• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Analisis Kewenangan Pengadilan Agama Untuk Mengadili Perkara Perceraian No. 0258/Pdt.G/2007/PA.Sm

Ada empat macam Lembaga Peradilan yang diakui di Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, yang masing-masing memiliki kewenangan absolut dan kewenangan relatif yang sudah diatur masing-masing Lembaga Peradilan.71

Di sini Pengadilan Agama masuk dalam jenis Lembaga Peradilan Agama, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 63 (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: “Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini adalah: (a) Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam; (b) Pengadilan Umum bagi yang lainnya.”72

Pengadilan Agama berkedudukan di Kotamadya atau Ibukota Kabupaten dan daerah hukumnya meliputi Kotamadya dan Ibukota Kabupaten. Daerah atau wilayah hukum Pengadilan Agama Semarang meliputi 16 kecamatan. Masing-masing yakni:

1. Kecamatan Semarang Barat 2. Kecamatan Semarang Tengah 3. Kecamatan Semarang Selatan 4. Kecamatan Semarang Utara

71 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1998, hlm. 15.

72 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 26

5. Kecamatan Semarang Timur 6. Kecamatan Mijen 7. Kecamatan Gunungpati 8. Kecamatan Ngaliyan 9. Kecamatan Tugu 10. Kecamatan Gajahmungkur 11. Kecamatan Candisari 12. Kecamatan Tembalang 13. Kecamatan Banyumanik 14. Kecamatan Pedurungan 15. Kecamatan Gayamsari 16. Kecamatan Genuk

Sedangkan kewenangan absolut Pengadilan Agama pada UU No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama di BAB I tentang Ketentuan Umum, khususnya pasal 1 (1) dan pasal 2, yang berbunyi "Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang - orang beragama Islam" dan "Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang ini".73

Hal ini diperjelas lagi dalam pasal 49 (1) tentang Kekuasaan Pengadilan, yang berbunyi: "Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara - perkara ditingkat pertama antara orang - orang yang beragama Islam di bidang : (a.) perkawinan, (b.) kewarisan, wasiat, dan hibah, (c.) waqaf, zakat dan shadaqah, (d.) ekonomi Syari'ah".

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, jelas bahwa Pengadilan Agama memiliki kewenangan absolut untuk mengadili perkara-perkara sebatas bagi mereka yang beragama Islam, namun pada perkara nomor perkara 0258/Pdt.G/2007/PA.Sm pengadilan agama Semarang menerima, memeriksa dan memutus perkara cerai talak yang diajukan Agus Setiawan bin Himawan Purwito yang beragama Katolik.

Dari hasil wawancara penulis dengan Wakil Ketua PA Semarang Hudlrien diperoleh jawaban bahwa memang benar tidak ada dasar hukum yang menyebutkan bahwa masyarakat non muslim dapat mengajukan perkara di Pengadilan Agama. Alasan Pengadilan Agama menerima perkara tersebut adalah karena Penggugat pada saat melangsungkan pernikahan dengan Ami Nurmiati binti A Salim, proses perkawinan dilangsungkan dengan cara-cara Islam. Meskipun dalam perjalanan rumah tangganya akhirnya Agus Setiawan kembali ke agamanya semula, yakni Katolik. Jadi di sini yang menjadi pedoman bagi Pengadilan Agama menerima suatu perkara bukanlah orangnya melainkan status perkawinannya.

Meski alasan yang digunakan Pengadilan Agama Semarang ini benar, namun menurut penulis seharusnya ada satu peraturan atau undang-undang tersendiri yang mengatur permasalahan tersebut yang nantinya bisa dijadikan dasar hukum yang pasti jika terjadi kasus seperti tersebut di atas. Hal ini penting agar keputusan dalam menerima perkara tersebut tidak bertentangan dengan peraturan atau undang-undang lainnya. Khususnya UU No 3 Tahun

2006 pasal 1 (1) (2) dan pasal 49 (1) serta terdapat kepastian hukum dari suatu Lembaga Peradilan berkaitan dengan kewenangan absolutnya.

B. Analisis Pertimbangan dan Dasar Hukum Hakim PA Semarang Dalam Perkara Perceraian No. 0258/Pdt.G/2007/PA.Sm

Kasus gugatan perceraian di Pengadilan Agama Semarang dengan Putusan Nomor: 0258/Pdt.G/2007/PA.Sm Dalam amar putusannya majelis hakim yang menangani perkara ini memutus kasus cerai talak ini dengan putusan fasakh karena salah satu pihak pindah agama.

