• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : HUBUNGAN KUHP DAN KUHAP DENGAN UU NO 23 TAHUN

C. Pembuktian Delik Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1. Pihak yang Berhak Mengadukan Delik aduan

Tentang siapa yang berhak untuk mengadukan delik aduan baik itu delik aduan absolut maupun delik aduan relatif adalah berbeda-beda. Pada dasarnya orang yang berhak mengajukan pengaduan adalah seseorang yang terhadapnya tindak pidana dilakukan, dan biasanya ini adalah orang yang dirugikan dengan tindak pidana, secara singkat dapat dinamakan si korban. KUHP menentukannya secara limitatif (per kasus) dan berbeda-beda, serta ditentukan melalui pasal delik aduan berkenaan.

Delik kekerasan dalam rumah tangga yang merupakan delik aduan, pihak- pihak yang berhak untuk mengadukan delik tersebut tidak diatur didalam KUHP tetapi telah diatur secara tersendiri didalam Pasal 26-27 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT). Dalam pasal tersebut telah ditentukannya siapa saja yang berhak untuk mengadukan delik aduan tersebut.

Dalam Pasal 26 ayat (1) UUPKDRT disebutkan bahwa :

“Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara”.

“Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara”.

Yang dimaksud dengan korban didalam pasal tersebut adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan orang yang termasuk kedalam lingkup rumah tangga, yaitu :

a. Suami, istri, dan anak;

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri, dan akan karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga;

c. Orang yang berkerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Anak yang termasuk dalam lingkup rumah tangga bukan saja anak kandung, tetapi termasuk juga anak angkat dan anak tiri. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri yang tinggal menetap dalam rumah tangga, seperti mertua, menantu, ipar, dan besan. Orang yang bekerja membantu dan menetap dalam rumah tangga tersebut termasuk kedalam lingkup rumah tangga dan dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama ia bekerja atau berada dalam rumah tangga yang bersangkutan, seperti pembantu rumah tangga.

Korban diberikan hak oleh undang-undang ini untuk melaporkan secara langsung bahwa telah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian tidak harus berdasarkan dimana tempat perkara tersebut terjadi tetapi dapat juga melaporkan kepada kepolisian dimana tempat korban berada atau tempat tinggal si korban, tidak seperti tindak pidana lainnya dimana si korban dapat melaporkan

atau mengadukan tindak pidana tersebut sesuai dengan tempat perkara tersebut terjadi.

Dari Pasal 26 ayat (2) dapat dilihat bahwa dalam hal ini tidak hanya si korban atau seseorang yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga saja yang mendapat hak untuk mengadu secara langsung, tetapi keluarga si korban seperti suami atau istri, anak ataupun orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan korban karena hubungan darah, perkawinan, persusuan dan perwalian yang menetap dalam suatu rumah tangga atau orang lain yang dekat dengannya, seperti advokat atau pengacara juga bisa mengadukan kekerasan tersebut kepada pihak kepolisian, apabila orang lain yang dekat dengannya atau keluarga si korban tersebut telah diberikan kuasa oleh si korban itu sendiri untuk melakukan pengaduan kepada pihak kepolisian.

Dalam undang-undang ini juga mengatur mengenai anak sebagai korban atau yang mengalami kekerasan tersebut, yaitu diatur didalam Pasal 27 UUPKDRT. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “Bila dalam hal ini yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah seorang anak, laporan bahwa telah terjadinya kekerasan tersebut dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan dimana hal tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam UUPKDRT tidak adanya ketentuan yang lebih lanjut yang mengatur mengenai batas umur seorang anak yang pengaduannya dapat dilakukan atau diwakilkan oleh orang-orang tertentu. Selain itu UUPKDRT tidak mengatur dalam hal bagaimana bila orang tua, wali, pengasuh atau wakilnya yang sah itu sendiri yang melakukan tindakan kekerasan kepada anak tersebut. Mengenai hal tersebut dapat dilihat atau ditinjau dari Bab VII KUHP dalam Pasal 72.

Dalam Pasal 72 ayat (1) KUHP disebutkan : Jika kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dilakukan kepada orang yang umurnya belum cukup enam belas tahun dan lagi belum dewasa, atau kepada orang yang dibawah penilikan (curatele) lain orang bukan dari sebab keborosan, maka selama dalam keadaan-keadaan itu, yang berhak mengadu ialah wakilnya yang sah dalam perkara sipil.

