BAB II HADHANAH DALAM ISLAM DAN PERUNDANG-
D. Pihak yang Berhak Mendapatkan Hadhanah
Para Ulama berbeda pendapat tentang siapa yang berhak itu hadhin
(pengasuh) atau mahdhun (anak). Sebagian pengikut madzhab Hanafiyah berpendapat bahwa hadhanah itu merupakan hak anak, sedangkan menurut madzhab Syafi’iyah, madzhab Hambali, dan sebagian pengikut madzhab
16
Al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 2, (Darul Fattah: Kairo, tth) h.335.
17
Asep Saepudin Jahar, dkk. Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis (kajian perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional) (Jakarta :Prenada media group, 2013), h.35.
27
Malikiyah berpendapat bahwa yang berhak terhadapt hadhanah itu adalah
hadhin (pengasuh).18
Menurut Imam Abu Hanifah, hak itu secara berturut-turut dialihkan dari ibu kepada ibunya ibu, ibunya ayah, saudara-saudara perempuan kandung, saudara-saudara perempuan seibu, saudara-saudara perempuan si ayah, anak perempuan dari saudara perempuan kandung, kemudian anak perempuan dari saudara seibu, dan demikian seharusnya hingga pada bibi dari pihak ibu dan ayah.
Imam Malik bin Anas berpendapat bahwa hak asuhan itu berturut-turut dialihkan dari ibu kepada ibunya dan seterusnya ke atas, saudara perempuan ibu sekandung, saudara perempuan ibu seibu, saudara perempuan nenek perempuan dari pihak ibu, saudara perempuan kakek dari pihak ibu, saudara perempuan kakek dari pihak ayah, ibu-ibunya ayah, ibu bapaknya ayah dan seterusnya.
Menurut Imam Muhammad Idris As-Syafi’i, hak atas asuhan, secara
berturut-turut adalah, ibu, ibunya ibu dan seterusnya hingga ke atas dengan syarat mereka itu adalah pewaris-pewaris si anak. Sesudah itu adalah ayah, ibunya ayah, ibu dari ibunya ayah dan seterusnya hingga ke atas, dengan syarat mereka adalah pewaris-pewarisnya pula. Selanjutnya adalah kerabat-kerabat dari pihak ibu, dan disusul kerabat-kerabat-kerabat-kerabat dari ayah.
Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa, hak asuh itu berturut-turut berada pada ibu, ibunya ibu, ibu dari ibunya ibu, ayah, kakek, ibu-ibu
18
28
dari pihak kakek, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah, saudara perempuan ayah sekandung, seibu dan seterusnya.19
Ulama tidak sepakat dalam keutamaan haknya. Apabila ibu yang berhak dan memenuhi syarat melepaskan haknya, kepada siapa hak hadhanah
itu beralih, hal ini menjadi pembicaraan dikalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat hak hadhanah pindah kepada ayah, karena ibunya merupakan cabang, sedangkan ayah bukan merupakan cabang daripada haknya. Pendapat kedua yang dianggap lebih kuat mengatakan bahwa ibu melepaskan haknya, maka hak tersebut pindah kepada ibu-ibunya, karena kedudukan ayah dalam hal ini lebih jauh urutannya.20
Pada masyarakat Batak Toba di Medan menganut sistem kekerabatan patrillineal yaitu dalam hal orang tuanya bercerai maka yang lebih berhak atas pemeliharaan/hak asuh anak hidup anak adalah pihak suami/kerabat suami, karena masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilineal semua anak-anak akan mengikuti dan meneruskan marga ayahnya, dan kedudukan ini tidak akan berubah walaupun orang tuanya sudah bercerai. Namun dalam hal anak masih balita (masih menyusui), hak pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang dibawah umur, umumnya akan jatuh ke tangan ibunya. Hal ini sesuai dengan ketentuan agama, adat dan juga peraturan per-undang-undangan yang berlaku sekarang, khususnya dalam Kompilasi Hukum Islam, hal ini
19
Muhammad Jawad Mughniyyah. Fiqih Lima Madzhab, Penerjemah :Masykur A.D,
dkk, Al-Fiqh Ala Madzhab Al-Khomsah, (Jakarta : PT Lentera Basritama, 1996), h. 415-416.