Secara aturan baik menurut hukum Islam maupun perundang-undangan yang berlaku di Indonesia memang suatu perkawinan dapat dibatalkan jika tidak lagi memenuhi salah satu rukun dan syarat perkawinan serta telah melanggar ketentuan Undang-Undang Perkawinan.

Dari kacamata hukum Islam misalnya hal tersebut didasarkan pada Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah:

ﺡﺎﻜﻨﻟﺍﻭ

ﺪﺳﺎﻔﻟﺍ

ﻮﻫ

ﻞﺘﺧﺍﺎﻣ

ﻁﺮﺷ

ﻦﻣ

ﻪﻃﻭﺮﺷ

ﺪﻘﺘﳌﺍ

ﺔﻣ

ﺡﺎﻜﻨﻟﺍﺎﻣﺍ

ﻞﻃﺎﺒﻟﺍ

ﻮﻬﻓ

ﻞﺘﺣﺍﺎﻣ

ﻪﻴﻓ

ﻥﺁﺭ

ﻢﻜﺣﻭ

ﺪﺳﺎﻔﻟﺍ

ﻞﻃﺎﺒﻟﺍ

ﺪﺣﺍﻭ

.

74

“Adapun fasid nikah ialah apabila tidak memenuhi salah satu dari syaratsyaratnya. Sedangkan nikah itu batal apabila tidak memenuhi rukunnya. Dari hukum nikah fasid dan nikah batal itu adalah sama”.

Atau pendapat-pendapat pakar hukum Islam dalam Kitab Muhadzdzab Juz II:

74 Abdul Rahman Jaziri, Fiqh ‘Ala Madzahib Arba’ah, Tijariyan Al-Kubro, Mesir, tt. Hlm. 118

ﺍﺫﺍ

ﺪﺗﺭ

ﻥﺎﺟﻭﺰﻟ

ﺃﻭ

ﺪﺣ

ﺎﳘ

ﺎﻓ

ﻥﺍﺁ

ﻞﺒﻗ

ﻝﻮﺧﺪﻟ

ﺖﻌﻗ

ﺔﻗﺮﻔﻟ

ﻥﺍ

ﻥﺍﺁ

ﺪﻌﺑ

ﻝﻮﺧﺪﻟ

ﺖﻌﻗ

ﺔﻗﺮﻔﻟ

ﻰﻠﻋ

ﺀﺎﻀﻘﻧ

ﺓﺪﻌﻟ

75

"Apabila suami istri atau salah seorang diantaranya murtad, kalau hal itu terjadi sebelum dukhul maka secara langsung pernikahannya dipisahkan, kalau terjadi setelah dukhul maka perceraiannya jatuh setelah habis masa iddah."

Dari kacamata perundang-undangan di Indonesia juga tidak jauh beda. Alasannya, tujuan perkawinan sebagaimana yang dikehendaki pasal 1 UU No 1 Tahun 1974 dan pasal 3 KHI tidak dapat terwujud akibat salah satu pihak dari suami istri pindah agama.

Dari sisi kewenangan menangani perkara Nomor: 0258/Pdt.G/2007/PA.Sm memang tidak ada masalah. Namun meski begitu ada juga sedikit kejanggalan. Sebab dalam amar putusan disebutkan bahwa perkawinan antara Agus Setiawan dan Ami Nurmiati diputus dengan fasakh, namun tidak disertai dengan berbagai konskwensi yang harus diterima oleh pihak istri akibat putusan tersebut76.

Anehnya lagi meski menjatuhkan putusan fasakh namun dalam soal-soal lainnya seperti hak asuh anak (hadhanah), atau soal-soal mut’ah, nafkah, maskan dan kiswah kepada istri justru difasilitasi lewat sidang di tempat alias di luar pengadilan77.

75 Syaikh Imam Al-Syairozi, Al - Muhadzdzab Juz II, 'Isa al-Babi al-Khalabi, Mesir, tt, hlm. 54

76 Menurut Ami Nurmiati selama persidangan majelis hakim terkesan mengabaikan sejumlah dalil dan argumentasi yang dipaparkan pihaknya. Argumentasi tersebut mulai dari soal murtadnya suami, kebiasaan buruk suami yang suka selingkuh, bermewah-mewahan hingga melakukan kekerasan fisik dan psikis kepada pihak istri.