Menurut pasal ini, maka yang berhak untuk mengajukan pengaduan adalah “walinya yang sah dalam perkara-perkara perdata” yang berhak mengadukan dalam delik yang “hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan”, dalam hal ini apabila:

a. Kejahatan dilakukan kepada orang yang umurnya belum cukup 16 (enam belas) tahun,

b. Kejahatan dilakukan kepada orang yang dibawah pengampuan (curatele), kecuali jika curatele itu diselenggarakan karena keborosan (verkwisiting).31

Wakilnya yang sah dalam perkara perdata dalam hal kebelumdewasaan adalah walinya (voogd) yaitu orang tua kandungnya (ayahnya), jika ayahnya tiada ibunya, jika ayah ibu tiada ialah siapa yang menurut hukum yang berlaku bagi anak itu (KUHPerdata atau adat) menurut cara tertentu menjadi wali. Dalam hukum adat bisa pamannya, kakak dan lain-lain orang yang menurut hukum menjadi wali dari anak itu.

Sedangkan orang diletakkan dibawah pengampuan (curatele), ialah terhadap orang dewasa yang karena dalam keadaan-keadaan atau sifat-sifat pribadi tertentu, ialah dungu, sakit ingatan, mata gelap/pemarah berlebih-lebihan

31

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian II, Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun, hal 169.

tanpa alasan rasional, pemborosan. Keadaan kecanduan narkotika dapat pula dipakai sebagai alasan peletakan seseorang di bawah pengampuan. Orang dalam keadaan atau memiliki sifat pribadi seperti itu dianggap tidak mampu secara pribadi melakukan perbuatan hukum, oleh karena itu harus ditunjuk seorang pengampu (curator) untuk mengurus segala kepentingan hukum orang itu (curandus), termasuk didalamnya melakukan perbuatan mengajukan aduan dalam hal kejahatan aduan. Tetapi curator tidak berhak mewakili curandus dalam hal diletakkannya dibawah pengampuan itu oleh sebab sifat boros untuk mengajukan pengaduan. Curandus yang karena alasan boros tetap mampu untuk mengajukan pengaduan dalam perkara kejahatan aduan. Peletakan seseoang dibawah pengampuan beserta menunjuk curatornya haruslah melalui penetapan hakim perdata pengadilan negeri di mana curandus berdiam.

Jika tidak ada wakil sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 72 ayat (1), atau wakilnya itu sendiri adalah si pembuat yang harus diadukan, maka orang yang berhak mengajukan pengaduan itu adalah seperti yang diatur didalam Pasal 72 ayat (2), yaitu :

a. Wali pengawas (toeziende voogd),

b. Curatele atau pengampu pengawas (toeziende curator),

c. Majelis yang menjadi wali pengawas atau menjadi pengampu pengawas, d. Isterinya,

e. Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus, atau

f. Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis turunan samping sampai derajat ke tiga.

Keluarga sedarah dalam garis menyimpang ialah saudara laki-laki, saudara perempuan, saudara ibu atau saudara bapak baik itu laki-laki maupun perempuan,

anak laki-laki atau anak perempuan saudara dan sebagainya. Banyaknya derajat kekeluargaan sedarah antara dua orang itu dihitung menurut banyaknya kelahiran yang ada antara kedua orang itu. Dengan demikian maka bapak dan anak adalah keluarga sedarah satu derajat. Kakek, cucu adalah keluarga sedarah dua derajat. Saudara, paman dan keponakan adalah keluarga sedarah garis menyimpang tiga derajat.

Melalui ketentuan dalam Pasal 72 ayat (1) dan (2) KUHP ini, secara umum dapat diketahui siapa-siapa yang berhak untuk mengajukan pengaduan dalam hal dan bilamana kejahatan aduan yang dilakukan adalah terhadap orang yang belum berumur 16 (enam belas) tahun atau dilakukan terhadap orang yang berada di bawah pengampuan. Terhadap kejahatan yang juga merupakan delik-delik aduan, maka bagi delik-delik aduan itu, dalam pasal atau babnya senantiasa disebutkan siapakah yang berhak mengajukan pengaduan.