20
29
disebabkan oleh karena anak-anak dibawah umur masih memerlukan perhatian dari ibunya.21
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan dalam Pasal 156 bahwa yang berhak mendapatkan hak asuh anak (hadhanah) adalah sebagai berikut;
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya meninggal dunia, maka kedudukannnya digantikan oleh:
1. Wanita-wanita garis lurus ke atas dari ibu. 2. Ayah.
3. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah. 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.
5. Wanita-wanita kerabat menurut garis kesamping dari ibu, 6. Wanita-wanita kerabat menurut garis ke samping dari ayah. b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibunya;
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadhanah telah tercukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Peradilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah
kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
21
E. Sitorus, Hak Asuh Anak dalam Hukum Adat Batak Toba,
30
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun). e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah
anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c) dan (d).
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang turut padanya.22
Meskipun dari banyak keterangan diatas yang menjelaskan bahwa pihak yang paling berhak mendapatkan hak asuh anak adalah ibu, akan tetapi pihak yang berkewajiban untuk memberikan nafkah bagi si anak adalah ayah, sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasa 105 c, yang berbunyi:
Biaya pemeliharaan (anak) ditanggung oleh ayahnya. Pasal 104.
(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyususan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.
22
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 334-335.
31
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama 2 tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang 2 tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.23
E. Masa Hadhanah
Tidak jumpai ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis yang menerangkan
dengan tegas tentang masa hadhanah. Namun , hanya terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan ayat tersebut. Karena itu, para Ulama berijtihad sendiri-sendiri dalam menetapkan dengan berpedoman pada isyarat itu. Seperti menurut Imam Abu Hanifah, hadhanah anak laki-laki berakhir pada saat anak laki-laki itu tidak ada lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-hari, seperti makan, minum, mengatur pakaian, membersihkan tempatnya, dan sebagainya. Sedangkan masa hadhanah
wanita berakhir apabila ia telah baligh, atau telah datang masa haid pertamanya.24
Menurut Imam Muhammad Idris As-Syafi’i, tidak ada batasan tertentu
bagi asuhan. Anak tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya. Apabila si anak sudah sampai pada tingkat ini, dia diperintahkan untuk memilih apakah tinggal bersama ayah atau ibunya. Apabila seorang anak laki-laki memilih tinggal bersama ibunya, maka ia boleh tinggal bersama ibunya pada malam hari dan dengan ayahnya pada siang hari, agar si ayah bisa mendidiknya. Sedangkan bila si anak itu perempuan dan memilih tinggal bersama ibunya, maka ia
23
Abdul Manan dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h. 78.
24
32
boleh tinggal bersama ibunya siang dan malam, tetapi bila si anak memilih untuk tinggal bersama ayah dan ibunya, maka dilakukan undian, bila si anak diam (tidak memberikan pilihan) maka dia ikut bersama ibunya.
Imam Malik bin Anas berpendapat: masa asuh anak laki-laki adalah sejak ia dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga menikah.
Menurut Imam Ahmad bin Hambal: masa asuh anak laki-laki dan perempuan adalah tujuh tahun, dan sesudah itu si anak diberikan kebebasan untuk memilih apakah akan tinggal bersama ayah atau ibunya, kemudian si anak tinggal bersama salah satu dari orang tuanya yang dipilih tersebut.
Berdasarkan keterangan diatas maka para ahli fikih pada umunya membagi masa pengasuhan itu kepada dua masa, yaitu :
a. Masa anak kecil ialah masa sejak anak dilahirkan sampai anak berumur antara tujuh dan sembilan tahun terserah kepada pengasuh untuk menetapkan batas-batas umur itu, pada masa ini kepada anak belum dapat mengurus dirinya sendiri. Seorang anak memerlukan pelayanan, penjagaan dan didikan dari pengasuhnya. Pada masa ini kepada anak telah dapat secara berangsur-angsur ditanamkan kepercayaan dan kecintaan kepada Allah sesuai dengan kemampuannya sebagai anak-anak, bahkan agama menganjurkan agar meng-iqamatkan anak yang baru lahir apabila ia perempuan dan mengazankannya apabila ia anak laki-laki. Diantara tujuannya ialah agar kalimat yang mula-mula didengar anak-anak yang baru lahir itu
33
adalah kalimat-kalimat tauhid. Disamping itu telah mulai diajarkan tentang budi pekerti dengan mengemukakan contoh-contoh yang baik. b. Masa kanak-kanak, masa ini dimulai sejak anak berumur tujuh atau
sembilan tahun dan berakhir pada waktu anak berumur sembilan atau sebelas tahun. Pada masa ini anak-anak telah dapat mengurus dirinya sendiri, telah mulai mencari teman dan pada umumnya telah masuk waktu untuk bersekolah. Karena itu ia telah boleh memilih pengasuh yang ia inginkan diantara pengasuhnya yang ada. Pada masa ini telah diajarkan latihan-latihan untuk mengerjakan kewajiban-kewajiban agama, seperti, solat, puasa dan sebagainya, sehingga apabila ia telah
baligh, ia tidak canggung lagi dan telah terbiasa mengerjakannya.25 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 47
menjelaskan “anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya.26
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang kapan berakhirnya masa
hadhanah :
a. Dalam Pasal 105 menjelaskan pemeliharaan anak yang belum
mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya
b. Pasal 98 ayat 1 menjelaskan batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak
25
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang perkawinan, (Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1974), h. 146-147.
