• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemilih dapat memilih parpol dan/ atau calon yang ada. Penentuan calon terpilih menggunakan dua standar, yaitu nomor urut dan perolehan suara calon. Calon yang memperoleh suara minimal 30% dari BPP ditetapkan sebagai calon terpilih. Namun jika jumlah calon yang memperoleh suara minimal 30% lebih dari jumlah kursi yang diperoleh parpol akan ditentukan berdasarkan nomor urut.

Pada saat pengujian UU Nomor 10 Tahun 2008, DPR menyatakan bahwa mekanisme penentuan calon terpilih sebagaimana diatur dalam Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 mengandung politik hukum transisional antara sistem proporsional terbuka terbatas dengan sistem proporsional terbuka murni.

Ketentuan penentuan calon terpilih sebagaimana diatur dalam Pasal 214 UU Nomor 10 tahun 2008 kemudian diajukan pengujian ke MK. Pangkal pertimbangan hukum putusan MK dalam perkara Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tersebut adalah bahwa pemilu legislatif dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka yang dimaksudkan agar keinginan rakyat memilih wakil-wakilnya yang diajukan oleh parpol dalam pemilu dapat terwujud.

Pertimbangan putusan MK juga menyatakan bahwa penentuan calon terpilih adalah calon yang memperoleh suara di atas 30% dari BPP atau menempati nomor urut lebih kecil jika tidak ada yang memperoleh suara 30% dari BPP, atau yang menempati nomor urut lebih kecil jika yang memperoleh suara 30% dari BPP lebih dari jumlah kursi proporsional yang diperoleh suatu parpol peserta pemilu adalah inkonstitusional.

Hal tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif. Jika dilihat

dari substansinya, putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 ini sesungguhnya adalah putusan yang bersifat menegaskan pilihan sistem yang dianut oleh UU Nomor 10 Tahun 2008 dengan cara mengoreksi mekanisme penentuan calon terpilih. Pada saat rakyat telah diberikan hak untuk memilih caleg, maka konsekuensinya penentuan calon terpilih harus didasarkan pada pilihan rakyat itu.

Hal ini selaras dengan politik hukum pilihan sistem proporsional terbuka, yaitu untuk meningkatkan penghargaan terhadap kedaulatan rakyat. Untuk penyelenggaraan Pemilu Legislatif tahun 2014, dibentuk UU Nomor 8 Tahun 2012.

Sesungguhnya jika model suara terbanyak dipandang banyak menimbulkan dampak negatif, dapat saja diubah dengan kembali pada sistem proporsional tertutup, atau setidaknya dengan model penentuan 100% BPP seperti Pemilu 2004. Namun sistem yang dipilih tetap proporsional terbuka dengan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.

Pilihan sistem ini sesuai dengan politik hukum sejak Pemilu 2004 dan telah dikukuhkan melalui putusan MK. Karena itu, pilihan sistem proporsional terbuka beserta konsekuensinya berupa penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak adalah pilihan bersama.

Namun pilihan ini ternyata menimbulkan dampak berbeda pada Pemilu 2014 ini jika dibandingkan dengan Pemilu 2009 yang lalu. Tentu saja hal ini harus menjadi bahan evaluasi bersama. Setiap sistem pemilu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan.

Pilihan terhadap sistem tertentu tentu harus disertai dengan langkah antisipatif untuk menutup kekurangan yang dimiliki. Namun sering kali bentuk dan tingkat kekurangan itu baru akan diketahui dengan jelas setelah sistem itu

dijalankan. Karena itulah perbaikan harus selalu dilakukan. Dalam kelompok sistem proporsional terdapat sistem proporsional tertutup dan sistem proporsional terbuka. Kelebihan proporsional tertutup adalah lebih sederhana dan konsekuensinya lebih murah dan efisien.

Namun kelebihan itu harus dibayar dengan tereduksinya kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai. Rakyat tidak dapat menentukan pilihannya secara langsung mengenai siapa yang dikehendaki menjadi wakilnya di DPR/ DPRD.

Kekuasaan yang demikian besar di tubuh parpol akan cenderung menciptakan oligarki parpol atau sebaliknya konflik internal parpol yang pada akhirnya juga merugikan rakyat. Sebaliknya, kelebihan utama sistem proporsional terbuka adalah pengakuan sepenuhnya terhadap kedaulatan rakyat dengan menjadikan pilihan pemilih sebagai dasar penentuan calon terpilih.

Hal ini dapat mewujudkan anggota DPR/ DPRD betul-betul sebagai wakil rakyat, bukan wakil parpol. Namun kelebihan ini harus dibayar dengan kerumitan penyelenggaraan serta persaingan sengit antarcalon.

Persaingan ini dapat berdampak positif bagi parpol karena semua calon harus bekerja keras yang hasilnya juga berimbas pada perolehan suara partai. Namun persaingan yang sangat keras memang mendorong terjadinya pelanggaran etika dan hukum berupa kecurangan-kecurangan dalam pemilu.

Karena itu, pilihan sistem

proporsional terbuka harus diikuti dengan penegakan etika politik internal parpol serta pengaturan dan penegakan hukum yang mampu mencegah dan menindak segala macam bentuk pelanggaran dan kecurangan pemilu.

KONSTITUSI| 84 |Juni 2014

1

Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh 2 Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Lhokseumawe 3 Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan 4 Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang 5 Fakultas Hukum Universitas Jambi Jambi 6 Fakultas Hukum Universitas Riau Pekanbaru 7 Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang 8 Fakultas Hukum Universitas Bengkulu Bengkulu 9 Fakultas Hukum Universitas Lampung Bandar Lampung 10 Fakultas Hukum Universitas

Sultan Ageng Tirtayasa Serang 11 Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok 12 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung 13 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang 14 Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto 15 Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

16

Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta 17 Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya 18 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang 19 Fakultas Hukum Universitas Jember Jember 20 Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Bangkalan 21 Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar 22 Fakultas Hukum Universitas Mataram Mataram 23 Fakultas Hukum

Universitas Nusa Cendana Kupang 24 Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak 25 Fakultas Hukum Universitas Palangkaraya Palangkaraya 26 Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda 27 Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin 28 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar 29 Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu 30 Fakultas Hukum Universitas Haluoleo Kendari 31 Fakultas Hukum

Universitas Sam Ratulangi Manado 32 Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon 33 Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate 34 Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih Jayapura 35 Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial

Universitas Bangka Belitung Bangka

36 Universitas Batam Batam

37

Fakultas Hukum

Universitas Negeri Gorontalo Gorontalo

38

Universitas Al Asyariah Mandar

Polewali

39 Universitas Negeri Papua Manokwari 40 Universitas Musamus Merauke 41 Universitas Borneo Tarakan 42 Universitas Pancasakti Tegal

Informasi Penggunaan Video Conference dapat menghubungi Bidang Teknologi Informasi MK

Gedung Mahkamah Konstitusi Lantai 5 - Jl. Medan Merdeka Barat No.6 Telp. 021-23529000 ext. 18112

MELALUI