Selain dari apa yang tersebut pada Pasal 72 KUHP dan Pasal 26-27 UUPKDRT, maka pada umumnya menurut Lamintang, yang berwenang untuk mengajukan suatu pengaduan itu adalah orang yang menurut sifat dari kejahatannya, secara langsung telah menjadi korban atau secara langsung telah dirugikan32

Jadi, walaupun delik-delik aduan itu tidak diatur secara tersendiri dalam KUHP, maka yang berhak mengajukan pengaduan juga diatur secara tersebar.

.

Tegasnya, orang-orang yang berhak untuk mengajukan pengaduan dalam kejahatan-kejahatan yang diisyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutan perkaranya, yakni : orang-orang yang terkena peristiwa pidana itu atau dapat juga disebut sebagai “orang-orang terhadap siapa kejahatan itu ditujukan”.

32

P. A. F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 220.

Walaupun demikian, generalisasi untuk hal ini dapat dilakukan, yakni bahwa si pengadu adalah orang yang terhina dan menderita secara langsung karena kejahatan itu.

Terhadap delik aduan kekerasan dalam rumah tangga tidak ada diatur atau ditentukan mengenai jangka waktu pengaduan didalam UU No. 23 Tahun 2004. Walaupun tidak adanya pengaturan jangka waktu tersebut didalam undang- undang itu bukan berarti delik aduan kekerasan dalam rumah tangga ini dapat diadukan kapan saja atau sesuai dengan kehendak si korban. Tetapi jangka waktu tersebut tetap mengacu kepada KUHP.

Adapun jangka waktu dapatnya diajukan pengaduan, ditentukan dalam Pasal 74 ayat (1) dan (2) KUHP. Didalam Pasal 74 ayat (1) disebutkan bahwa :

“Pengaduan hanya boleh dimasukkan dalam tempo 6 (enam) bulan sesudah orang yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan itu, kalau ia berdiam di Negara Indonesia ini, atau dalam tempo 9 (sembilan) bulan sesudah ia mengetahui itu, kalau berdiam diluar Negara Indonesia”.

Dan ayat (2) disebutkan juga bahwa :

“Kalau pada ketika orang yang dikenai kejahatan, mendapat hak untuk mengadu belum habis tempo yang tersebut dalam ayat pertama, maka sejak ketika itu masih ia berhak mengadu selama ketinggalan tempo yang tersebut diatas itu saja”.

Jangka waktu pengaduan itu dimulai pada saat bila orang yang berhak mengadu mendengar atau mengetahui (bukan saat terjadinya peristiwa) peristiwa yang dilakukan. Jadi bukan sehari sesudahnya peristiwa itu terjadi seperti halnya dengan mulainya tempo atau jangka waktu gugurnya hak penuntutan perkara karena kadaluarsa. Lamanya waktu terhitung dari saat tersebut adalah 6 (enam) bulan, jika orang yang wajib mengadu itu berada di Indonesia, dan 9 (sembilan) bulan bila ia berada diluar Indonesia. Bagi pengadu oleh korban kejahatan ynag

masih dalam tenggang waktu 6 (enam) dan 9 (sembilan) bulan kemudian menjadi berhak untuk mengajukan pengaduan, maka pengaduan tersebut boleh dilakukan dalam sisa jangka waktu yang masih ada.

Maksud dari dibuatnya pembatasan jangka waktu dalam hal terjadinya tindak pidana adalah untuk memberikan kesempatan kepada orang yang merasa telah dirugikan oleh orang lain untuk mempertimbangkan apakah ia akan mengajukan suatu pengaduan atau tidak.

Yang menjadi alasan dicantumkannya delik aduan dalam KUHP adalah dengan mempertimbangkan bahwa kerugian bagi seseorang akan lebih besar jika diadakan penuntutan dari pada kerugian umum jika tidak diadakan penuntutan. Oleh sebab itu maka pemberian jangka waktu untuk mengajukan pengaduan ini memberikan kesempatan kepada mereka itu untuk mencari jalan keluar yang sebaik-baiknya sehingga baik pelaku maupun orang yang membantu melakukan, turut melakukan, orang yang membujuk, maupun orang yang menderita kerugian akibat terjadinya delik itu tidak mendapat malu karenanya.

Dokumen terkait