26
R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, edisi revisi.
34
bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan
Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak saat lahirnya seorang anak (dalam hal anak luar kawin yang disahkan). Sejak hari pengesahannya itu berakhir pada saat anak itu menjadi dewasa atau telah menikah dan pada waktu perkawinan orang tuanya telah meninggal dunia atau karena perceraian. Adapula kemungkinan menurut Pasal 229 KUH Perdata (BW) selama perkawinan bapak dan ibunya, setiap anak sampai mereka itu dewasa tetap bernaung dibawah kekuasaan mereka, sejauh mereka tidak dibebaskan atau dilepaskan dari kekuasannya itu.27
Pada prinsipnya hadhanah hukumnya adalah wajib, karena anak yang dipelihara (al-mahdun) akan mengalami masa depan yang tidak pasti jika kewajiban hadhanah diabaikan oleh individu atau masyarakat. Kewajiban memelihara, mengasuh mendidik dan memenuhi kebutuhan anak, adalah dalam tanggung jawab sosial masyarakat sebagai upaya menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan dan pertumbuhan fisik dan psikologis anak.
Hadhanah menjadi hak anak-anak masih kecil, karena ia masih membutuhkan pengawasan, penjagaan dan pelaksanaan urusannya, dari orang yang mendidiknya, yaitu orang tuanya. Jika terjadi perpisahan antara ibu dan ayahnya, sedangkan mereka memiliki anak, maka ibunya lebih berhak daripada ayahnya, selama tidak ada alasan pencegahan pencabutan
27
Masita Harumawati, “Hak Perwalian Anak Apabila Terjadi Perceraian (Studi di Pengadilan Negeri Semarang dan Pengadilan Agama Semarang), “(Tesis S2 Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Kenotariatan UNDIP Semarang, 2007), h.27.
35
hadhanah, maupun karena alasan anak sudah mampu memilih, apakah akan ikut ibu atau ayahnya.28 Dengan demikian permasalahan hak asuh anak merupakan suatu yang wajar dalam hal terjadinya perceraian, dikarenakan sifat rasa ingin memiliki terhadap anak hasil dari pernikahan, maka dalam hal ini Pengadilan dapat memutuskan siapakah pihak yang paling berhak mendapatkan hak asuh anak tersebut.
Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 menyebutkan bahwa suatu pengasuhan anak, dilaksanakan tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan mental. Dan ayat 2 yang menjelaskan bahwa pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 , diselenggarakan melalui kegiatan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, danpendidik secara berkesinambungan, serta dengan memberikan bantuan biaya dan/atau fasilitas lain, untuk menjamin tumbuh kembang anak secara optimal, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial, tanpa mempengaruhi agama yang dianut anak.29
28
Andi Syamsu Alam dan M Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,
(Jakarta : Kencana Prenada Grup, 2010) cet ke-1 h. 127.