77 Menurut Wakil Ketua PA Semarang Hudlrien majelis hakim memang tidak dapat memutuskan sesuatu yang tidak diminta oleh pihak-pihak yang beperkara. Soal sidang di tempat

C. Dampak Putusan Fasakh Perkawinan Karena Pindah Agama Dalam Perkara Nomor: 0258/Pdt.G/2007/PA.Sm

Putusan fasakh perkara perceraian antara Agus Setiawan dan Ami Nuarmiati ternyata berdampak juga pada hak asuh anak hasil perkawinan.

Meskipun diputuskan di luar pengadilan, namun kesepakatan soal hak asuh anak ini terkesan tidak selaras dengan berbagai aturan normatif, baik yang bersumber dari hukum Islam maupun hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Sebab waktu perkara tersebut diajukan ke meja pengadilan hak asuh kedua anak hasil perceraian tersebut yakni Kevin Evan Setian (12) dan Cindy Nabila Setiawan (10) belum mumayyiz. Namun tetap saja hak asuh keduanya jatuh kepada pihak suami yang nota bene sudah keluar dari Islam alias kembali ke agama semula yakni Katholik.

Pihak isteri sebenarnya sudah berusaha meminta agar hak-haknya dipenuhi saat persidangan. Tak lupa, ia juga menggugat balik hak asuh kedua anak hasil perkawinannya tersebut. Namun semua upayanya yang dilandasi bukti-bukti penguat kandas. Bahkan hak-haknya selaku isteri maupun ibu justru semakin terenggut saat perkaranya diajukan di pengadilan.78

tersebut menurut Hudlrien memang diperbolehkan sepanjang atas permintaan pihak-pihak yang berperkara.

78 Ami merasa sebagai pihak yang hak-haknya dilanggar tidak dilindungi oleh majelis hakim, justru malah ia semakin down baik fisik maupun psikis ketika perkaranya sampai di meja pengadilan. Ami menegaskan mempunyai bukti-bukti penguat. Meski begitu tetap saja kalah di pengadilan.

Dalam literature Hukum Islam, para fuqoha telah sepakat, ibu adalah orang yang paling berhak atas hadhonah79 bila dibandingkan dengan seorang ayah. Hal ini penting karena dalam kaca mata Islam anak hasil perkawinan merupakan amanah Allah SWT yang harus dijaga mulai dari sejak lahir, mulai dari menyusui, mengasuh dan seterusnya.80 Peran ini bisaanya dapat dilakukan oleh seorang ibu.

Bahkan jika anak-anak itu membutuhkan wanita pengasuh, maka dalam hal ini ibu ditunjuk untuk mengasuhnya hingga anak itu menjadi dewasa.81 Sebab hal itu merupakan haknya.

Menurut madhab Syafi’i hak atas asuhan, secara berturut-turut adalah ibu, ibunya ibu dan seterusnya hingga ke atas dengan syarat mereka itu ahli waris si anak. Sesudah itu adalah ayah, ibunya ayah, ibu dari ibunya ayah ke atas dana anak tersebut sampai mumayyiz walaupun bapak dan ibunya telah bercerai, maka yang lebih patut mengasuhnya adalah ibunya, selagi ibunya itu belum kawin dengan laki lain; dan kalau ibunya itu kawin dengan laki-laki lain, sedangkan anak tersebut belum mumayyiz, maka bapaknya yang lebih berhak mendidiknya dan apabila anak tersebut sudah mumayyiz dan mengerti dengan dirinya sendiri.

Maka ia (anak) boleh memilih siapakah yang akan mengasuhnya. Masih menurut madhab Syafi’i, apabila suami istri yang keduanya kafir,

79 Hal ini dapat dimaklumi karena seorang ibu memiliki sifat-sifat tertentu yang tidak ada pada diri seorang ayah. Misalnya penyabar, telaten, halus, lembut, kasih saying, mesra dan lain-lain. Lebih jelasnya baca Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, PT. Al Ma’arif, Bandung, hlm. 160.

