang tertulis.

2. Perbuatan melawan hukum materiil, yaitu terdapat mungkin suatu perbuatan melawan hukum walaupun belum diatur undang-undang.

Sandarannya adalah asas umum yang terdapat dalam lapangan hukum.

Pembuat Konsep KUHP Baru 1998 menegaskan dianutnya pandangan sifat melawan hukum materiil yang terdapat dalam pasal 17 yaitu:

“Perbuatan yang dituduhkan haruslah merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh suatu peraturan perundang- undangan dan perbuatan tersebut juga bertentangan dengan hukum.”

Penegasan ini dilanjutkan dalam pasal 18 yaitu :

“Setiap tindak pidana selalu bertentangan dengan pengaturan perundang-undangan atau bertentangan dengan hukum, kecuali terdapat alasan pembenar dan pemaaf.”

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sifat melawan hukum tidak hanya formale wedereechtelijkheid yang diakui, tetapi juga materiele wederrechtelijkheid.

Untuk menentukan apakah kejahatan yang dilakukan seseorang yang diduga melakukan terorisme itu adalah sebuah kejahatan, maka perlu dibuktikan berdasarkan deliknya. Menurut Satochid Kartanegara, unsur delik terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur yang objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia yaitu berupa :

a. suatu tindakan; b. suatu akibat dan;

Unsur subjektif dari unsur-unsur dari perbuatan dapat berupa:

a. Kemampuan dapat dipertanggungjawabkan (Toerekeningvatbaarheid) b. Kesalahan (Schuld).90

Penjelasan di atas bisa kita lihat bahwa orang yang sebagai permulaan diduga melakukan terorisme itu, memenuhi unsur atau delik suatu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003. Walaupun ada bukti permulaan yang cukup, pembuktian unsur-unsur yang ada dalam pasal tersebut cukup untuk membuktikan sesorang diduga melakukan kejahatan. Jika dilihat dari unsur-unsur tindak pidana terorisme, maka dapat dilakukan tindakan penyadapan terhadap orang yang diduga melakukan terorisme.

Pengertian tentang terorisme diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa :

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek – obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas inter - nasional.”

Wilkinson dalam Ensiklopedia Ilmu Kepolisian memberikan identifikasi dengan memberikan ciri dan karakteristik terorisme sebagai berikut :

1. Sistematisasi penggunaan pembunuhan, luka–luka/kerugian, atau ancaman untuk mencapai tujuan akhir, contoh penekanan pemerintah, kegiatan revolusioner atau pengenalan.

2. Fokus, arah, dan tujuan terorisme adalah menciptakan ketakutan, ketidaknyamanan dan panik.

3. Terorisme tidak terpisahkan secara acak dan pandang bulu. Terorisme sengaja menyerang target warga sipil (bukan prajurit). Strategi ini menyebarkan ketakutan, karena tidak memiliki target khusus. Oleh karena itu tidak seorangpun akan merasa aman, dan individu tidak dapat menghindar menjadi korban. Strategi terorisme diarahkan pada target lunak (soft target).

4. Terorisme menggunakan metode penghancuran liar/acak seperti bom mobil, bom paku, dan bom ganda adalah paling disukai. Terorisme tidak mengenal aturan atau kebiasaan dalam perang. 5. Terorisme lebih bersifat ekspresif dari kekerasan, begitupun

terorisme membutuhkan pendengar dan media. Tanpa media, teroris merupakan latihan yang sia–sia.

6. Tindak pidana terorisme direncanakan dengan baik dibandingkan dengan tindak pidana yang dilakukan secara spontan oleh pelaku tindak pidana.91

Dari masing-masing rumusan terorisme diatas tampak jelas bahwa dalam pemahaman yang dominan dan resmi, terorisme adalah sebagai aksi kejahatan yang pada tahap akhir ditujukan untuk menghancurkan negara, artinya ia disamakan dengan sejenis politik subversi. Dengan kata lain pendefinisian ini

91William G. Baely, Ensiklopedia Ilmu Kepolisian Edisi Bahasa Indonesia, Yayasan pengembangan Kajian ilmu Kepolisian, Jakarta, hal. 908

lebih ditujukan untuk melindungi kepentingan dan kekuasaan resmi negara. Kejahatan terorisme dikatakan sebagai political criminal di mana aktivitas kejahatannya dilakukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat ideologis dan dilakukan dengan jaringan atau kelompok.