29
36
BAB III
HAKIM DAN KONSEP PENEMUAN HUKUM A. Syarat-syarat Untuk Diangkat Menjadi Hakim
Qadi/hakim merupakan unsur yang sangat penting dalam melaksanakan hukum syara’. Qadi merupakan orang yang bertanggungjawab sepenuhnya, menjaga dan mempertahankan hukum syara’ dalam rangka menegakan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, Islam mensyaratkan dengan ketat untuk diangkat sebagai qadi/hakim. Tujuannya adalah untuk memastikan orang yang memegang jabatan benar-benar orang yang berwibawa, luas pengetahuannya dan bisa dipercaya. Agar tujuan ini dapat tercapai, Islam telah menetapkan beberapa syarat yang wajib dipenuhi dalam mengangkat seorang qadi.1
Para ahli memberikan syarat-syarat dalam mengangkat seorang hakim, walaupun ada perbedaan dalam syarat-syarat tersebut. Syarat yang dimaksud adalah sebagi berikut:
1. Laki-laki merdeka
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, anak kecil dan wanita tidak sah menjadi hakim, namun madzhab Hanafi membolehkan wanita menjadi hakim dalam masalah pidana dan qishas karena kedua hal tersebut kesaksiannya tidak dapat diterima.
2. Berakal (mempunyai kecerdasan)
1
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta:kencana, 2007), h. 21.
37
Syarat yang disepakati oleh seluruh Ulama. Hakim harus orang yang cerdas, bijaksana, mampu memperoleh penjelasan dan menanggapi sesuatu yang musykil.
3. Beragama Islam
Adapun alasan mengapa ke-Islaman seseorang menjadi syarat seorang hakim, karena ke-Islaman adalah syarat untuk menjadi saksi atas seorang muslim, demikian menurut jumhur Ulama. Karenanya, hakim nonmuslim tidak boleh mengutus perkara orang muslim.
Imam Abu Hanifah berpendapat lebih rinci, yakni membolehkan mengangkat hakim nonmuslim untuk memutus perkara orang nonmuslim karena orang yang dipandang cakap untuk menjadi saksi harus pula cakap menjadi hakim. Tetapi, tidak boleh seorang kafir dzimmi memutus perkara orang muslim karena kafir dzimmi tidak boleh menjadi saksi bagi orang muslim.2
4. Adil
Seorang hakim harus terpelihara dari perbuatan-perbuatan haram, dipercaya kejujurannya, baik diwaktu marah atau tenang, dan perkatannya harus benar. Sebagaimana Firman Allah dalam Surah Al Hujuraat ayat 6:
لا جب ام ق ا ْيصت ْنأ ا ّي تف إ ب قساف ْمكءاج ْنإ ا ماء نْي ّلا ا ّيأي
نيمدان م تْلعفام ىلعا ح ْصت ف
2
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, (Malang:UIN-Malang Press, 2008), h.12.
38
Artinya: ’’Wahai orang-orang beriman, Jika datang kepadamu orang fasik yang membawa sesuatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum kerana kebodohan(kejahilan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu."
Terdapat perbedaan pendapat antara madzhab Hanafi dan Syafi’i dalam permasalahan ini. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa putusan hakim yang fasik adalah sah bila sesuai dengan syara’ dan undang-undang. Sedangkan madzhab Syafi’i tidak membolehkan mengangkat
orang fasik menjadi hakim karena tidak dapat diterima sebagai saksi 5. Mengetahui segala pokok hukum dan cabang-cabangnya
Hakim harus mengetahui pokok-pokok dan cabang-cabang hukum agar memperoleh jalan untuk perkara yang diajukan padanya. Dalam hal ini, Imam Abu Hanifah membolehkan mukallid menjadi hakim sesuai pendapat Al-Ghazali karena mencari orang yang adil dan ahli ijtihad sangat sulit dengan ketentuan telah diangkat oleh penguasa.3 6. Mendengar, melihat dan tidak bisu.
Hal ini penting bagi seorang qadi karena akan memberikan arahan dan menanyakan segala hal kepada pihak-pihak yang berperkara. Jika ia tidak bisa mendengar dan bisu, maka ia tidak akan dapat mencari fakta-fakta hukum dan mengetahui tentang pembuktian, sehingga putusan yang dijatuhkan akan menyimpang dari persoalan yang
3
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, h.13.
39
sebenarnya. Putusan yang disampaikan melalui isyarat tentu tidak akan dipahami orang lain.4
ْنع
دْي ب
, اق
اق
ْ س
ىّلص
ّّا
ْيلع
مّلس
اق
” :
قْلا
اض
ثَث
نا ْثا
يف
اّ لا
دحا
يف
ّ جْلا
.