80 Paeno Daly, Hukum Perkawinan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1998, hlm. 400.

kemudian salah satu dari suami/istri masuk agama Islam, maka pihak yang beragama Islam yang berhak mengasuh anaknya.82

Menurut Imam Hanafi, hak hadhonah itu secara berturut-turut dialihkan dari ibu ke ibunya ibu, ibunya ayah, saudara-saudara perempuan kandung, seibu keatas. Akan tetapi masa asuhan anak adalah tujuh tahun untuk laki-laki dan sembilan tahun untuk wanita, akan tetapi kemurtadan seorang wanita atau laki-laki yang mengasuh itu menggugurkan hak asuhannya, dan seorang pengasuh wajib memperoleh upah manakala sudah tidak ada lagi ikatan perkawinan ibu dan bapak, tidak pula dalam masa iddah dalam talak raj’i.

Menurut Imam Maliki, hak hadhonah itu dari ibu kepada ibunya ibu dan seterusnya keatas, saudara perempuan ibu sekandung, keatas masa asuh anak laki-laki adalah sejak dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan masa asuhnya hingga menikah dan seorang wanita tidak berhak atas upah bagi pengasuhan yang diberikannya.

Sedangkan menurut Imam Hambali, hak hadhonah itu berturut berada pada ibu, ibunya ibu, ibu dari ibunya ibu, ayah, ibu, ibu-ibunya, kakek, ibu-ibu dari kakek dan seterusnya. Dengan masa asuh anak laki-laki dan perempuan adalah tujuh tahun setelah itu anak disuruh memilih apakah ia tinggal bersama si ibu atau ayahnya.83

Dari deskripsi tersebut dapat dipahami bahwa ibu dan ibunya ibu terus keatas adalah yang bertanggung jawab atas pemeliharaan, pendidikan,

82 Idris Ahmad, Fiqh syafi’iyah, Jakarta, Wijaya, t.t., hlm. 276.

pengasuhan anaknya. Sampai batas anak tersebut mumayyiz. Yaitu si anak sudah dewasa dan dapat berdiri sendiri serta mampu mengurus kebutuhan pokoknya sendiri.

Ukurannya adalah tamyiz dan mampu berdiri sendiri. Misalnya sudah bisa makan sendiri, mandi sendiri dan sebagainya. Dan ayah/bapak tetap menanggung biaya pemeliharaan sebagai kepala keluarga; akan tetapi walau terjadi perceraian kewajiban ayah atas biaya pemeliharaan anak-anaknya masih tetap melekat padanya.

Namun untuk upah para pengasuh (ibu/orang lain) menurut Imam Syafi’i dan Hambali, wanita yang mengasuh berhak atas upah bagi pengasuhan yang diberikannya, sedangkan menurut Imam Hanafi pengasuh wajib mendapatkan upah manakala sudah tidak ada ikatan perkawinan dengan suaminya atau sudah cerai.

Firman Allah SWT :

ﻰـﹶﻠﻋﻭ ﹶﺔﻋﺎـﺿﺮﻟﺍ ﻢِﺘـﻳ ﹾﻥﹶﺃ ﺩﺍﺭﹶﺃ ﻦﻤِﻟ ِﻦﻴﹶﻠِﻣﺎﹶﻛ ِﻦﻴﹶﻟﻮﺣ ﻦﻫﺩﻻﻭﹶﺃ ﻦﻌِﺿﺮﻳ ﺕﺍﺪِﻟﺍﻮﹾﻟﺍﻭ

ﹲﺓﺪِﻟﺍﻭ ﺭﺎﻀﺗ ﻻ ﺎﻬﻌﺳﻭ ﻻِﺇ ﺲﹾﻔﻧ ﻒﱠﻠﹶﻜﺗ ﻻ ِﻑﻭﺮﻌﻤﹾﻟﺎِﺑ ﻦﻬﺗﻮﺴِﻛﻭ ﻦﻬﹸﻗﺯِﺭ ﻪﹶﻟ ِﺩﻮﹸﻟﻮﻤﹾﻟﺍ

ﻻﻭ ﺎﻫِﺪﹶﻟﻮِﺑ

ﻚِﻟﹶﺫ ﹸﻞﹾﺜِﻣ ِﺙِﺭﺍﻮﹾﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋﻭ ِﻩِﺪﹶﻟﻮِﺑ ﻪﹶﻟ ﺩﻮﹸﻟﻮﻣ

)

٢٣٣

(

Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun

penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani kecuali menurut kadar kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anakanaknya dan seorang ayah karena anak-anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian…( Q.S Al-Baqarah,

233).84

Dari ayat tersebut dapat dipahami pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian dilakukan oleh ibu dari si anak, dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya, dan ibu mendapat prioritas utama mengasuhnya selama anak belum mumayyiz, dan apabila si anak sudah mumayyiz maka anak disuruh memilih kepada siapa diantara ayah dan ibunya.