Terorisme bukan merupakan kejahatan biasa (ordinnary crime) tetapi lebih bersifat extra ordinary crime. Perbedaan antara kedua kejahatan tersebut terletak pada tujuan dan cara pelaksanaannya, pada kejahatan biasa dilaksanakan untuk suatu tujuan tertentu dan korban korban tertentu serta menggunakan cara biasa yang dapat dilaksanakan secara perorangan atau bersama–sama (lebih dari satu orang). Mengingat cara perbuatan itu dilakukan secara biasa, kejahatan ini dapat dilaksanakan oleh hampir setiap orang. Pada kejahatan extra ordinary, kejahatan dilaksanakan secara sistematik, meluas serta terorganisir yang didalamnya terkandung adanya perencanaan dan penggunaan sarana IPTEK, serta dengan tujuan ideologis serta dapat mengorbankan masyarakat luas bahkan dapat menggoyahkan tatanan sosial, budaya, hukum, ekonomi dan yang lainnya. Dengan demikian, penanganan terhadap kejahatan terorisme tidak lagi bersifat ultimum remedium, tapi harus primum remedium.92

Berkaitan dengan seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme diperlukan adanya bukti permulaan yang cukup, dalam Undang- undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Tentang penggunaan bukti permulaan yang cukup, dirasakan kurang

92Eman Ramelan, “Terorisme Dalam Prespektif Hukum Internasional”, Yuridika, Vol. 21 Nomor 1 januari–Februari 2006 : 1 – 12, hal. 3

jelas dan kurang mampu memberi arah yang pasti sehingga dalam perkembangan hukum diperlukan suatu formulasi khusus dalam penanganan tindak pidana khusus seperti terorisme. Dalam Pasal 26 (1) Undang–undang Nomor 15 Tahun 2003 menyebutkan bahwa penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen untuk memulai proses penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras akan melakukan kejahatan terorisme.

Data intelijen dapat digunakan sebagai awal penyidikan, dengan asumsi bahwa semua dapat dideteksi sedari awal sebagai upaya pencegahan, dengan demikian pihak intelijen maupun aparat keamanan negara dapat memaksimalkan pencegahan setiap tindakan yang bepotensi menimbulkan aksi–aksi teror di wilayah Indonesia.

Pengertian sistem menurut R. L Ackoff adalah sebagai kumpulan konsep atau fisik yang bagian–bagiannya saling berkaitan secara konsisten.93

Pengertian Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Syste) menurut kamus hukum Black Law yaitu :

“Criminal Justice System is the collective institutions through which an accused offender passes until the accusations have been disposed of or the assessed punishment conclude. The system typicaly has have three components: law enforcement (police, sheriffs, marshals), the judicial process (judge, prosecutors, defence lawyers), and corrections ( prison officials, probation officers and parole officers). (Terjemahan bebas: Sistem Peradilan Pidana merupakan lembaga secara kolektif mulai dari sangkaan pelaku sampai sangkaan itu tidak terbukti atau mendapatkan hukuman. Ciri sistem ini memiliki tiga komponen: penegakan hukum (Polisi), proses peradilan (Hakim, Jaksa, Pengacara), dan koreksi (Petugas Lapas, Petugas percobaan dan Petugas pembebasan bersyarat).

93Philips D. C., Holistic Thought in Social Science, California, Stanford University, 1998, hal. 60

Barda Nawawi Arief menyebutkan Sistem Peradilan Pidana Indonesia pada hakekatnya identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang merupakan sistem kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum. Kekuasaan atau kewenangan ini dapat diidentikkan dengan istilah kekuasaan kehakiman.94 Sistem Peradilan Pidana Indonesia terdiri dari empat sub sistem

yaitu pelaksanaan penyidikan oleh lembaga penyidik, penuntutan oleh lembaga penuntut umum, memeriksa, memutus dan mengadili/menjatuhkan putusan oleh Pengadilan dan pelaksanaan hukum (eksekusi) pidana dilaksanakan oleh Kejaksaan. Keterpaduan keseluruhan sub sistem menciptakan sistem terpadu dalam penegakan hukum atau yang disebut dengan istilah Sistem Peradilan Pidana terpadu (integrated criminal justice system).