ج
ع
ف
ْقحلا
ىضقف
ب
ف
يف
ّجْلا
,
ج
ع
ف
حلا
ْق
ْملف
ضْقي
ب
يف اج
مْ حلا
ف
يف
ّلا
ا
,
ج
ْمل
ي ْع
ف
حلا
ْق
ىضقف
ّلل
سا
ىلع
ْ ج
ف
يف
ّلا
ا
(
ا
با ج ام نبا
د اد
(
5Artinya : “Dari Buraidah r.a. menceritakan Rasulullah SAW bersabda: ada tiga golongan hakim dua dari padanya akan masuk neraka dan yang satu akan masuk surga, ialah hakim yang mengetahui mana yang benar dan lalu ia memutuskan hukuman dengannya, maka ia akan masuk surga, hakim yang mengetahui mana yang benar,tetapi ia tidak menjatuhkan hukuman itu atas dasar kebenaran itu, maka ia akan masuk neraka, dan hakim yang tidak mengetahui mana yang benar, lalu ia menjatuhkan hukuman atas dasar tidak tahuannya itu, maka ia akan masuk neraka pula. (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Pasal 13 UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa, untuk dapat diangkat menjadi calon hakim pada Pengadilan Agama, seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:6
a. Warga Negara Indonesia; b. Beragama Islam;
c. Bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa;
4
Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2007) h. 24-25.
5
Imam Abi al-Fadhil Ahmad bin “Ali bin Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram,
(Surabaya: Darul Ilmi, 1352), hlm. 287, hadis nomor 1410. “Kitab al-Qadla”. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah.
6
Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
40
d. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
e. Sarjana syariah dan/atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam; f. Lulus pendidikan hakim;
g. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban;
h. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
i. Berusia paling rendah 25 tahun dan paling tinggi 40 tahun;dan
j. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Peradilan Umum menentukan syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim ialah sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum Pasal 14 ayat (1) Untuk dapat diangkat sebagai calon Hakim Pengadilan Negeri, seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia.
b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
d. Sarjana hukum.
e. Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun; f. Sehat jasmani dan rohani.
41
g. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela.
h. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam Gerakan 30 SPKI.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi hakim, harus pegawai negeri yang berasal dari calon hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Untuk dapat diangkat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim Pengadilan Negeri.7
Seorang hakim mempunyai tugas luhur menegakan hukum dan keadilan atas dasar kebenaran dan kejujuran yang bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hakim harus memiliki sifat dan sikap yang dapat menjamin terlaksananya tugas tersebut dengan sebaik-baiknya, yang sesuai dengan pandangan hidup dan falsafah Negara serta kepribadian bangsa Indonesia. Sifat dan sikap yang harus dimiliki hakim tersebut dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, dan yang menyangkut syarat yang harus dipenuhi oleh seorang hakim seperti:
a. Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan (Pasal 33 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
7
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.
42
b. Betakwa kepada Tuhan yang maha Esa, setia pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela (Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama).
c. Memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil professional, bertakwa dan berakhlak mulia, serta berpengalaman di bidang hukum, wajib mentaati kode etik dan pedoman perilaku (Pasal 13 B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2009 tentang perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum).8
B. Kode Etik Hakim
Tujuan akhir atau filosofi seorang hakim ialah ditegakannya keadilan, yaitu keadilan ilahi, karena ia memutus dengan didahului
Bismillahirrahmanirrahiim, demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Cita hukum keadilan yang terdapat dalam “das Sollen” harus dapat diwujudkan dalam das Sein” melalui nilai-nilai etika profesi/kode etik hukum.9
Kode etik adalah prinsip-prinsip moral yang melekat pada suatu profesi yang disusun secara otomatis. Ini berarti, tanpa kode etik yang sengaja disusun secara sistematis itupun suatu profesi tetap bisa berjalan karena
8
Wildan Suyuthi Musthofa, Kode Etik Hakim, (Jakarta:Kencana Prenada Media Grup,2013).h 115-116.
9
43
pinsip-prinsip moral tersebut sebenarnya sudah melekat pada profesi itu. Meskipun demikian, kode etik menjadi perlu karena jumlah profesi itu sendiri sudah demikian banyak, disamping tuntutan masyarakat juga bertambah kompleks. Pada titik seperti inilah profesi organisasi mendesak untuk dibentuk.10
Contoh dari etika profesi, kode etik hakim ialah ”The Commandments for