Menurut Imam Syafi’i, Hambali, Hanafi, kewajiban mantan suami tersebut bukan hanya terbatas pada biaya pemeliharaan anak-anaknya, tetapi mantan suami juga yang menanggung nafkah/upah bagi mereka yang mengasuh anak-anaknya.

Menurut Imam Hanafi lama masa asuhan adalah tujuh tahun untuk anak laki-laki dan sembilan tahun untuk anak perempuan, sedangkan menurut Hambali tujuh tahun adalah masa asuhan bagi anak laki-laki dan perempuan, tetapi Imam Malik menyatakan masa asuh anak laki-laki hingga baliq dan anak perempuan hingga ia menikah.

Sedang dari perspektif Hukum Positif yakni Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan85 pasal 41 dikemukakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat dari itu adalah sebagai berikut :

a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi

85 UU No 1 tahun 1974 sudah menyebut hukum penguasaan anak. Akan tetapi hukum penguasaan anak itu belum diatur secara rinci. Hal yang sama juga terjadi dalam PP No 9 tahun 1975. Sehingga hakim pengadilan waktu itu masih menggunakan kitab-kitab fiqh, baru setelah diberlakukan UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No 1 tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhonah menjadi hukum positif di Indonesia. Lebih jelasnya lihat H. Manan Abdul, S. H., Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan PA., Jakarta, Prenada Media, 2005. hlm. 429.

perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberikan keputusannya.

b) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, bilamana dalam kenyataannya bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas suami.

Dari pasal tersebut dapat dipahami, bahwa adanya perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat material dengan tanggung jawab pengasuhan. Pasal ini lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab material yang menjadi beban suami/mantan suami jika mampu dan sekiranya tidak mampu, pengadilan agama dapat menentukan lain sesuai dengan keyakinannya.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur secara lebih rinci dalam pasal 105 dalam hal terjadinya perceraian:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak

untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.86

− Dalam pasal 149 ayat d bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib.

d. Memberikan biaya hadhonah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

− Dalam pasal 156 ayat di akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah semua biaya hadhonah dan nafkah anak, menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

Dari deskripsi pasal tersebut bahwa meskipun pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian dilakukan oleh ibu dari anak tersebut, sedangkan biaya pemeliharaan anaknya dibebankan kepada ayahnya dan biaya pemeliharaan anak dalam arti yang luas yaitu meliputi kebutuhan primer, sekunder bagi anak tersebut.87 Dan apabila anak sudah mencapai usia mumayyiz yaitu 21 tahun atau sudah dapat mengurus dirinya sendiri, maka anak tersebut disuruh memilih apakah akan ikut ayah atau ibunya.

Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara, dan mendidik anak-anaknya, maka kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan pengadilan agama dengan alasan :

86 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama RI., Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia, Jakarta, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000, hlm 113

87 Jika suami ingkar dalam tanggungjawabnya maka isteri atau anak sebagai pihak yang dirugikan hendaklah mengukum/menggugat mantan suami untuk membayar biaya pemeliharaan (hadhonah) yang ia lalaikan.

1) Orang tua sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya.

2) Orang tua berkelakuan buruk sekali, mungkin karena gila, uzur, pergi jauh tidak pulang, dan sebagainya. Sehingga terhentilah kekuasaan orang tua itu untuk melakukan penguasaan kepada anaknya. Jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya ayahnya saja, maka ia tidak berhak lagi untuk memelihara anaknya, dan ibulah yang melakukan pengasuhan terhadap anak-anak tersebut.

Berdasarkan pasal 49 ayat (2) Undang-undang Perkawinan, meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya tersebut.