Tujuan Sistem Peradilan Pidana menurut Muladi terdiri dari tujuan jangka pendek yaitu resosialisasi dan rehabilitasi pelaku, tujuan jangka menengah berupa pengendalian dan pencegahan dalam konteks politik kriminal, dan tujuan jangka panjang adalah kesejahteraan masyarakat dalam konteks politik sosial.95

Sistem Peradilan Pidana menurut Undang–undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) merupakan sistem terpadu (integrated criminal justice system) diletakan diatas prinsip diferensiasi fungsional. Fungsi utama dari sistem peradilan

94Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,Semarang, 1995, hal. 19-26

95Muladi, Pembinaan Narapidana dalam Kerangka Rancangan UU Hukum Pidana, Makalah, FH. UI, 1988, hal. 79

pidana terdiri dari fungsi pembuatan Undang–undang (law making function), fungsi penegakan hukum (law enforcement function), fungsi pemeriksaan sidang pengadilan (function of ajudication) dan fungsi memperbaiki terpidana (function of correction).96

Dalam perkara pidana terdapat pihak-pihak yang saling berhadapan. Dalam sistem saling berhadapan (adversary system) pihak terdakwa dan/atau penasehat hukumnya berhadapan dengan pihak penuntut umum yang atas nama negara menuntut pidana terhadap terdakwa setelah melalui proses penyidikan di Kepolisian. Tugas hakim adalah memeriksa, memutus dan mengadili terdakwa dengan keharusan tidak berpihak pada salah satu pihak.

Sistem hukum acara pidana tidak mengenal alat bukti berupa persangkaan, asumsi, dan spekulasi atau terduga sehingga tidak dibenarkan menyatakan kesalahan maupun menghukum terdakwa berdasar atas sangkaan, karena hal itu sama dengan melanggar asas praduga tak bersalah (persumption of innocent), demikian juga hukum acara pidana memberikan definisi terhadap seseorang pada tahap penyidikan sebagai tersangka yakni seseorang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana dan terdakwa sebagai seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan. Pada setiap tingkatan pemeriksaan, status seseorang berubah sesuai dengan alat bukti dan fakta hukum serta perbuatan yang dilakukan, karenanya dalam penggunaan setiap alat bukti harus diuji terlebih dahulu mengenai kebenaran

96Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 90-91

serta kesesuaian antara fakta dan alat bukti, sehingga hakim dalam memutus berdasarkan alat bukti yang cukup diperoleh keyakinan bahwa seorang terdakwa benar–benar telah melakukan tindak pidana. Dengan demikian istilah terduga tidak ada dalam KUHAP.

3. 2. Legalitas Penyadapan Badan Intelijen Negara Terhadap Orang Yang Diduga

Kewenangan penyadapan oleh Badan Intelijen Negara bertujuan agar intelijen dapat melaksanakan tugasnya yakni deteksi dini suatu ancaman. Penyadapan hanya boleh dilakukan ketika adanya indikasi ancaman yang ditujukan kepada negara. Kewenangan penyadapan oleh BIN dapat dilihat yaitu menyadap, memeriksa aliran dana, dan penggalian informasi dengan meminta keterangan kepada kementerian lembaga pemerintah non kementerian dan atau lembaga lain.97

Badan Intelijen Negara adalah merupakan lembaga Negara yang diberikan kewenangan untuk melakukan kegiatan intelijen. Kegiatan Intelijen yang dilakukan Badan Intelijen Negara ini, sebagaimana tercantum dalam pasal 10 ayat (1) Undang-undang Intelijen Negara, yaitu menyelenggarakan fungsi intelijen dalam negeri dan luar negeri.

Kewenangan penyadapan untuk kepentingan intelijen diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, yang

97http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=267284:bin- berwenang-lakukan-penyadapan&catid=59:kriminal-a-hukum&Itemid=91

diatur dalam pasal 31, pasal 32 dan penjelasan pasal 32 ayat (1) serta ayat (3), sebagai berikut:

Pasal 31 Undang-Undang tentang Intelijen Negara :

Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Badan Intelijen Negara memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap Sasaran yang terkait dengan98:

a. kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; dan/atau

b. kegiatan terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum.”

Pasal 32 Undang-Undang tentang Intelijen Negara:99

(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan berdasarkan peraturan perundangan-undangan.