Bila kekuasaan kedua orang tuanya dicabut atas hukum, berdasarkan pasal 50 ayat (1) Undang-undang Perkawinan pelaksanaan penguasaan anak akan diurus oleh seorang wali yang ditunjuk. Jadi perwalian (voogdy) itu terjadi sebagai akibat dari pencabutan kekuasaan orang tua (onderlykemacht) terhadap anak-anaknya seperti halnya kedua orang tuanya meninggal dunia. Akan tetapi kekuasaan wali yang ditunjuk adalah sama dengan kekuasaan orang tua dari anak tersebut yang meliputi diri pribadi dan harta benda yang berada dalam perwaliannya.88

Dan apabila dalam kenyataannya wali yang ditunjuk tidak melaksanakan tugasnya dengan baik dalam melakukan kewajibannya, maka hak perwaliannya dapat dicabut. Sebagaimana yang termaktub dalam pasal 35 Undang-undang Perkawinan.

88 Ibid. hlm. 432.

1) Wali dapat dicabut kekuasaannya

2) Dalam hal kekuasaannya seorang wali dicabut, pengadilan dapat menunjuk orang lain sebagai wali.

Selain itu, majelis hakim terkesan mengabaikan soal masa depan kedua anak hasil perkawinan yakni Kevin Evan Setiawan (12) dan Cindy Nabila Setiawan (10). Meski diputuskan di luar pengadilan namun diakuti atau tidak dampak dari putusan fasakh kasus Nomor: 0258/Pdt.G/2007/PA.Sm ini dapat “membahayakan” masa depan kedua anak hasil perkawinan tersebut.

Dari sisi psikologis Kevin maupun Bella. Mestinya sebelum memutuskan majelis hakim dapat mengandaikan bagaimana kejiwaan kedua anak tersebut jika sering melihat ayahnya sering bergonta ganti pasangan (selingkuh). Bisa jadi saat dewasa nanti anak-anak tersebut akan mengikuti kebiasaan yang diperlihatkan orang tuanya saat mereka berdua masih kecil.

Selain itu, majelis hakim juga terkesan mengabaikan dampak negatif sikap Agus Setiawan yang kerap memberi berbagai kemewahan kepada kedua anaknya. Bukan tidak mungkin sikap tersebut malah membawa efek buruk bagi psikologi kedua anak tersebut di kemudian hari. Sebab sejak kecil mereka tidak dibisaakan bahwa untuk memperoleh sesuatu perlu usaha dan upaya tertentu, tidak asal minta. Sikap kedua anak tersebut yang merasa dapat memperoleh semua yang diinginkannya dengan mudah itu kemungkinan dapat “membahayakan” masa depan mereka berdua, terlebih saat mereka didera pahitnya kenyataan hidup.

Pandangan kedua anak tersebut terhadap agama dan kepercayaan juga kemungkinan labil dan mudah terombang ambing. Sebab di usia yang masih belia mereka dihadapkan pada kenyataan kedua orang tuanya mempunyai agama yang berbeda89. Kondisi ini dapat bertambah parah, jika kedua orang tua mereka juga sama-sama berebut pengaruh dan berusaha keras agar kedua anak tersebut mengikuti agama yang dianut orang tuanya masing-masing.

89 Sejak kecil anak sudah mempunyai instink keagamaan. Persoalannya bagaimana jika kedua orang tua si anak mengajarkan cara beragama yang berbeda. Parahnya lagi keduanya juga tidak mengajarkan toleransi atau bahkan malah memberi doktrin sesuai dengan agama yang dianut masing-masing. Kemungkinan besar yang muncul adalah rasa bimbang dan dapat berujung pada apatisme si anak pada agama. Untuk lebih jelasnya baca Dr Jalaludin, Psikologi Agama, cet. 4, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 71

62

Dengan melihat dan mencermati uraian bab pertama sampai dengan bab keempat skripsi ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Hukum Islam dan Perundangan-undangan di Indonesia sudah mengatur dengan jelas persoalan hadhanah. Para fuqoha secara mendasar sepakat bahwa hadhonah adalah hak seorang ibu, ibunya ibu dan ke atas. Pemeliharaan seorang anak oleh ibunya mulai dari lahir, menyusui, mengasuh hingga anak tersebut mumayyiz. Baru setelah itu ketika ia boleh menentukan pilihan apakah akan ikut ibu atau ayahnya. Sedang biaya pemeliharaan menjadi tanggung jawab ayah anak tersebut. Hukum positif di Indonesia baik Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menyatakan hal yang sama.

2. Dari sisi kewenangan memang Pengadilan Agama Semarang berhak menerima, memeriksa dan mengadili perkara perceraian karena salah satu pihak pindah agama. Hal ini didasarkan karena awal perkawinan suami istri

Dokumen terkait