(2) Penyadapan terhadap Sasaran yang mempunyai indikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilaksanakan dengan ketentuan:

a. untuk penyelenggaraan fungsi Intelijen;

b. atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara; dan

98 Pasal 31 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara 99Ibid , Pasal 32

c. jangka waktu penyadapan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.

(3) Penyadapan terhadap Sasaran yang telah mempunyai bukti permulaan yang cukup dilakukan dengan penetapan ketua Pengadilan Negeri. Penjelasan pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang tentang Intelijen Negara: “Yang dimaksud dengan “penyadapan” adalah kegiatan mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetik atau radio frekuensi, termasuk memeriksa paket, pos, surat-menyurat, dan dokumen lain. Yang dimaksud dengan “peraturan perundang- undangan” adalah Undang-undang ini. Hasil penyadapan hanya digunakan untuk kepentingan Intelijen dan tidak untuk dipublikasikan.”100

Penjelasan pasal 32 Ayat (3) Undang-Undang tentang Intelijen Negara: “Proses penetapan ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dengan memperhatikan prinsip kecepatan dan kerahasiaan”.101

Dengan demikian, terdapat dua jenis penyadapan yang dilakukan menurut UU Intelijen Negara, pertama berdasarkan orang yang dicurigai atau diduga melakukan ancaman,102 dan misalnya dalam pelaksanaannya hanya beradasarkan izin Kepala Badan Intelijen Negara, fungsi Intelijen Kepolisian Republik Indonesia izin dari Kepala Badan Intelijen Keamanan, fungsi intelijen Kejaksaan Republik Indonesia izin dari Jaksa Muda Intelijen,

100Ibid, Penjelasan Pasal 32 Ayat (1) 101Ibid, Penjelasan pasal 32 ayat (3)

102Yang dimaksud dengan ancaman adalah setiap upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang dinilai dan/atau dibuktikan dapat membahayakan keselamatan bangsa, keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kepentingan nasional di berbagai aspek, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan dan keamanan. Ibid, pasal 1angka 4

sehingga dapat menyadap pembicaraan melalui telepon dan atau alat telekomunikasi elektronika lainnya terhadap orang yang dicurigai tersebut. Sehingga intelijen disini melaksanakan fungsi penyelidikan.103 Dengan waktu

untuk melakukan penyadapan selama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan, artinya tidak jelas batas waktunya. Bahwa yang kedua jenis penyadapan yang sasarannya yang telah mempunyai bukti permulaan yang cukup, dilakukan dengan penetapan Ketua Pengadilan negeri dimana prosesnya dapat lebih cepat dan rahasianya lebih terjaga. Dengan waktu untuk melakukan penyadapan selama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan, artinya tidak jelas batas waktunya.

Dapat dilihat bahwa penyadapan merupakan kewenangan yang diberikan kepada intelijen apabila sudah mempunyai bukti permulaan yang cukup. Pengaturan tentang penyadapan tak hanya diatur dalam Undang-undang Intelijen Negara dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya. Dalam pasal 32 ayat 2 bahwa penyadapan terhadap sasaran yang mempunyai indikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 undang-undang nomor 17 tahun 2011 dilaksanakan dangan ketentuan :

Untuk penyelenggaraan fungsi intelijen a. Atas perintah Kepala Badan Intelijen

b. Jangka waktu penyadapan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.

103Penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas serangkaian upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan yang dilakukan secara terencana dan terarah untuk mencari, menemukan, mengumpulkan, dan mengelolah informasi menjadi intelijen, serta menyajikannya sebagai bahan masukan untuk perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Ibid, pasal 6 ayat (2)

Pasal 32 ayat 3 UU Intelijen Negara menyebutkan bahwa penyadapan terhadap sasaran yang telah mempunyai bukti permulaan yang cukup dilakukan dengan penetapan ketua Pengadilan Negeri, secara a contrario dapat diartikan bahwa penyadapan yang dilakukan Intelijen Negara terhadap sasaran yang belum mempunyai bukti permulaan yang cukup dilakukan tanpa adanya penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Meskipun demikian, penyadapan yang dilakukan oleh Badan Intelijen Negara tidak dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum. Hal itu diperjelas dalam pasal 34 UU Intelijen yang mengatakan bahwa penyadapan itu hanya dapat dilakukan

Dokumen terkait